Jessica celingak-celinguk mencari suaminya. Di kamar tidak ada, di ruang kerja juga tidak ada. Padahal biasanya jika sudah memasuki jam 9 malam seperti ini, Langga hanya akan berada dikedua tempat itu saja. Dalam perjalanan menuruni tangga, Jessica berpapasan dengan Jenny. Muka putrinya kesal. Pasti dia habis berurusan dengan Sean.
“Kali ini kenapa?” Jessica tak perlu repot-repot bertanya siapa orang yang bertanggung jawab terhadap cemberutnya Jenny.
“Sean duluan!” Jenny berjalan ke kamarnya dengan langkah keras. Meninggalkan Jessica yang terheran-heran.
Dia pun akhirnya turun ke ruang keluarga. Ternyata di sanalah suaminya berada. Bersama dengan Sean yang juga tengah menikmati camilan. Jessica mendekat dan duduk di samping Langga.
“Kamu apain Adekmu, Bang?”
Sean bergeming. Jessica kemudian melirik suaminya. Alisnya terangkat untuk menanyakan apa yang terjadi.
“Sean ganti channel TV. Padahal tadi Jenny lagi nonton drama China.”
Jessica menyandarkan diri ke sandaran sofa disertai helaan napas kesal. “Padahal Jenny bisa nonton di kamarnya. Kita kan udah kasih dia TV.”
“Tau tuh. Dasar anak manja!” Sean berapi-api kalau orang tuanya mengungkit sikap kekanak-kanakan Jenny.
“Abang juga jangan gitu, dong.” Meskipun tidak membenarkan perilaku Jenny, Jessica tidak suka mendengar Sean mengejek putrinya.
Sean hanya berdecak. Dia terus mengganti-ganti channel TV sampai berhenti pada satu acara berita yang menarik baginya. Itu adalah berita mengenai terbengkalainya kasus pembunuhan Sofia. Semua sontak terdiam.
Jessica dan Langga was-was. Kenapa juga Sean malah menikmati acara berita itu? Kenapa dia tak mengganti channelnya? Dibenak Jessica, sepertinya Sean sudah berdamai dengan kasusnya. Dia mungkin juga penasaran siapa pembunuh asli Sofia.
“Kasusnya viral, jadi pasti akan dicari terus pembunuhnya sampai ketemu,” celetuk Langga.
Jessica mengangguk. “Kayaknya kasus ini sulit. Mereka harusnya bisa nangkap pembunuhnya sekarang. Ini udah berbulan-bulan semenjak kasus itu terjadi.”
“Kamu bener,” gumam Langga. “Pembunuhnya pasti cerdik. Kalau nggak ada bukti-bukti untuk menangkap pelaku, berarti kemungkinan pembunuhannya udah direncanakan.”
Alis Jessica mengerut cemas. Dia melirik Sean yang masih diam sejak tadi. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Jessica pun berinisiatif bertanya. “Bang, kamu yakin nggak tau siapa pembunuhnya? Kalau tau, coba kasih tau Mama.”
“Aku nggak tau,” jawab Sean spontan dengan nada dan ekspresi yang datar. “Mungkin seseorang yang deket sama dia.”
“Deket sama Sofia?” Jessica semakin bingung. “Tapi, siapa? Apa ada kemungkinan temen kamu pelakunya?”
Sean hanya mengangkat bahu dan berlalu. Meninggalkan kedua orang tuanya yang masih kebingungan. Apa sebenarnya maksud Sean?
“Aku ngerasa Sean tau sesuatu.” Langga bangkit dari sandaran sofa. Dia meletakkan satu tangannya ke bawah dagu. “Gimana kalau pelakunya bener temennya Sean?”
“Tapi kenapa dia nggak mau ngomong? Harusnya dia bantuin polisi untuk nemuin pelaku, ‘kan?”
“Kamu lupa? Sean aja ngaku sebagai pembunuhnya, padahal sebenarnya bukan.” Langga kini menyatukan tangan. “Sean kayaknya nggak mau bantuin polisi.”
“Terus apa pembunuhnya tau kalau Abang mungkin tau sesuatu? Gimana kalau dia mau nyakitin Abang? Astaga. Dia kan masih buron, Langga!” Tiba-tiba saja Jessica takut. Dia menyesal, kenapa baru kepikiran mengenai ini sekarang.
“Huss, apa, sih. Jangan mikir yang negatif.” Langga bergeser untuk merangkul sang istri. “Yakin aja, Sean nggak bakal kenapa-kenapa. Kan ada kita yang jagain dia.”
“Mulai sekarang, kalau Abang kemana-mana, pokoknya harus ada yang jagain. Kalau perlu kita sewa bodyguard buat dia.” Jessica menyentuh paha Langga. “Abang nggak boleh sendirian.”
“Iya, Sayang. Tenang aja.”
•••
Sean merasa dijebak. Hari ini Liem memerintahkannya untuk berpakaian serapi mungkin. Pria tua itu bilang, mereka hanya akan menghadiri acara salah seorang kerabat. Nyatanya, Sean harus ikut menemani Liem dan Langga mengunjungi festival raya guna memperingati hari jadi daerah yang dipimpin oleh kakeknya tersebut.
“Lepas jam tangan kamu, Se,” ucap Liem kala mobil mereka baru saja berhenti di tempat acara berlangsung. “Jangan pake apapun yang mencolok. Kita harus tampil sederhana.”
Sean masih kesal, jadi dia enggan menuruti kakeknya. “Nggak mau. Jam tangan ini Mama yang kasih.”
“Lepas dulu apa nggak bisa? Banyak wartawan yang nyorot kamu nanti loh. Opa nggak mau kamu bikin skandal murahan lagi, ya.”
Guna menghindari pertengkaran yang lebih besar, Langga berinisiatif melepaskan jam tangan Sean yang seharga 1 buah mobil. Dia sadar putranya itu pasti merasa dibohongi. Sebenarnya membawa Sean ke acara ini bertujuan agar Liem bisa mendapatkan simpati publik sekaligus membersihkan nama keluarga mereka.
Walaupun waktu itu telah diadakan konferensi pers, beberapa orang masih meragukan kredibilitas keluarga Hianggio. Dari penuturan Nathan, media sosial yang masih menghujat keluarga mereka kebanyakan berasal dari aplikasi X.
“Pa!” Sean melayangkan protesnya. Namun tetap tidak Langga hiraukan.
“Udah mau turun, Bang. Nggak baik berantem sama Opa sekarang. Kendalikan diri kamu.”
Begitu keluar dari mobil, kamera wartawan langsung menyorot pada Liem serta Sean. Beberapa dari mereka berusaha menanyai Sean perihal kasus pembunuhan yang menimpanya.
Bodyguard Liem sigap mengamankan mereka memasuki gedung acara festival berlangsung. Mereka pun disambut pejabat tinggi yang Sean tak tahu namanya. Namun, para orang-orang tua itu justru bersikap sok ramah padanya. Sungguh, kalau bukan karena ayahnya, Sean pasti sudah minggat dari sana.
Sean duduk dibarisan paling depan, tepatnya berada di tengah-tengah Liem dan Langga. Berbagai pertunjukan ditampilkan guna menghibur sang gubernur. Kebanyakan penampil berasal dari kalangan pelajar.
Hampir 3 jam duduk, Sean akhirnya dapat bernapas lega setelah acara berakhir. Mereka kembali dikawal menuju area depan gedung. Namun, penderitaan Sean belum berakhir sampai disitu. Di sana, para wartawan sudah bersiap dengan kamera mereka.
“Pak Liem, bagaimana tanggapannya terkait kasus yang menimpa cucu Bapak?”
“Bagaimana perasaan Bapak terkait tuduhan pembunuhan terhadap cucu Bapak?”
“Dampak apa yang Bapak rasakan mengenai kasus kemarin, Pak?”
Suara mereka bersahutan. Liem justru tetap tenang serta menampilkan senyum tipisnya. “Nggak ada tanggapan apapun. Kasus kemarin cukup buat saya dan keluarga terguncang. Apalagi cucu saya ini nggak pernah neko-neko, dia juga berprestasi di sekolah. Saya aja nggak habis pikir ada orang yang mau menjerumuskan Sean ke hal yang nggak benar.”
“Menurut kabar, cucu Bapak sama sekali nggak terlibat pembunuhan, Pak?”
Kakek tua itu mengangguk, lantas merangkul Sean kuat-kuat. “Iya, jelas. Sean itu bersih, kalo ada yang masih menjelekkan dia, berarti mungkin orang itu nggak suka sama saya. Saya sih nggak masalah, walaupun nama baik saya sebenarnya tercemar gara-gara ini.”
Wartawan lain kembali bertanya. “Apa Bapak mau menuntut balik pihak kepolisian? Kabarnya mereka salah menangkap pelaku kan, Pak?”
Tentu saja pertanyaan itu membuat Sean mengernyit bingung. Jadi selama ini, kabar yang berhembus mengira Sean adalah korban salah tangkap? Padahal kan Sean sendiri yang mengakui dirinya pembunuh.
“Ah, nggak. Biarkan pihak polisi yang mengusut kasus ini. Hati saya bener-bener kecewa, tapi saya tetap memilih diam. Terbukti kan sekarang, cucu saya nggak pernah membunuh siapapun.”
Para wartawan itu mengangguk-angguk. “Jadi apa langkah Bapak selanjutnya?”
“Hmm, nggak ada rencana. Saya hanya ingin fokus bekerja untuk masyarakat. Dibantu Sean, cucu saya. Dia juga senang membantu masyarakat, mungkin tertarik pada politik nantinya.” Liem tertawa kecil.
Selanjutnya, Liem menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar politik yang sedang hangat. Tidak berlangsung lama, mereka memilih menyudahi sesi wawancara tersebut. Ngocoks.com
Sebelum pulang, Sean sempat mendengar kakeknya berbisik pada sang ajudan. “Kasih wartawan itu bingkisan. Bilang, jangan buat berita yang nggak-nggak tentang Sean lagi.”
•••
Di sisi lain, Jessica sibuk menemani Jenny les ballet. Biasanya Mbak Mimi yang menemani gadis itu. Hanya saja hari ini pihak penyelenggara les ballet itu ingin mendiskusikan sesuatu terkait penampilan perdana Jenny pada pentas seni yang akan terselenggara 2 pekan dari sekarang.
Jessica mengabadikan beberapa foto Jenny saat meliuk-liuk bak putri Swan Lake. Sangat cantik. Jessica kemudian mengirimkan foto tersebut pada Langga. Dia bergembira karena keluarga mereka telah utuh kembali. Jessica merasa, setelah ini mereka akan bahagia selamanya.
“Bu Jessica?” Salah seorang wanita seumuran Jessica mendekat. “Wah, lama nggak ketemu, ya, Bu?”
Jessica mengenali wanita berbaju abu-abu tersebut. Dia adalah ibu dari salah satu teman Jenny, Yammi. Dulu Jessica sering bertemu dengan wanita tersebut saat menjemput Jenny dari rumah Yammi semasa SD. Sekarang, Jessica dengar keluarga mereka telah pindah entah kemana.
“Bu Friska? Lama nggak ketemu. Apa kabar?”
“Baik, Bu. Semenjak pindah, Yammi nggak pernah main lagi sama Jenny, ya? Padahal dulu sering ketemu.” Wanita yang berprofesi sebagai psikolog itu terkekeh.
“Iya, saya juga beberapa hari ini nggak perhatiin Jenny. Main sama siapa? Udah ada teman baru atau belum? Jujur, saya nggak pernah tanyain itu,” timpal Jessica.
Lalu wajah Friska berubah sedikit sendu. Dia pasti mengetahui tentang berita Sean. “Turut prihatin, ya, Bu. Saya denger kakaknya Jenny dapet masalah.”
“No need. Sekarang semua udah baik-baik aja kok, Bu.” Wanita berkemeja putih serta rok hitam selutut itu menyunggingkan senyum. “Makasih, ya.”
“Kronologinya belum jelas, Bu? Maaf saya liat kasus ini belum selesai-selesai.” Friska meringis.
Kronologinya? Jessica belum berani menanyakan hal itu lebih jelas lagi. “Betul, Bu. Kasusnya belum selesai. Saya juga masih segan tanya ke Sean. Takutnya dia down lagi.”
“Ah, I feel you,” ujarnya sembari menghela napas. “Kasus kayak gini terlalu berat buat anak-anak kayak mereka. Walaupun kakaknya Jenny bukan minor lagi, saya yakin dia juga terguncang.”
Jessica senang ada yang memahami perasaannya. Friska mungkin salah satu orang yang tidak menghakiminya selain para teman dan kerabat Jessica yang tahu betul kepribadian putra tertuanya itu.
Jessica sering bersedih membaca komentar-komentar negatif mengenai Sean. Meskipun pada akhirnya Langga akan turun tangan dan menghapus komentar tersebut.
“Sekarang saya mau fokus ke anak-anak, Bu. Mau menghabiskan waktu sama anak-anak lebih banyak. Hitung-hitung biar kami lebih terbuka lagi.”
“Bagus itu, Bu. Sean pasti depresi banget. Mentalnya nggak baik-baik aja. Mungkin butuh beberapa waktu buat Sean sembuh kayak dulu lagi.” Friska membuka tasnya, seperti mencari sesuatu. “Kalo dia masih belum banyak ngomong, suka menyendiri, atau sering ngamuk nggak terkendali, Ibu mungkin bisa bawa Sean ke saya.”
“Ya?”
Bersambung…