Enemies the Same Bed – Nolan terlihat bergembira, menari dengan para wanita yang seksi dan nakal. Dia biarkan tubuhnya di sentuh atau bergesekan dengan mereka. Wajah tampan Nolan dengan kesan bad boy handsome itu anehnya begitu diminati wanita-wanita di dalam club.
Padahal sudah banyak gosip beredar, betapa nakal, playboy dan banyaknya hati wanita yang dipatahkan olehnya. Tapi, sepertinya semua gosip itu tidak menjauhkannya. Nolan melepas kaca mata gayanya lalu berkedip pada wanita cantik yang terus memepetnya itu.
Tanda dia tertarik untuk bercumbu dengannya. Wanita itu terlihat senang, pasrah saja saat Nolan tarik menuju tempat yang lebih privat. Keduanya terus bercumbu, saling tumpang tindih di sofa.
Hanya sebatas itu. Membuat wanitanya pelepasan tanpa penyatuan. Kenapa? Nolan itu pilih-pilih jika akan bercinta. Hanya wanita yang menurutnya tidak jijik maka akan dia perlakukan bagai ratu hingga pagi menyapa.
Ngocoks Wanita itu terengah di atas sofa dengan tanpa penghalang apapun. Nolan tersenyum manis nan memikat. “Sayangnya, kamu belum beruntung malam ini, baby..” lalu beranjak dari atasnya.
“Nolan, serius?” wanita itu menatap sayu, sudah sangat ingin.
Nolan tidak merespon, dia meneguk segelas alkohol lalu pergi untuk mencari kesenangan lagi namun langkahnya terhenti saat mendapat panggilan suara dari seseorang.
“Serius? Oke.” Nolan bergegas pergi dari club itu, membayar seseorang untuk mengantarkannya ke tempat tujuan. Nolan meneguk air putih, mencoba sadar dari pengaruh alkohol.
“Dia ga mau gue paksa pun,” Adit terlihat kesal menatap sahabat perempuannya yang kini terisak dengan memar di beberapa bagian tubuhnya yang terlihat.
“Ayah lo gila!” Nolan meraih lengan Azura dan memotretnya dengan paksa. “Lo bawa dia, Dit!” perintahnya.
“Kalau lo mau kita bertiga temenan, nurut! Semua demi kebaikan lo! Ayah lo udah candu alkohol, gila!” tambah Nolan.
Azura tidak bisa lagi menolak jika itu urusannya dengan Nolan. Jiwanya selalu tunduk pada satu sahabatnya itu.
“Kita—”
“Lo masih mabuk, tunggu di sini, temen adik gue mau bawa baju, kasihin di meja. Abis itu lo nyusul ke kantor polisi. Bawa kuncinya,” Adit menggendong Azura yang kacau.
Nolan tidak membantah. Dia menurut saja. Dia menunggu sambil menghilangkan bau alkohol dan menyadarkan diri juga.
Nolan tak perlu izin, dia masuk ke kamar Adit untuk meminjam pakaianya.
***
“Meresahkan, pak. Dosanya bukan buat mereka tapi satu kampung. Lebih baik anak kota itu terus di kota,” Yeti berseru kesal.
“Iya, sabar bu. Kita akan usut,” pak Lukman terlihat sabar.
“Ga sekali dua kali, ada perempuan datang dan lama di dalam bahkan nginep, banyak saksinya kok pak,” Hartuti menyahut, dia juga salah satu saksi itu.
“Kita pastikan dengan baik-baik, jangan dengan emosi,” Lukman terus menenangkan warganya dengan sabar.
“Mereka hanya anak pindahan, orang tua tidak jelas karena ga pulang-pulang..” seru Fadla kesal karena kampungnya jadi tercemar.
“Di sini bukan negara bebas!” seru yang lain membuat keadaan kembali bising dan saling mengompori. Mereka sudah tidak bisa sabar lagi. Terlalu banyak saksi.
“Dasar Caca! Pelupa! Udah tahu besok wawancara, mana nyuruh lagi, untung sahabat dari SMP ketemu lagi kuliah, udah 6 tahunan!” dumelnya sambil membuka gerbang rumah.
Adhya menelan ludah gugup. Apa di dalam ada Adit? Dia berdebar tak sabar, dia kagum pada kakak dari temannya itu.
Adit kakak yang begitu baik di matanya.
Adhya menekan bel. Dia menunggu dengan mengulum senyum.
“Apa ini cara Caca deketin gue sama kak Adit ya?” gumamnya pelan. “Cih! Bisa aja caranya,” gumamnya salah tingkah.
Pintu terbuka.
“Ha— Ck! Pa’aya,” decaknya malas, bukan Adit yang membukanya. Ternyata buaya jadi-jadian.
Nolan tersenyum manis dengan menatap Adhya genit. “Hai, manis.” sapanya. “Silahkan masuk,” lanjutnya.
“Dikira keren apa, pake baju sana!” Adhya mendorong sebal Nolan. Buaya yang terkenal.
Nolan tertawa pelan, menatap Adhya gemas. Marahnya malah lucu. Dia pun memakai kaos Adit sambil berjalan mengekori Adhya.
“Sugar, mana Caca?” biasanya mereka itu berdua bagai anak kembar.
“Ga usah kepo!” Adhya meraih paper bag yang dia yakini itu pakaiannya dan Caca. “Dia jadinya nginep di rumah ga akan pulang, bilangin ke kak Adit juga, katanya telepon dari dia ga diangkat,” jelasnya malas.
“Ga minum dulu?” Nolan tersenyum manis, mencoba memikat namun sayangnya Adhya tidak pernah terpikat. Bahkan dari jaman mereka satu kampus.
“Ga, ogah berdua sama pa’aya di tempat tertutup gini,” rempongnya dengan kedua tangan tidak bisa diam.
Terkesan centil, tapi jutek nan lucu.
Nolan kembali tertawa dengan manisnya. “Enak tahu, banyak yang bisa kita lakuin kalau berdua di tempat kayak gini,” lalu mengedipkan sebelah mata genit.
Adhya mendengus dan mengayunkan langkah lalu membuka pintu. Tubuhnya membeku kaget.
Sudah banyak ibu-ibu dan bapak-bapak di depan rumah tanpa ada suara, hanya memasang wajah marah.
“Sinilah, kita berduaan dul—” Nolan sama kaget.
“Nahkan, pak!” seru bu Yeti nyaring.
Sekitar menjadi keos tak terkendali.
Nolan dan Adhya mengerjap tidak paham.
***
“Ha?” Adit berdiri dari duduknya dan pamit meninggalkan Azura dengan polisi yang tengah mengintrogasinya.
Adit terus berbicara dengan Nolan lewat panggilan suara itu. Nolan terdengar emosi karena tersudutkan oleh semua warga.
“Lo tunggu di sana, tapi Azura—”
Nolan menghela nafas kesal di balik telepon. Dia menyuruh Adit untuk membereskan Azura terlebih dahulu. Dia tidak akan bisa menemani mereka di kantor polisi.
Adit terlihat cemas. Nolan dan Adhya seperti tersangka saat ini. Padahal yang sering ada di rumahnya itu Azura.
Adit menatap ponselnya yang penuh dengan panggilan dari adiknya Caca.
***
“Dad! Kita oh astaga!” Nolan meninju angin dengan teramat marah.
Warga tidak bisa diajak kerja sama. Terus mendahulukan emosinya. Padahal dia dan Adhya tidak melakukan apapun.
Mungkin saja mereka salah paham juga terhadap Adit dan Azura.
Nolan merasa apes.
“Kamu mau digiring keliling kampung dengan tuduhan itu? Kamu juga kenapa ngomong gitu, mereka salah paham!”
Mina hanya diam hanyut dalam pikirannya. Bibirnya tersungging, padahal sekitarnya penuh emosi dan keos.
“Ekhem!” dia melepaskan kaca mata gayanya. “Oke, mommy putuskan. Lebih baik kamu nikahi Adhya.. Hanya itu jalan agar emosi warga reda,” putusnya dengan ringan.
Adhya yang menangis di pelukan Caca yang sama kesal plus merasa bersalah menatap kaget ibu-ibu nyentrik itu.
Mina menatap Adhya dengan senyum manis nan cantik. Mirip sekali seperti senyum pemikat Nolan. Ternyata turun dari ibunya.
“Maukan jadi mantu mommy?”
Adhya kenal Mina karena dia sahabat arisan bundanya.
“Biar mommy yang obrolin ke bunda, gimana?” tanyanya bahagia.
Nolan mendatarkan wajahnya. Dia rasanya akan meledak. Mommynya itu memang benar-benar!
“Viral!” seru Caca saat ponselnya ramai dipenuhi kiriman video Adhya dan Nolan yang duduk dikelilingi warga tantrum.
Semua menoleh ke arah Caca. Sekitar semakin menekan untuk menikahkan keduanya karena sudah membuat kampung itu kian tercemar.
***
“Tidak, mereka sudah kita nikahkan. Ke depannya harapan kita tidak ada lagi yang kumpul kebo, di mana pun tempatnya. Mengingat dosa yang menanggung itu bukan hanya pelaku, tapi seluruh warga desa..” pak Lukman terlihat tenang menjawab wartawan yang turun langsung mencari kebenaran.
“Pihak keluarganya bagaimana pak? Kata kabar yang beredar mereka dari keluarga mampu, hanya terjebak di rumah sahabat..”
“Untuk pihak keluarga mereka menerima. Kedua keluarga ternyata juga berhubungan baik, membuat semua mudah. Benar, ini rumah teman keduanya.”
Adhya mematikan televisi yang masih membahasnya dan Nolan. Padahal semua salah paham. Tapi para orang tua malah mengambil kesempatan.
Wawancara kerja gagal, dia malah menikah. Namun dia tetap akan mencari pekerjaan setelah semua berita tentangnya reda.
Adhya merasa menjadi artis dadakan karena diburu. Bahkan dia kini nyangkut di apartemen Nolan sebagai istrinya.
“ARGGHHH!” teriak Adhya frustasi. Dia sampai marah pada orang tuanya karena malah setuju dan bahagia menikahkannya dan Nolan.
Apa mereka tidak tahu predikat buruk Nolan di kota ini?
“Wah.. Followers gue naik, nama gue makin keendus,”
Adhya menatap kesal Nolan yang begitu santai setelah seminggu berlalu. Memang laki-laki dan perempuan itu berbeda.
“Jangan sentuh mie gue!” Adhya kebelet ingin buang air.
Nolan tersenyum. “Mau kemana, manis? Baru juga gue duduk.” coleknya pada lengan Adhya.
Adhya mengusapnya jijik sambil terus menuju kamar mandi. Semua masih terasa tidak adil. Kenapa juga orang tuanya tidak membujuknya yang marah.
Menyebalkan.
***
“HABIS?!” mata Adhya rasanya akan lompat dari tempatnya. Ada api emosi membara di dalam dua mata indah itu.
Adhya menoleh dengan perlahan penuh ancaman. Dia tatap Nolan yang anteng dengan ponsel yang dipenuhi perempuan itu.
“Dihabisin!” suaranya menggeram penuh penekanan. Nafasnya mulai terengah.
Nolan melirikan matanya lalu tersenyum manis. Adhya merasa dagunya dimainkan. Dia akan meledak!
“AGH!” jerit Nolan terus menerus saat Adhya ganas menyerangnya dengan gigitan, pukulan dan tendangan membabi buta tanpa arah itu.
Keduanya terlihat seperti serigala penakut yang di serang kucing liar pemberani.
Beberapa saat kemudian…
Nolan berada di ujung sofa, meringis menatap semua luka gigitan di beberapa tubuhnya. Sampai ada yang membiru, sungguh ganas.
Adhya juga di ujung sofa satunya tengah mengendalikan diri. Dia masih ingin melampiaskan itu tapi takutnya dia berlebihan.
Dia tidak ingin menciptakan tragedi lain.
“Ashh..” Nolan merasa seluruh badannya nyut-nyutan. Adhya kecil-kecil ternyata kuat juga.
Atau mungkin karena dia tidak menangkis dengan tenaga. Jika terjadi, mungkin Adhya akan terpental.
“Hiks..”
Nolan menoleh. “Yah, cengeng.” oloknya sambil mengintip wajah Adhya yang kedua lengannya sibuk menyeka air mata.
“Hiks..”
Adhya kesal. Dia sungguh merasa tidak adil. Menikah impiannya bukan begitu. Bukan dengan Nolan yang bagai musuh!
“Gue masakin lagi, ck!”
“UDAH GA MAU!” teriak Adhya dengan menatap Nolan kesal dan berkaca-kaca.
Nolan menghela nafas panjang. Dia mengacak rambut Adhya hingga kembali garang lalu kabur secepat mungkin.
“Makasih mienya, gue ke club bentar— ck! Bego!” Nolan putar balik. “Gue masih belum bisa KELUAR!” kesalnya sambil berteriak frustasi.
Adhya menatap marah dan memilih mengambil ice cream di kulkas.
Nolan kembali duduk di sofa. Dia tidak biasa ada di rumah. Rasanya tersiksa bagai di kurung. Dia ingin segera bebas.
Nolan melirik Adhya yang datang dengan ice cream.
“Minta dong, sugar..”
Adhya tidak merespon, ceritanya masih marah karena mienya di rebut.
“Pelit nanti giginya sempit,”
“KUBURAN!” kesal Adhya.
Nolan yang sengaja hanya terkikik geli lalu meraih sendok di tangan Adhya, mengabaikan lengan satunya di gigit Adhya lagi karena merasa di rebut lagi.
Nolan hanya mendesis lalu terkekeh dengan mulut penuh ice cream. Nolan meraih lagi lalu menarik lengannya hingga gigitan terlepas kemudian menjejalkan sesendok ice cream agak kasar ke mulut Adhya hingga gigi dan sendok terdengar bertabrakan.
“Iiihhh!” Adhya membenarkan ice cream yang meluber.
Nolan mengecup pipi Adhya lalu berlari kabur ke kamar dan menguncinya. Dia ingin melakukan panggilan dengan beberapa incarannya.
NOLAN K.O
Nolan membuka mata, melirik sampingnya yang kosong dan pastinya si manis berada di sofa lagi. Mungkin.
Nolan mendudukan tubuhnya agak kesal. Sudah dia bilang untuk tidur di sampingnya, dasar penakut.
Pengendalian dirinya itu kuat. Sudah sering berurusan dengan perempuan membuatnya tidak akan mudah berdiri.
“Dimana lagi?” Nolan meregangkan leher sambil berjalan mencari keberadaan Adhya yang tidak kunjung dia temukan.
Nolan melirik jam di dinding. Ternyata masih pukul 8 malam. Berarti dia tertidur satu jam kurang lebih.
Nolan menguap sambil mengedarkan pandangannya. Mengabaikan rambut yang berantakan dan wajah tampannya yang tetap tampan sekali pun baru bangun tidur.
Nolan terlihat sangat percaya diri. Dilihat oleh siapa pun dia tidak akan malu.
“Sugar?” Nolan terus mengayunkan langkah kesana-kemari. “Tu anak nekad keluar apart apa giman—”
“Aaaaaaaggghhhh!”
Nolan terpejam bukan karena agar tidak melihat milik Adhya, tapi karena suaranya yang nyaring.
Belum membuka mata wajahnya sudah tertimpuk botol samphoo. Membuat Nolan urung membuka mata dan meringis sakit.
“Aaggghhh.. Mesum aaaaaghhh!” terus saja heboh sendiri dengan melempar apapun dan Nolan juga sibuk merasakan sakit di wajahnya sambil menghindar dari benda melayang lainnya.
Mendengar teriakan nyaring tak kunjung berhenti dia membuka matanya cepat, melangkah pun tak kalah cepat dan menghimpit Adhya kesal di tembok kamar mandi yang dingin.
Adhya bergetar namun mengangkat wajahnya berani. Memeluk handuknya dengan kuat. “A-apa, HA?!” nafasnya memburu panik.
Nolan menatap lurus. Hanya begitu. Teng! Entah kemana emosinya lenyap. Dia tidak fokus setelah melihat Adhya yang mendongak, lehernya basah dengan rambut sama basah.
Nolan menelan ludah. “Indah..” lalu tersenyum manis andalannya. Tatapan kesalnya berubah usil.
“A-A-Apa?!” Adhya semakin memeluk erat dirinya yang terus terpojokan.
Dengan usil Nolan menggerakan telunjuk tangan kanannya menyentuh garis leher lalu berhenti dibelahan dada yang mengintip di balik handuk.
Adhya terengah menahan amarahnya.
BUG!
“ARGH!” Nolan ambruk.
Dia K.O saat miliknya ditendang kaki pendek Adhya. Wah, dia tidak bisa berkata-kata selain merasa kesal dan sakit.
Adhya melotot panik. Nolan terlihat seperti sekarat. “Astaga! Aduh, astaga..” gumamnya panik.
***
“Iya, sayang.. Nanti kita ketemu ya,”
Adhya menyedot minuman susu bercampur jelly di dalamnya itu. Memakai gaun tidur bermotif strawberry bagai bocah.
Adhya memicing sebal. Baru beberapa puluh menit yang lalu kena batunya karena menggodanya kini sudah menggoda yang lain.
“Iya, cantikku.. Kamu seksi gemoy, jangan diet, ga bagus..”
“Hueekk!” Adhya duduk dengan kesal sambil menyambar remot untuk menyalakan televisi.
Nolan hanya melirik Adhya dengan senyum geli. “Udah dulu ya, istri aku lagi morning sickness..” lalu mematikan panggilan begitu saja tanpa peduli pasti wanita itu akan ada drama cemburu.
Adhya menganga kesal. “Wah! Gila, cewek-cewek itu juga gila!” serunya tak habis pikir.
Nolan tertawa pelan dengan tampannya. Dia menghadap Adhya dengan tatapan gemasnya. “Mereka kesepian, cuma butuh temen buat denger keluhannya,” jelasnya dengan mengulum senyum geli mendengar penjelasannya sendiri.
“Lo buka jasa sikolog apa gimana, cih! Alesan aja!” Adhya menyedot lagi minuman kesukaannya, mengangkat kedua kakinya ke atas sofa dan duduk dengan memeluk kakinya.
Nolan kembali tertawa pelan, menatap bibir yang menyedot lubang botol ukuran kecil itu. Lucu.
“Sugar.”
“Yes, pa’aya..” sahut Adhya malas.
Nolan tertawa pelan, celetukan Adhya baginya selalu saja lucu.
“Lo ga kepikiran kasih jatah?”
Adhya sontak terbatuk-batuk lalu menendang Nolan, dia mulai tantrum. Dan anehnya lagi, Nolan malah terbahak menerima reaksi itu.
Dia menangkis lalu menarik kedua kaki Adhya hingga Adhya terlentang dengan minuman kesukaannya tumpah di seluruh wajah.
Nolan melotot kaget. “Astaga! Pffffttt.. Sorry,” lalu kabur dan terbahak..
***
“Ga sopan banget. Ke suami lo-gue, ga ada embel-embel kakak.. Ke Adit aja kakak,” Nolan memiting leher Adhya.
Adhya melotot ngamuk, dia menggigit lengannya sampai Nolan melepaskan jeratan dengan meringis. Lagi dan lagi.
“Banyak banget gigitan bu’aya ditubuh pa’aya,” kekehnya.
Adhya kesal. Moodnya baik hanya saat Adit berkunjung ke apartemen Nolan dan memberinya makan siang.
Nolan dan Adhya memang masih belum bisa kaluar dari apartemen. Malu juga jika ada yang kenal.
“Lo pengangguran?” Adhya baru ngeh soal itu. Nolan bisanya mabuk, main ke club.
“Ga.”
Adhya memicing. “Terus lo mau kasih gue makan uang darimana?” tanyanya serius namun terdengar kesal.
“Gue punya beberapa kontrakan, bisnis kuliner. Adit yang bantu urus,” jawab Nolan sekenanya.
“Kontrakan?”
“Sebelum itu gue mau tanya. Terus gue dapet apa dari pernikahan ini?” Nolan tersenyum manis.
Dia penasaran apa Adhya tidak pernah tertarik padanya. Kenapa? Aneh sekali.
“Pembantu!” ketus Adhya.
Nolan mengulum senyum. “Pembantu? Mana ada! Tuh liat, dapur berantakan bekas masak ga tahu siapa,” godanya.
Adhya mendengus. “Kita sama-sama dirugiin di sini!” balasnya.
“Ga tuh, kok gue merasa beruntung dapet istri cantik agak jutek ini,” Nolan tersenyum manis sekali.
Adhya menatap dengan jijik. “Iuhh.. Biasa aja senyumnya!” sebalnya.
“Kenapa? Bikin deg-degan ya?” Nolan condong mendekati Adhya, menatap wajah itu dengan tatapan usil.
“GUE LAPER!” bentak Adhya galak, dia tahu Nolan sedang usil padanya.
Adhya memilih memakan makanan yang diantarkan Adit dengan perasaan senang lagi. Mengabaikan celotehan tidak penting Nolan.
***
“Kesel banget, tokoh utamanya tolol!” amuk Adhya dengan wajah cemberut lucu. Dia merangkak naik ke atas kasur dan kembali menatap televisi.
Nolan yang asyik dengan selir-selirnya hanya melirik sekilas Adhya lalu mengabaikan segala keluhan dan protes tidak penting itu.
“Cowok bajingan kayak babi tahi anj*ng—”
Nolan menepuk mulut Adhya sampai tersentak kaget di duduknya merasakan tamparan ringan di bibirnya.
“Masih kecil difilter ngomongnya!” tegur Nolan so serius dan paling dewasa lalu mengulum senyum geli. “Oke, maaf-maaf. Jangan gigit,” kekehnya.
Adhya tetap melompat dan menyerang Nolan dengan gigitan maupun pukulan random. Bukan masalah sakit di bibirnya, tapi di jantungnya.
Adhya sangat amat terkejut tadi. Rasanya jantung copot.
“Berhenti!” Bahaya, Nolan menjauhkan wajah Adhya dari bahu yang kini gigitannya jadi seperti vampire. “Leher jangan!”
Adhya melotot kaget saat kepalanya dijauhkan kasar sampai tubuhnya setengah terpental ke kasur, Nolan juga melotot kaget. Tadi itu refleksnya.
“Kepala gue di lempar, lo PIKIR BOLA!”
Nolan tertawa pelan, menatap Adhya geli dengan terus menahan tawanya.
“Lo selalu ngeselin!” Adhya memukulkan keningnya ke kening Nolan.
Keduanya sontak memekik kaget dan sama sakit. Mereka meringis, mengusap kening masing-masing.
Mereka pun debat sesaat, Adhya melanjutkan marahnya hingga terlelap di samping Nolan yang mencari hiburan di ponselnya.
Kepalanya jadi pening. Dia melirik Adhya yang menggeliat mengubah posisi tanpa terjaga. Terdengar mendengkur halus.
Nolan menusuk pipi Adhya sekali. “Kenapa ya dulu sering berantem? Apa karena reaksi Adhya lucu? Iya, dia lucu kalau ngamuk.” kekehnya.
Nolan menghela nafas berat. Menikah dengan Adhya memang tidak sepenuhnya buruk. Tapi, menikah dengan cara begitu rasanya buruk.
Keluarganya dan keluarga Adhya sebelas dua belas. Seenaknya dan aneh. Kena skandal malah dimanfaatkan dengan riang gembira.
“Apa mommy pikir gue, g*y? Dih, bau t*i!” gumam Nolan bergidik jijik.
Nolan mematikan ponselnya. Dia menarik selimut, membenarkan selimut Adhya lalu terhenyak saat Adhya bergerak berbalik dan berakhir merapat padanya.
Apa dingin? Nolan meraih remot AC dan mengatur suhunya agar lebih hangat.
“Malam ini gue izinin lo meluk gue,” Nolan mendekat dan menarik Adhya ke dalam pelukannya. Rasanya nyaman ternyata tidur dengan guling hidup.
Bersambung…