Jarum jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, namun Jessica tidak menemukan tanda-tanda Langga keluar dari ruang kerjanya. Dia pikir, Langga tengah mengerjakan sesuatu yang cukup kompleks bersama ayah mertuanya.
Ketika masih bersama, Jessica akan selalu menunggu Langga di dalam kamar mereka sambil membaca buku. Sekarang pun saat tidak bisa terlelap, Jessica ingin membaca beberapa buku yang masih tersimpan di kamar Langga.
Bukan bermaksud lancang, tapi berhubung Langga belum kembali, Jessica diam-diam masuk ke kamar yang dulu dia tempati. Wanita itu berjalan ke arah rak buku mini dan mulai mencari buku yang ingin dia baca.
Yang Jessica sayangkan, buku-buku miliknya banyak yang berdebu. Dia tebak, Langga tidak pernah membaca atau bahkan membersihkannya. Tiba-tiba suasana hati Jessica berubah kesal mengetahui hal itu.
“Jess?” Suara berat Langga membuat Jessica terkejut hingga menjatuhkan buku yang dia pegang. Sekarang apa yang harus dia katakan pada Langga? Mungkinkah Langga menganggap Jessica kurang ajar? Seharusnya kan tidak.
“Sorry, aku mau ambil buku buat dibaca.” Wanita itu meraih buku yang jatuh tepat di samping kakinya.
Jessica dibuat semakin gugup tatkala Langga malah menutup pintu dan berjalan mendekatinya. “Nggak usah ditutup, ini aku mau keluar.”
Langga berdecak. “Ini juga kamar kamu. Nggak usah sungkan.”
“Mm, ya.” Jessica menggigit bibirnya gugup. “Eh, iya, mumpung kamu di sini, aku mau ngobrolin sesuatu. Bisa nggak?”
Bukannya menjawab, Langga justru menepuk ranjang yang dia duduki. Memberi kode Jessica untuk ikut duduk. “I’m all ears.”
Jessica tersenyum mendengar balasan sang suami kemudian ikut duduk tepat disebelah Langga. “Gimana kalo kita ajak anak-anak liburan?”
“Liburan?” tanya Langga tidak mengerti. “Tapi situasinya agak sulit, Jess. Sean kan baru keluar—”
“Iya, aku paham kok. Tapi aku nggak mau anak-anak kepikiran terus sama kasus ini. Mungkin kalo kita bawa mereka refreshing sebentar, Sean sama Jenny bisa tambah akur juga.”
Membawa Sean bepergian bukan ide yang buruk. Namun, Langga tetap harus berkonsultasi dengan Pak Beni. Lelaki itu hanya takut pihak kepolisian masih belum melepaskan Sean sepenuhnya. Langga khawatir karena sejauh yang dia dengar, pelaku sebenarnya belum ditangkap. Maka selama itu, putranya tetap dalam bayang-bayang tersangka.
Sudut bibir Langga terangkat kala melihat antusiasme sang istri. Langga harus menahan tangannya agar tidak menarik tekuk Jessica dan mengacak-acak lipstik merahnya itu. “Kamu mau liburan ke mana?”
“Yang nggak jauh-jauh sih, kayaknya kita belum bisa liburan ke luar negeri juga.” Bibir Jessica bergerak ke kiri dan kanan yang tentu saja membuat Langga semakin gelisah. “Gimana kalo ke villa punya Papa? Yang deket Pantai itu loh.”
“Ya, ke sana juga bagus. Lama anak-anak nggak ke sana,” pikir Langga demikian.
“Jadi gimana?”
“Aku ngikut kamu aja lah.”
“Oke, deal, ya. Besok aku kasih tau anak-anak dulu. Terus kamu bisa kosongin jadwal kan?”
Apa Jessica pikir Langga bisa menolaknya sementara mata bening istrinya itu sudah berbinar-binar? Dari awal mereka menikah, Langga bertekad mewujudkan setiap keinginan Jessica. Meskipun kini mereka akan berpisah, tekad Langga akan tetap sama.
“Aku konfirmasi ke Nathan sekarang juga.”
Jessica semakin gembira. “Makasih, Langga.”
“Anytime,” balasnya. “Kamu nggak bisa tidur?”
“Lho, kok kamu tau?”
Mata Langga melirik pada buku yang Jessica pegang. “Mau baca buku dulu, kan? Kebiasaan.”
Langga yang masih mengingat kebiasaannya membuat hati Jessica menghangat. Wanita itu lantas berdiri dan berjalan keluar kamar. “Itu aja yang mau aku omongin. See you tomorrow.”
Bersamaan dengan itu, Langga kehilangan senyumnya lagi. Dia harap, Jessica mau mempertimbangkan keinginannya untuk rujuk kembali. Jujur, Langga merindukan cinta pertamanya itu.
•••
Jenny menatap gelombang air laut yang mendera kakinya. Terasa sangat menyegarkan, hatinya jadi sedikit melunak. Padahal tadi dia amat kesal dengan kelakuan kakak kandungnya, Sean.
Mulanya Jenny sedang asyik memotong-motong buah yang hendak menjadi santapannya. Pergi menginap di villa memang sangat mendadak, tapi dia tetap senang karena dapat menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarganya.
Meskipun dadakan, Jenny tetap tidak risau kebutuhannya tidak akan terpenuhi, sebab pengelola villa sudah diberi tahu apa saja yang gadis cilik itu inginkan. Buah-buahan ini contohnya.
“Oh, Babe, hold me closely,” senandung gadis itu. Tak berselang lama, tiba-tiba saja Sean mendatanginya dengan raut wajah masam.
“Lo tadi ngacak-ngacak laci meja gue?!”
Jenny yang lantas menangkap sinyal marah kakaknya, kemudian meletakan pisau dapur dengan sedikit keras. “Gue cuma mau cari gunting kuku. Di kamar gue nggak ada tadi!”
Memang benar tadi Jenny masuk ke kamar Sean dan menyentuh laci lelaki itu, tapi kegiatan mencarinya tidak bisa disebut mengacak-acak. Sean sangat berlebihan, pikir Jenny.
“Udah berapa kali gue bilang, gue nggak suka ada orang yang seenaknya nyentuh barang-barang gue. Lo nggak ngerti, ya?!”
“Lo lebay banget! Gue cuma nyari gunting kuku, bukan berantakin isi laci lo!” Jenny yang marah kemudian mendorong bahu kakaknya dengan satu tangannya. Ngocoks.com
Sean menepis adiknya. “Pokoknya lo nggak boleh masuk kamar gue! Mau di rumah atau di villa ini. Gue nggak mau kamar gue berantakan! Awas lo!”
Jenny menggeram. “Dasar lebay!”
Sean memang akan marah jika seseorang mengusiknya. Jenny sangat tahu kepribadian kakaknya yang tertutup itu. Sean dulu pernah memarahinya karena terlalu berisik.
Dan hal-hal yang menurut Jenny wajar dilakukan perempuan, justru seringkali dicemooh oleh kakaknya itu. Entah maksud Sean bercanda atau tidak, tapi semenjak orang tua mereka sering bertengkar, kedua kakak beradik itu juga ikut-ikutan sering beradu mulut.
Jenny rindu suasana rumah yang tenang, damai, dan sunyi. Dia diam-diam berharap dengan liburan kali ini, hubungannya dan Sean bisa turut membaik pula. Namun, kenyataannya malah makin memburuk. Gadis berponi itu sangat dongkol. Dia secara impulsif menendang gelombang laut untuk mentransfer rasa marahnya pada lautan.
Namun, hal yang terjadi selanjutnya malah sial, sandal kesayangannya justru terlepas dari kakinya dan mulai bergerak mengikuti air laut. Jenny terkesiap. Dia kemudian mengejar salah satu sandalnya itu, tak peduli dengan tubuhnya yang terus terdorong menjauh dari daratan.
Jenny baru sadar jika dirinya hampir tenggelam setelah tangannya ditarik paksa oleh seseorang. “Lo gila, ya? Mau mati?!”
Mata Jenny langsung memanas tatkala menatap kakaknya. Hatinya semakin tidak karuan kala Sean menuntunnya keluar dari laut. “G-gue mau ambil sandal!” seru Jenny.
“Lo lebih penting dari pada sandal jelek itu. Minta Mama beliin lagi, kan, bisa!”
Mau tak mau Jenny menangis. Bocah yang rambutnya dikepang itu menyembunyikan matanya dibalik tangan. Jenny tersedu-sedu. Antara kesal pada kakaknya dan kesal karena sandalnya hilang. Sean menghela napas. Akhirnya lelaki bertubuh jangkung itu berjongkok dan meminta adik kecilnya naik ke punggung.
“Buruan!”
Jenny mengintip dari balik tangannya. Dia tak berpikir panjang sebelum naik ke gendongan sang kakak. “Mau ke Mama!”
“Mama terus!”
“Biarin.” Jenny mencubit punggung Sean. “Mau ke Mama!” ulangnya.
“Iya-iya, sabar. Lo berat tau.”
Kedua kakak beradik itu akhirnya berjalan menyusuri pantai mencari keberadaan Jessica yang tadi izin berjemur di tepian pantai. Sean menoleh pada adiknya yang kini bersandar ke bahunya. Lagi-lagi dia menghela napas. Adik cengengnya memang merepotkan.
“Gue udah maafin lo,” gumam Jenny. Yang langsung membuat Sean mendengkus kesal.
“Gue yang maafin lo,” balas Sean. Kini Jenny kembali mencubit punggungnya. Mereka pun melanjutkan jalan dengan tenang.
“Tuh Mama.” Seruan Sean lantas membuat Jenny mendongak. Namun, belum sempat melihat Jessica, Sean malah berbalik arah.
“Heh, gue mau ke Mama!”
“Nanti aja. Lo sama gue dulu.” Sean berdeham canggung.
“Emang Mama lagi ngapain?”
•••
Jessica memejamkan mata merasakan angin pantai yang menerpa wajahnya. Kini tubuh rampingnya tengah berbaring santai di kursi panjang yang memang disediakan pihak villa. Entah sudah berapa tahun Jessica tidak ke pantai lagi. Dia terlalu sibuk dengan urusan mall dan perceraiannya dengan Langga.
Ngomong-ngomong soal Langga, Jessica belum melihat pria itu sejak tadi. Katanya dia ingin mengecek keseluruhan villa sekaligus melakukan evaluasi pekerja, tapi sampai sekarang masih belum kembali.
Tidak berapa lama, Jessica tiba-tiba merasakan ada sesuatu dimatanya. Ternyata sebuah kacamata yang diselipkan oleh Langga. “Lho?”
“Mataharinya terik banget. Pake kacamataku dulu.” Langga ikut-ikutan berbaring santai di kursi sebelah. “Anak-anak kok nggak ada di villa? Pada kemana?”
“Tadi Jenny minta izin mau main ke pantai. Sebentar lagi balik kayaknya. Aku udah minta Sean jagain anak itu.”
“Hmm.” Langga ikut memejamkan matanya. Tiba-tiba saja kenangan saat mereka masih pendekatan dulu muncul. Mungkin karena dulu dia dan Jessica sering sekali menghabiskan waktu di pantai juga. “Inget, nggak? Dulu kita sering banget ke pantai waktu sebelum pacaran.”
Jessica menoleh. Dahinya mengernyit karena Langga mendadak mengungkit masa lalu. “Inget lah. Kamu juga sering ngajak aku nginep di villa ini kan dulu.”
“Tapi kamu tolak terus.”
“You know my reason. Don’t pretend you don’t understand.” Jessica memutar bola matanya sebelum menatap Langga horor.
Langga bergeming. Dulu saat mereka masih pacaran dia memang tidak segan-segan melakukan kontak fisik dengan Jessica. Hal itu membuatnya sering mendapat pelototan marah dari pacarnya itu. “Emang aku ngapain?”
“Mulai!”
Langga terkekeh. Dia melirik istrinya. Bukan pada mata, melainkan dadanya yang sedikit terbuka. Pria berkaos itu berdeham ringan. “Apa kamu nggak dingin? Kenapa pake summer dress gitu, sih?”
“Kenapa emang? Aku suka kok pake ini.” Jessica melipat kedua tangannya di dada. Membuat Langga semakin ketar ketir.
“Kamu tuh…” Langga mengelap bibirnya dengan lidah. Jakunnya naik turun. “Udah lah!”
“Kenapa, sih?” Jessica mengernyit bingung. Suaminya kini tampak gugup dan jengkel disaat bersamaan.
“Nggak.” Langga mengalihkan kepalanya ke arah kiri. Berusaha menghindari Jessica. “Hari ini…. kamu cantik.”
Bibir Jessica langsung mencebik. Dia berusaha tidak terpengaruh kata-kata Langga yang bisa membuat wanita manapun lemah karenanya. Apalagi diucapkan oleh wajah yang tampan seperti itu. “Kamu mulai lagi kan.”
“Serius. Kamu bisa bikin laki-laki salah fokus tau.” Langga berharap Jessica mengerti maksudnya.
“Oh, ya? Kamu—” Jessica tak siap ketika kalimatnya dipotong oleh Langga yang mendadak bangkit dan setengah menindihnya. Wanita itu bisa melihat guratan kesal dari wajah sang suami.
Mereka saling bertatapan. Sebelum bibir Langga mendarat di bibirnya, Jessica kontan menutup mulutnya sendiri dan bergumam, “Kamu?! Nanti ada yang liat.”
Langga sedikit menjauhkan wajahnya. Dia lantas menjatuhkan handuk, yang entah didapat dari mana, ke dada Jessica agar tertutupi. “It’s better.”
Langga pun beranjak dari kursi. Meninggalkan Jessica yang kini jantungnya berdebar-debar tak mau tanang. Pria itu…. benar-benar nekat.
Bersambung…