Liem berjalan pelan menaiki tangga rumahnya. Pria berambut putih itu ingin mengunjungi kamar Sean untuk menawarkan cucunya agar bisa terjun ke dunia politik. Siapa sangka, acara festival kemarin membuat nama Sean semakin dikenal masyarakat.
Mereka berpikir Sean adalah anak baik yang difitnah oleh oknum tak bertanggungjawab. Jadilah kini Liem mempunyai lebih banyak simpatisan politik.
Ternyata musibah yang menimpa keluarganya tak sepenuhnya buruk. Buktinya kini nama Liem cukup dielu-elukan masyarakat. Dengan senyum penuh kebanggaan, dia memasuki kamar Sean. Tidak ada tanda-tanda keberadaan cucunya. Hingga suara sang menantu membuat otot lehernya menoleh pada pintu kamar mandi.
“Jawab, Bang?! Bukan kamu, ‘kan?”
Suara Jessica yang terdengar penuh kemarahan membuat Liem bergegas masuk ke kamar mandi. Matanya melebar. Darah ada di mana-mana. Bangkai kucing kesayangannya sang menantu tergeletak mengenaskan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Dia tak bisa berpikir jernih. Langsung saja Liem memisahkan Jessica yang kini tengah menggoyang-goyangkan tubuh Sean frustasi. “Astaga! Kamu kenapa, Jess?”
Jessica tersentak mendengar suara mertuanya. Dia kemudian beralih memeluk kaki sang gubernur sukses itu. “Pa, Se-sean…”
“Lepas!” Liem mendorong menantunya. Dia beralih menatap sang cucu yang terdiam tanpa ekspresi. “Kamu kenapa? Ada apa ini, Sean?”
Sean masih tak menjawab. Dia hanya menatap kakeknya dengan pandangan suram. Liem lantas terkejut. Dia tak pernah ditatap seperti itu oleh sang cucu. Matanya yang kelam membuat Liem sejenak berpikir jika Sean yang dihadapannya bukanlah Sean yang biasanya.
“Sean, jawab Kakek kamu!” Jessica kembali menarik kerah baju Sean. “Apa yang udah kamu lakuin sebenarnya?!”
“Lepasin aku, Ma!”
Jessica menggeleng. “Mama nggak akan lepasin kamu sampai kamu jujur sama Mama! Apa bener kamu yang udah bunuh Sofia?!”
Liem semakin terbelalak mendengar pertanyaan Jessica. Emosinya langsung naik ke ubun-ubun. Berani-beraninya wanita itu menuduh cucu kebanggaannya. Tangan Liem pun terkepal. Dia kembali memisahkan ibu dan anak itu.
“Lepasin Sean, Jess!” Liem berhasil menyentak Jessica. “Kurang ajar kamu! Kenapa nuduh-nuduh Sean kayak gitu?!”
“Pa, Sean-Sean, dia…” Air matanya meleleh deras. “Dia mungkin pembunuh itu, Pa.”
“Nggak mungkin!” Liem semakin murka. Ditariknya sang menantu menjauh dari Sean. “Ayo keluar!”
Jessica tentu saja berontak. Dia ingin meminta penjelasan dari putranya. “Enggak, Pa. Sebentar. Aku harus denger jawaban Sean.”
Liem kembali gagal. Jessica lagi-lagi mendekat pada Sean dan mulai mempertanyakan hal yang tidak masuk akal. Liem pun berinisiatif keluar dari kamar dan memanggil putra semata wayangnya.
“Langga!” Gerakan kaki pria tua itu tiba-tiba saja menjadi lincah. “Langga!”
Liem tiba di meja makan, tetapi Langga tidak ada di sana. “Mana Langga?!” bentaknya pada para ART.
Tidak ada satupun yang menjawab. Para wanita yang tengah mempersiapkan sarapan hanya berdiri kaku sembari menggeleng ringan.
“Arrgh!” keluh Liem. Dia berlari ke kamar putranya. Selama perjalanan, Liem tak berhenti memanggil-manggil Langga agar keluar.
Orang yang dicarinya akhirnya menampakkan diri. Langga keluar dari kamar dengan tatapan bingung. “Kenapa, Pa?”
“Istri kamu itu! Dia bikin ulah di kamar Sean.” Liem mengambil lengan Langga untuk diseret ke kamar cucunya.
Langga ikut-ikutan terperanjat. Keadaan kamar mandi Sean sangat kacau. Bau darah yang menyeruak membuat Langga menutup hidungnya sesaat. Dia bertanya-tanya kenapa istrinya menangis histeris.
“Kenapa, sih, ini?!”
“Jangan banyak tanya dulu. Pisahin istri kamu dari Sean. Bawa dia turun.” Liem menatap tajam Jessica yang kini menepuk-nepuk dada Sean dengan brutal. “Cepet, Langga!”
Langga mengangguk. Dia mengangkat lengan Jessica pelan-pelan. “Ayo, Jess. Kita ke bawah dulu. Ceritain dulu apa yang terjadi. Ayo, Sayang.”
“Langga, kamu nggak akan percaya… Sean….”
“Ssssst, ayo turun dulu.” Langga akhirnya memilih menggendong Jessica. Meskipun berontak, Jessica tetap tidak bisa turun dari cengkraman suaminya.
Ketika sampai di ruang keluarga, barulah Jessica diturunkan. Langga tanpa banyak berpikir kemudian memeluk istrinya. Dia mengusap-usap punggung Jessica seraya membisikkan kalimat-kalimat penenang walaupun hatinya juga masih tak karuan. Sebenarnya, apa yang terjadi antara Sean dan Jessica?
•••
“Keterlaluan!”
Lagi-lagi suara lantang Liem memenuhi ruang tengah kediamannya. Pria tua itu muak dengan tangisan Jessica yang tak kunjung reda. Belum lagi dia harus mengamankan Sean di kamarnya agar sang cucu tidak berusaha keluar rumah.
“Jess.” Langga berusaha menjauhkan wajah Jessica dari pelukannya. Pakaiannya basah akibat air mata sang istri. “Hey, tenang dulu. Cerita sama aku.”
“Tadi… tadi aku liat Sean bunuh Bobo, Langga!” Kini wanita itu menepuk-nepuk dadanya yang tidak pernah sesesak ini. “Dia… Dia bilang Bobo berisik. Jadi dia bunuh kucing aku.”
Liem berdecih. Bahkan sedari tadi dia ingin membungkam mulut sang menantu. Namun dia masih punya nurani, wanita itu adalah istri anaknya serta ibu dari cucu-cucunya. Liem hanya tidak habis pikir kenapa wanita itu malah menyalahkan Sean.
“Bunuh Bobo?” tanya Langga agak sangsi. “Jess, mungkin Sean nggak—”
“Dia yang bunuh Sofia!” Kali ini Jessica mengeluarkan teriakannya. Beruntung, Liem telah mengusir semua ART-nya. Alhasil, pembahasan ini hanya dapat didengar oleh keluarga dekat saja. “Aku yakin, Langga. Dia bilang—”
“Jess!”
Jessica tidak membiarkan Langga menyela. “Dia bilang, Bobo berisik kayak Sofia.”
“Dengerin—”
“Nggak!” Jessica melepaskan cengkraman tangan Langga di pundaknya. “Kamu nggak ngerti. Aku yakin dia yang udah bunuh Sofia. Anak kita pembunuh, Langga. Dia udah buat nyawa orang melayang.”
“Suruh istri kamu diam atau Papa nggak akan segan-segan langsung mukul dia, Langga!” Liem berdiri dari tempatnya duduk. Tangannya sudah mengepal erat.
“Pa!” Langga masih syok. Dia sangat terkejut melihat Jessica yang seperti ini. Terlebih mendengar perbuatan sang putra sulung, membuat Langga kalang kabut. Langga merasa takut sekaligus tidak menyangka anak yang selama ini dia banggakan melakukan perbuatan keji seperti itu.
“Nggak becus milih istri! Seharusnya memang kemarin kamu pisah sama dia! Berani banget nuduh cucuku. Ibu mana yang teriak-teriak bilang anaknya itu pembunuh, Langga! Istri kamu nggak waras!”
“Pa, Sean memang pem—”
Liem naik pitam. Dia bersiap melayangkan tangannya, sudah tidak peduli dengan status Jessica sebagai menantunya. “Sialan—”
“Mama!” Tangan Liem terhenti. Mata tuanya melirik pada Jenny yang berlari memeluk sang ibu dari lantai dua. Gadis itu sudah berderai air mata, pasti mendengar semua yang telah mereka bicarakan.
“Mama!”
Langga berusaha mengamankan sang putri. “Jenny, masuk kamar sekarang juga!”
Sayangnya gadis itu tidak sudi mendengar. Jenny memeluk Jessica erat dan menatap nyalang pada kakeknya yang masih menahan amarah. Dia sudah tidak tahan dengan ketidakadilan yang menimpa Jessica.
“Opa nggak tau apa-apa!” serunya sembari mengusap air mata. “Papa sama Mama juga nggak tau apa-apa. Kalian selalu mikir kalo Sean itu anak baik-baik, padahal nyatanya nol besar.”
Jenny melanjutkan. “Ini bukan pertama kalinya Sean kayak gitu. Orang yang Opa bela itu udah bunuh semua kucing kesayangan aku. Seperti yang kalian liat tadi, Sean emang psikopat. Setelah bunuh kucing aku, dia berlagak nggak salah. Dia tega cuma gara-gara kucing aku berisik!”
Baik Jessica maupun Langga sama-sama terperangah. Begitu juga Liem. Jessica langsung terduduk lemas, tidak sanggup menopang berat tubuhnya sendiri. Sebenarnya apa yang anak-anaknya sembunyikan?
“Adek…. kenapa—”
Jenny tersenyum miris sambil menoleh pada ayahnya. “Kenapa aku nggak bilang? Karena aku nggak tau kalo dia bisa bunuh cewek juga. Waktu Sean kena kasus, aku langsung tau kalo dia yang udah bunuh pacarnya. Tapi aku nggak tau kenapa polisi malah bebasin Sean gitu aja. Kalau aku bilang ke kalian pun, pasti nggak akan ada yang percaya. Aku nggak punya bukti.”
Penuturan Jenny seperti tombak yang menghunus jantung Jessica bertubi-tubi. Dia merasa menjadi orang tua yang gagal. Bagaimana bisa selama ini dia membesarkan seorang pembunuh biadab?
“Anak Mama itu sebenarnya monster, Ma!”
•••
Kalimat yang Jenny sampaikan terus berputar di telinga Jessica. Rasanya dia ingin menutup kedua telinganya erat-erat agar suara itu tidak terus terdengar. Nyatanya pernyataan Jenny adalah hal yang membuatnya seperti kehilangan nyawa.
Jessica berdiri kaku dibalik punggung sang suami. Matanya yang basah mengamati Sean yang penampilannya masih berlumur darah. Bau busuk menyengat tercium dari dalam kamar mandi.
“Bilang ke Mama kamu, Sean!”
Tangan Sean menutup kedua telinganya, merasa muak dengan lolongan teriakan Langga. “Berisik!”
Langga semakin murka. “Berani ya kamu. Bilang sekarang, kamu yang bunuh Sofia, kan?!”
“Papa—”
“Iya atau nggak, Sean?!”
Gigi Liem bergeletuk menahan amarah melihat Langga memaki sang cucu. “Langga! Kamu kan bisa bicara baik-baik sama anak kamu! Apa gini cara Papa ngajarin kamu, hah?!”
“Sean jawab Papa. Iya atau nggak?!”
Bukannya takut, Sean malah berdecak. Kelingkingnya mengorek telinga sebelah kanan, gatal akibat teriakan yang saling bersahutan. “Iya, terus kenapa?” Ngocoks.com
Satu pernyataan itu berhasil membuat kepercayaan yang diberikan Langga dan Jessica hancur tak bersisa. Langga mencoba percaya kepada Sean untuk terakhir kalinya. Dia berusaha mengenyahkan kata-kata dari Jessica dan putrinya. Akan tetapi kini Sean sendiri yang sudah mengkhianati dirinya.
“Kurang ajar!” umpat Langga. “Kenapa kamu lakuin itu, hah?!”
Sean tampak berpikir. “Simpel. Dia berisik banget setiap hari. Aku muak denger suaranya. Cih, sok cantik padahal cuma cewek miskin.”
Langga sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Perasaannya sedih sekaligus marah. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Jessica kala mendengar kalimat menjijikan itu dari putranya.
“Aku bunuh cewek itu setelah buat dia hampir gila gara-gara depresi. Padahal udah aku baikin, ternyata masih tetep berisik. Makanya aku bunuh aja, biar nggak ada yang ganggu aku terus.”
“Sean!”
“Apa? Kenapa?” tanyanya seakan menantang. “Papa mau apa? Aku udah ngaku pembunuh loh waktu itu. Tapi tetep aja nggak ada yang percaya. Ya udah sih, yang penting aku udah jujur.”
Melihat wajah sang ayah yang memerah dan wajah sang ibu yang pias membuat Sean kembali berceletuk. “Laporin aja sekarang. Bilang ke polisi kalo anak kalian yang bunuh cewek itu. Aku nggak takut.”
“Emang itu yang harusnya Papa lakukan dari dulu!” Langga baru akan merogoh ponselnya sebelum kata-kata Sean kembali membuatnya berhenti.
“Tapi setelah itu, siap-siap Opa akan dihujat dimana-mana. Nama keluarga kita bakal hancur. Opa bakal dibenci banyak orang dan… Opa nggak bakal bisa jadi gubernur lagi. Semuanya ada di tangan kalian. Opa bisa aja manfaatin aku buat ambil suara loh.”
Pria tua yang Sean panggil Opa itu masih terdiam. Reputasi, nama baik, dan segala kekuasaan yang dia dapat tidak bisa hancur begitu saja. Istana yang selama ini dia bangun harus tetap dipertahankan sampai dia mati. Liem tidak ingin kerja kerasnya lenyap dalam sekejap.
“Papa sama sekali nggak peduli.” Langga maju mendekat pada Sean. “Apa… apa kamu nggak menyesal sama sekali?”
Lelaki itu tertawa. “Sayangnya, nggak.”
Cukup sudah, Langga tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak melayangkan pukulan bertubi-tubi pada wajah sang putra. Jenny benar, dia sudah membesarkan monster selama ini.
Namun alih-alih mendukung perbuatan sang putra, Liem justru bergerak melindungi sang cucu kesayangan. Lelaki tua itu mendesah. “Jangan berani kamu bilang ke siapapun kalo Sean pembunuh, Langga. Atau kamu akan terima akibatnya.”
Bersambung…