Jessica menghentikan langkahnya sebelum memasuki ruang guru. Wanita berparas cantik itu lagi-lagi menetralkan napas. Dia tak bisa menutupi rasa gelisah diwajahnya.
Dilihatnya sang putra sulung yang mengekor di belakang. Sean tak terlihat merasa bersalah. Lelaki jangkung itu malah memasukan kedua tangannya ke saku celana dan menatap sang ibu dengan raut heran.
“Mama kenapa?”
Jessica memutar matanya malas. “Kamu itu mau dihukum. Harusnya tunjukkin kalau kamu nyesel. Bukan malah pasang muka tanpa dosa gitu, Bang.”
Bahu Sean terangkat. “Ayo, Ma.” Dia ingin sekali mengakhiri ini semua. “Nanti Mama telat, katanya mau kondangan tadi.”
Jessica lagi-lagi pasrah. Mereka kemudian diantar ke ruang bimbingan konseling oleh salah satu guru. Ternyata di sana sudah ada anak yang berkelahi dengan Sean beserta orang tuanya.
“Maaf, saya terlambat,” sesal Jessica. Dia lantas menjabat tangan wali kelas Sean dan orang tua siswa tadi.
“Nggak apa-apa, Bu Jessica. Kami juga baru sampai,” jawab Bu Guru Nisa.
Duduk dengan suasana menegangkan memang menjengkelkan. Sean tak suka atmosfer yang ada di ruangan itu. Apalagi ketika sang ibu meminta maaf dengan tulus pada rivalnya.
“Saya benar-benar minta maaf. Sean baru terkena kasus. Jadi, mungkin masih sensitif. Saya dengar dari Bu Nisa, anak saya yang mulai memukul duluan. Lain kali saya bakal nasehati Sean supaya kejadian kemarin nggak ke ulang lagi.”
Raut wajah siswa yang ditonjok Sean tidak mengenakkan. Dia malah tertunduk lesu. Seraya menyenggol lengan ibunya, siswa yang bernama Adit itu menyahuti Jessica. “Saya-saya juga minta maaf, Bu.”
Ibunya Adit turut melakukan hal yang sama. “Iya, Bu Jessica. Walaupun Sean yang mulai duluan, tapi anak saya juga bersalah. Sekali lagi saya mohon maaf ya, Bu.”
Permasalahan ini memang tidak ingin diperpanjang kedua belah pihak. Jessica dan ibunya Adit sepakat untuk berdamai. Meski begitu, Adit dan Sean tak luput dari hukuman skorsing. Jessica tak mempermasalahkannya. Toh, itu hukuman yang harus Sean terima karena berbuat salah.
Saat keluar dari ruang guru, ibunya Adit menahan lengannya. Jessica sempat tersentak kaget. “Eh, kenapa, Bu?”
“Anu, maaf, Bu Jessica. Bisa kita bicara berdua dulu?” Dia melirik Sean.
Jessica mengangguk. Dia turut menatap anak sulungnya yang masih mengekorinya. “Bang, kamu ke mobil dulu sana.”
Sean tak habis pikir. “Ma, ngapain, sih?”
“Abang…”
Mau tak mau Sean pasrah. Dia pergi ke mobilnya usai berdecak keras. Jessica jadi geleng-geleng sendiri melihat kelakuan putranya. Setelah itu, Jessica dan orang tua Adit berbincang di kursi tunggu lobby sekolah.
“Saya dengar dari anak saya katanya Adit yang ngata-ngatain keluarganya Sean duluan. Saya beneran minta maaf ya, Bu. Saya menyesal banget. Anak saya memang nakal. Dari dulu sudah begitu. Tapi, untuk yang kali ini tolong maafin ya, Bu.”
Sebenarnya Jessica tak tahu mengapa orang tua Adit terus saja meminta maaf padanya. Padahal tadi di ruang guru pun mereka sudah sepakat berdamai.
“Ibu kenapa cemas? Saya udah maafin anak ibu. Anak saya juga salah. Ibu nggak perlu minta maaf terus,” ujar Jessica lembut.
Ibunya Adit menggeleng. “Saya takut banget anak saya masuk penjara. Setelah tau kalau Sean itu cucunya Pak Liem Hianggio, saya khawatir anak saya bakal dipolisikan. Adit juga takut, Bu. Dia terus-terusan bilang kalau dia nyesel udah ngata-ngatain keluarga Ibu. Jadi, maaf ya, Bu.”
Kini giliran Jessica yang menggeleng. “Ah, nggak, Bu. Saya nggak akan bertindak berlebihan begitu. Kita tahu kalau anak kita sama-sama salah. Cukup nasehati aja di rumah. Yang penting juga kan, Adit udah menyesali tindakannya, Bu.”
Ibunya Adit mengangguk. Dia mulai bisa bernapas lega. Sungguh hatinya tak tenang sejak kemarin karena kasus putranya bersinggungan langsung dengan cucu pejabat. Stigma tentang banyaknya perlakuan sewenang-wenang para pejabat membuatnya dirundung ketakutan. Namun, kini dia tak lagi takut. Ibunya Adit berharap Jessica bersungguh-sungguh dengan apa yang diucapkannya.
•••
Langga berusaha menetralkan wajahnya agar tidak terlalu terpesona pada keanggunan sang istri. Berulang kali, Jessica menangkap tatapan Langga yang mengarah padanya secara terang-terangan. Jessica jadi merasa aneh, padahal dia sudah mengandalkan Grace guna mendandaninya khusus untuk acara ini.
“Ada yang salah? Make up aku ketebelan?” Akhirnya Jessica mengutarakan kegundahan hatinya.
Mereka baru saja sampai di sebuah aula milik kampus swasta tempat acara pernikahan Roy, teman dekat Langga, diselenggarakan. Ini pernikahannya yang ketiga, dan Langga menjadi tamu VIP pada acara malam ini. Mulanya Roy menawari untuk menjadi groomsmen, namun Langga merasa sudah terlalu tua untuk ikut hal-hal semacam itu.
“More than gorgeous kayaknya deh.” Lelaki itu menarik pinggang sang istri mendekat. “Perfect, seperti biasa.”
Jessica memutar matanya malas, tapi tak menampik sedikit senyumnya yang keluar malu-malu. Mereka memasuki aula yang sudah disulap dengan megah. Mata Jessica langsung tertuju pada Shopie, teman dekatnya yang juga diundang Roy. Sejatinya, Shopie ini merupakan sepupu dari Roy.
“Shopie!” Wanita itu melambaikan tangan seolah menunjukan handbag Amato Daniele miliknya. Tetapi saat sudah berada di dekat sang sahabat, wajah Jessica berubah terkejut. “What the—”
“Eitss, nggak boleh ngumpat. Ada anakku.” Shopie memeluk sekejap Jessica. “Kenapa muka kamu kaget kayak gitu?”
“Hidung kamu berubah!” Mata Jessica terus melotot lucu. Alhasil, Langga terkekeh kecil. “Kamu oplas, kan?”
“Made in Korea,” balasnya dengan bangga. “Bagus nggak?”
Raut wajah Jessica berubah kesal. “Kok kamu nggak bilang ke aku, sih?”
Melihat sang sahabat yang kesal, Shopie melirik Langga dengan tajam. “Aku udah kasih tau kamu bulan lalu, lho! Kamu aja yang lupa, malah nangis-nangis ditelepon. Bilang mau cerai dari Langga lah, nggak bisa hidup tanpa Langga lah, berasa paling menderita kan kamu?”
Mendengar namanya dibawa-bawa, Langga menaikan alis. Dia tidak tahu Jessica sempat menangis begitu hebat hingga mencurahkan perasaannya pada Shopie. Sekarang, Langga malah terhibur dengan wajah Jessica yang memerah malu.
“Nggak ada, ya!”
“Halah, aku juga udah tau ujungnya. Pasti kalian balik lagi, kan?” Shopie menepuk pundak Langga. “Temenku ini nggak bisa hidup tanpa kamu, Langga. Gengsi aja minta cerai, padahal mah—”
“Shopie!” Jessica menarik jas sang suami mendekat padanya. Seolah tidak rela Shopie menyentuh orang terkasihnya. “Jangan dengerin orang gila ini, Langga.”
“Well, aku sih seneng kalian rujuk. Lagian, mana ada laki-laki yang mau sama janda yang udah mau menopause kayak kamu, Jess? Cuma Langga doang.”
Shopie bisa dibilang sebagai orang yang menyaksikan perkembangan rumah tangga Langga dan Jessica dari awal hingga saat ini. Wanita itu sering menjadi tempat curhat Jessica tentang naik turunnya kehidupan rumah tangganya.
“Thank you udah dengerin Jessica waktu kami lagi down. I owe you, Shopie.”
Shopie mengangkat gelas berisi minuman beralkohol miliknya. “Ah, kayak sama siapa aja. By the way, gih temuin Roy. Lagi kesenengan tuh habis nikahin ABG.”
Setelah mengatakan itu, Shopie berlalu seraya menggandeng anaknya yang baru berusia 10 tahun. Kini, tersisa Langga dan Jessica yang tenggelam dalam hening. Jessica masih menghindari tatapan Langga yang seakan-akan meledeknya terus menerus.
“Yuk, temuin Roy,” usul Jessica.
Sebelum mulai berjalan, lengan wanita itu ditahan sang suami. Langga mendekatkan wajahnya pada jari-jari Jessica. “Kamu pake cincin nikah kita lagi?”
“Hah?” Jessica berusaha melepaskan cekalan Langga. “Itu… tadi cocok aja sama bajuku. Emang kenapa? Kamu nggak pake?”
Kepala Langga terangkat kemudian menjunjung tangannya setinggi dagu. “Aku nggak pernah lepas.”
1
•••
Jessica tidak tahu ada apa dengan Langga belakangan ini. Mulai dari memintanya rujuk, hingga sering melakukan hal yang tidak terduga. Baru-baru ini Langga juga lebih sering menggodanya, bahkan memberikan sentuhan-sentuhan kecil yang membuat Jessica sedikit goyah.
Bukan, Jessica bukan tidak ingin rujuk. Dia hanya takut Langga main-main, tidak serius dengan ajakan rujuknya. Lagipula sidang mereka beberapa kali ditunda karena masalah Sean. Anehnya Langga seolah diam, tidak melakukan apapun terkait masalah itu.
“Udah tanya kabar Adek ke Sean?” Jessica serentak menoleh pada Langga yang fokus menyetir. “Demamnya udah bener-bener turun?” Ngocoks.com
“Iya, tadi aku udah chat Sean sama Mbak di rumah. Katanya Jenny tidur habis nonton TV di kamarnya.”
Langga menganggukkan kepalanya. “Kemarin dia sedikit curhat sama aku. Lebih ke perasaan dia pas kita mau pisah, sih. Ya, mungkin efek demam itu juga makanya dia jadi manja dan blak-blakan ke aku.”
Mata Jessica mengedip cepat. “Dia ngomong apa?” tanyanya pelan.
“Adek kangen kita yang dulu.” Langga memutar setirnya ke kanan. “She said, walaupun dia baik-baik aja waktu kita bilang mau pisah, tapi sebenernya Adek juga sedih banget. Cuma nggak enak bilangnya ke kita.”
Pengakuan Langga sedikit menyentak perasaan Jessica. Dia merasa egois. Putra putrinya menjadi korban karena keputusannya dan Langga yang terburu-buru. Jessica akui, sesungguhnya masalahnya dan Langga bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan dengan kepala dingin. Namun, karena intensitas pertengkaran mereka yang terlalu sering, membuat Jessica merasa tidak kuat.
Menyaksikan istrinya yang terdiam, Langga sedikit tidak enak hati. “Kamu ngerasa bersalah, Jess? Aku juga sama. Waktu itu aku langsung ngerasa jadi orang tua yang paling jahat. Kalo dipikir lagi, kita terlalu sibuk kerja. Sampai rumah, terus ribut. Kita sama-sama keras kepala, sampe nggak sadar dampaknya buat anak-anak.”
Kini Jessica memutar-mutar cincin pernikahannya dengan sang suami, perhiasan favoritnya. Dari semalam, Jessica tidak bisa tidur merenungkan kembali keputusannya. “Apa kita nggak seharusnya cerai?”
“Gini aja Jess, aku nggak mau memaksakan kamu. Gimana kalo kita coba sekali lagi?” Tepat ketika lampu lalu lintas berubah merah, Langga menepikan mobilnya. Tubuhnya dia serongkan ke arah Jessica. “Kasih kesempatan buat hubungan kita. Atau mungkin, kita bisa konseling pernikahan sama-sama. Apapun aku lakuin asal selalu bareng kamu.”
Jessica tidak tahu bahwa Langga akan sesabar ini menghadapinya. Dahulu, mereka sering berdebat karena permasalahan sepele yang tidak berujung. Kala Jessica marah, Langga akan menimpalinya dengan amarah juga. Kini, sosok dihadapan Jessica seperti bukan suaminya yang dulu.
“Nggak usah dipikirin sekarang juga nggak papa, Jess.” Langga terkekeh lalu mencubit pipi istrinya. “Omong-omong kamu beneran mau menopause?”
Tangan Langga langsung Jessica tepis ketika mendengar pertanyaan konyolnya. “Nggak ya, aku masih muda!”
Tawa Langga mengular. “Udah tua pun aku tetep suka kok.”
Jessica buru-buru memalingkan wajah kemudian merogoh ponselnya dalam handbag. Wanita itu mengutak-atik ponselnya hingga memunculkan penasaran dari Langga. “Ada masalah? Kamu lagi ngapain, sih?”
“Bilang Grace buat cabut gugatan di pengadilan.” Jessica menangkup wajah tampan sang suami. “Walaupun aku udah menopause, kamu nggak akan bisa lepas dari aku ya, Langga!”
Jessica ini benar-benar! Selalu saja membuat Langga gemas sendiri. Kali ini dia harus menahan diri agar tidak membanting setir menuju hotel terdekat dan mengoyak seluruh riasan sang istri tanpa ampun.
Bersambung…