Langkah kaki Langga terus berpacu cepat. Dia segera menilik kamar sang putra sulung guna memastikan bahwa perkataan asisten rumah tangganya benar. Dan ternyata semua itu tidak salah. Sean benar-benar dibawa lari oleh Liem. Tangan Langga mengepal. Giginya bergemeletuk. Bisa-bisanya Liem melakukan ini tanpa persetujuannya!
Langga menghela napas sambil mengusap rambutnya kasar. Dia pun segera turun ke bawah untuk meminta asistennya menemukan Sean. Namun, ternyata di ruang keluarga sudah ada Jessica dan Jenny yang kini tengah berpelukan sambil menangis. Padahal tadi Langga sudah bilang agar Jessica tidak usah turun dari tempat tidurnya. Wanita itu sungguh keras kepala.
“Mereka nggak ada,” beritahu Langga. “Papa bener-bener keterlaluan. Aku nggak nyangka beliau bakal ambil langkah kayak gini.”
Jessica yang tersedu-sedu memutuskan untuk bangkit dari duduknya usai meminta Jenny pergi ke kamarnya. “Mereka ke mana Langga? Papa bawa Sean ke mana?”
“Aku nggak tau.” Langga merogoh ponselnya. “Kita coba tanya Pak Asep.”
Langga akhirnya menelepon sopir pribadi Liem. Menyuruhnya untuk menjelaskan ke mana agaknya majikannya pergi. Namun, tak disangka-sangka ternyata Pak Asep masih di rumah. Artinya Liem pergi tanpa membawa sopir dan tanpa pengamanan apapun. Sial, Langga sungguh marah dengan kelakuan ayahnya.
“Terus sekarang gimana? Kita nggak boleh kehilangan Sean sekarang, Langga. Apapun yang terjadi, dia harus… dihukum.”
Pikiran Langga tentu bercabang. Liem pasti bermaksud untuk melindungi cucunya. Lelaki baya itu pasti tahu kalau Langga akan memenjarakan Sean. Oleh sebab itu, demi menyelamatkan masa depan pria muda berusia 18 tahun itu, Liem akhirnya mengambil langkah nekat.
Langga pun sebenarnya tak pernah sekalipun dalam hidupnya berpikir untuk memenjarakan Sean. Jelas, si sulung adalah kebanggaannya. Langga ingin Sean punya masa depan yang bagus. Namun, tentu saja itu sebelum Langga mengetahui siapa pelaku pembunuhan yang sebenarnya.
Sekarang dia tahu, semua sudah terlambat. Dan satu-satunya hal yang harus dilakukannya adalah menangkap dan menghukum sang putra. Tolong jangan tanyakan betapa menyakitkannya itu, Langga bahkan menjadi rapuh hanya dengan membayangkannya.
“Kamu tenang dulu, okay? Papa pasti bawa Sean nggak jauh dari sini. Sekarang aku bakal coba hubungin semua pengurus aset apartment sama villanya Papa. Siapa tahu Sean dibawa ke sana,” ujar Langga bijak. Disaat seperti ini, dia memang harus bersikap tenang.
Satu persatu orang kepercayaannya Langga hubungi. Namun, tidak ada satupun yang mengetahui keberadaan Sean dan Liem. Lagi-lagi mereka gagal. Langga merasa makin marah. Dia pun memutuskan untuk menelepon Nathan guna meminta bantuan.
“Saya mungkin bisa lacak ponselnya Sean, Pak. Atau mungkin punya Pak Liem.”
Langga memijat kepalanya. “Saya… saya liat ponselnya Sean ditinggal di kamarnya tadi.” Dia mendesah. “Apa nggak ada lagi yang bisa dilacak, Nat?”
“Mungkin akan sulit, Pak. Saya sarankan cek dulu CCTV di sekitar rumah Bapak. Siapa tahu Bapak dapet clue.”
Nathan benar. Langga dan istrinya pun buru-buru mengecek CCTV rumah. Dalam rekaman tersebut terlihat Liem amat gelisah dengan sesekali menarik tangan Sean untuk bergerak cepat mengikutinya. Benar dugaan Langga, Sean dan Liem tak membawa satu pun pakaian beserta alat elektronik mereka. Ini pasti sudah disengaja. Agar Langga tak dapat menemukan mereka. Brengsek!
“Papa pergi ke arah kota. Apa mungkin beliau pesen hotel, Langga?”
“Bisa jadi.” Langga mengernyit dalam. “Sampe sekarang masih belum ada kabar dari pengurus apartment sama villa. Itu artinya Papa emang nggak ke sana.”
Jessica menggigit bibir. Sebagai seorang ibu, dia jelas khawatir bukan main. Apalagi seseorang telah membawa kabur putranya, meskipun orang itu adalah mertuanya sendiri. Jessica sudah tidak bisa menolerir kejahatan Sean. Oleh sebab itu, dia tak mendukung perbuatan Liem. Dia dan Langga kini sepakat bahwa Sean mesti dihukum sesuai kesalahannya.
Hanya saja, Jessica risau. Akankah dia mampu bertahan jika hari pengadilan anaknya dilaksanakan kelak? Apakah dia akan kuat melihat anaknya dicaci maki oleh semua orang? Bukan sedih lagi, tapi Jessica mungkin akan hancur.
•••
Dalam kegelisahan yang mendalam, Jessica hanya bisa menunggu. Menunggu putranya kembali, menunggu Liem menyerah dan berhenti melindungi Sean. Sementara itu, Langga sudah cukup putus asa sekarang. Dia tak mampu berbuat banyak. Lapor polisi pun rasanya tak berguna. Apa yang mau dilaporkan memangnya? Kakek yang membawa cucu kandungnya pergi? Bukankah itu aneh? Bisa-bisa Langga ditertawakan oleh para polisi itu.
Dua setengah jam telah berlalu. Tidak ada tanda-tanda titik terang keberadaan Sean. Kini Jessica hanya bisa pasrah. Entah kemana Liem membawa raga Sean. Apakah dia masih bisa bertemu dengan putranya lagi? Jika memikirkan itu, Jessica tak bisa menahan tangisnya. Air matanya kembali mengalir tipis-tipis.
Padahal kesedihan akan kebenaran pelaku pembunuhan saja masih belum selesai dia tangisi. Kini masalah baru malah muncul. Ditengah sakit hatinya, tiba-tiba saja pintu utama terbuka. Liem berdiri di sana, tetapi dia hanya seorang diri. Tanpa Sean.
Sontak saja Jessica dan Langga terhenyak. Mereka kontan berdiri dan menghampiri si gubernur berperut lumayan buncit itu. “Papa bawa Sean ke mana?!” Langga tak bisa menahan emosinya lagi.
“Lepasin Papa!” Liem risih karena Langga mencengkram kuat bahunya. “Papa selamatkan anakmu dari ayahnya. Papa bawa dia ke rumah dinas.”
“Pa! Sean salah. Kita nggak boleh tutup mata. Dia harus dihukum. Bukannya malah disembunyikan kayak gini.”
Jessica mengangguk membenarkan suaminya. “Itu bener, Pa. We can’t protect Sean anymore.”
“Diam kamu. Ini semua gara-gara kamu!” hardik Liem. “Sean bukan pembunuh. Dia itu cuma sakit. Mentalnya bermasalah. Dan itu gara-gara kalian nggak becus ngurus dia.”
“Sekali pembunuh, tetap pembunuh. Sean harus diadili.” Langga bersikukuh dengan keputusannya.
“Papa tahu dia udah bunuh seseorang. Tapi itu nggak disengaja. Dia pasti stress. Makanya dia bertindak impulsif kayak gitu. Papa percaya kalau Sean nggak ada maksud buat bunuh cewek miskin itu, Langga!”
Amarah Langga makin berkobar. Dia tak menyangka bahwa laki-laki yang telah membesarkannya ini mampu menghina orang yang bahkan sudah tiada. Di mana letak nurani Liem sebenarnya? “Papa! Jangan keterlaluan, ya!”
“Kamu yang keterlaluan. Bukannya merasa bersalah karena bikin Sean jadi pembunuh, kalian malah sekongkol buat masukin cucu Papa ke penjara?” Liem berdecih. “Harusnya kalian mendukung Papa sekarang. Papa udah menyelamatkan masa depan dia. Masa depan yang bahkan orang tuanya aja nggak peduli.”
Jessica benar-benar tercekat. Dia menutup mulutnya syok. Apa maksud mertuanya itu? Jessica dan Langga jelas ingin masa depan terbaik untuk Sean, tapi tidak begini caranya. Justru mereka ingin Sean menyesali perbuatannya dan kelak tidak akan berbuat hal serupa lagi.
“Kalian harusnya diam, tutup mulut. Bukannya malah kayak gini.” Wajah Liem sudah merah. Namun, dia memutuskan untuk sedikit meredakan emosinya. Dia pun menghela napas. “Udah lah, percuma ngomong panjang lebar sama kalian. Masa depan Sean masih bisa kita selamatkan. Kita masih punya kesempatan.”
Liem merogoh kantongnya dan mengambil ponsel. Terlihat dia sudah memesankan 5 tiket pesawat ke Canada. Lagi-lagi hal itu membuat Langga dan Jessica tercengang.
“Besok pagi, kita pergi ke Canada. Jangan sampai polisi itu tau kalau Sean adalah pelakunya. Kalian bisa tinggal selama 4-5 tahun di Canada. Setelah kasus itu ditutup, baru kalian bisa kembali.”
“Papa!”
“Ini demi masa depan anakmu, Langga! Apa kamu nggak mau Sean sukses? Papa udah siapkan dia untuk jadi calon walikota 12 tahun lagi. Dan Papa nggak akan membiarkan rencana itu gagal gara-gara kalian.”
Liem bersiap untuk pergi. Namun, sebelum itu, dia berucap, “Kalian masih bisa menebus kesalahan kalian dengan cara menuruti keinginan Papa. Mungkin sekarang Tuhan sedang memberikan kalian kesempatan untuk jadi orang tua yang baik.”
•••
Kesempatan?
Apakah selama ini Jessica telah gagal menjadi orang tua yang baik bagi kedua putra putrinya? Kenapa dia harus diberi kesempatan? Bukankah selama ini Jessica telah membesarkan Sean dan Jenny dengan sepenuh hatinya dan dengan ajaran yang baik? Jadi, apakah selama ini itu tidak ada gunanya?
“Udah, ya? Jangan nangis lagi, Jess.” Langga berjongkok dihadapan sang istri. Pelan-pelan dia menghapus air mata Jessica yang tak kunjung surut. Ngocoks.com
“Apa kita udah gagal, Langga? Apa aku bukan orang tua yang baik?”
“Hey, no. Don’t listen to what Papa says, please.” Langga tak setuju dengan ucapan ayahnya yang mengatakan kalau dia dan Jessica tak cukup mumpuni untuk mendidik anak. Nyata dia merasa telah memberikan kontribusi yang cukup bagus bagi perkembangan Sean dan Jenny.
“Aku… aku bahkan nggak tau kalau Sean udah sering berperilaku menyimpang. Aku nggak tau kalau selama ini Sean menyimpan rahasia besar. Padahal aku ibunya… harusnya aku yang paling tau, ‘kan?”
Langga reflek menggeleng. “Kenapa kamu malah nyalahin diri kayak gini? Ini murni takdir. Kamu udah jadi orang tua yang hebat. Stop salahin diri kamu sendiri, Jess.”
Jessica ingin sekali mencegah air matanya keluar lagi. Kepalanya menengadah. Dia terus mengipasi wajahnya agar tidak memerah. Hatinya benar-benar sakit karena tidak bisa mencegah takdir kejam yang menimpa Sean ini.
“Kenapa takdir kita harus begini, ya?”
Kalimat retoris nan putus asa itu cukup menggetarkan hati Langga. Jessica benar. Apa kesalahannya sehingga takdir dapat sekejam ini pada keluarganya? Kenapa harus cobaan ini yang dia alami?
Namun, Langga segera tersadar. Bahwa Tuhan memang telah menggariskan cobaan ini untuknya. Dan Langga harusnya mampu menyelesaikannya dengan baik. Tidak ada gunanya juga menyalahkan takdir. Toh, semua sudah terjadi.
“Langga… kita… kita nggak bener-bener ngikutin apa kemauan Papa, kan?” tanya Jessica gelagapan.
Akan tetapi, Langga diam. Tak membalas juga tak mau menatap netra istrinya. Dia hanya membisu dengan kepala yang menunduk dalam. Tindakannya membuat Jessica terbelalak. Dia menggeleng-geleng.
“Langga…?” Tenggorokannya sakit sekali. “Jawab, Langga?! Kita nggak akan turutin Papa, ‘kan?!”
Langga mendongak. Matanya sudah penuh dengan air mata. Dia pun merengkuh istrinya yang sekarang berontak dan memukul-mukul punggungnya, meminta penjelasan.
“Kalau kita turuti, itu artinya kita akan jadi orang jahat!” Jessica jelas tak mau itu terjadi.
“Jess…” Bibir Langga bergetar. “Tolong… percaya sama aku, ya?”
“Maksud kamu apa?” Jessica kini meremas pundak suaminya. Dia ingin menatap Langga, tapi suaminya tidak mau melepaskan pelukan mereka.
“Apa yang mau kamu lakukan sebenarnya?!”
Bersambung…