“Pak, koper Ibu sama Mbak Jenny sudah masuk mobil semua.”
Langga mengangguk mengerti. Dia sibuk memandangi foto keluarganya yang masih terpasang rapi di ruang tengah. Hati Langga terus bergejolak, dia merasa salah. Tetapi lelaki itu berusaha kuat demi Jessica dan Jenny.
“Makasih, Nathan,” ucap lelaki berbaju hitam itu. “Kamu ke depan aja. Nanti saya keluar kok.”
“Baik, Pak.” Sebelum pergi, Nathan mengecek ponselnya sejenak. “Izin menginformasikan, ajudan Bapak Liem sudah tiba di bandara. Kita diperintahkan untuk segera berangkat, Pak.”
“Ya,” balas Langga singkat.
Lelaki itu berjalan menuju kamar putrinya. Di sana, Jessica tengah membantu Jenny memakai kardigan milik gadis itu. Walaupun terlihat baik-baik saja, Langga tahu istrinya itu tengah menahan tangis. Dia terluka karena situasi ini.
“Sudah?”
Jessica dan Jenny sama-sama menoleh kearah Langga. “Udah ini, koper Adek udah dimasukin?”
“Semua koper kita udah masuk mobil. Nanti kita pergi ke rumah dinas Papa dulu. Baru…” Langga memilih menghentikan perkataannya.
“Oke.” Jessica sedikit mengembangkan senyum. Setidaknya dia tidak boleh bersedih di depan Jenny. Meskipun pada akhirnya dia akan sering menangis. “Adek siap?”
“Kita bener mau pindah, Ma?” tanya Jenny pelan. “Sama Abang juga?”
“Sayang, kamu tenang aja. Semua bakal baik-baik aja. Percaya sama Mama, ya?” Tangan lentik Jessica mengelus surai putrinya dengan lembut.
“Tapi—”
“Adek, kita harus buru-buru ke rumah dinas Opa. Jangan banyak tanya, Opa udah nunggu.”
Sejujurnya Jenny merasa kecewa dengan kedua orang tuanya. Dia paham, Langga dan Jessica sangat menyayangi Sean. Meskipun demikian, perbuatan Sean sudah keluar batas. Kabur bukan solusi dari permasalahan ini.
Mereka bertiga akhirnya meninggalkan rumah yang bertahun-tahun dihuni itu. Langga mengendarai mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah dinas Liem. Di sana, Sean sudah siap dengan segala keperluannya. Langga dengar, ajudan Liem sendiri yang mempersiapkan segala kebutuhan Sean sebelum pindah termasuk pakaian dan pasport.
Selama kurang dari satu jam, mobil Langga akhirnya memasuki halaman depan rumah berwarna putih tersebut. Terlihat beberapa penjaga Liem sudah menunggu mereka tiba.
“Bapak di dalam. Pak Langga sama Bu Jessica silakan masuk dulu,” terang salah satu orang kepercayaan Liem.
“Makasih, Pak Roni.”
Sebelum masuk, Langga menggandeng tangan Jessica guna memberi kekuatan pada istrinya itu. Keduanya lantas masuk, menuju tempat Sean berada. Ternyata lelaki itu sudah rapi dengan 2 koper besar miliknya.
Begitu melihat sang putra, Jessica segera berlari memeluk anak yang dia rindukan. Tangisnya lagi-lagi terdengar, membuat Liem berdecak kesal. “Kamu baik-baik aja, Bang?”
“Baik.” Sean tetap tenang meskipun ibunya tengah memeluk tubuhnya begitu erat.
“Maafin Mama, ya. Ini semua salah Mama, maafin Mama, Bang.”
Sean tidak mengerti mengapa ibunya selalu meminta maaf dan menyalahkan dirinya. Padahal kejadian ini murni karena Sean sendiri. Malah Sean merasa lega setelah melakukan kejahatan itu. Dia merasa menang.
“Ma, nggak usah banyak drama lah. Ayo kita berangkat, Opa udah nunggu dari tadi loh,” desis Sean muak.
Kata-kata Sean itu membuat Langga membuang muka kesal. Namun, karena masih ada ayahnya, Langga menahan diri untuk tidak memarahi putranya. Bisa-bisa akan ada keributan nantinya.
“Iya, Jess. Kamu itu setiap hari nangis melulu. Coba tenang sedikit, kamu malah bikin repot Langga terus.” Liem menggelengkan kepalanya tanda heran. “Penerbangan kita satu jam lagi. Koper Jenny sama pasport-nya udah semua, Langga?”
“Udah, Pa,” timpal Langga menahan amarah.
“Bagus, biar Sean ikut mobil Papa. Kalian—”
“Pa, biarin Sean ikut mobil aku. Jessica masih mau sama anaknya. Sekali ini, tolong biarin Jessica ngurus anak kami.”
•••
Ingin rasanya Langga mengulur waktu selama mungkin bersama Sean. Perjalanan mereka terasa amat berat, namun semua sudah diputuskan secara matang. Langga tidak bisa mundur lagi, sudah sejauh ini dan dia harus bisa mengendalikan diri. Langga yakin keputusannya tepat.
Sementara Sean justru merasa aneh dengan tingkah Jessica. Ibunya itu terus memegang tangan kanannya sedari tadi. Jessica juga bersandar sendu dibahu Sean seolah-olah tubuhnya lemas tak bertulang.
Barang sedetikpun tidak Jessica lepaskan putranya. Wanita itu masih mengeluarkan air mata, namun tidak berkata apa-apa. Hanya saja, tangan Jessica tidak henti-hentinya mengelus Sean seperti menenangkan.
Sean menoleh ke arah jendela mobil. Alisnya tiba-tiba berkerut ketika mobil sang ayah agak melambat membuatnya jauh dari mobil Liem. Bukan itu saja, Langga justru membelokkan mobilnya alih-alih mengikuti mobil milik Liem.
“Pa, kok belok? Tadi mobil Opa lurus loh. Salah jalan ini, Pa,” tegur Sean yang sayangnya tidak dijawab oleh Langga maupun Jessica.
Hal tersebut membuat Sean sedikit panik. Apalagi ketika mobil Langga justru berbelok ke arah kantor polisi. Mata Sean membelalak. Dia merasa dikhianati oleh orang tuanya sendiri. Lelaki itu segera melepaskan genggaman Jessica dengan kasar.
“Kok kita ke sini? Maksudnya apa, Pa?! Kalian mau apa?!” teriaknya.
“Abang, listen to Mama.” Jessica berusaha menenangkan. “Mama sama Papa dengan berat hati buat keputusan ini—”
“Keputusan apa?! Kita harusnya ke bandara, Ma! Ngapain Papa bawa aku ke sini?!”
Jessica menangkup kedua sisi wajah sang putra. “Tenang dulu, Bang. Mama sama Papa nggak bermaksud bohongin kamu. Ini yang terbaik buat kamu—”
“Terbaik apanya?! Kalian mau masukin aku ke penjara?!” Sean menjauhkan diri dari ibunya. Urat kepalanya sampai terlihat saking emosinya lelaki itu.
“Iya!” Langga balas berteriak. “Kamu salah. Kamu pembunuh. Dan kamu harus dapet hukuman, Sean! Papa sama Mama nggak mau kamu kabur gitu aja. Kamu tetap harus di penjara karena kamu salah. Sangat salah!”
Sean terkejut bukan main. Hatinya panas mendengar kata-kata dari ayahnya. Ternyata mereka tega menusuknya dari belakang. “Kalian tega! Cuma kalian orang tua yang tega jeblosin anaknya sendiri ke penjara! Kalian jahat!”
“Ini demi kebaikan kamu, Sayang.” Jessica berusaha membuat Sean mengerti. “Mama sama Papa sayang banget sama kamu. Karena itu kami ingin kamu mengerti kalo kamu salah, Sayang.”
Lelaki 18 tahun itu menggeleng kuat. Dia kemudian merogoh sakunya mencari ponsel. “Mana Opa?! Aku harus kasih tau dia. Cuma Opa yang bisa nolong aku!” Ngocoks.com
“Sean!” Langga berusaha merebut ponsel Sean. “Keterlaluan kamu! Kapan sih kamu ngerti, hah?! Kamu itu salah dan harus dihukum! Sekarang kamu bahkan nggak ngerasa bersalah, padahal kamu udah bunuh orang!”
Meskipun diteriaki oleh Langga, Sean seperti menutup telinga. Dia berusaha membuka pintu mobil untuk kabur, namun sialnya Langga sudah lebih dulu menguncinya. Bahkan Nathan dan beberapa penjaga sudah terlihat disekitar mobil Langga. Sepertinya Langga dan Jessica sudah merencanakan hal ini dengan matang.
Sean yakin Liem tidak mengetahui hal ini. Jika tidak, Liem pasti sudah membawanya pergi jauh. Sial, harusnya Sean tidak menaruh percaya kepada kedua orang tuanya begitu saja.
“Pa, aku mohon biarin aku pergi.” Karena terdesak, Sean berusaha memohon pada Langga. “Aku janji bakal jadi anak yang baik. Aku bakal nurut sama Papa. Ayo kita pergi ke Canada. Kita hidup bahagia di sana. Aku akan bertobat, nggak akan ngelakuin kejahatan lagi. Aku mohon, Pa.”
Langga tidak habis percaya, disaat terakhir Sean justru memohon ampun. Dia yakin Sean melakukan itu bukan karena menyesal. Melainkan tengah berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.
“Ma, Mama mau maafin aku, kan? Aku minta maaf, aku nyesel banget. Tolong bilang ke Papa, Ma. Ayo kita pergi. Aku janji bakal jadi anak baik, Ma. Aku nggak akan marah sama Mama lagi.” Sean meraih tangan dingin Jessica.
“Mama senang kamu udah sadar, Sayang.” Jessica menganggukkan kepalanya pada Langga, memberi tanda. Lantas, wanita itu membuka pintu mobil tersebut dan bergegas keluar. Tangannya masih memegang Sean untuk ikut bersamanya.
“Sean, Mama sayang banget sama kamu.” Jessica tergugu sebelum akhirnya berjalan menuju beberapa polisi yang sudah berjaga. Dengan susah payah, Jessica dan Langga menarik Sean yang memberontak.
Di hadapan polisi, Jessica sendiri yang menyerahkan putra tersayangnya itu. “Pak, kami mau menyerahkan Sean. Dia mengaku telah membunuh Sofia. Tolong… Tolong kasih dia hukuman yang sesuai dengan apa yang telah dia lakukan.”
•••
“Setelah mempertimbangkan semua bukti dan fakta yang ada, Majelis Hakim memutuskan bahwa terdakwa Osean Hianggio terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP. Oleh karena itu, terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun.”
Telinga Jessica berdenging mendengar ketuk palu dari hakim tersebut. Setelah melewati berbulan-bulan lamanya persidangan, akhirnya Sean dijatuhi vonis 20 tahun. Sorak sorai dari media serta keluarga Sofia justru semakin mengiris perasaan Jessica.
Kejahatan Sean akhirnya terungkap. Rencana kejinya pun terbongkar. Pria itu mengakui perbuatannya karena sudah terdesak. Tidak ada lagi yang dapat menyelamatkannya dari dinginnya jeruji besi.
Rasanya Jessica ingin berlari memeluk Sean yang semakin hari semakin tidak terurus. Meskipun Langga sudah memperingatinya untuk menyiapkan diri hari ini, Jessica tetap saja hancur. Raganya seperti diambil begitu saja. Sekarang dia tidak yakin bisa menjalani hidup dengan bahagia setelah ini.
“Jess? Kita bisa keluar dulu. Kamu harus istirahat. Kamu nggak baik-baik aja.” Langga merasa gelisah melihat Jessica yang menangis histeris bahkan hingga sesak napas.
“Aku mau ketemu Abang, Langga. Apa… apa boleh?”
Langga bisa saja menolak, tetapi dia tidak tega menyaksikan kesedihan Jessica. Mungkin dengan melihat Sean, kesedihan itu bisa hilang meskipun hanya beberapa saat saja. Langga memutuskan bertanya kepada Pak Beni, dan beruntung keduanya diizinkan bertemu Sean sebelum dibawa ke rutan kembali.
Beberapa media mulai menyorot pada Jessica dan Langga. Mereka diserbu beberapa pertanyaan, namun tidak keduanya hiraukan. Mereka dibimbing masuk ke sebuah ruangan guna bicara dengan Sean.
“Abang!” Pelukan Jessica begitu erat pada putranya karena tahu mungkin pelukan tersebut adalah pelukan terakhir sebelum mereka terpisah dalam waktu yang lama. “Mama akan selalu nunggu kamu. Kamu nggak sendiri, ada Mama sama Papa yang dukung kamu.”
“Aku nggak butuh orang tua kayak kalian.” Perlahan, Sean mundur menjauhi Jessica. Pria muda itu mengingat kembali pengakuan kejahatannya kepada polisi. “Jangan ke sini lagi, biarin aku sengsara sendirian. Aku benci sama kalian.”
Saat itu, Jessica menggeleng ketakutan. Dia tahu Sean akan marah padanya karena keputusannya untuk tidak kabur ke Canada. Hanya saja dia tidak menyangka Sean akan membencinya dan berani mengeluarkan kata-kata seperti itu.
“Mama akan jenguk kamu setiap bulan, tolong tunggu Mama, ya, Bang.”
Sean membuang muka dan memilih meninggalkan wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Luka hatinya masih basah. Dia tidak bisa memaafkan Jessica dan Langga begitu saja.
“Sean!”
Langga sigap meraih tubuh Jessica yang hampir ambruk. Kini semuanya telah selesai. Sean sudah mendapatkan hukuman dan mereka harus melanjutkan hidupnya kembali.
Meskipun ayah Langga juga masih memutus komunikasi dan enggan bersinggungan dengannya dan sang istri lagi. Langga harus tetap tegar, dia bertekad menciptakan keluarganya yang bahagia walaupun entah kapan dapat terwujud.
Sementara Jessica hanya perlu menerima. Ikhlas dengan semuanya dan fokus pada hal-hal lain. Masih ada putri bungsunya yang harus Jessica besarkan. Dan kali ini, Jessica tidak akan gagal.
Bersambung…