Canada, 2044.
“Iya, kalo capek kita berhenti dulu, kok.” Jessica terkekeh kecil mendengar suara putrinya di telepon. “Udah ya, Sayang. Besok kan kita ketemu, nggak usah khawatir lah.”
Langga ikut menoleh saat Jessica sudah menyimpan ponselnya. “Adek kenapa?”
“Marah gara-gara kita pergi ke makam Papa berdua doang. Dia takut kamu kecapekan nyetir,” jelas wanita 61 tahun itu.
Jessica mengerti Jenny pasti khawatir dengan kondisi mereka yang semakin tua. Hari ini adalah peringatan kematian ayah mertuanya. Liem berpulang sekitar 8 tahun yang lalu. Pria itu enggan dimakamkan di Indonesia dan memilih Canada sebagai tempat peristirahatan terakhirnya.
Semenjak kasus Sean terkuak, popularitas Liem mulai menurun. Media serta rakyatnya beramai-ramai menghujat gubernur mereka saat itu. Liem dituntut untuk mundur oleh para petinggi partainya. Akhirnya dia mengundurkan dirinya setelah membuat pernyataan dihadapan media.
Setelah dua tahun perang dingin, Liem perlahan-lahan mulai mencoba membuka komunikasi dengan Langga. Beliau memutuskan pindah ke Canada dan menetap di negeri orang tersebut. Karena kesehatan Liem yang terus menurun, Langga dan Jessica mau tidak mau membawa Jenny untuk ikut pindah mengikuti sang kakek.
Langga dan Jessica memulai kembali kehidupan mereka dengan tenang. Meskipun begitu, Jessica tidak pernah bisa melupakan darah dagingnya yang sekarang sudah tidak lagi terkurung di jeruji besi. Sean bebas dengan masa hukuman yang hanya 15 tahun penjara.
Pihak berwajib telah memberikan banyak potongan masa hukuman untuk sulung Hianggio itu. Jessica sebenarnya rutin menemui kediaman Sean yang baru. Akan tetapi, hingga kini putranya itu masih enggan bertatap muka. Bahkan ketika mereka hendak pindah ke Canada, Sean tidak mau ikut. Meskipun demikian, Langga juga sudah meminta orang kepercayaannya untuk terus mengawasi Sean.
“Ayo, Jess.” Langga mengulurkan tangannya guna menggandeng tangan keriput sang istri.
Seusai menempuh hampir satu jam perjalanan menuju makam Liem, Langga dan Jessica akhirnya sampai. Mereka sudah mempersiapkan bunga mawar untuk mempercantik makam Liem. Bukan hanya itu, Jessica berniat membersihkan makam itu juga.
Keduanya berjalan beriringan menuju ujung makam, tempat tinggal Liem kini. Meskipun, Jessica terkadang dihina dan diperlakukan semena-mena oleh sang mertua, wanita itu tetap mencoba untuk menghormati Liem. Sebab Liem adalah orang tua Langga satu-satunya kala itu.
“Pak Robert bener, ternyata makam Papa udah kotor banget. Kemarin habis ada angin kencang, makanya banyak daun kering gini,” ucap Langga memberi penjelasan.
“Yah, udah aku duga, sih. Kemarin halaman rumah kita juga udah kayak hutan. Cuacanya emang lagi nggak menentu, ya.”
Kedua suami istri itu bergotong royong membersihkan makam Liem. Kemudian sama-sama berdoa untuk ketenangan sang ayah. Langga tidak menampik, masih ada perasaan sedih setiap dia mengunjungi Liem. Mau setua apapun, Langga juga tetap seorang anak yang ditinggal orang tuanya.
“Kamu kenapa?” Usapan tangan Jessica di punggung Langga membuat pria itu tersadar.
“Masih sedikit sedih.” Langga terkekeh sesaat setelah mengaku. “Sorry, aku udah tua tapi masih kayak gini.”
“Aku paham kok, Langga. Nggak usah sedih, kita semua udah bahagia, kan? Papa pasti juga bahagia.”
Senyum tulus Jessica menular pada Langga. Pria tua itu merangkul wanita yang menemani separuh hidupnya. Kini, dia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau dulu mereka bercerai. Mungkin Langga hanya akan menjadi lelaki tua yang kesepian. Semua terasa benar selama ada Jessica disampingnya.
“Kita pulang?”
Jessica mengangguk. “Aku mau buat makanan kesukaan Jenny. Dia mau ke rumah katanya.”
Langga terkekeh melihat keantusiasan Jessica. Keduanya pun pulang menuju perkampungan Canada yang jauh dari kota. Sepanjang jalan, banyak lahan kosong yang ditanami rumput hijau. Bau khas rumput menjadi teman Langga dan Jessica pulang.
•••
Mau seramai apapun rumah itu, Jessica tetap merasa tak lengkap. Bahkan meskipun sang cucu kini berada di pangkuannya, Jessica masih saja memikirkan orang lain yang kini berada nan jauh darinya. Sang putra sulung memang selalu hadir dalam benak wanita berambut putih itu tatkala dia sedang berkumpul bersama keluarga kecil Jenny.
Jessica selalu merasa Jenny sudah menemukan kebahagiaannya. Keluarganya harmonis, lengkap, dan berkecukupan. Gadis manis yang kini telah menjadi seorang ibu itu sungguh-sungguh beruntung. Namun, bagaimana dengan Sean?
Orang kepercayaan Langga yang selalu mengawasi Sean di Indonesia mengatakan bahwa hidup Sean penuh dengan kesederhanaan. Dia belum menikah. Entah karena dia tidak berniat menikah atau tidak ada wanita yang mau menikah dengannya. Kadang-kadang Jessica mengasihani nasib putranya yang justru masa depannya hancur karena ulahnya sendiri.
Harusnya kini mereka berkumpul bersama. Menghabiskan waktu dengan bermain bersama anak-anak Sean dan Jenny. Kalau saja saat itu Sean tidak diantarkan ke penjara, mungkin kini dia sudah memiliki anak. Genevieve bukan cucu pertamanya, melainkan keturunan Sean. Ah, pasti semua akan terasa lebih sempurna jika itu terjadi.
“Ma….” Jenny berkacak pinggang. Lagi-lagi dia mendapati sang ibu menangis ketika bercengkrama dengan bayinya, Genevieve.
“Ah, maaf.” Jessica buru-buru menghapus air matanya. “Mama kepikiran Abang lagi.”
Jenny tahu. Dia tak perlu menerka-nerka lagi. Ibunya sudah sering begitu. Jadi dia tak terkejut ketika Jessica mengakuinya dengan gamblang. “Aku dapet kabar dari Pak Waluyo, katanya dia baru masuk rumah sakit. Mama mau jenguk?”
Jessica meragu, hatinya jelas ingin sekali memeluk putranya yang sudah beberapa tahun tak ditemuinya. Namun, mengingat penolakan-penolakan Sean saat Jessica dan Langga mengunjunginya, membuat Jessica pesimis. “Buat apa? Abang kayaknya nggak mau ketemu Mama.”
“Abang sekarang udah dewasa, Ma. Harusnya bisa paham sama keadaan kita dulu, ‘kan?” Jenny tak bisa menutupi kekesalannya jika diingatkan akan salah satu masa paling kelam dihidupnya.
“Mama harap juga kayak gitu. Semoga Abang sekarang udah berubah.” Jessica tersenyum kecil. “Semoga dia masih mau meluk Mama sebelum Mama meninggal.”
“Astaga, Ma.” Jenny mengernyit tak suka. “Berapa kali aku bilang jangan suka ngomong begitu. Mama pasti umur panjang.”
“Iya-iya, maaf.” Ah, sebenarnya mau seberapa sering pun Jenny memarahinya, Jessica tetap saja sering berpikir tentang kematian. Mungkin semua orang yang usianya sudah senja juga berpikir demikian.
“Udah, ah, ayo kita keluar aja. Mungkin rumah-rumahannya Genevieve udah siap.”
Hari ini akhir pekan dan Langga sudah berjanji untuk merakitkan sebuah rumah mainan untuk cucunya. Pria tua yang kini masih perkasa itu memang selalu berusaha untuk menyenangkan Genevieve. Jessica ingat betapa harunya sang suami kala Langga memeluk Genevieve untuk pertama kalinya. Muka suaminya sangat merah saat itu.
“Gene, here, your toy is ready!” Langga menyambut cucunya yang kini tertatih-tatih hendak memeluknya. “Astaga! My little Jenny!” Ngocoks.com
“Masih kuat kamu?” seloroh Jessica.
“Masih lah.” Langga menggoyang-goyangkan Genevieve seolah mempertontonkan betapa kuatnya dia. “Tuh!”
“Okay, Sir. Tapi, sekarang turunin Gene dulu. Nanti jatuh, Langga.” Jessica ikut mengelus puncak kepala cucunya yang kini tergelak di pelukan Langga.
•••
Canada, 2044.
“Iya, kalo capek kita berhenti dulu, kok.” Jessica terkekeh kecil mendengar suara putrinya di telepon. “Udah ya, Sayang. Besok kan kita ketemu, nggak usah khawatir lah.”
Langga ikut menoleh saat Jessica sudah menyimpan ponselnya. “Adek kenapa?”
“Marah gara-gara kita pergi ke makam Papa berdua doang. Dia takut kamu kecapekan nyetir,” jelas wanita 61 tahun itu.
Jessica mengerti Jenny pasti khawatir dengan kondisi mereka yang semakin tua. Hari ini adalah peringatan kematian ayah mertuanya. Liem berpulang sekitar 8 tahun yang lalu. Pria itu enggan dimakamkan di Indonesia dan memilih Canada sebagai tempat peristirahatan terakhirnya.
Semenjak kasus Sean terkuak, popularitas Liem mulai menurun. Media serta rakyatnya beramai-ramai menghujat gubernur mereka saat itu. Liem dituntut untuk mundur oleh para petinggi partainya. Akhirnya dia mengundurkan dirinya setelah membuat pernyataan dihadapan media.
Setelah dua tahun perang dingin, Liem perlahan-lahan mulai mencoba membuka komunikasi dengan Langga. Beliau memutuskan pindah ke Canada dan menetap di negeri orang tersebut. Karena kesehatan Liem yang terus menurun, Langga dan Jessica mau tidak mau membawa Jenny untuk ikut pindah mengikuti sang kakek.
Langga dan Jessica memulai kembali kehidupan mereka dengan tenang. Meskipun begitu, Jessica tidak pernah bisa melupakan darah dagingnya yang sekarang sudah tidak lagi terkurung di jeruji besi. Sean bebas dengan masa hukuman yang hanya 15 tahun penjara.
Pihak berwajib telah memberikan banyak potongan masa hukuman untuk sulung Hianggio itu. Jessica sebenarnya rutin menemui kediaman Sean yang baru. Akan tetapi, hingga kini putranya itu masih enggan bertatap muka. Bahkan ketika mereka hendak pindah ke Canada, Sean tidak mau ikut. Meskipun demikian, Langga juga sudah meminta orang kepercayaannya untuk terus mengawasi Sean.
“Ayo, Jess.” Langga mengulurkan tangannya guna menggandeng tangan keriput sang istri.
Seusai menempuh hampir satu jam perjalanan menuju makam Liem, Langga dan Jessica akhirnya sampai. Mereka sudah mempersiapkan bunga mawar untuk mempercantik makam Liem. Bukan hanya itu, Jessica berniat membersihkan makam itu juga.
Keduanya berjalan beriringan menuju ujung makam, tempat tinggal Liem kini. Meskipun, Jessica terkadang dihina dan diperlakukan semena-mena oleh sang mertua, wanita itu tetap mencoba untuk menghormati Liem. Sebab Liem adalah orang tua Langga satu-satunya kala itu.
“Pak Robert bener, ternyata makam Papa udah kotor banget. Kemarin habis ada angin kencang, makanya banyak daun kering gini,” ucap Langga memberi penjelasan.
“Yah, udah aku duga, sih. Kemarin halaman rumah kita juga udah kayak hutan. Cuacanya emang lagi nggak menentu, ya.”
Kedua suami istri itu bergotong royong membersihkan makam Liem. Kemudian sama-sama berdoa untuk ketenangan sang ayah. Langga tidak menampik, masih ada perasaan sedih setiap dia mengunjungi Liem. Mau setua apapun, Langga juga tetap seorang anak yang ditinggal orang tuanya.
“Kamu kenapa?” Usapan tangan Jessica di punggung Langga membuat pria itu tersadar.
“Masih sedikit sedih.” Langga terkekeh sesaat setelah mengaku. “Sorry, aku udah tua tapi masih kayak gini.”
“Aku paham kok, Langga. Nggak usah sedih, kita semua udah bahagia, kan? Papa pasti juga bahagia.”
Senyum tulus Jessica menular pada Langga. Pria tua itu merangkul wanita yang menemani separuh hidupnya. Kini, dia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau dulu mereka bercerai. Mungkin Langga hanya akan menjadi lelaki tua yang kesepian. Semua terasa benar selama ada Jessica disampingnya.