Jessica tidak bisa untuk tidak memikirkan perkataan Friska hingga dia sampai ke rumah. Tingkah laku Sean yang berbanding terbalik selayaknya orang yang baru mengalami hal yang mengejutkan membuat Jessica mencium adanya kejanggalan.
Dia ingin tahu apa yang terjadi pada Sean. Apakah putranya memang baik-baik saja? Atau justru Sean menyembunyikan sesuatu darinya?
“Papa sama Sean belum pulang, Ma?” tanya Jenny seraya duduk di meja makan. Gadis itu berniat untuk istirahat sejenak sambil menyantap camilan. “Kok lama?”
Jessica tersadar dari lamunannya. “Nanti Mama tanyain ke Papa kamu. Istirahat dulu ke kamar sana.”
“Iya, habis aku makan cookies-nya Bi Lula.”
Lantas Jessica pelan-pelan menuju lantai dua. Niatnya ingin berbaring di kamarnya guna menghilangkan pikiran-pikiran buruk perihal Sean. Namun, ketika melihat pintu kamar Sean, Jessica mengurungkan niatnya. Wanita itu berjalan menuju kamar sang putra yang tidak terkunci.
Awalnya Jessica ragu. Tetapi dia berpikir, ini sebuah kesempatan. Sean tidak ada di rumah, artinya Jessica bisa leluasa masuk ke kamar Sean. Jessica harap, dia menemukan sesuatu yang akan membuang segala asumsi buruknya.
Dalam kamar Sean tidak ada yang mencurigakan. Anak itu tergolong rapi dan bersih. Kaset-kaset film kesukaannya juga tertata amat rapi. Jessica tidak menaruh curiga. Sampai akhirnya dia mencoba membuka laci meja Sean.
Mata Jessica membulat, tangannya gemetar mengambil beberapa botol obat berwarna putih. Sayangnya, Jessica tidak tahu apa kegunaan obat tersebut. Jadi dia berasumsi bahwa obat tersebut adalah obat untuk menghilangkan depresi Sean.
Mungkin Sean sebenarnya mengalami depresi. Mungkin lelaki itu enggan memberitahu keluarganya dan memilih menyimpan derita sendiri. Serta mungkin saja kondisi Sean sudah sangat buruk hingga dia mengkonsumsi obat-obatan. Mata Jessica berair, tenggorokannya sangat sakit. Dia ingin menangis sekarang juga.
Baru saja akan mengambil gambar obat tersebut, Sean tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar. Lelaki itu mengambil obatnya dari tangan sang ibu. Wajahnya datar, tapi Jessica tahu putranya sedang menahan amarah.
“Bang.” Jessica mencengkram pundak Sean amat erat. “Bang, itu obat apa? Kamu sakit? Kamu kenapa? Kok kamu nggak bilang Mama sama Papa?”
“Aku nggak suka ada orang yang masuk kamar aku tanpa izin.” Lelaki itu memasukan obat yang Jessica maksud ke dalam saku. “Termasuk Mama.”
“Tapi… tapi Mama cuma mau tau kamu kenapa. Kamu sakit kan, Bang? Cerita sama Mama,” sentak Jessica agak tinggi. “Kamu—”
Sean berdecak. “Ma! Mending Mama keluar sekarang. Aku lagi nggak mau diganggu.”
Tentu saja Jessica tidak melakukannya. Dia menggiring Sean untuk duduk di ranjang. Jessica akan bicara dengan Sean secara perlahan. “Hey, Mama nggak akan menghakimi kamu. Cerita pelan-pelan sama Mama, ya. Kamu… Kamu depresi? Apa yang kamu rasain?”
“Kenapa sih Mama selalu kayak gini? Aku nggak kenapa-napa. Aku sehat. Aku nggak ngelakuin kesalahan. Jangan berlebihan lah, Ma. Aku nggak suka.”
Jessica berusaha memahami perasaan Sean, sungguh. Tetapi sebagai seorang ibu, Jessica hanya ingin dilibatkan pada setiap masalah yang menimpa Sean. Dia ingin bersama putranya kala Sean mengalami masalah. She wants to provide a solution to her son’s problem.
“Mama kan mau—”
Sean menyela lagi. “Mama tenang aja, nggak ada masalah kok. Semuanya baik-baik aja.”
Kalau sudah begini, Jessica tidak bisa memaksa Sean. Dia akan bicara dengan Langga perihal masalah ini. Wanita itu tidak akan memaksa anaknya untuk sekarang. Namun demikian, Jessica akan lebih mengawasi Sean setelah ini.
“Okay. Cerita sama Mama kalo kamu udah siap, ya, Bang.”
•••
Jessica tengah asyik berselancar di internet ketika tiba-tiba saja Langga memeluknya dari belakang sofa. Sontak saja Jessica terperanjat. Dia pun mengusap lengan sang suami.
“Ngagetin.”
Dulu ketika hubungan mereka masih buruk, jika Jessica tengah fokus pada sesuatu dan tiba-tiba saja Langga mengganggunya, Jessica akan marah. Namun, kini wanita itu lebih mengerti. Dia berusaha memperbaiki apa yang salah dari keadaan pernikahannya terdahulu. Jessica dan Langga sebenarnya hanya perlu menurunkan ego.
Langga terkekeh kecil. Dia kemudian menegakkan tubuhnya dan bergabung dengan Jessica di sofa ruang keluarga. “Lagi ngapain, sih?” Ngocoks.com
“I’m just curious about something.” Jessica membenarkan rambutnya ke belakang telinga. Dia mengulum bibir karena gugup. Bukan apa-apa, hanya saja Jessica tidak ingin Langga mengetahui kalau saat ini Jessica sedang searching obat-obatan depresi.
“Sesuatu apa?” Langga mulai curiga dengan gerak gerik istrinya. Dia tahu kalau saat ini Jessica tengah gelisah.
“Nothing. Ini nggak penting, kok.”
Langga tersenyum tipis. “Jess, did you know? Dulu pernikahan kita hampir gagal karena komunikasi kita buruk. Aku terus-terusan negative thinking sama kamu dan kamu juga nggak mau terbuka. Sekarang aku nggak mau itu keulang lagi. So please, tell me what’s wrong?”
Langga sepenuhnya benar. Jessica seharusnya tidak boleh menyembunyikan ini. Sean adalah anak mereka berdua. Sebaiknya Langga juga tahu mengenai masalah Sean. Tapi, apa tidak apa-apa? Perlahan Jessica mulai berpikir jernih. Dia menarik napas sesaat sebelum mencoba menceritakan segalanya pada Langga.
“Tadi aku ketemu temen. Dia psikolog. Dia berasumsi kalau Sean pasti lagi depresi sekarang setelah masalahnya selesai. Aku baru sadar, Sean nggak nunjukin tanda-tanda itu Langga. Dia normal senormal-normalnya anak laki-laki.
Padahal kejadian itu bisa mengguncang mental siapapun, especially teenagers like him. Terus aku coba geledah kamarnya tadi. Dan aku nemu obat-obatan. Pas Sean masuk kamar, aku tanyain. Tapi dia bilang dia baik-baik aja. Do you think he’s being honest? I mean, buat apa semua obat-obatan itu kalau dia baik-baik aja?”
Langga mengangguk-angguk. Alisnya menukik tajam. Ucapan Jessica ada benarnya juga. Dia menyesal karena baru menyadari ini sekarang. Sean tampak normal dari luar, itu sebabnya Langga berpikir kalau anak laki-lakinya itu baik-baik saja.
“Aku yakin he’s not okay right now. There’s something wrong with him.”
“Aku juga mikir kayak gitu.” Jessica menggigiti jemarinya. Perasaannya makin tak karuan. “Kita harus gimana sekarang? Dia tetep nggak mau jujur.”
“Apa kita perlu bantuan profesional? Maksud aku, semacam psikiater di rumah sakit besar gitu.”
Jessica mendesah. “Kamu pikir Sean mau setuju? Gimana kalau dia nolak kita bawa ke psikiater?”
“Ya dibujuk dong, Jess. We are his parents. Tell him kalau kita mau yang terbaik buat dia. Kita mau dia sembuh.”
“Gitu?” Jessica masih saja ragu. Sean anak yang keras kepala. Jessica tahu persis itu. Makanya dia berpikir Sean akan sulit untuk dibujuk.
“Kita coba aja dulu.”
Akhirnya Jessica pasrah. Langga memang benar. Saat ini dia dan Langga tidak mampu menolong Sean. Maka dari itu, membawanya ke psikiater adalah langkah yang tepat. Jessica hanya berharap anak laki-lakinya itu tidak tersinggung dan mau menjalani pengobatan sampai Sean benar-benar pulih.
•••
Jessica mendorong Langga yang dari tadi terus saja mengecup bibirnya. Dia mengelak. “Cukup. Aku mau kasih makan Bobo. Nanti kita sambung lagi.”
Langga menyeringai. “Hmm? Nanti?”
Jessica mencebik. Entah sejak kapan Langga jadi suka menggodanya seperti ini. “Minggir. Kamu nggak mau bangun apa?”
“Ini weekend, Jess. Aku mau full di rumah aja.” Langga merentangkan tangannya. Tulang-tulangnya seketika berbunyi. “Hahh, udah lama banget aku nggak tidur nyenyak.”
“Terserah lah. Kalau laper, cepet turun, ya. Habis kasih makan Bobo, aku mau sarapan.” Jessica menuruni ranjangnya. “Nggak balik lagi ke sini.”
“Okay.”
Usai itu, Jessica meminta asisten rumah tangganya menyiapkan makanan untuk Bobo. Bisa dibilang, makanan kucing itu setara dengan harga makanan yang disantapnya. Jessica memang tidak setengah-setengah dalam merawat Bobo. Kucing itu sudah dia anggap sebagai adik Jenny.
“Makasih, ya, Bi.” Jessica menerima nampan itu. “Bobo masih di kandang kan, ya?”
“Kurang tau, Bu.”
“Ya udah. Sarapan buat Bapak udah siap, ‘kan?”
ART itu mengangguk. “Udah dong, Bu.”
“Sipp,” ujar Jessica. “Saya kasih makan Bobo dulu, ya.”
Sudah hampir seluruh bagian rumah Jessica telusuri demi menemukan Bobo. Namun, agaknya kucing kesayangannya itu tidak mau pulang. Jessica mulai panik. Dia menanyai semua orang yang dilewatinya, tetapi tidak ada yang tahu.
Ada satu tempat yang belum dikunjunginya. Kamar Sean. Jessica ingat jika dulu Bobo sering sekali menyelinap masuk ke kamar si sulung. Wanita cantik itu pun berinisiatif mengetuk pintu Sean. “Abang?!” serunya. “Kamu liat Bobo enggak?”
Tidak ada jawaban. Bahkan setelah Jessica sedikit menggedor pintunya. Curiga, dia pun memutuskan untuk masuk. Bukan bau pengharum ruangan yang dia cium, melainkan bau anyir. Namun anehnya, tidak ada siapapun di kamar itu.
Jessica mulai kalang kabut. Dia terus menerus memanggil-manggil putranya. “Abang! Abang, dimana?!”
Cemas tak tertahan, Jessica takut terjadi sesuatu pada Sean. Karena nyatanya bau anyir yang dihirupnya mirip seperti bau darah. Pikiran Jessica mulai melanglang memikirkan sesuatu yang buruk.
Pintu kamar mandi berderit. Jessica tak berpikir ulang untuk masuk. Dia lantas syok ketika melihat sekujur tubuh putranya dipenuhi darah. Wanita 41 tahun itu memekik. Dia bergegas berjongkok untuk memeriksa putranya yang kini terduduk di lantai kamar mandi.
“Abang?! Kamu kenapa?”
Sean diam saja. Pandangannya hanya tertuju pada satu titik. Jessica mengikuti arah titik itu dan pandangannya terhenti pada seonggok tubuh kucing yang sudah tidak bernyawa.
Jessica reflek mundur. Dia menutupi mulutnya sendiri. Dihadapannya ada mayat Bobo. Kucing kesayangannya. Hati Jessica langsung sesak. Dia pun meminta penjelasan pada sang putra.
“Astaga, Bang! Kamu apain Bobo?!” seru wanita rupawan itu.
“I just killed her.”
“A-apa?! But why?”
Sean perlahan menatap tak acuh sang ibu. “Dia berisik. Masuk ke kamarku seenaknya.” Lelaki itu melemparkan pisau yang ada ditangannya ke tubuh tubuh Bobo. “Like a girl I hate so much.”
Jessica tidak bisa untuk tidak terperangah. Like a girl he hates so much? Apa maksudnya itu?
“B-bang?”
Sean mengalihkan tatapannya kepada Jessica. Sorot matanya datar, Jessica tak bisa memahami makna dari tatapan itu. Untuk sejenak, Jessica kehilangan kepercayaan kalau orang yang dihadapannya ini adalah putranya. Darah dagingnya.
Sean bertingkah… layaknya seorang pembunuh.
Bulu kuduk Jessica berdiri. Dia tak pernah memikirkan itu. Dirinya dibutakan oleh kepercayaan sehingga tidak memikirkan kemungkinan kalau putranya bisa jadi adalah seorang….
Tidak-tidak. Jessica tak sanggup. Dia menggeleng tipis. Tidak mungkin kan kalau orang itu adalah Sean? It’s impossible Sean bisa melakukan perbuatan keji itu.
Namun, kini kepercayaannya seperti lenyap. Jessica terlalu dibelenggu oleh kasih sayangnya hingga tidak menyadari peluang jika Sean bisa saja berbuat hal yang mengerikan. Dia sudah melewatkan hal penting.
Mungkin ini adalah jawaban yang sesungguhnya. Mungkin Sean memang benar-benar pembunuhnya.
Bersambung…