Jessica sedikit mengintip kamar Jenny, samar-samar dia mendengar percakapan antara Langga dan putrinya itu. Sebetulnya Jessica hendak meminta kunci kamar Sean pada suaminya. Jessica berniat membersihkan kamar Sean sebelum putranya itu pulang besok.
“Biar besok Papa panggilin teknisi.” Langga berdecak sambil berusaha memperbaiki laptop milik Jenny. “Beli lagi aja, ya, Jen. Ini kalo dibenerin nanti paling rusak lagi.”
“Dibenerin Papa dulu nggak bisa? Aku ada tugas ini, lho. Mau dikerjain sekarang,” rengeknya.
“Pake laptop Papa dulu lah.” Pria itu menggaruk kepalanya, sedikit kewalahan. Langga sangat awam terhadap hal seperti ini. Saat Jenny memintanya memperbaiki laptop, Langga tidak bisa menolak. Dia tidak ingin kelihatan bodoh di depan putrinya sendiri.
“Laptop Jenny kenapa?” Jessica memberanikan diri masuk.
“Kemasukan air. Nggak bisa nyala,” pungkas Langga.
Ibu dua anak itu melirik Jenny tajam, sedikit mengintimidasi. Bukan sekali ini saja Jenny ceroboh, gadis itu dulu juga pernah merusak hair dryer milik Jessica. Tentu saja akhirnya Langga membela sang putri dan memberikan hair dryer baru untuk Jessica. Jessica pikir, Langga terlalu memanjakan Jenny.
“Pake laptop Mama aja. Sana ambil di bawah.”
Mau tidak mau Jenny menurut. Dia tidak ingin membuat sang ibu kembali marah. “Fine.”
Begitu Jenny pergi, Langga mengalihkan atensinya pada sang istri. “Kamu butuh sesuatu?”
“Iya,” akunya jujur. “Kunci kamar Sean ada sama kamu? Aku mau bersihin. Jadi misal Sean pulang, bisa langsung dipake istirahat.”
“Ada di laci biasa.” Langga bergerak menuju laci yang dia maksud. Setelahnya berlanjut menuju kamar Sean diikuti sang istri.
“Biar aku bantu beresin,” ujar Langga setelah membuka pintu dan dibalas anggukan oleh Jessica.
Kondisi kamar Sean sebenarnya masih terlihat bersih. Hanya saja, Jessica ingin memastikan sendiri kamar tersebut siap ditempati. Wanita itu dengan cekatan berjalan menuju ranjang milik Sean. Dia membersikan debu-debu halus yang menempel pada sprei.
Sementara Langga berjalan ke arah koleksi buku-buku Sean. Lelaki itu takjub sekaligus bangga karena Sean mengoleksi begitu banyak buku, baik yang tebal maupun yang tipis. Maklum, ini pertama kalinya Langga mengamati kamar putranya dengan detail.
“Kalo ada kabar dari Pak Beni soal kepulangan Sean, just let me know. Biar aku bisa masakin masakan kesukaan Sean.”
Langga berbalik menatap Jessica yang sudah berkaca-kaca. Dia tahu orang yang paling bahagia mendengar kepulangan Sean adalah Jessica. Jika Sean sudah pulang, Jessica pasti bisa kembali tidur nyenyak. Langga sudah tidak mau melihat kantung hitam dibawah mata indah istrinya lagi.
“Pasti. Sekarang kamu nggak perlu stress lagi, Jess. Sean udah nggak papa kok.”
“Sorry, belakangan aku overwhelmed. Misal kamu nggak nyaman, aku minta maaf.” Jessica berhenti merapikan tempat tidur Sean. Dia merasa buruk karena banyak menyusahkan Langga.
“Ngomong apa, sih?” Pelan-pelan Langga mendekat. “Aku sama sekali nggak ngerasa kayak gitu. Berhenti mikir yang nggak-nggak tentang aku.”
“Mm, aku tau. Jujur, aku ngerasa bersalah banget sama Sean,” ungkapnya. “Dia milih tetep di penjara dan jadi tersangka karena kita pisah. Dia pasti terguncang gara-gara keputusan kita, Langga.”
Perasaan Jessica memang wajar. Disadari atau tidak, keputusan mereka untuk berpisah pasti berdampak pada anak-anak sekecil apapun. Sebelum membuat keputusan ini, Langga juga memikirkan anak-anak mereka. Hanya saja dia tidak tahu bahwa Sean akan berbuat senekat ini.
“Mungkin kedepannya kita harus hati-hati lagi, Jess. Sebelum buat keputusan, kita harus mikirin Sean dan Jenny juga.” Langga mengusap pundak istrinya dengan kaku.
Namun, Jessica justru kembali mengeluarkan air matanya. “Kadang aku mikir, aku ini ibu yang buruk buat mereka.”
“You’re a great mom, trust me.” Spontan, Langga bergerak memeluk tubuh mungil Jessica. Lelaki itu memberanikan diri merengkuh punggung istrinya dengan erat.
Mulanya Langga merasa lancang, tetapi ketika Jessica membalas pelukannya Langga dapat bernapas lega. Dia memeluk seperti tidak ada lagi hari esok. Pelukan mereka terasa pas, ditambah bubuhan kecupan dari Langga untuk istrinya. Langga berjanji, dia akan melindungi wanita ini sampai dia tiada.
•••
Langga tersentak kaget saat Jessica tiba-tiba saja mengandeng tangannya. Sebenarnya ini memang terlihat wajar bagi pasangan suami istri, tapi tidak begitu untuk Langga dan Jessica. Langga berdeham untuk menyembunyikan perasaan terkejut sekaligus gembiranya.
“Ini… ini maksudnya apa?” bisiknya pelan. Langga jelas tak mau semua orang yang ada di kantor polisi ini mendengar pembicaraan mereka.
Jessica mengernyit tapi tetap tersenyum. Cantik sekali. “Nggak apa-apa.”
Langga yang melihatnya kembali salah tingkah. Raut percaya diri Jessica ketika menggandeng tangannya memberikan Langga keyakinan bahwa istrinya itu pasti sudah luluh untuk diajak rujuk. “Kamu—”
“Biar Sean seneng aja. Kalo kita gandengan gini kan kesannya kita kayak pasangan yang harmonis.”
Senyum kecil Langga langsung surut. “Jadi ini gara-gara—”
“Mohon untuk tetap kooperatif dalam kasus ini ya, Pak, Bu.” Renita, si polisi wanita berambut pendek, tersenyum sedikit, mendekat pada sejoli itu. “Ananda Sean memang sudah dicopot status tersangkanya, tapi tolong kerja samanya kalau kami mintai keterangan.”
“Pasti, Bu.” Langga menjawab.
Jessica tersenyum remeh. “Dari awal saya udah bilang kalau Sean bukan pembunuh. Kalian yang nggak percaya—”
“Pokoknya terima kasih sekali lagi, Bu Renita.” Langga tidak bisa membiarkan Jessica bersikap ketus.
Meskipun kini tengah dipelototi sang istri, Langga tetap bergeming. Dia hanya bisa mengeratkan genggaman Jessica, seolah meminta wanita cantik itu menahan diri.
“Ayo, Sean.” Jessica menarik Sean mendekat padanya. “Kami pamit, Pak, Bu.”
Setelahnya mereka berempat, plus Pak Beni sang pengacara, berjalan menuju mobil. Senyum bahagia terpancar dari wajah semua orang kecuali Sean sendiri. Sang bintang utama itu justru murung.
Jessica sebenarnya sedih. Putra sulungnya bahkan tidak bisa bahagia dihari kebebasannya ini. Pikirnya, Sean pasti sedih karena masa depannya sudah tercemar. Apalagi kasus ini sudah viral di media sosial.
Dia pun berinisiatif menghibur putranya. “Kamu makin kurus, Bang. Nanti pulang ke rumah makan yang banyak, ya.”
Sean hanya meliriknya. Laki-laki tampan itu hanya terduduk kaku di bangku mobil tanpa mengatakan apapun. Jessica pun sekonyong-konyong mengecup pipi Sean.
Pria muda yang dikecup itu sontak terbelalak. Tak butuh waktu lama, telinganya langsung merah. “What the heck, Mom?! Aku malu.”
Jessica tahu bahwa dia tak pernah mencium putranya sejak Sean masuk SMP. Entah kenapa dia sangat ingin memanjakan putranya lagi setelah kejadian ini. Dia pun tersenyum tanpa dosa. Senang karena bisa menggoda putranya. “Kenapa, sih? Cuma Papamu yang liat, kok.”
Sean melirik Langga. Kini pipinya makin menghangat karena ayahnya ikut terkekeh kecil. Laki-laki karismatik itu akhirnya hanya memandangi jendela selama perjalanan pulangnya. Pundung karena sikap Jessica.
•••
Chicken breast bumbu pesto, burger, smoothies, salad, tempura, kimchi, dan berbagai olahan kepiting telah terhidang di meja makan. Jessica memang meminta asisten rumah tangganya untuk memasakkan semua makanan kesukaan Sean—minus kimchi, itu makanan kesukaan Jenny.
Malam ini Jessica secara khusus membuat acara makan malam bersama. Demi merayakan kepulangan putra kesayangannya. Tak pernah Jessica merasa seantusias ini sejak pisah rumah dengan Langga.
Dia pun berinisiatif memanggil Sean untuk segera ke meja makan. “Sayang, ayo makan dulu. Kita makan bareng Opa hari ini.”
“Iya, aku lagi ganti baju!” seru Sean.
Jessica lantas beralih ke kamar putrinya. Dia menyerukan hal yang sama seperti yang telah diserukan pada Sean. Jenny bilang dia akan bergabung sebentar lagi. Membiarkan putrinya, kini Jessica mengetuk pintu kamar Langga.
“Masuk!”
Jessica tetap diam. Meski diperintahkan untuk masuk, Jessica memilih tetap berdiri dibalik pintu. Dia tak mau repot-repot flashback kenangannya dengan Langga di dalam kamar itu. Ngocoks.com
Merasa tak didengar, Langga akhirnya membuka pintu. Dia sedikit terkejut melihat Jessica. Padahal tadinya dia mengira itu ART yang tadi dia suruh untuk membawakan air putih. “Kamu… perlu sesuatu?”
Jessica menggeleng canggung. “Itu… makanannya udah siap. Hari ini ayo kita dinner bareng buat ngerayain hari kepulangan Sean.”
Itu bukan ide buruk. Langga juga sebenarnya tidak keberatan. Toh, pekerjaannya bisa dia selesaikan nanti. “Oh, ayo!”
Jessica pun turun ke lantai bawah menuju dining room. Ternyata sudah ada Liem yang menunggunya. Dia pun duduk di dekat Liem, diikuti sang suami.
“Sean mana?”
“Masih siap-siap, Pa.”
Liem menghela napas panjang. “Polisi itu udah bikin klarifikasi. Mereka udah Papa paksa membersihkan nama baik Papa. Semoga habis ini nggak ada berita buruk lagi.”
Langga diam. Sejujurnya dia merasa kasihan dengan ayahnya. Padahal kinerja Liem selama hampir 5 tahun menjabat sebagai gubernur tidak banyak kontroversi. Namun, karena adanya kasus ini, nama baik sang ayah jadi tercoreng. Masyarakat mulai menyuarakan Liem untuk mundur.
“Papa nggak usah khawatir. Setelah pembunuh aslinya ketangkep, nama Papa pasti bersih lagi.” Jessica menggenggam tangan mertuanya, meyakinkannya agar tidak terlalu cemas.
Liem bergumam menyetujui. “Makanya, kalau bisa kalian nggak usah cerai. Supaya berita buruk nggak makin simpang siur. Lagi pula, kalian udah akur lagi, ‘kan? Nggak berantem terus kayak dulu?”
Jessica dan Langga saling tatap. Langga kemudian membuka suara. “Kami—”
“Kenapa banyak banget, sih?” Sean tiba-tiba datang. Membuat Langga otomatis menutup mulut. Dia tak berani membicarakan masalah perceraian itu sekarang.
“Apanya, Bang?” tanya Jessica.
“Makanannya.” Sean mengambil tempat duduk di samping ayahnya. “Nggak usah berlebihan lah, Ma.”
“Nggak apa-apa, toh ini kan nggak setiap hari. Emang kamu nggak seneng?”
“Bukan gitu, Ma.” Sean berdecak kesal. “Adek mana? Nggak ikut?”
“Kenapa nyariin gue?” Jenny mendadak menyahut dari tangga. Gadis cilik itu memakai piyama tidur bergambar kuromi. Terlihat sangat imut. Kontras dengan wajahnya yang jengkel melihat kakaknya ikut duduk ditengah-tengah keluarga.
“Apa, sih? Nanya doang,” jawab Sean, tak mau kalah.
Makan malam kali ini berlangsung cukup lancar. Ya, meskipun sesekali Jenny dan Sean terus berdebat. Tidak pernah rasanya keluarga Hianggio berkumpul lengkap seperti ini. Terakhir kali mungkin saat mereka merayakan kemenangan Liem di Pilgub untuk pertama kalinya.
“Oh, iya, rencananya kamu mau pindah sekolah apa gimana?”
Sean tetap melanjutkan makannya. Dia tak berniat menanggapi Langga karena merasa tak acuh dengan kehidupan sekolah. Jenny yang menyaksikan itu menjadi makin sebal. “Kalo ditanya itu dijawab!”
Sean merotasi matanya. “Kenapa, sih, lo ikut campur mulu?”
“Eh, lo harusnya bersyukur bisa bebas dari penjara. Bukan malah songong kayak gini. Lo masuk penjara juga gara-gara ulah lo sendiri, ‘kan?”
“Jen, stop.” Langga jadi tidak napsu makan lagi. Pertengkaran antara dirinya dengan sang istri memang sudah mereda, tapi tidak dengan kedua anaknya.
Jenny meletakkan sendok di genggamannya dengan kasar. Bunyi nyaring tak terelakkan dari ruangan itu. Gadis itu sudah muak. “Kenapa, sih, Sean harus bebas?! Dia harusnya di penjara aja, Pa!”
Liem mulai murka. “Kamu jangan kurang ajar, Jen!”
Jenny berdiri. Tangannya mengepal keras. “Kalian nggak tau apa-apa!” Kemudian dia meninggalkan ruang makan tanpa menyahuti Jessica yang terus memanggil namanya.
Bersambung…