“Mama!”
Sean muncul dari pintu depan kediaman Hianggio dengan senyum cerah. Wajahnya bersinar seperti cahaya matahari dipagi hari. Dia berlari menuju sang ibu sambil membawa kertas gambarnya.
“Abang!”
Bocah 7 tahun itu memeluk pinggang Jessica yang berbalut celemek. Wanita itu tengah memasak makan siang untuk putra putrinya. Sembari memotong wortel, Jessica mengawasi putri bungsunya yang masih balita.
“Gambar aku juara 1 di sekolah loh!” Gigi susu Sean terlihat jelas. “Kata Miss Betty, Sean is good at painting.”
“Wah, gambar Abang bagus banget!” Jessica memuji hasil gambar Sean. Gambar itu adalah potret keluarga Sean sendiri. “Tapi kok Adek nggak digambar?”
“Aku nggak suka Adek, Ma!” Sean menjulurkan lidahnya pada sang adik yang masih memakan roti coklatnya di samping dapur.
“Nggak boleh gitu, ah,” tegur Jessica. “Bantuin Mama masak aja gih.”
Tentu saja Sean langsung bersorak girang. Membantu ibunya adalah kegiatan yang dia suka. “Aku aja yang potong wortel, ya, Ma?”
Jessica mengangguk kecil lalu mengacak rambut sang putra. “Hati-hati, ya.”
Mereka memasak bersama dengan riang. Jessica mengamati lamat-lamat pahatan wajah Sean. Mirip seperti Langga, tetapi matanya milik Jessica.
“Aw!” Sean terperanjat sembari menunjukan jarinya yang berdarah. “Jari aku keiris, Ma!”
Tanpa banyak kata, Jessica mengecek jari Sean. Darah mulai keluar dari telunjuk anaknya, membuat Jessica panik bukan kepalang. “Ya ampun, Bang. Kamu cuci jarinya dulu, ya. Mama ambil betadine sama kapas dulu.”
Jessica berlari meninggalkan anaknya untuk mencari kotak obat. Setelah mendapatkan apa yang dia cari, wanita itu segera berlari menuju dapur kembali. Sayangnya, langkah kakinya terhenti ketika melihat pemandangan mengerikan yang ada dihadapannya.
“Abang!”
Jessica menyaksikan Jenny telah terkapar di lantai dengan darah yang mengalir di kepalanya. Dan di sana, Sean sudah mengarahkan ujung mata pisau ke dada kiri sang adik. Jessica berteriak keras sambil berlari menuju sang anak.
“Kamu ngapain Adek, Bang?!”
“Aku mau Adek mati!”
“Jess!” Dari alam bawah sadarnya, Jessica merasa tubuhnya diguncang kencang oleh seseorang. “Bangun, Jess!”
Samar-samar Jessica mengenali suara Langga. Dia akhirnya terbangun dari mimpi buruknya. “Langga?”
“Iya, aku di sini. Kamu baik-baik aja.” Langga mengelus puncak kepala istrinya yang penuh dengan keringat. “Kamu pingsan tadi. Kamu nggak inget?”
Pelan, Jessica menggeleng. Dia tidak ingat apapun selain mimpi buruk yang baru saja menyambanginya. Bicara tentang mimpi, Jessica mendadak panik sendiri. “Langga, Adek dimana? Adek baik-baik aja, kan? Terus Sean—”
“Tenang, Jess. Tenang dulu. Adek baik-baik aja. Dia aman sama Mbak Mimi. Sean juga masih sama Papa.” Langga tidak mengerti kenapa istrinya begitu panik. Yang jelas, sekarang pikirannya campur aduk memikirkan Sean dan juga kesehatan Jessica. Melihat Jessica tidak sadarkan diri, Langga seperti kehilangan akalnya.
Menyadari kedua anaknya sudah aman, Jessica mulai kembali menangis. Masalah Sean benar-benar mengguncang kejiwaannya. Sekarang pun dia tidak tahu harus berbuat apa.
“Ini gimana, Langga? Kita harus gimana?”
Langga meraih tekuk Jessica untuk dia bawa dalam dekapan. Sungguh, wanita ini adalah kekuatannya. Kini dia semakin melemah melihat kondisi Jessica yang terus menangis.
“Jess, kamu percaya sama aku, kan?” Bisa Langga rasakan Jessica yang mengangguk kecil disela tangis. “Kita… kita harus laporin Sean, ya?”
Tubuh Jessica langsung bereaksi mendengar penuturan gila suaminya. Dia semakin histeris memukul-mukul tubuh Langga yang tidak bergerak. “Apa.. nggak ada cara lain? Aku nggak bisa—”
“Kamu harus kuat, Jess. Ini nggak bener, kita nggak boleh biarin Sean terus bebas. Dia salah, Jess.”
Kuat? Jessica tidak tahu bahwa ada suatu masa dimana dia harus memilih antara anaknya ataupun kebenaran. Dia seorang ibu, tentu enggan berpisah sedetikpun dengan anaknya. Kini, dia harus siap berpisah dari Sean untuk waktu yang sangat lama. Jessica tidak bisa.
“Tapi, aku—”
Ucapan Jessica terpotong dengan kedatangan satpam depan rumahnya yang tergopoh-gopoh. “Pak Langga, itu Abang Sean dibawa kabur sama Bapak pake mobil. Nggak tau kemana, pergi nggak bawa penjaga juga, Pak!”
•••
Satu hal yang perlu diketahui tentang Sean, pria muda itu benci suasana ramai. Lebih-lebih lagi orang yang berisik. Ketenangan adalah mutlak baginya. Sean tidak segan-segan memarahi ataupun menghukum mereka yang mengusik zona nyamannya. Siapapun itu. Tak terkecuali adiknya.
Jenny memang berisik, tapi dia langsung menjauh dari Sean ketika dimarahi. Dia patuh, dan Sean senang akan itu. Berbeda dengan kucing Jenny, yang walaupun sudah Sean tendang dengan kasar keluar kamarnya, kucing itu tetap memaksa masuk. Jangan salahkan dirinya karena membunuh kucing itu, pikir Sean.
Kucing Jenny yang terus mengeong dan meninggalkan banyak bulu di kamarnya, Sean anggap sebagai hama yang harus dibasmi. Sama halnya dengan gadis centil yang selalu mengekorinya setiap saat. Sofia cantik, sangat cantik. Namun, rupa ayunya tak mampu membuat Sean bertekuk lutut. Malah Sean sangat terganggu dengan kehadiran gadis itu.
Sean ingin sekali melakban mulut Sofia agar dia tak bisa bicara lagi. Namun, tentu saja dia belum punya kuasa. Imejnya sebagai anak baik-baik akan rusak jika seperti itu. Sampai pada suatu hari, Sean terpikirkan sebuah ide gila ketika menonton film Deception of the Novelist. Sebuah rencana keji yang terus berputar-putar diotaknya.
Pada saat itu, Sean tidak memiliki secuil pun keraguan untuk melakukan rencananya. Tidak sama sekali. Dia sangat yakin. Sean kemudian memulai rencananya dengan menerima perasaan Sofia. Mereka akhirnya pacaran. Sean benar-benar memperlakukan Sofia dengan amat baik. Sampai gadis itu tidak curiga jika sebenarnya Sean memiliki niat yang terselubung.
Dari hubungan itu, Sean berhasil mendapatkan password ponsel dan alamat rumah Sofia dengan begitu mudah. Sean beberapa kali mampir ke rumah Sofia. Dalihnya ingin mengantar sang pacar pulang, padahal sebenarnya memantau keadaan sekitar. Sean tahu kalau daerah rumah Sofia sangat sepi di jam-jam pagi.
Ketika Sofia bercerita jika dirinya mengidap depresi akibat masalah ekonomi keluarganya, Sean seperti mendapatkan celah. Dia rajin membelikan Sofia obat. Obat yang sesungguhnya untuk menambah perasaan tidak karuannya.
Pada hari eksekusi, Sofia tidak masuk sekolah. Dia izin sakit hari itu. Entah bagaimana, tapi beberapa hari ini sakit kepalanya bertambah berat. Sofia sudah mengabari Sean. Dia meminta kekasihnya itu untuk datang ke rumahnya pada saat sore hari. Namun, Sean malah datang pada pukul 7 pagi. Dia membolos.
Sean kembali meminta Sofia meminum obat darinya. Hal itu malah membuat kepala Sofia semakin sakit. Saat itulah Sean pamit pergi untuk memanggilkan bantuan. Namun, sebenarnya lelaki itu tidak pergi. Dia justru bersembunyi di belakang rumah Sofia setelah menggondol ponsel milik kekasihnya itu. Lewat ponsel Sofia, Sean berkirim pesan dengan Kenny. Harus ada orang yang dicurigai selain dirinya, bukan?
Sofia : Ken, kepalaku sakit banget. Tolong ke rumahku sekarang.
Sofia : Minta Sean ke sini juga, please.
Senyuman Sean tidak dapat ditahan kala ponselnya berdering dan menampilkan pesan dari Kenny yang memintanya ke rumah Sofia sekarang juga. Rencananya sudah hampir berhasil kala itu.
Pada pukul tujuh tiga puluh pagi, Kenny akhirnya datang. Dia langsung menghampiri Sofia yang kini sudah terduduk lemas sambil terus meremasi kepalanya. Dan Sean bersiap. Dia mengambil sebatang kayu dari rumah tetangga Sofia dan dengan sangat beringas memukul kepala Kenny hingga tidak mampu menengok ke belakang.
Sofia terkejut. Namun, dia tak bisa berbuat banyak. Pisau tajam yang kini menggantikan posisi kayu itu segera menancap di dadanya. Perih sekali. Apalagi melihat wajah sumringah Sean. Didetik-detik terakhir hidupnya, Sofia yang malang sudah dikhianati. Ngocoks.com
Tubuh mungil itu kemudian ambruk. Meninggalkan bercak darah yang sangat banyak membasahi lantai rumah. Matanya masih terbuka. Begitu juga mulutnya. Kematian gadis itu begitu tragis.
Sementara Sofia telah meninggalkan raganya, Sean malah tersenyum dan berjalan keluar dengan kayu yang kembali ditentengnya. Kayu itu kemudian dia kembalikan ke tempat semula. Usai itu, Sean berjalan santai ke halaman rumah tetangga Sofia dan berhenti di depan tong sampah.
Sean bersenandung kecil sambil melepaskan sarung tangan yang sudah dikenakannya sejak datang ke rumah Sofia. Lelaki itu membuangnya ke tempat sampah. Sean sudah hafal dengan pemilik benda hijau ini. Dia seorang tunanetra. Dan tunanetra itu tidak akan melihat benda mengerikan ini di tong sampahnya. Sean memang dipenuhi nafsu bengis, tapi dia merencanakan setiap rencana dengan matang.
Setelah menuntaskan pekerjaannya, Sean melakukan sentuhan akhir dengan berpura-pura terduduk lesu dihadapan mayat kekasihnya. Berkat buku psikologi yang sering dibacanya, Sean jadi tahu bagaimana ciri-ciri orang yang berbohong. Dia mempraktikkannya dengan sangat baik. Dia juga tahu bagaimana caranya mengelabuhi polisi.
Kata orang, salah satu cara untuk mengalahkan orang pintar adalah dengan membuat mereka merasa pintar. Sean membuat polisi itu merasa cerdik. Dia membuat keadaan seolah-olah polisi itu orang yang paling tahu segalanya. Dan itu menandai bahwa rencana busuknya… sungguh berakhir dengan mulus.
•••
“Sial!”
Liem memukul lemari milik cucunya dengan keras. Dia memejamkan matanya sejenak sebelum berbalik menatap Sean yang kini hanya duduk santai sembari mengorek-ngorek telinganya dengan jari kelingking.
“Apa kamu nggak denger apa yang Papamu bilang sebelum Mamamu pingsan tadi?” Liem putus asa. Cucunya kelewat kalem untuk masalah yang besar ini.
“Papa nggak akan lepasin aku?” Sean mengernyit, kemudian mengedik. “Aku lupa dia ngomong apa tadi.”
“Astaga.” Liem mendekat pada Sean dan memegangi kedua bahunya. “Dia pasti mau bawa kamu ke polisi.”
“Terus?”
“Opa nggak bisa biarin itu, Sean. Kamu udah Opa siapin jabatan jadi walikota waktu umur kamu udah 30 tahun nanti! Dan itu bisa aja gagal kalau kamu masuk penjara.” Urat leher Liem terlihat jelas saking geramnya.
“Walikota?” Rona wajah Sean berubah seketika. Pandangannya menajam pada sang kakek. “Aku udah pernah bilang sama Opa, ‘kan, kalau aku nggak mau masuk politik?! Kenapa Opa masih aja maksa?”
“Ini demi kebaikan kita. Percaya sama Opa, karir kamu akan terjamin kalau kamu masuk politik.”
“Aku nggak mau!”
Liem tidak menduga kalau Sean ternyata sangat keras kepala. Dia ingin membujuk Sean lagi, tapi dia teringat kalau bukan itu yang paling penting saat ini. Sekarang tugasnya adalah menyelamatkan cucu emasnya itu.
“Ck, ya udahlah, kita bahas itu nanti.” Dahi Liem yang sudah penuh keriput, kini makin berkerut. Dia memutar otaknya untuk mengamankan harta berbentuk manusianya ini. Sampai akhirnya dia terpikirkan sebuah tempat.
“Ayo, ikut Opa.” Liem mengambil lengan cucunya. “Kita pergi ke suatu tempat. Opa nggak akan biarin kamu masuk penjara! Opa akan selamatkan masa depan kamu!”
“Lepas.” Sean menyentak kasar. “Aku nggak mau jadi walikota!”
“Dan akhirnya membusuk di penjara? Itu mau kamu, ha? Jawab!”
Sean diam. Untuk beberapa detik, dia dan kakeknya saling memandang tajam. Barulah kemudian pandangan Liem melembut.
“Dengerin, Opa, Sean. Opa nggak akan maksa kamu jadi walikota. Opa janji. Jadi, sekarang ikutin kata-kata Opa, ya? Kamu cucu kesayangan Opa, dan Opa nggak akan biarin kehidupan kamu hancur cuma gara-gara kasus ini.”
Sean menyelidiki gerak-gerik pria berambut putih dihadapannya. Dia lantas mengangkat alis sebelah kanannya.
“Ikut kemana?”
Bersambung…