Baik Jessica maupun Langga masih terguncang dengan kenaikan status anaknya menjadi tersangka. Padahal sebelumnya anak itu mengaku tidak membunuh siapapun.
Namun, sekarang pernyataannya malah berbanding terbalik. Langga sendiri menemukan kejanggalan dalam kasus ini. Terlebih putranya seperti menutupi sesuatu darinya maupun Jessica.
“Pengacara kita katanya udah jalan ke kantor polisi,” celetuk Langga sembari menyugar rambutnya ke belakang. “Sekarang kita coba ke kantor polisi, Jess?”
Jessica yang awalnya terduduk kaku, pelan-pelan mengangguk. Jiwanya seperti melayang ketika mendengar berita dari sang suami. “Aku bakal suruh Grace ke sini lagi buat nemenin Jenny.”
“Ya.” Langga memeluk istrinya dari samping. Dia mencoba memberi kekuatan untuk Jessica, meskipun dia sama-sama gelisah.
Merogoh ponselnya, Jessica langsung meminta Grace untuk datang. Dia juga mengimbau agar Grace tidak memberitahu soal Sean pada Jenny. Putrinya mungkin akan kaget juga. Jessica tidak mau mental anak bungsunya itu ikut terguncang.
“Udah, kita bisa berangkat sekarang.” Jessica bangkit meraih tasnya. “Pasti Sean ketakutan. Dia mungkin juga kebingungan. Aku takut dia disakitin di sana, Langga.”
“You can rest easy, Jess. Pengacara aku pasti bisa bebasin Sean. Lagian aku juga nggak percaya Sean yang bunuh cewek itu.”
“Iya, aku juga nggak percaya. Pasti ada something yang kita nggak tau.”
Keduanya bertekad membebaskan Sean secepatnya. Apapun akan Langga lakukan agar anaknya itu bisa segera bebas. Dia pun sebenarnya tidak ingin jika ayahnya sampai mengetahui masalah ini. Langga risau Sean akan terluka akibat ulah kakeknya yang marah besar.
Mereka berdua bergerak menuju kantor polisi setelah memberi tahu Jenny. Jessica beralibi ada urusan yang harus diselesaikan berdua dengan ayahnya Jenny tersebut. Untungnya Jenny percaya dan tidak bertanya banyak. Anak itu sibuk belajar bahkan setelah mengikuti beragam les privat.
Langga menyetir agak kencang. Mereka berdua tidak banyak bicara. Jessica menyadari hari ini, mereka berdua kembali bicara panjang lebar setelah berbulan-bulan perang dingin hingga memutuskan pisah rumah. Biasanya mereka selalu bertengkar tiap kali bertemu. Entah ini hal yang baik atau tidak, setidaknya Jessica bahagia Langga mau bekerja sama.
Mobil Langga hampir memasuki kantor polisi sebelum dicegah oleh Nathan. Pria itu berdiri menghalangi mobil hingga Langga terpaksa menghentikan laju mobilnya. Nathan memeriksa keadaan sekitarnya sebelum mengetuk kaca mobil Langga.
“Kenapa, Nath? Ada masalah?” tanya Langga segera.
“Pak, media sudah tahu tentang berita ini. Beberapa wartawan sudah ada di depan kantor polisi.” Nathan kembali mengawasi situasi sekitar. “Saya diminta untuk mencegah Bapak dan Ibu masuk ke sana.”
Langga berdecak kesal sembari memukul kemudinya. Masalah ini akan semakin besar. Langga menoleh ke samping lalu mendapati wajah pias Jessica. Ini tidak akan mudah. Langga harus segera melakukan sesuatu demi melindungi keluarganya.
“Tetep aja saya harus liat Sean, Nath. Kamu tolong halangi wartawan itu, saya mau masuk,” sentak Jessica. Satu hal yang ingin dia lakukan sekarang adalah bertemu Sean. Itu saja.
“Maaf Bu, tetap tidak bisa. Bapak dan Ibu diminta untuk pulang ke rumah utama, biar saya yang menjaga Mas Sean di sini.”
Langga mendengus kasar. “Ini perintah Papa, kan?”
Nathan sempat melebarkan matanya, tapi dia tetap diam. Diamnya itu sudah memberi jawaban bagi Langga dan Jessica. Mungkin ayahnya Langga itu tengah bersiap memuntahkan amarahnya pada Langga.
Jalanan semakin ramai, para wartawan mulai memadati pelataran kantor polisi. “Di sini makin ramai, Pak. Sebaiknya Bapak segera pergi.” Ngocoks.com
“Nggak!” sergah Jessica. “Langga, kita harus liat Sean. Dia butuh kita, please jangan dengerin Papa dulu. Apa kamu nggak mau ketemu Sean?”
“Tapi Bu-”
Tatapan tajam Langga langsung tertuju pada Nathan. “Kali ini saya ngalah. Tapi kamu harus pastikan Sean segera bebas. Pak Beni mungkin udah di dalem, segera koordinasi sama beliau.”
Mulanya Jessica ingin membantah, tapi Langga kembali menyela. “Jess, jangan buat masalah ini tambah rumit. Kamu ikut aku pulang ke rumah kita, biar kita bisa minta Papa buat bantu Sean.”
Selalu seperti ini, lagi-lagi Jessica harus mengalah karena keluarga sang suami. Meskipun sebenarnya dia ingin segera memeluk Sean. Jessica tetap harus menahan dirinya sendiri.
•••
Rumah megah itu tampak dijaga oleh banyak pria berpakaian hitam. Tampang mereka yang tidak bersahabat membuat siapapun enggan mendekati rumah itu termasuk beberapa awak media yang berjaga. Semakin banyak gambar yang ditangkap oleh para wartawan, membuat Jessica semakin gelisah. Bahkan mereka lebih cepat menjangkau kediaman Hianggio ketimbang dirinya.
“Mereka gerak cepat ternyata,” komentar Langga. Mobil yang dikemudikannya tidak luput dari jepretan kamera wartawan yang tidak bisa mendekat akibat ditahan oleh bodyguard.
Jessica mendesah lelah. Dia dan Langga kemudian memasuki rumah yang hawanya sudah tidak bersahabat itu. Mertuanya tampak marah.
“Gimana bisa Sean terlibat masalah kayak gini?” tanya pria tua yang kini menjabat sebagai gubernur itu.
Jessica melirik suaminya yang hendak mengkonfirmasi. Langga menarik napas sebelum menjelaskan. “Aku sama Jessica nggak tau, Pa. Semalem Sean biasa-biasa aja, kan? Kita tahu kalau dia bukan orang yang suka terlibat sama masalah. Apalagi masalah fatal kayak gini. Iya, ‘kan, Jess?”
Jessica hanya mengangguk kecil. Dirinya bahkan tidak mampu menatap mertuanya. Pikirannya sungguh bercabang kini. Dia percaya pada pengacara keluarga Hianggio, tetapi kepercayaan itu tidak sepenuhnya menghilangkan kesedihan serta rasa waswasnya.
“Kalian sempat ngobrol sama Sean tadi?”
“Iya, Pa.” Lagi-lagi Langga yang bicara. “Waktu kami tanya, dia malah bahas perceraian aku sama Jessica. Aku nggak ngerti, kenapa dia malah bahas hal itu.”
Liem, pria berambut putih itu, tak segan-segan mendengkus kesal. “Gimana bisa gadis itu tewas saat Sean ada di rumahnya? Papa nggak habis pikir.”
Jessica dengan sembunyi-sembunyi menggigit bibirnya menahan tangis. Dia jadi membayangkan masa depan putranya kelak. Pasti akan sangat sulit. “Apa… kalian kenal gadis itu?” tanyanya dengan terbata.
Langga melirik Jessica. Pria berkemeja itu tahu betul bahwa istrinya sedang menahan tangis. “Kami nggak kenal. Selama kamu keluar dari rumah ini, Sean nggak pernah sekalipun bawa temen perempuan.”
“Daripada itu,” ujar Liem seraya menatap Jessica. “Kamu kan ibunya. Gimana bisa kamu nggak tau masalah Sean? Apa selama ini dia nggak pernah teleponan sama kamu?”
Jemari Jessica tertekuk takut. Tundukan kepalanya semakin dalam. “Sean nggak pernah cerita tentang masalahnya sama aku, Pa. I’ve been trusting Sean all along. He’s a good boy. I never imagined that he would get into this trouble.”
Langga memberikan gestur melindungi istrinya dengan sedikit merentangkan tangan kanannya menutupi Jessica. “Jangan salahin Jessica, Pa. Aku juga percaya sama Sean. Dia nggak akan mungkin membunuh orang. Seharusnya sekarang kita cari cara supaya Sean lepas dari tuduhan itu.”
“Papa juga yakin sama hal itu. Tapi, if he didn’t do it, then why did he admit it?”
Jessica buru-buru menjawab. “Polisi bilang sama kami, awalnya Sean memang bilang kalau bukan dia pembunuhnya. Tapi, setelah ngobrol sama kami sebentar, Sean tiba-tiba mengakui pembunuhan itu.”
Rahang ayah Langga mengetat. Tangannya terkepal marah. “Ya, udah. Urusan itu biar diurus sama pengacara. Untuk sementara sebaiknya kalian tinggal di sini. Media sudah tahu. Nama baik Papa sudah tercemar sekarang. Suasananya bakal makin memburuk kalau mereka juga tahu kalian mau cerai. Jadi lebih baik sembunyikan masalah itu dulu. Bawa Jenny ke sini,” perintahnya.
“Iya, Pa.” Langga menoleh pada Jessica dan mengangguk kecil.
Jessica sebenarnya tak yakin akan bisa kembali akur dengan Langga, tetapi situasinya tidak memberikannya pilihan. Dia pun segera beranjak dari sofa untuk menghubungi Jenny.
•••
Seorang tuna netra memberitahu polisi bahwa telah terjadi pembunuhan di rumah tetangganya. Seorang gadis SMA, berinisial SL, menjadi korban. Mirisnya tubuh korban ditemukan bersimbah darah bersama dengan dua orang remaja laki-laki yang berpenampilan kacau. Salah satu diantaranya adalah cucu Gubernur.
Kasus misterius kematian gadis SMA yang melibatkan cucu Gubernur daerah.
-A Thread-
Asap rokok yang mengepul tak membuat Adinata, detektif yang mengambil kasus Sean, terganggu ketika membaca judul utas di salah satu platform media sosial. Tak dia sangka, kasus ini menyebar begitu cepat layaknya cahaya yang merambat.
“Pak Adi, mau ketemu tersangka dulu?” Seorang polisi menginterupsi kegiatan Adinata.
Setelah menjepit rokok di jemarinya, Adinata berbalik badan dan menggeleng. “Sudah tanyakan motif anak itu?” Pria itu lantas memasukan ponselnya ke dalam saku.
“Sudah, Pak. Anak itu bilang dia ada dendam sama korban. Ini masalah sepele, Pak. Nggak perlu cemas, pelakunya juga udah-”
Adinata memiringkan kepalanya. “Dia bilang sendiri kalau itu karena dendam?”
“Iya, Pak.” Melihat Adinata yang tetap bergeming, polisi itu menambahkan. “Tenang saja. Kasus ini bakal segera ditutup.”
“Aneh,” sebut Adinata. “Anak itu keliatan mengakui perbuatannya tanpa ragu. Biasanya pelaku pembunuhan nggak seperti itu.”
“Pak, ini cuma kasus klise. Nggak perlu dipikirkan terlalu serius.”
“Nggak.” Tangan Adinata terangkat ke depan wajah polisi yang menjadi lawan bicaranya. “Banyak banget hal yang mencurigakan di sini. Polisi yang pertama bawa anak itu ke sini bilang, anak itu awalnya mengelak. Tapi setelah ketemu Ibu Bapaknya dia malah mengakui dengan mudah dan tegas. Seolah memang sengaja pengin ditangkap polisi.”
Adinata mengatakan hal tersebut bukan tanpa alasan. Sudah banyak kasus yang dia tangani. Namun, kebanyakan pelaku tidak ada menyerah secepat ini. Dia menduga ada hal lain yang disembunyikan Sean.
“Masalah ini udah sampe ke media, kita nggak boleh lengah. Salah sedikit, kita bisa dihujat satu Indonesia. Hati-hati dalam ambil langkah.”
“Baik, Pak.”
Adinata, pria dengan kemeja biru itu, kembali menghadap pada jendela ruangan. “Sudah interogasi saksi 1?”
“Ananda Kenny? Sudah, Pak. Dia kelihatan yakin kalau Ananda Sean adalah pelakunya.”
Adinata diam. Pikirannya mulai merancang strategi. Seperti yang sudah-sudah, pria itu amat sangat peduli pada setiap langkah yang dibuatnya.
“Terus awasi dia. Juga laporkan secara berkala perkembangan pernyataan tersangka. Kalau ada fakta baru segera kasih tahu saya. Paham?”
“Baik, Pak.”
Bersambung…