Akhirnya, setengah kecewa, kulepaskan ciumanku. Harus ada cara supaya dia terangsang, pikirku. Aku bertanya: “mana lagi Nduk, yang dicium si Kasno?”, Suminem sekarang menunjuk belakang telinganya, dan jarinya turun menyelusur leher: “di sini Mbah..” katanya. Sekali lagi aku memercikkan air bunga dari gelas ke bagian yang ditunjuknya, dan mendekatkan mulutku ke belakang telinganya.
Kucium pelan-pelan, dan kupermainkan dengan lidahku. Tenang, jangan terburu nafsu, pikirku. Kalihkan ciuman dan gesekan lidahku ke lehernya yang mulus. Kukecup kecup halus. Aku merasakan napasnya mulai naik. Nah, ini dia. Dia mulai terangsang.
“Bagaimana rasanya, Nduk?” bisikku. Dia tidak menjawab, tetapi napasnya semakin menaik: “hegh..eemmh..” erangnya. Dan tiba-tiba dia menjauh dariku. Wajahnya menunduk ke bawah: “kenapa?” tanyaku: “kamu rasa sakit ya Nduk? pusing?” tanyaku penuh kebapakan. Dia menggeleng: “a..anu Mbah.. rasanya keri (geli) sekali..”. Aku pura pura tertawa lega: “naah, kalau kamu nggak rasa sakit, cuma geli saja, artinya ilmunya memang belum masuk terlalu dalam. Syukurlah.
Sekarang Mbah teruskan ya. Mana lagi yang di cium si kasno?” sekarang dia menunjuk buah dadanya: “di susuku ini Mbah, dicium bergantian, kiri kanan..” Nah, ini dia. Kupicratkan air kembang ke buah dadanya, dan dengan lagak sok yakin kupegang kedua bukit indah itu. Sekali lagi aku menunduk ke bawah, mulai komat-kamit membaca mantera matematikaku. Aku tampak sangat serius, meskipun sebenarnya aku sekuat tenaga berusaha mengendalikan nafsuku yang sudah tidak ketulungan berkobarnya.
Akhirnya aku menundukkan kepalaku: “harus kusedot, Nduk. Di sini manteranya kuat sekali. Si Kasno bangsat itu sudah masuk dalam sekali ke tubuhmu.” Kulihat ia mengangguk, mekipun tampak masih sangat ragu. Pertama kukecup buah dada kirinya, merasakan kelembutan kulitnya yang sangat halus. Kecupanku berputar melingkar, hingga bagian bawah susu yang mengkal itupun tak luput dari kecupanku.
Akhirnya aku berhenti di putingnya, kupermainkan sedikit dengan lidahku dan akhirnya kukulum dengan lembut. Mulutku menyedot-nyedot barang indah itu dengan bernafsu, dan lidahku menari-nari di putingnya. Kurasakan puting itu semakin membesar dan mengeras. Sedangkan jari tangan kananku terus meremas remas dada kanannya, mempermainkan putingnya secara berirama sama dengan irama gerakan lidahku di puting kirinya.
Nah, akhirnya pertahanan si genduk Suminem bobol juga. Tubuhnya yang tadinya kaku seperti kayu, sekarang terasa melemah. Tangannya memegang kepalaku, tanpa sadar mengelus elus rambutku yang gondorong. Mulutnya mendesis-desis dan menceracau pelan: “Mbah..aduuh Mbah.. jangan.. gelii sekali.. aduuhh..” tetapi aku tidak perduli lagi.
Tubuh Suminem terasa bergoyang- goyang, semakin lama semakin keras. Kupindahkan kulumanku ke puting kanannya. Aku melihat ke atas, kulihat kepala Suminem menunduk dalam-dalam sementara tangannya tetap memegang kepalaku. Matanya tertutup rapat dan mulutnya juga terkatup rapat. Ekspresinya seperti dia sedang mengejan atau menahan sesuatu yang sangat nikmat.
Horee, aku berhasil! teriakku dalam hati. Jelas dia kini juga terangsang berat. Semakin asyik saja nih, pikirku. Kini kulepaskan hisapanku di susunya dan bertanya (pasti suaranya sudah tidak tampak berwibawa lagi, tapi penuh nafsu): “terus, habis cium susumu, dia cium lagi di sini ya?” tanyaku, sambil menunjuk pada kemaluannya: “i.. iya Mbah..” katanya bergetar: “di pipis saya.. dicium terus dijilatin”.
Aku mengangguk pura pura maklum, dan menghela napas seperti sedih dan terpaksa: “ya sudah Nduk, karena begitu ya supaya pengaruh setannya hilang, Mbah juga terpaksa harus melakukan yang sama. Coba kamu duduk di meja ini”. Kataku sambil membimbingnya duduk di meja praktekku. Dengan canggung dia menurut: “buka lebar-lebar kakimu Nduk” kataku.
Dia tampak bingung sehingga harus kubantu. Kubentangkan paha kiri dan kanannya sehingga dia duduk mengangkang di mejaku. Kini tampaklah kemaluannya dengan jelas, kemaluan anak ABG yang baru ditumbuhi sedikit rambut. Warnanya kemerahan dan sangat merangsang. Jelas ini tempik (istilah khas daerahku) yang belum pernah dijamah laki-laki. Mataku berkunang-kunang karena nafsu.
Sekarang aku mengambil kursi, meletakkan tepat di depannya. Aku duduk di kursi itu dan mencondongkan tubuhku ke depan, sehingga wajahku sekarang berhadapan langsung dengan kemaluannya, hanya berjarak sekitar sepuluh sentimeter. Bau khas kemaluan perempuan menyebar dan tercium hidungku. Aku menelan ludah: “agak naikkan bokong (pantat)mu Nduk, supaya Mbah gampang nyiumnya” perintahku.
Kini dia menuruti dengan patuh, mengangkat pantatnya sehingga kemaluannya semakin lebar terbuka di depan wajahku. Dengan lembut kugosok-gosok mahkota wanita itu dengan tanganku, ke atas ke bawah dan sebaliknya. Kuremas-remas halus bulu-bulunya yang jarang, dan akhirnya kukecup kelentitnya dengan bibirku.
“Aaggh..” Suminem mengerang (mana ada sih cewek yang kuat kalau dibegituin?). aku semakin menggila. Kukecup-kecup kemaluannya dengan gemas, dari bagian atas hingga bawah, lidahku menyelusuri belahan kemaluannya dan menerobos bagian dalamnya yang berwarna merah muda dan basah. Tubuhnya semakin menggelinjang. Napasnya terdengar semakin memburu.
Akhirnya kecupan dan jilatan lidahku berhenti di kelentitnya. Kukecup-kecup terus kelentit yang tampak semakin membesar itu, dan akhirnya kuhisap dengan kuat. Sambil menghisap, lidahku tetap dengan aktif menjilati kelentit itu sementara tanganku terus mengelus elus daerah bawah kemaluannya, kadang-kadang jariku menyelusup ke lobang kemaluannya yang terasa semakin lama semakin basah.
Suminem sama sekali sudah lepas kontrol. Erangannya semakin keras (untung saja suara TV di luar sangat keras dengan lagu dangdut, moga-moga erangannya tidak ada yang mendengar). tubuhnya berkelojotan ke kiri ke kanan, tangan kanannya menumpu ke meja sedangkan tangan kirinya memegang kepalaku. Di remas-remasnya rambutku dan setiap kali kepalaku agak merenggang, ditekannya lagi ke kemaluannya.
Jangkrik, pikirku. Aku hampir tidak bisa bernapas. Tetapi bagaimanapun suasananya sangat asyik. Aku semakin tenggelam dalam permainan yang penuh nafsu ini. Kusungkupkan kepalaku semakin dalam di selangkangannya. Tidak kupedulikan lagi bahwa kursi dan meja reyot yang kami gunakan semakin kuat bergoyang dan berderak-derak. Sampai akhirnya: “aakhh.. ad..uuh.. mbaah.. aku..aa..” jeritan yang entah apa artinya itu meluncur keluar dari mulut si bahenol, diikuti dengan semprotan cairan dari lobang kemaluannya. Basah dan hangat, sebagian menempel di dagu dan jenggotku.
Akhirnya kuangkat kepalaku dari kemaluannya, dan kucium dahinya yang menunduk dengan napas tersengal-sengal. Aku berbisik: “piye, Nduk? Kamu sudah merasa enakan sekarang?” dia mengangguk: “i..iya Mbah.. enakan sekarang..” aku hampir ketawa. Goblok juga anak ini, sudah sekian jauh belum juga sadar kalau aku kerjain. Sekarang sampailah pada tahap selanjutnya, pikirku.
Tanpa basa basi aku melepaskan jubahku dan celana dalamku. Kulihat wajahnya yang tadinya menunduk sayu sekarang terangkat, matanya membeliak melihat aku sudah telanjang bulat di depannya. Aku harus akui kalau badanku cukup atletis (wajahku juga nggak jelek-jelek amat lho, terutama kalau janggut professionalku ini dicukur). Batang kemaluanku (istilah di daerahku: kontol) lumayan besar, dan selalu jadi kekaguman cewek-cewek yang pernah main seks denganku.
Mbah melihat dari pipismu tadi, ternyata ilmu gendamnya si Kasno sudah masuk dalam sekali ke dalamnya. Mbah sudah coba sedot sedot tadi, tidak mau keluar juga. Berbahaya sekali Nduk, nanti kalau dibiarkan jadi ngabar (menguap) masuk ke pembuluh darahmu, bisa mati kowe. Mbah harus mencoba cara yang lebih kuat.
Agak sakit mungkin Nduk, nggak apa-apa ya?” kataku penuh rasa sayang dan kasihan. Kuelus rambutnya yang sekarang tampak awut-awutan. Dia mengangguk, mengulang lagi kata-katanya yang bego tadi: “inggih Mbah, kulo nderek kemawon..”. Aku mengangguk-angguk: “anak baik. Kasihan sekali kowe Nduk”.
Sekarang aku mengangkat tubuhnya yang sudah lemas dari atas meja, dan dengan lembut membimbingnya ke dipan yang ada di sudut. Kubaringkan tubuh bugil yang sudah lemas itu, dan dengan hati-hati kulebarkan kakinya. Kini dia terbaring mengangkang, kemaluannya terbuka lebar seakan siap menerima segala kenikmatan duniawi. Aku duduk berlutut, kemaluanku sudah tegang betul dan kini terarah ke lobang kemaluannya.
Kugesek-gesek kepala jagoanku ke kelentitnya. Dia mengerang pelan, matanya tertutup rapat. Kurendahkan tubuhku, kini aku telungkup di atas badannya. Kukecup bibirnya dengan lembut: “sudah siap, ya Nduk. Agak sakit, ditahan saja. Pokoknya Mbah usahakan kamu jadi sembuh betul”. Dia mengangguk, tidak membuka matanya: “inggih Mbah” desisnya lirih.
Kini aku memegang batang kemaluanku, dengan sangat hati-hati menusukkannya ke kemaluan si Suminem yang masih basah kuyup bekas hisapanku tadi. Satu senti..dua senti.. tiga senti.. sempit sekali. Suminem mengerang: “ss.. sakit Mbah..” tampak wajahnya mengernyit kesakitan. Tangannya memegang dan meremas lenganku. “Tenang Nduk..tenang.. tahan sedikit.. nanti lama-lama sakitnya hilang, berganti rasa enak”.
Aku harus mengakui, inilah lobang kemaluan ternikmat yang pernah kurasakan. Sebelumnya aku hanya bisa bermain dengan pelacur-pelacur, atau paling banter dengan si Jaetun janda muda yang gatel di desa sebelah. Semuanya sudah melongo lubangnya, sama sekali tidak enak.
Tetapi yang ini, sungguh lezat, legit dan super sempit. Dasar perawan.. kutekan agak keras kemaluanku, diikuti dengan teriakan Suminem: “aauuwww.. saakiit Mbah..” aku cepat-cepat melumat bibirnya, agar teriakannya tidak berkembang menjadi raungan..
Sekarang dengan cepat dan akhli aku menekan kemaluanku, sekalian saja sakitnya pikirku. Dan..bless..masuklah seluruh kemaluanku ke dalam lobang memeknya. Tubuh Suminem terlonjak di bawahku, tangannya meremas lenganku sangat keras. Matanya terbeliak, tetapi mulutnya tidak bisa memekik karena tersumpal bibirku. Aku diam sejenak, menunggu lonjakannya hilang.
Akhirnya dia diam, hanya napasnya masih tersengal-sengal. Sekarang, setelah semua tenang, kulepaskan ciumanku: “masih sakit, Nduk?” dia mengangguk: “tapi lama-lama nggak perih kan?” dia mengangguk lagi. Lugu betul anak ini: “Mbah terusin ya? tidak lama lagi kok”. Sekali lagi dia mengangguk.
Kugoyangkan pantatku lagi pelan-pelan, tidak ada respon penolakan darinya. Kogoyangkan lagi semakin kuat, dan tanganku mulai menggerayang memainkan puting susunya. Dia mengeluh. Dia merengek. Jelas si Suminem ini mulai menikmati permainan ini. Pinggulnya mulai ikut bergoyang, meskipun agak kaku.
Aku tidak berani merubah posisiku ini, takut kalau dia kesakitan lagi. Goyanganku juga kuusahakan seteratur mungkin, tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat. Malah goyongannya yang semakin lama semakin tidak teratur. Kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan, mulutnya mendesis-desis dan tangannya mencengkeram erat lenganku. Matanya terpejam dan raut wajahnya menampakkan campuran kesakitan dan kenikmatan yang sangat.
Dipan bobrok ini mulai terdengar berkeriet-keriet. Akhirnya terdengar proklamasi si Suminem, persis seperti tadi: “aakhh.. ad..uuh.. mbaah.. aku.. aa..” dan kurasakan cairan menyemprot di lobang kemaluannya. Akhirnya kepalanya terkulai lemas ke kiri (sejak kami mulai main tadi, matanya terus terpejam). Aku mengutuk dalam hati. Jangkrik, aku sendiri belum keluar nih.
Kuperkuat genjotanku, kufokuskan pikiranku pada kenikmatan yang kualami sekarang ini. Kuremas-remas susunya semakin kencang. Dan akhirnya kurasakan desakan dalam kemaluanku, desakan yang sudah sangat kukenal. Aku sudah mau orgasme.
Tetapi aku tidak ingin mengakhiri permainan ini begitu saja. Kukeluarkan tembakan terkhirku: “Nduk, Nduk, Mbah rasa ajiannya si Kasno sudah berhasil Mbah hilangkan. Tetapi kau harus meminum ajian dari tubuh Mbah ya? supaya kamu kebal terhadap segala ngelmu hitam macam ini”. kataku tersengal-sengal. Suminem hanya mengangguk saja, matanya tetap terpejam.
Melihat tanda persetujuan itu, aku segera mencopot kemaluanku dari memeknya, begitu cepat sehingga terdengar suara, “plop”. Aku segera mengangkang di atas tubuhnya, batang kemaluanku kuarahkan ke mulutnya: “ini Nduk” kataku. Tangan kananku mengangkat kepalanya yang terkulai, sedangkan tangan kiriku terus mengocok batanganku.
Mata si Suminem membuka malas, melihat senjataku bergelantung di depan wajahnya. Aneh, Dia tidak tampak kaget lagi (mungkin lama-lama dia sudah biasa?) dia menggumam malas: “mana obatnya Mbah? sini biar aku minum.” Aku mendesah penuh nafsu: “ini Nduk, obatnya ada dalam burung Mbah ini. Minumlah” kataku. Suminem menjawab dengan malas, seperti orang setengah sadar: “dihisep dulu Mbah? Sini gih. Biar cepet selesai”. Dan tanpa bertanya lagi, dia memegang kontolku dan memasukkan ke mulutnya. Waduh, hebat banget si geNduk ini.
Meskipun tetap dengan gaya malas, seperti setengah sadar, dia mulai menyedot nyedot kemaluanku dan lidahnya secara reflek juga bergerak-gerak menyelusuri batang kontolku. Aku bergetar hebat. Kutelungkupkan tubuhku di atas tubuhnya, dan kugoyangkan pinggulku sehingga kemaluanku bergerak keluar masuk mulutnya. Rasanya bahkan lebih nikmat daripada bersetubuh biasa. Beberapa kali tanpa sengaja gigi Suminem bergesekan dengan kemaluanku, membuat kenikmatan yang kurasakan semakin melambung.
Kupercepat goyanganku, tetapi tetap menjaga agar dia tidak sampai tersedak. Akhirnya tekanan dalam kemaluanku tidak dapat kutahan lagi: “Nduk, ini Nduk..” erangku: “telan semua ya” dan croot.. muncratlah air maniku ke dalam mulutnya. Kurasakan hisapan dan jilatannya berhenti. Dua kali lagi aku menyemprotkan maniku di mulutnya, semuanya tampak tertelan (karena posisinya terlentang, jadi tidak ada yang terbuang keluar).
Kudiamkan posisi ini agak lama, sampai kurasakan kemaluanku mulai mengecil dan akhirnya lepas sendiri dari mulutnya. Aku berguling ke samping, kulihat Suminem tetap telentang dengan mata tertutup. Bibirnya yang seksi kini tampak berlepotan air mani, tampaknya masih ada maniku yang tertahan di mulutnya dan belum tertelan.
Aku bangun dan mengambil gelas berisi air kembang tadi, dan menyodorkan kemulutnya dengan lembut: “minum Nduk, minum. Biar semua obat Mbah masuk ke badanmu. Ini air kembang juga berkhasiat kok.” Dia menurut dan meneguk habis air itu. Akhirnya kubimbing dia berdiri, dan kubantu dia memakai bajunya. Aku juga memakai bajuku. Kami sama sekali tidak bicara saat itu.
“Bagaimana Nduk? Apakah kamu sudah merasa enakan?” dia diam saja. Tangannya menyisir rambutnya, dan membetulkan bajunya yang awut-awutan. Kuelus rambutnya.
“Mbah, apakah pasti saya sudah sembuh?” tanyanya dengan suara bergetar. Aku mengangguk: “pokoknya, semua sudah beres. Tadi Mbah itu mempertaruhkan nyawa Mbah lho. Kalau gagal tadi pasti ilmu hitamnya si Kasno berbalik menghantam Mbah. Untunglah semua sudah berakhir.”
Dia mengangguk, wajahnya tetap menunduk: “matur nuwun, Mbah.” Katanya: “Berapa saya harus bayar Mbah?” aku tergelak: “wis, wis, bocah ayu, Mbah nggak minta bayaran kok. Bisa menyembuhkan kamu saja Mbah sudah bersyukur banget.” Kulihat bibir si Suminem tersenyum halus, mengangguk dan meminta ijin pulang. Kubuka pintu kamarku dan aku memanggil salah satu tukang ojek yang mangkal untuk mengantarkannya pulang. Dalam beberapa detik, tubuh bahenol Suminem hilang tertelan kegelapan malam.
Aku menghela napas dan masuk kembali ke kamar. Tiba-tiba aku tertegun. Lha, kok aku sampai tidak menanyakan si Suminem itu tadi siapa ya? karena sudah terbelit nafsu aku sampai tidak menanyakan pertanyaan pertanyaan standar seorang dukun: rumahmu dimana, bapakmu siapa..
Ah, aku menggeleng. Rasanya aku tidak pernah lihat dia sebagai warga sekitar sini. Mungkin dia dari Wonolayu, desa sebelah sana. Biarin saja. Aku masuk kamar praktekku, dan segera menggelosor di dipan yang tadi kugunakan untuk bercinta dengan Suminem. Dalam beberapa menit aku terlelap. Entah berapa jam aku tertidur, ketika sayup-sayup kudengar..
TOK..TOK..TOK..
“Bangun, Darmanto bangsat! bangun!” suara yang sayup-sayup tadi kini menjadi semakin jelas seiring dengan meningkatnya kesadaranku. Dengan terseok-seok aku berdiri dan menuju pintu, membukanya dengan malas. Baru pintu kubuka sedikit, tiba-tiba.. bruuk..seorang laki-laki tinggi besar menyerbu masuk, dan tanpa basa-basi tangannya menampar pipiku.
Aku mengaduh dan terbanting ke lantai. Waktu aku melihat siapa si pembuat onar itu, kulihat Mas Darmin, blantik (pedagang sapi) tetanggaku, sedang berdiri dengan mata merah dan berapi-api. Tubuhnya yang tinggi besar dan berkumis melintang (dia memang keturunan warok Ponorogo) tampak sangat menyeramkan.
Aku berteriak keheranan: “mas.. Mas Darmin.. ada apa ini? kok tiba-tiba kesetanan kayak gini?”
Mas Darmin balas berteriak, matanya semakin mendelik: “kesetanan gundulmu.. kamu yang kemasukan setan! apa yang kamu lakukan kemarin malam, Dar? ayo ngaku!!”. aku semakin bingung: “yang apa to mas? aku ora ngerti.” Si warok itu tampak semakin marah: “kemarin malam! si Suminem! Sumineemm! kamu apakan dia?”
Wah, aku jadi kaget. Suminem itu apanya dia? kalau anak tidak mungkin, aku tahu Mas Darmin cuma punya dua anak laki-laki: “si Suminem itu apanya mas?” tanyaku. Mas darmin berteriak marah: “kuwi ponakanku, bedes (monyet)! semalam dia datang ke rumah, katanya baru ke kamu terus karena kemalaman dia takut pulang ke rumahnya di Wonolayu.
Di rumah dia nangis-nangis, katanya pipisnya sakit sekali. Waktu dilihat mbakyumu, celana dalamnya ternyata basah oleh darah. Walaah..dia akhirnya ngaku semua apa yang kamu lakukan. Iyo tho? ayo ngaku, bedes!” dan dengan berkata begitu ia menubruk lagi tubuhku. Satu bogem mentah kembali melayang ke pipiku. Aku berteriak kesakitan.
Aku hanya bisa meratap: “mas.. mas.. ampun mas, aku tidak mau kok sebetulnya..si Suminem yang memaksa..” aku coba membela diri sebisanya. Mendengar itu, Mas darmin jadi semakin marah: “opo jaremu (apa katamu)? Si Suminem yang minta? kamu kira keluargaku kuwi keluarga perek opo? pikirmu si Suminem kuwi bocah nakal tukang goda wong lanang? weehh.. kurang ajar kowe Dar. Cerita seks ini di upload oleh situs ngocoks.com
Bangsat! asu! kucing! wedus! bedes!” dan sambil mengeluarkan perbendaharaan nama segala jenis binatang yang ada dalam kepalanya, Mas Darmin kembali menendang tubuhku yang sedang menggelosor pasrah di lantai. Dan dengan ngeri kulihat tangannya mulai menarik pecut (cemeti) yang melingkar di pinggangnya, pecut yang biasa dia gunakan kalau lagi akan jualan sapi. Aku semakin meringkuk: “ampuun maas..” rengekku.
Dalam suasana yang sangat genting itu, tiba-tiba beberapa orang menerobos masuk. Aku melihat Pak Sitepu, ketua RW kami yang langsung memeluk Mas Darmin yang lagi kesetanan: “sudah..sudah mas.. mati pula dia nanti.. tenang sajalah kau..” katanya dengan logat batak yang kental. Seorang lagi yang menerobos masuk adalah seorang polisi.
Dia membantuku berdiri dan dengan formal berkata: “Bapak Darmanto, saya menahan bapak atas tuduhan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur. Saya minta bapak ikut saya ke polsek sekarang juga.” Aku hanya mengangguk mengiyakan. Kulihat di belakangnya bapak dan ibuku, yu Mini dan keluargaku yang lain melihat semua adegan dahsyat itu dengan melongo tanpa bisa berkata apa-apa.
Mas Darmin terus berteriak-teriak: “Ya, Pak polisi.. cepet saja ditangkap si bedes ini. Daripada nanti kalau lepas bisa kalap aku. Tak cacah dagingmu, tak jadikan rawon! takk jadikan dan rendang..!” sekarang dia mengancam dengan segala jenis masakan yang dia ingat. Aku menghela napas.
Dengan gontai aku mengikuti Pak polisi itu, keluar rumahku. Di depan rumah ternyata ada puluhan orang lain yang sudah berkumpul, para tukang ojek yang mangkal, tetangga, dan orang-orang lain. Semuanya melongo melihatku.
Dari dalam masih kudengar teriakan Mas Darmin, menyebut segala jenis makanan yang rencananya akan mempergunakan dagingku sebagai bahan lauknya: “tak jadikan sate! tak jadikan opor!”. seorang tetanggaku berteriak mengejek: “entek nasibmu (habis nasibmu) Dar! makanya kalau hidup jangan hanya ngurusi kontol thok!”.