“Aduh, hati-hati, Mbak.”
Jenny tetap tidak menggubris. Gadis 15 tahun itu masih berusaha menyeimbangkan tubuhnya di atas sepatu roda yang baru kakeknya berikan. Sabtu pagi, sesungguhnya Jenny ada kelas piano. Tetapi bungsu dari dua bersaudara itu menyempatkan untuk bangun pagi buta hanya agar dapat mencoba sepatu rodanya.
“Jangan pegangin aku, Mbak Mimi mundur sampe sana!” titah Jenny pada pengasuhnya. “Ini udah bisa!”
“Tapi itu—”
“Sst!”
Kembali Jenny berjalan sedikit demi sedikit menyusuri halaman depan kediamannya. Bukan tanpa alasan, Jenny ingin memamerkan skill terbarunya pada teman-teman sekolahnya. Belum lagi sepatu roda berwarna pink keluaran terbaru miliknya. Gadis itu tidak sabar untuk segera menunjukannya.
“Loh, Adek! Kamu lagi ngapain?” Jessica tiba-tiba hadir dengan blazer batik serta rambut yang digerai cantik. Tidak lupa, Grace setia mengikuti dari belakangnya.
“Lagi belajar pake sepatu roda, Ma. Tapi Mbak Mimi ganggu terus tuh,” adunya macam anak kecil.
Jessica melirik pengasuh Jenny yang tampak gelagapan. Napasnya berhembus berat. “Dek, kamu kan belum jago pake sepatu roda. Kalo jatuh gimana?”
“Udah jago kok, Mama nggak liat aku bisa jalan nih?”
Meskipun menyaksikan sendiri kepiawaian sang putri, Jessica tetap menggeleng. “Kamu baru sembuh loh. Kalo tetep mau belajar pake sepatu roda, harus pake helm pengaman sama sarung tangan. Atau perlu Mama cariin pelatih khusus?”
Jenny mencebik. “Nggak usah lah, Ma! Aku diajarin Papa aja.”
Jessica membenahi anting berlian di telinganya. “Ya udah terserah kamu. Mama mau pergi ya, ada seminar kewirausahaan dan Mama jadi pembicara. Catch you later, Darl.”
Melihat kepergian sang ibu, Jenny mengurungkan niatnya untuk melanjutkan belajar. Sang ayah pun juga tengah pergi entah kemana bersama kakeknya. Akhirnya, Jenny memilih untuk belajar sendiri sambil menunggu Langga pulang.
“Mbak Mimi,” panggilnya membuat sang pengasuh mendekat. “Helm pengamanku yang dipake buat sepedaan dimana?”
“Di gudang, Mbak. Kan udah lama Mbak Jenny nggak pake.”
“Ya udah, tolong ambilin dong.” Gadis itu kembali berpikir. “Sama sarung tangan, carinya dimana?
“Sarung tangan mah Abang Sean juga ada, Mbak. Kan waktu itu dibelikan Bi Lula. Minta aja sama Bang Sean, Mbak.”
Setelah paham, Jenny bergegas melepas sepatu rodanya lalu berlari menuju kamar sang kakak. Begitu sampai di lantai dua, Jenny menyadari keberadaan Bobo, kucing Jessica, di depan kamar Sean. Jenny langsung panik dan segera mengusir Bobo dari dekat kamar pewaris Hianggio itu.
“Hush! Hush!” Selepas pergi, lantas Jenny mengetuk pintu kamar Sean dengan pelan. “Sean?”
Sean keluar juga. “Kenapa? Ganggu banget.”
Tangan Jenny menengadah. “Pinjem sarung tangan lo.”
“Sarung tangan? Buat apa?” Alis Sean terangkat.
“Kata Mama harus pake sarung tangan, baru boleh main sepatu roda. Udah, cepet mana sarung tangan lo?”
Bukannya mengambil apa yang Jenny minta, Sean justru menatap adiknya itu tajam. Pupil mata Sean membesar, sangat mengintimidasi Jenny. Hingga membuat bulu kuduk gadis itu berdiri. Ngocoks.com
“Nggak ada!”
Pintu kamar Sean hampir saja tertutup jika saja Jenny tidak sigap menahannya. “Loh, Mbak Mimi bilang lo baru dibeliin sama Bi Lula. Masa nggak ada, nggak usah bohongin gue, ya!”
“Udah kotor, kena sesuatu. Makanya gue buang,” jawab Sean cepat.
“Kok bisa?”
“Bawel banget sih, nggak usah kepo. Lagian lo ngapain masih main sepatu roda kayak begitu? Dasar bocil!”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Sean langsung masuk ke dalam kamarnya. Bahkan lelaki itu mengunci pintunya dari dalam. Hal itu membuat Jenny jengkel dan sedikit bingung. Kenapa kakaknya begitu misterius, sih? Jenny semakin tidak menyukai kepribadian Sean.
•••
Malam ini Jessica dan Langga sepakat ingin mengumumkan keputusan mereka untuk rujuk. Langga sudah meminta sang ayah untuk tidak masuk ruang kerjanya dulu setelah makan malam. Begitu pula anak-anaknya.
“Pa, aku dan Jessica sepakat buat rujuk. Kami mau coba memperbaiki pernikahan kami.” Airlangga menegakkan duduknya ketika bersitatap dengan sang ayah.
Liem hanya mengamati putranya dengan pandangan datar. Seolah tidak mendengar keputusan besar yang diambil pewaris kekayaannya itu. “Hmmm. Dari kemarin Papa juga udah firasat, pasti balikan. Kalian ini udah tua, masih aja labil. Kan waktu itu Papa udah bilang, nggak usah cerai-cerai gitu. Balik lagi akhirnya, ‘kan? Buang-buang waktu.”
Liem pergi begitu saja. Meninggalkan Langga yang melongo karena sang ayah tak mau mendengar penjelasannya. Padahal sebenarnya keputusan cerai kemarin diambil dengan pikiran matang. Hanya saja, ternyata cinta antara Langga dan Jessica mampu membuat mereka kembali memikirkan keputusan itu. Langga sungguh menolak dikatai labil oleh ayahnya.
“Kalian gimana…? Seneng?” Jessica mengabaikan kepergian mertuanya, lantas fokus pada kedua buah hatinya.
Sean hanya diam. Sementara Jenny tersenyum. Gadis itu kemudian memeluk sang ayah. “Aku seneng, soalnya bisa tinggal sama Papa lagi.”
“Maafin Papa sama Mama ya, Sayang. Keputusan kami yang dulu pasti bikin kamu sedih.” Langga mengusap rambut wangi anaknya.
“Nggak apa, yang penting kan sekarang kalian udah balik lagi.” Gadis centil itu melirik sang kakak. “Sean juga pasti seneng kok.”
Sean melirik cepat. “Sok tau lo!”
“Abang nggak seneng?” tanya Jessica takut-takut.
Sean hanya mengangkat bahu. Entah apa yang dipikirkan anak lelaki itu, yang jelas Jessica amat berharap kalau kedua anaknya bisa menerima keputusan ini dengan senang hati. Dia pun tersenyum. “Tanggal 10 libur, ‘kan? Mama mau booking studio foto. Kita photoshoot, yuk!”
“Ckk, Ma,” keluh Sean. Foto studio itu bukan gaya Sean sekali. Dia pasti akan disuruh ini dan itu oleh sang ibu.
“Yeayyyy! I love your idea, Ma!” Jenny memekik senang. “Udah lama banget kita nggak foto studio!”
“Ya, ‘kan? Terakhir kali waktu Kakek kamu dilantik.” Senyum cantik Jessica masih belum pudar. “Nanti Mama pilih temanya. Kalian tinggal siap-siap aja.”
Perbincangan mengenai foto studio usai. Kini saatnya beristirahat. Jessica bersenandung kecil sambil menaiki tangga hendak pergi ke kamarnya. Dia tak bisa berbohong, suasana hatinya sedang sangat senang. Keluarganya kembali utuh, permasalahan Sean juga terselesaikan. Semua benar-benar kembali ke tempat semula.
Sebelum masuk ke kamar, Jessica merapikan rambut terlebih dahulu. Kemudian dia mengetuk pintu. Menunggu seseorang yang istimewa membuka pintunya. Jessica memiringkan kepalanya sambil tersenyum ketika Langga membuka pintu.
Langga membalas senyum itu. Dia pun merentangkan tangannya. Tak banyak berpikir, Jessica segera melompat ke dekapan suami tercinta. Ah, sudah berapa lama mereka tak saling memeluk seperti ini?
“Welcome home, Jess.”
Jessica sadar bahwa tempatnya memang di sini. Bersama Langga. Kamar ini bukan hanya sekadar kamar baginya, melainkan tempat untuk hatinya pulang. Sekarang dia merasa semuanya sudah benar. Inilah yang dibutuhkan Jessica. Hanya dengan kehangatan pelukan Langga, hatinya menjadi tenang.
“I love you.”
•••
Kepala Sean terantuk jendela mobil lagi. Ya, lagi. Perjalanan ke studio foto ternyata cukup panjang. Mungkin itu sebabnya tadi Jessica sudah geger meminta semua orang untuk bangun.
Kini dengan perasaan jengkel, Sean kembali membenarkan letak bantal lehernya. Dia sedikit melirik sang adik yang tengah bercermin ria. Wajah Jenny yang tidak berhenti tersenyum membuatnya memutar bola mata malas.
“Ngaca mulu,” gumamnya. Sean pikir Jenny tidak dengar.
“Biarin.”
Langga geleng-geleng kepala. Dia kemudian kembali menatap pemandangan depan. Semua masih gelap gulita. Jessica memang keterlaluan, bisa-bisanya dia memaksa semua orang bangun pukul 3 pagi dengan alasan proses make up yang lama. Padahal yang lama hanya untuk Jessica dan Jenny.
Setelah sampai di studio, mereka bergegas dirias. Semua peralatan fotografi sudah disiapkan. Dari mulai setting tempat, gaun, sampai penata rias, semua sudah sempurna. Tak heran jika biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit.
“Hmm, you look good. Jasnya cocok buat kamu,” komentar Langga pada Sean. Sudah satu jam mereka ada di studio dan yang sudah siap hanya Langga dan Sean saja. Untuk Jessica dan Jenny, hanya Tuhan yang tahu.
“Mama lama banget, sih.” Sean tak memedulikan pujian ayahnya. Di kepalanya saat ini hanya ada kasur. Sean ingin tidur.
“Sabar, Bang. Perempuan kan emang lama dandannya.”
Sean berdecak, tapi tidak protes. Dia terus menunggu hingga tiba gilirannya dipotret. Ternyata setiap orang juga mendapat jatah untuk foto sendirian. Langga dan Sean jadi orang pertama yang difoto karena sudah siap duluan.
Tak berapa lama, Jenny memasuki set pemotretan. Gadis cilik itu terlihat lebih dewasa daripada tampilan biasanya. Sean berdecih ringan ketika Jenny berputar-putar di hadapannya memamerkan gaun putih yang dikenakannya.
“Cantik, ‘kan gue?”
“Nggak.”
“Bohong! Papa aja bilang pangling. Tinggal ngaku apa susahnya, sih?”
Sean geleng-geleng. Dia memilih beranjak duduk bersama Langga daripada berdebat dengan adiknya. Langga tersenyum ketika sang sulung mendekat. “Adek cantik kan, Bang?”
Tentu saja Sean bungkam. Dia memilih membuka ponselnya. Hal itu membuat Langga meninju kecil lengan Sean. Padahal tidak ada salahnya jika sang sulung memuji si bungsu.
“Oke, semua siap, ya?” Jessica datang ditemani beberapa kru yang memegangi gaun putihnya yang panjang.
Tema photoshoot kali ini memang sengaja ingin layaknya wedding anniversary. Jessica ingin momen rujuk antara dirinya dan Langga dirayakan dengan manis. Jadilah, dia memilih tema yang ini. Dia ingin kembali mengenakan gaun pengantin agar terasa seperti mereka sedang menikah lagi.
“Mama cantik banget.” Jenny berlari kecil menghampiri sang ibu. Jessica jadi tersipu. Dia turut memuji anak bungsunya yang cantik bak putri kerajaan.
Sesi foto berlangsung lama. Pertama-tama Langga dan Jessica berfoto berdua. Mereka tampak mesra seperti pengantin baru. Pose awal, Jessica duduk di kursi sementara Langga berdiri di sebelahnya.
Dilanjutkan dengan mereka berdiri berdampingan seraya bergandeng tangan. Tersenyum cerah ke kamera. Jessica memang meminta pada sang fotografer untuk tidak mengarahkan mereka bergaya yang aneh-aneh. Jessica sadar usianya dan Langga sudah tidak muda lagi.
Kini tinggal foto bersama. Sang fotografer mengarahkan Jenny dan Sean untuk berdiri diantara ayah dan ibunya yang duduk di sofa mewah. Mereka diminta untuk berpose elegan tanpa senyum.
“Nah, sekarang pake senyum, ya. Ini pose terakhir.” Tangan fotografer itu melambai-lambai mengarahkan. “Masnya bisa lebih deket lagi? Nah, iya, iya gitu. Senyumnya jangan lupa.”
“Satu… dua…. tiga…”
Perfect.
Bersambung…