Langga menggosok-gosok kepalanya yang masih lembab dengan handuk. Pria dengan tinggi 183 cm itu menuruni tangga untuk mencari keberadaan sang istri yang mulai hari ini akan sering dia temui kembali.
Matanya berhenti pada sofa panjang ruang tamu. Rupanya Jessica tertidur di sana. Langga mendesah, Jessica belum meninggalkan kebiasaannya ini.
Dulu saat masih bersama, Jessica sering kali tertidur di ruang kerjanya karena kelelahan. Hal itu membuat Langga sering menggendongnya ke kamar. Namun, sekarang keadaan sudah berbeda.
Langga tak mungkin menggendong Jessica untuk dipindahkan ke kamarnya. Maka, pria itu pun kembali ke kamar untuk meletakan handuk dan mengambil selimut tebal. Perlahan tapi pasti, Langga mendekat pada Jessica.
Dia meletakan selimut secara hati-hati agar Jessica tidak terbangun. Usai itu, Langga berjongkok dan mengamati wajah wanita yang sudah menemaninya selama 19 tahun hidup.
“Ck, kamu nggak berubah,” gumam Langga. Tangannya tak dapat ditahan untuk mengelus rambut Jessica.
Bengkak di bawah mata Jessica turut menjadi perhatian Langga. Sudah dia duga, Jessica pasti tidak berhenti menangis karena Sean hingga matanya jadi seperti itu. Padahal dibalik itu semua, tanpa sepengetahuan Langga, mata Jessica sudah bengkak lebih dulu karena menangisi perceraian mereka.
“You’re old now, tapi di mataku, kamu masih sama kayak dulu.” Langga berusaha untuk tidak tersenyum mengingat kenangan mereka. “Gampang nangis.”
Mungkin karena merasa ada seseorang yang mengelus puncak kepalanya, Jessica jadi menggeliat. Melihat itu, Langga sigap untuk berdiri dan berjalan ke tangga untuk kembali ke kamarnya.
Langga sebenarnya khawatir Jessica memergoki perbuatannya itu. Mau bagaimana pun, hubungan mereka hendak diakhiri, jadi tidak etis rasanya jika dia ketahuan merawat istrinya seperti itu.
Tanpa Langga duga, Jessica benar-benar terbangun. Wanita itu mengucek matanya sebentar sebelum menyadari bahwa kini tubuhnya tertimpa selimut tebal.
Dia pun reflek melihat ke sekelilingnya untuk mencari seseorang. Dan setelah melihat ke arah tangga, barulah dia tahu siapa yang memberinya selimut hangat tersebut.
Jessica menghela napas. Punggung yang tengah menjauh darinya itu benar-benar Jessica rindukan. Perlakuan Langga padanya kali ini membuat Jessica sadar bahwa suaminya itu ternyata masih peduli padanya.
Entah dia harus senang atau sedih. Sebab setelah kasus Sean selesai, mereka akan tetap berpisah, bukan? Jadi, Jessica pun membatasi dirinya untuk tidak terlalu memikirkan sikap peduli Langga lebih dalam.
Jessica akhirnya bangkit dan mulai melipat kembali selimut Langga. Rasa kantuknya lenyap. Perasaan sedih kembali mendominasi hatinya. Padahal tadi niatnya hanya berbaring sebentar sembari menunggu Jenny datang.
Ternyata dia malah ketiduran di sofa. Beruntung setelah melihat ponsel, Jessica menyadari kalau tidurnya tidak lama.
Ketika tengah memeriksa ponsel, suara anak bungsunya terdengar. “Mama!” seru Jenny.
Perempuan kecil itu berlari dan memeluk ibunya kencang. Rasa sedih Jenny tidak dapat terbendung melihat banyak pemberitaan miring mengenai keluarga Hianggio di televisi. Jenny merasa tidak akan mampu menghadapi teman-temannya kini.
“Sayang…”
“Sean jahat! Dia bikin keluarga kita malu, Ma,” celetuk Jenny penuh kekesalan.
“Hey, no…” Jessica memerangkap pipi Jenny dengan tangannya. “Abang nggak begitu, Jen.”
Jenny menggeleng. Gadis yang mengenakan sweater kuning itu melepaskan tangan ibunya dari pipi. “Kalau nggak jahat, Sean nggak mungkin masuk penjara, Ma! Gimana aku bisa sekolah sekarang?! Temen-temen aku pasti udah tahu berita ini.”
“Jen, you shouldn’t judge your brother like that. Mama percaya Abang nggak salah. Sebentar lagi Abang pasti keluar dari penjara. Jangan percaya kata orang-orang. Percaya sama Mama aja, oke?”
Jenny tidak kelihatan senang mendengar itu. Perasaannya masih dongkol sekarang. Namun, karena tidak mau berdebat dengan sang ibu, Jenny putuskan untuk mengangguk dan kembali ke kamar lamanya. Meskipun senang karena kedua orang tuanya kembali bersama, tidak dimungkiri, Jenny benar-benar marah pada kakaknya yang kini di penjara itu.
•••
Kenny menoleh tatkala pintu ruangan terbuka. Di sana dia melihat Sean datang dengan wajah datar. Kenny menegakkan badannya, tangannya pun bertaut erat. Lelaki itu sedikit goyah akibat tatapan tajam Sean.
“Silakan bicara,” ucap polisi yang membawa Sean. Dia menepuk pundak Sean beberapa kali. “Jangan ribut apalagi berantem.”
Sean mengangguk kemudian duduk berhadapan dengan Kenny. Mata Sean menatap wajah sahabatnya dalam. Sean tidak menyangka mereka akan berada pada situasi ini pada akhirnya. “Lo seneng, kan?”
Kenny mengernyit. “Seneng?”
“Gue nggak suka pura-pura.” Sean memajukan tubuhnya, lelaki dihadapannya ini masih terlihat baik-baik saja. Itu membuatnya sedikit tidak senang. “Lo juga tau itu.”
“Ngomong apa sih lo? Gue sama sekali nggak paham.” Kenny memalingkan wajah.
“Gue ada di sini juga karena lo. Gimana? Seneng udah masukin gue ke penjara? Seneng udah hancurin-”
Tanpa aba-aba, Kenny memukul meja dihadapannya hingga telapak tangannya memerah. Yang mana menunjukan puncak kekesalan pada lelaki dihadapannya ini. Namun sayangnya, Sean sama sekali tidak terpengaruh. Bahkan bergerak satu inchi pun tidak dia lakukan.
“Munafik lo, Se!” Kenny bangkit lalu berteriak lantang. “Lo pembunuh! Lo bunuh Sofia!”
Bukannya takut, Sean justru terkekeh. “Kita semua tau apa yang terjadi sama Sofia waktu itu. Dan lo masih bilang kalo gue pembunuh?”
“Huh? Ini… jelas bukan salah gue. Gue sama sekali nggak salah. Gue… nggak ada hubungannya sama-”
Kali ini Sean tertawa kecil. Melihat tingkah laku Kenny adalah salah satu hiburan dari banyaknya masalah yang kini menimpanya satu per satu.
Hatinya terlalu sakit mengetahui ayah dan ibunya tidak ada di saat Sean membutuhkan mereka. Hanya asisten ayahnya dan pengacara yang datang. Sean benci keluarganya. He hated knowing his body flowed that family’s blood.
“Nggak ada yang nuduh lo. So then, there’s no need to be afraid, Ken.”
Kenny makin berang. Dia hampir melukai wajah kuyu Sean jika saja polisi tidak datang untuk melerai mereka berdua. Polisi sigap menahan tubuh Kenny yang tidak habis energi untuk memberontak. Padahal Sean tetap tenang tanpa tindakan apapun. Dia seakan tahu apa yang akan terjadi pada mereka berdua setelah ini.
“Dia pembunuh, Pak! Dia yang bunuh temen saya!”
Alis sang polisi terangkat. Dia merasa ada yang aneh. Sean yang notabene orang yang dituduh itu justru tetap diam. Tadi saja dia dengan mudah mengaku sebagai pembunuh.
Sementara Kenny terlihat berapi-api menuduh temannya. Seharusnya dia senang karena Sean juga sudah mengaku, tapi ini sungguh berbeda dari pengamatannya.
•••
Langga terkejut mendapati Jessica yang duduk di meja makan sedang mengamati laptopnya dengan seksama. Ini masih pagi, Langga bahkan baru bangun dari tidur lelapnya.
Biasanya dia akan menengok Sean dan mengawasinya untuk bersiap ke sekolah. Kali ini, dia sedikit senang ketika menangkap keberadaan sang istri. Langga kembali mengingat-ingat, agaknya kapan terakhir kali paginya secerah hari ini?
“Jess?” Langga sudah berdiri tepat di belakang punggung sang istri. Didapatinya laptop yang menampilkan jurnal yang entah apa isinya. “Lagi ngapain?”
“Oh, udah bangun.” Jessica bangkit lantas berjalan menuju dapur. Tangannya cekatan membuat teh yang biasanya Langga nikmati di pagi hari.
“Kamu ngapain?”
“Hmm?” Jessica terdiam sejenak, dia tiba-tiba merasa tidak berhak lagi. “Ah, ini… aku lupa. Biasanya kan-”
“No, nggak papa. Udah lama aku nggak minum teh buatan kamu.”
Mendengar jawaban melegakan Langga, Jessica melanjutkan pekerjaannya. Dia merasa malu karena tanpa sengaja melakukan kebiasaan yang sering mereka lakukan. Ngocoks.com
“Ini.” Langga menerima teh tersebut dengan senang hati.
“Kamu baca apa?”
“Jurnal yang mirip-mirip sama kasus Sean. Aku nggak boleh diem aja, seenggaknya aku harus cari tahu tentang kasus pembunuhan dan gimana cara bebasin Sean dari masalah ini.”
Langga bergeming. “Dari kapan kamu baca ini? Semalem? Kamu nggak tidur, Jess?”
“Lho?” Jessica mengikat rambutnya dengan tidak beraturan. “Aku sempet-”
“Maaf, Pak, Bu, ada Pak Beni di depan.” Langga dan Jessica kompak menoleh pada salah satu asisten rumah tangga mereka.
“Ya, makasih, Mbak.”
Tanpa membuang waktu, Jessica dan Langga cepat-cepat menuju ruang tamu. Di sana Pak Beni tengah berbincang dengan ayah Langga. Begitu melihat Langga dan Jessica, Pak Beni langsung menyalami mereka.
“Pak Langga, Bu Langga, semoga sehat selalu.” Pengacara itu tersenyum tipis. “Maaf saya datang pagi-pagi.”
“Nggak papa, Pak Beni. Saya yang malah merepotkan Bapak dengan kasus Sean ini.”
Pak Beni menggeleng. “Sudah tugas saya, Pak.”
“Pak Beni dateng buat jelasin kronologi pembunuhan itu,” jelas Liem Hianggio yang sudah segar dan siap mendengar cerita dari sang pengacara.
“Iya, Pak. Jadi begini, pihak kepolisian sudah melakukan penyidikan. Nah, kami juga sudah mengetahui kronologi kejadian berdasarkan kesaksian saksi 1 atau Ananda Kenny.” Pria itu memakai kacamatanya dan mengeluarkan sejumlah berkas dari dalam tasnya.
“Jadi hari itu, pukul 08.23, Ananda Kenny mendapat pesan dari korban. Isi pesannya itu, Ananda Kenny diminta segera pergi ke rumah korban dan mengajak serta Sean. Kenny ini pergi ke rumah korban seorang diri setelah menghubungi Sean. Dia sampai kira-kira pukul 08.50. Tapi, Kenny melihat keanehan dari tingkah laku korban.”
Jessica menahan napas menungggu kelanjutan informasi dari pengacaranya. Sejauh ini dia belum melihat tanda-tanda keterlibatan Sean. “Aneh gimana, Pak?
“Dari kesaksian Kenny, korban seperti depresi, linglung, dan tidak sadar. Pokoknya emosi korban sedang tidak stabil. Lalu, Kenny ini berusaha menenangkan korban. Namun tiba-tiba saja, dia dipukul dengan keras pada bagian kepalanya hingga pingsan.” Pak Beni mengangsurkan bukti visum Kenny.
“Lalu gimana cewek itu bisa mati, Pak?” tanya ayah mertua Jessica.
“Untuk itu, masih didalami pihak kepolisian, Pak. Tapi, setelah Kenny tersadar, dia hanya melihat korban sudah tewas bersimbah darah dan… Sean yang terduduk lemas di depan mayat korban. Sehabis itu, Kenny buru-buru melapor pada tetangga korban yang tuna netra itu, Pak. Tetangga ini juga yang melapor polisi.”
“Terus apa buktinya anak saya yang bunuh cewek itu, Pak?” Langga berapi-api.
“Sejauh ini belum ada bukti kuat, tapi kesaksian Sean sendiri yang membuat kasus ini semakin rumit. Dia terus mengaku sebagai pembunuh korban,” terang Pak Beni. “Saya sudah mencoba bicara pada Sean, tapi dia malah menanyakan sejauh mana proses perceraian Pak Langga dan Ibu Jessica.”
Kedua orang tua Sean itu semakin kalut. Mereka tengah menebak-nebak apa yang sebenarnya Sean pikirkan? Kenapa anak itu terus menanyakan hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan masalah pembunuhan ini?
Bersambung…