Malam yang dingin ini, Adinata dan kawan-kawan dikejutkan dengan kehadiran ibunda Sofia yang datang ke kantor polisi. Setelah kebebasan Sean tersebar di mana-mana, Bu Santi tidak bisa tenang. Dia merasa ini semua tidak adil bagi mendiang putrinya.
“Jadi, saya cuma mohon sama Pak Polisi sekalian. Tolong usut tuntas kasus pembunuhan anak saya. Saya cuma heran, Pak,” ujar Santi. “Kenapa bocah itu bisa bebas. Apa gara-gara dia cucu pejabat?”
Renita menggeleng. Tentu saja dia tidak akan melanggar aturan. Tak mungkin dia membebaskan Sean tanpa sebab. “Bu, sebenarnya kami nggak membebaskan Sean begitu saja. Kami tetap memantau aktivitas anak itu. Kalau ada yang mencurigakan, kami pasti selidiki.”
“Tapi, ya, apa harus dibebaskan, Pak, Bu? Itu sudah jelas anaknya ada di rumah waktu anak saya meninggal, ‘kan?”
“Nggak ada bukti nyata kalau anak itu bunuh anak Ibu. Kami dengan tegas bisa membuktikan kalau kami nggak disuap Pak Liem untuk membebaskan cucunya.” Adinata diam-diam menahan kesal. “Itu kan yang ada dipikiran Ibu sekarang?”
Bu Santi bergeming. Dia memang berprasangka seperti itu. Namun, jangan salahkan dirinya. Salahkan saja beberapa oknum polisi yang kadang ketahuan menerima suap. Tentulah Bu Santi merasa was-was. Barangkali ini juga terjadi pada kasus anaknya.
“Bu, nggak semua polisi mau disuap. Kepolisian di sini sudah sepakat melawan KKN. Jadi, tolong percaya sama kami.”
Merasa dimarahi, Bu Santi menggigit bibir bawahnya. Dengan terbata-bata dia menjawab, “Pak, seperti yang Bapak tahu, saya cuma orang kecil. Saya kerja di Hongkong jadi TKI. Sofia di rumah nggak ada yang ngurus.
Cuma tantenya yang kadang-kadang jenguk. Saya jujur kaget Pak, waktu denger berita ini. Saya sedih bukan main. Pas tahu kalau pelakunya cucu Pak gubernur Liem, saya makin pasrah. Saya takut kasus anak saya di manipulasi.”
“Kami paham kekhawatiran Ibu, tapi tolong jangan salam paham sama kami. Entah itu anak gubernur, anak bupati, kalau memang salah, kami pasti tangkap.” Renita tak tega. Sebagai seorang ibu, dia seperti ikut merasakan penderitaan Bu Santi.
Setelah merasa tenang, akhirnya Bu Santi pulang ke rumahnya. Renita jadi makin bertekad untuk menangkap pelaku pembunuhan. Namun, sangat sulit untuk menemukan petunjuk. Pelaku sangat cerdik hingga tidak meninggalkan jejak apapun. Kini yang bisa mereka andalkan hanya keterangan saksi serta barang bukti yang ada di rumah Sofia.
“Sebenarnya saya curiganya sama Kenny. Dia itu sus banget. Waktu itu bahkan dia langsung ambil visum kepalanya yang katanya kebentur. Seakan-akan dia tahu kalau dia bakal dicurigai.”
Renita mengernyit mengingat hasil visum tersebut. “Tapi, sepertinya dia memang cedera, Pak.”
“Iya, saya tahu, sih—”
“Pak Edi ada benarnya juga, Bu.” Adinata menyela. “Kita patut mencurigai Kenny. Sebenarnya saya curiga sama dia gara-gara dia selalu nuduh Sean. Seakan-akan Sean emang pelakunya.”
“Sebaiknya kita awasi dia juga.” Renita melipat kedua tangannya di depan dada. “Oh, ya, gimana perkembangan Sean? Apa tim kita menemukan sesuatu yang janggal?”
“Nggak ada, Bu. Satu hari ini dia nggak keluar rumah. Mungkin karena kakeknya gubernur. Jadi, pasti kegiatannya dijaga banget.”
Renita mengangguk setuju. “Apa bener di depan rumah Sofia nggak ada CCTV? Kalau ada, pasti bakal lebih gampang nangkep pelakunya.”
Adinata berdecak. “Sayangnya nggak ada. Tapi Bu Renita tenang aja. Kami masih terus menggeledah rumah Sofia siapa tahu ketemu sesuatu.”
“Iya, jadi sekarang semua tetap pada tugas masing-masing, ya. Pak Edi, tambah tim untuk ngawasin Kenny. Laporkan setiap hari kemana dia pergi.”
“Baik, Bu.”
•••
Senyum lebar terus terpatri menghiasi wajah Jessica. Kali ini, dia berinisiatif membawa camilan untuk Sean sebelum tidur. Mengingat keributan yang ditimbulkan Jenny saat makan malam, Jessica takut Sean semakin murung atau bahkan melakukan sesuatu diluar nalar lagi. Sebisa mungkin, Jessica akan mengawasi putranya untuk sementara ini.
“Abang?” Jessica mengetuk pintu kamar sang putra. “Bang? Boleh Mama masuk?”
“Masuk aja,” timpal Sean dari dalam.
Begitu diizinkan, Jessica akhirnya masuk dalam ruangan gelap itu. Keningnya berkerut menyadari Sean tengah menonton film ditengah kegelapan. Buru-buru Jessica nyalakan semua lampu kamar itu. Kemudian, sambil membawa nampan berisi camilan, dia mendekati sang putra.
“Lagi nonton?”
Sean langsung mematikan televisinya. “Iya. Film kesukaan aku.”
“Oh, ya? Tentang apa, Bang?”
“Mama ngapain di sini?” Lelaki 18 tahun itu mengalihkan pembicaraan.
“Ini ada camilan, supaya kamu nggak bosen. Eh, iya, nanti Mama kasih susu juga, ya?” Nampan itu dia letakkan di meja belajar sang putra. Jessica ikut duduk di ranjang, lantas mengelus tangan Sean dengan lembut.
“Maksudnya, ngapain Mama masih di rumah? Mama nggak pulang ke apartment?”
Senyum Jessica sedikit memudar. “Opa kamu suruh Mama tinggal di sini dulu. Mama sama Jenny akan terus di sini sampai beberapa hari ke depan. Mama juga mau nemenin Abang loh.”
Pembahasan ini belum Jessica diskusikan dengan Langga. Sebaiknya dia tidak memberikan harapan yang muluk-muluk untuk Sean. Jessica juga tidak tahu sampai kapan dia akan menetap. Yang jelas, Jessica ingin fokus pada perkembangan dan pemulihan Sean pasca kejadian itu.
“Sekarang perasaan kamu gimana? Ada yang kamu khawatirkan? Bilang aja sama Mama.”
“Nggak ada, sih. Tapi tadi Adek kurang ajar sama aku.”
“Adek ada salah sama kamu? Apa justru kamu yang gangguin Adek?”
Hubungan Jenny dan kakaknya memang tidak terlalu dekat. Walaupun rentang usia mereka berdekatan, Jenny selalu menjaga jarak dari Sean. Pernah Jessica bertanya, tapi Jenny malah menjawab bahwa wajah Sean seram seperti karakter Joker di film-film yang dia tonton. Sontak saja itu mengundang gelak tawa Jessica.
“Nggak tahu tuh.”
Wanita berpiyama biru laut itu mendesah lelah. “Bang, Adek mungkin lagi kesel sama kamu soal berita kemarin. Tolong maklumin aja, Mama denger temen-temen sekolah Jenny udah tahu soal kasus kamu. Jadi, Mama rasa Jenny sedikit marah soal itu. Kamu tahu sendiri Adek kamu kayak gimana.”
Sean menundukkan kepala. Jessica rasa anak sulungnya itu merasa bertanggung jawab atas apa yang adiknya alami. Sean yang tampak cuek, pasti di dalam hatinya tetap memikirkan masalah sang adik.
“Ya, pasti gara-gara itu. I feel bad, Ma.”
“Nggak papa. Besok Mama coba bicara sama Jenny. Paling dia marah sebentar, Mama yakin dia pasti seneng kamu akhirnya bisa pulang.”
Jessica mengelus rambut Sean, lalu bangkit untuk keluar. “Makan camilannya habis itu tidur. Lampunya Mama nyalain aja?”
“Matiin, Ma. Aku suka gelap soalnya.”
Sebelum benar-benar pergi, Jessica tertawa namun tetap menuruti keinginan sang anak. “Have a good night’s sleep. Jangan lupa berdoa sebelum tidur, ya!”
•••
Matahari rasanya berada tepat diatas kepala saat mobil Langga membelah jalanan menuju sekolah sang putri. Jessica menyuruhnya menjemput Jenny sekaligus membawa anaknya itu pergi jalan-jalan. Jessica bilang, Langga harus memastikan suasana hati Jenny membaik dan mau berbaikan dengan Sean.
“Pak, itu Mbak Jenny sudah keluar.” Suara Nathan memecah fokus Langga pada tab-nya.
Tidak membuang waktu, Langga keluar dari mobilnya untuk menjemput Jenny. Dia sedikit berlari menghampiri putrinya kemudian berpamitan kepada teman-teman serta penjaga sekolah Jenny. Tentunya gadis berponi itu tampak terkejut melihat ayahnya yang menjemput.
“Kok Papa yang jemput?” Jenny dibawa masuk ke dalam mobil ayahnya. Namun, wajah gembira Jenny langsung berubah 180 derajat kala mendapati sang kakak di kursi penumpang.
“Sekalian tadi habis dari kantor Opa sama Abang.” Langga meraih tas sekolah Jenny untuk dia bawa. Setelah memastikan putrinya nyaman, Langga meminta Nathan untuk melajukan kereta besi miliknya itu.
“Abang ngapain ikut, sih?” gerutu Jenny membuat kepalanya ditoyor Sean agak keras. “Abang!”
“Sst, jangan ribut, dong. Abang juga jangan gitu sama Jenny.” Langga berusaha menengahi. Lelaki itu kemudian meraih ponselnya mengecek pesan dari sang istri.
Jessica: Terserah mau kemana. Sekalian beli laptop baru buat Jenny juga oke kok.
Langga: Aku bawa ke mall kamu.
Meskipun enggan, Langga terpaksa meminta Nathan berputar balik untuk menuju mall milik Jessica. Langga pikir, tidak buruk juga membawa anak-anak ke sana. Terlebih dia bisa memantau perkembangan bisnis milik istrinya secara langsung. Ngocoks.com
Langga melirik putra putrinya yang masih berdiam diri. Sean sibuk mengutak-atik ponselnya, sementara Jenny memandangi pemandangan luar mobil. Langga rasa, dia tidak akan bisa mendamaikan kedua anaknya dengan mudah.
Benar saja, begitu menginjakkan kaki di mall milik Jessica, Jenny merengek ingin membeli laptop terlebih dahulu, tetapi Sean malah meminta untuk makan ketimbang membeli laptop untuk sang adik. Keduanya berdebat hingga kepala Langga mau pecah rasanya.
“Udah, udah. Bang, kamu ngalah dulu. Kita beli laptop habis itu makan.”
Keputusan Langga membuat Sean jengkel. Lelaki itu menutupi wajahnya dengan tudung jaket yang dia kenakan. Mau tidak mau, mengekori ayah serta adiknya menuju salah satu toko yang menjual laptop keluaran terbaru.
“Wah, selamat sore, Bapak Airlangga. Ada yang bisa kami bantu?” Si karyawan toko tampaknya mengenali Langga sebagai suami dari pemilik mall ini.
“Anak saya butuh laptop, di sini ada kan? Keluaran terbaru?” Langga menuntun Jenny melihat-lihat laptop terbaru dengan antusias.
“Pasti ada, Pak! Kami bisa tunjukan laptop keluaran paling baru.”
Setelah memilih-milih hingga hampir setengah jam, pilihan Jenny jatuh pada laptop berwarna silver yang harganya tidak bisa dikatakan murah. Beruntung, Jenny memiliki ayah yang sangat loyal. Seperti kata Jessica, Langga selalu memanjakan putrinya.
Mereka keluar dari toko tersebut dan berhenti pada salah satu restoran Jepang. Sean beralasan ingin memakan sushi, padahal dia tahu Jenny pasti menginginkan masakan Korea, bukan Jepang.
“Tapi aku lagi kepingin makan itu, Pa.” Telunjuk Jenny mengarah pada restoran Korea di sebrang lift.
“Nggak, kita makan sushi. Tadi gue udah ngalah ya, sekarang giliran lo.” Sean tersenyum kejam.
“Nggak mau!”
“Ya, nggak peduli juga, sih. Sana makan sendiri aja, Papa ikut gue.”
“Lo kan bisa makan sushi besok-besok. Sekarang makan di sana dulu lah, enak kok.”
Langga yang sudah kelelahan hanya bisa menyaksikan perdebatan putra putrinya dalam diam. Kalau tahu begini, dia akan menolak mentah-mentah permintaan Jessica. Menjaga anak ternyata sesulit itu.
“Udah, udah. Mending kita nggak makan dua-duanya.” Mata Langga menelisik ke sekeliling. “Makan masakan Indonesia aja.”
“Pa!”
“Adek.” Langga memperingati. “Kamu kenapa sih ribut terus sama Sean?”
Jenny terdiam sejenak. “Dia pernah ngata-ngatain aku.”
“Papa bawa kalian ke sini buat baikan, lho. Kalo begini terus, nanti kalian nggak bakal baikan.”
Berbaikan dengan Sean bukan ide yang bagus menurut Jenny. Dia masih kesal dan marah pada kakaknya. Kelakuan Sean kadang membuatnya marah, tapi gadis itu tidak bisa berbuat banyak.
Bersambung…