TERUNGKAP DAN PERTENGKARAN
“Gimana ini? Caca kabur atau harus berterima kasih? Aduh,” gumam Caca gelisah, masih duduk di atas kasur serba hitam itu.
Pantas aura bossnya itu gelap. Ternyata kamarnya pun sama gelap. Hanya tertolong lampu.
Caca menoleh untuk melihat Ciko sudah bangun atau belum. Tubuh Caca sontak membeku.
Ciko tengah menatapnya. Sejak kapan? Caca menelan ludah. Dia bergegas turun lalu berdiri di samping ranjang beriringan dengan Ciko yang kini duduk di atas kasurnya.
Mempertotonkan otot perut dan lengannya. Caca kembali menelan ludah sambil merapihkan setelan kerja yang kemarin dia pakai.
“Ma-Ma….” Caca berhenti. Dia harus mengucapkan maaf dulu ya? Astaga! Panik..
“Maaf, pak.” Caca menunduk merasa bersalah. Sebenarnya apa yang terjadi. Apa semalam dia terlalu pulas sampai Ciko kesulitan karena pegawainya kebo.
Ciko hanya menatapnya lurus, tak terbaca. Lagi-lagi Caca menelan ludah.
“A-Anu, Ca-saya kenapa bisa di sini? Maaf karena me-merepotkan mereka bapak,” bodo amatlah, rasanya Caca tidak bisa berpikir sampai apa yang keluar dari mulutnya tidak jelas.
Ciko tetap diam menatap.
Astaga Caca geram, mana gugup. “Bapak kenapa diam? Caca jadinya itu, apa..” Ha.. Sudahlah, tamat riwayatnya.
Dia akan dipecatkah? Kakaknya jika tahu semakin tamat riwayatnya.
“Saatnya berangkat kerja.” Ciko menyingkirkan selimut dan turun dari kasur.
Caca menganga, dia tidur dengan bossnya dengan keadaan bossnya hanya memakai celana dalam saja? Liat yang menonjol itu..
Caca segera membalik tubuhnya dengan syok, berdebar dan wajahnya sangat panas.
“Kenapa bapak tidak tidurkan Ca-saya di sofa? Di teras juga ga masalah!” Caca berseru saking syok dengan penampilan Ciko.
Gawat jika ada yang lihat. Mereka akan langsung berpikiran buruk.
“Hm, Lain kali gitu.”
Apa lain kali?
“Sa-sa-saya pamit,” Caca pergi begitu saja saat lihat jam di dinding. Bisa terlambat dia.
Ciko tidak menahan lalu melirik tas Caca. Dia hanya mendial nomor sopir untuk memaksa Caca diantarkan, jika gagal dia yang akan dipecat.
***
“Caca tumben banget,” Adhya mondar-mandir. “Apa ga ada taksi? Rasanya ga mungkin,” gumamnya.
Caca juga tidak kunjung mengangkat teleponnya. Apa dia baik-baik saja? Membuatnya panik.
“Makasih, pak..” Caca turun dari mobil yang tak asing namun Adhya belum ingat mobil siapa itu.
“Loh Ca, ga ganti—”
“Sttt.. Sini, ceritain di tempat sepi.” potong Caca lalu menyeret Adhya.
Caca begitu bawel, Adhya mendengarkannya dengan serius dan terkaget-kaget.
“Kita dalam bahaya, Ca. Apa nanti ada bukti kalian tidur sampai ke kak Adit?” panik Adhya.
Keduanya sungguh memiliki jiwa-jiwa drama.
“Bisa jadi!” balas Caca dengan begitu serius mengabaikan penampilannya yang acak-acakan.
“Lipstik, Ca! Kenapa bisa begini, apa pak Ciko cium lo?” bisik Adhya yang membuat keduanya menegang.
“Apa?” lirih Caca sambil menyentuh bibirnya.
“Terus kandungan, ga papa? Apa dia lakuin sesuatu sampai rasanya di bawah basah?” Adhya terlihat serius.
Caca menciut malu, wajah polos tapi tetap paham kok. “Engga, ih apa sih bahas itu, pakaian rapih ga ada jejak dibuka,” yakinnya.
“Haa.. Bagus lah, debay ga akan kenapa-kenapa,” Adhya mengusap perut Caca sekilas.
“Siapa ya, ayahnya..” gumam Caca sedih. Dia jadi ingat lagi masalah itu. Belakangan ini hidupnya begitu berat.
***
“Gue yakin, udah duga juga. Dia mau apain Caca? Ini jelas rumah dia!” Adit terlihat emosi.
Azura mengusap lengan Adit. Melihat Adit emosi baru pertama kali, mungkin karena Caca adiknya.
“Tenang, Dit.”
Mendengar suara Azura sontak wajah Adit luluh. Jangan sampai Azura takut, pernikahan mereka sebentar lagi.
Nolan juga merasa terganggu. Dia takut Adhya juga akan terkena dampaknya mengingat Ciko pasti tahu Adhya istrinya.
Apa Ciko masih kekanakan seperti dulu?
“Gue susul Ciko, jagain Azura.” Adit beranjak tidak tahan lagi. Masalahnya dengannya dan Nolan bukan Caca atau pun Adhya.
“Aku ikut, Dit.”
“Kamu ga bisa denger orang nadanya tinggi, aku pasti marah. Tunggu di sini ya, tuh ada Zahra, tunggu dulu ya.” Adit lega Zahra datang di waktu yang tepat.
“Nolan ikut, biar aku ga emosi. Tenang aja ya, dia ga akan ganggu kamu, Caca dan Adhya.” yakin Adit.
Azura hanya mengangguk, melepas Adit tidak rela. Dia masih ingin diyakinkan kalau Adit akan selalu ada untuknya. Egois memang. Semenjak ajakan menikah, egoisnya semakin menjadi.
“Ra, jangan terlalu kurung Adit, dia ga akan kemana-mana.. 24 jam bisa kamu liat, dia ga akan seperti mereka..” Zahra mengusap bahu Azura agar lebih tenang.
***
Adhya menoleh pada orang-orang yang berlarian ke satu titik. Di lobi gedung kantornya yang tak jauh dari kantin.
“Ada apa?” panik Adhya. Firasatnya buruk.
Caca juga mendekat, matanya melotot saat Adit terlihat emosi memukuli Ciko yang hanya diam tanpa melawan.
Nolan yang menahan Adit, berusaha menenangkannya. Nolan merasa, Ciko diam karena ada rencana lain.
Lihat saja jika Ciko memenjarakan Adit.
“Lo sentuh Caca, mati lo di tangan gue!” geram Adit.
“Kak Adit!” seru Caca panik, dia memeluk Adit yang dipeluk emosi sampai terengah begitu.
“Lo diapain sama dia?! Lo di kasih apa?” Adit begitu emosi.
“Gue cuma bawa ibu dari anak gue, apa salah?” Ciko memotong.
Semua orang kaget dan Adit semakin emosi. Ibu? Caca Hamil?
Nolan pun sama terkejut. Bayi itu— artinya malam itu Ciko yang. Kini Nolan yang meninju Ciko emosi.
Permainan Ciko sungguh menjijikan.
Andi melihat kejadian itu. Sepertinya dia tidak perlu tanggung jawab meluruskan semua yang terjadi pada Caca karena Ciko sudah membukanya sendiri.
Tugasnya untuk mengawasi Caca beberapa tahun ke belakang selesai karena Ciko tandanya sudah mengambil alih.
Dia sempat jatuh cinta pada wajah bayinya. Tapi Ciko bukan tandingannya. Dia akan sangat mudah membalik keluarganya menjadi sangat terpuruk.
Maaf, Ca. Udah bikin kamu hilang kesadaran. Kamu incaran serigala, aku ga bisa tolong.
Adhya memanggil Nolan panik, membuat Nolan berhenti. Ketiganya di amankan ke ruangan yang lebih tertutup. Caca maupun Adhya.
“Engga, kak Adit. Caca ga pernah berpikir jual diri, malam itu—” Caca tidak tahu harus menjelaskan apa. Dia tidak ingat.
“Caca ga inget, kak Adit. Caca cerita kayaknya dia mabuk,” Adhya membantu sahabatnya yang pucat merasa terus di pojokan sedangkan bajingan itu diam.
“Lo apain, Caca?” geram Nolan.
“Dia mabuk, gue jadi susah nahan godaan dia.” singkat Ciko seraya meregangkan rahangnya. Pukulan Nolan dan Adit lumayan juga.
Malam itu Caca terlalu imut sekaligus seksi, menari dilautan manusia bagai memancingnya.
“A-apa? Caca ga tahu, ga inget. Caca ga gitu, kak Adit.” tangis Caca pecah, takut Adit tidak percaya.
Lihat, tatapan Adit padanya penuh rasa kecewa.
“Engga, kak.. Kak Nolan, Adhya.. Engga,” lirihnya terisak gemetar.
“Ca, kita percaya.” Adhya memeluk Caca. Menatap Ciko kesal. Sungguh menjijikan caranya menjebak Caca hanya demi balas dendam.
Padahal arah Ciko tidak ke sana. Caranya memang sangat salah. Caca terlalu menguasai jiwanya dari saat mereka masih bersahabat.
Keadaan dan salah paham membuatnya menjadi rumit.
“Kita gugurin!” Adit beranjak, meraih lengan Caca.
Nolan, Adhya bahkan Caca terkejut mendengarnya. Resikonya sangat besar, lebih baik dia mengurus sendiri anaknya tanpa Ciko atau kakaknya.
Adhya juga akan selalu membantunya.
“Engga! Kakak tenang aja, Caca ga akan nikah sama dia, Caca akan rawat sendiri!” yakinnya.
Ciko sontak menatap Caca, tidak berpindah ke lain hal. Ucapan Caca sungguh mengganggunya. Dia akan berusaha membuat Caca menikah dengannya.
Obsesinya terlalu kuat, membuatnya susah untuk menyerah.
***
“Caca yang jadi korban, kalian kekanakan, cuma karena rebutin kak Azura?” Adhya terlihat emosi pada Nolan.
“Sugar, gue engga. Itu Adit sama Ciko, saat itu gue cuma salah ngomong aja seolah bela Adit yang lebih cocok buat Azura,” Nolan meraih lengan Adhya.
Adhya menepisnya. Dia tetap kesal. Kasihan Caca yang harus menanggungnya. Lagi-lagi gara-gara Azura.
Caca saat itu curhat, merasa perhatian Adit habis oleh Azura, bahkan kejadian sekarang gara-gara dia lagi alasannya. Orang yang paling harus di jaga perasaannya itu.
Adhya jadi kecewa pada Adit. Bahkan Nolan pun terkena imbasnya.
Malam ini Nolan merasa tidak tidur dengan Adhya karena terus merasa ditolak.
“Kalau gini namanya bener-bener musuh seranjang,” gumam Nolan kesal sendiri.
Kesalah pahaman yang harusnya sepele malah begini. Dia tidak tahu maksud Ciko menargetkan Caca karena apa.
Apa sebagai dendam Adit yang merebut Azura? Lumayan masuk akal. Ciko datang disaat Adit makin serius terhadap Azura.
“Sugar, sayangnya Nolan..” Nolan berusaha membujuk.
Adhya malah jadi jijik. “Berisik!” ketusnya.
***
Ciko menatap video ditelevisi besar yang ada di kamarnya. Suara percintaan, rintihannya saat menyetubuhi Caca sedang diputar.
Apakah video ini bagus untuk menjadi ancaman agar dia memiliki Caca dan menikahinya? Bayinya juga sedang tumbuh, harus tercukupi.
“Shh.. Aghh..” desahnya di dalam video itu.
Ciko menjilat bibir bawahnya, menatap tubuh Caca yang terguncang akibat hentakannya yang kuat dan cepat.
Di sini Caca masih sedikit membuka mata, masih meresponnya sesekali. Biusnya belum bekerja sempurna.
“Keliatan kita suka sama suka, hanya sebatas ini.” gumam Ciko. Durasinya hanya sebentar, seterusnya dia yang mencari kenikmatan itu.
Caca sudah terkulai tak sadarkan diri.
Ciko memainkan lidahnya saat melihat mulutnya sedang bermain di milik Caca yang indah.
“Mine.” gumam Ciko. Dia begitu menggebu ingin menggenggam Caca menjadi miliknya seorang.
BERTEMU, BERDAMAI DAN BERSEMBUNYI
Karena tidak kunjung hamil, mungkin karena Adhya tidak fokus dan kelelahan bekerja maka Nolan menyiapkan tiket honeymoon. Tapi semua batal.
Sudah dua hari Adhya masih marah tentang yang menimpa Caca. Dan Nolan tidak memaksanya untuk pulang.
Dia dan Adit memilih untuk menyelesaikan urusan dengan Ciko walau berakhir adu tinju lagi karena berani mengancam dengan video yang Ciko simpan.
Ciko sungguh matang mempersiapkan semuanya. Adit dan Nolan sampai kebobolan begini.
“Apa lo balas dendam lewat Caca? Dia ga salah apapun!” Adit mencoba duduk tenang walau tangan terkepal.
“Kalian salah paham,” Ciko meraih segelas air putih lalu meneguknya sedikit sampai amis darah sempat dia cecap sekilas.
Sudut bibirnya kembali berdarah.
“Kalau gitu jelasin!” Nolan terlihat kesal. “Demi apapun, Caca ga berhak—”
“Sekarang maupun dulu kalian salah!” potong Ciko dengan menatap keduanya tajam penuh amarah.
Dulu bukan masalah Azura. Ciko akui, dia tertarik dengan kecantikannya yang bagai bunga cantik walau rapuh. Rasanya ingin dia lindungi.
“Lo bilang, Azura cocok sama Adit. Dia akan lebih bisa jaga Azura agar tetap waras! Dan lo inget hari itu bilang apa lagi?” Ciko menatap Adit dengan tajam.
Adit dan Nolan menunggu dengan tangan terkepal. Ketiganya begitu penuh dengan kemarahan.
“Gue harus fokus ke Azura. Berhenti deketin Caca, adik gue ga akan gue kasih ke kalian. Ga cocok juga,”
Dari situ Adit dan Nolan ingat. Ciko yang berdiri dengan emosi. Dia meneriaki Nolan dan Adit seolah lebih baik darinya padahal Nolan yang terburuk.
Ciko tersinggung, apalagi dia juga menyukai Caca. Adik manis Adit yang selalu dia lihat berinteraksi dengan Adit.
“Lo tersinggung atau suka Caca?” Nolan menatapnya penuh selidik.
***
Caca terlihat diam, dia akan membuat surat mengundurkan diri. Ditemani Adhya di sampingnya.
“Tenang aja, uang Nolan ga akan habis kalau cuma bantu lo, Ca. Jangan dipaksa kerja, dia sendiri yang sebar gosip di kantor,”
Caca mengangguk pelan. “Iya, Adhya. Kelak uang pinjemnya pasti Caca ganti.” yakinnya.
“Iya terserah. Pokoknya jangan pergi kerja, dia gila. Gue yakin malam itu lo ga cuma mabuk,” Adhya jadi kesal plus sedih.
Caca menunduk layu. Dia sungguh tidak ingat sedikit pun. Saat terjaga hanya tubuh yang terasa remuk.
Musuh kakaknya memang jahat.
“Kamu gimana? Kok jadi ikut marah ke kak Nolan, dia ga salah loh, Adhya.” Caca menatap Adhya yang kini menghela nafas panjang.
“Kesel aja, Ca.”
“Baikan sana, Caca jadi ga enak karena bikin kalian gini. Bukannya kak Nolan nyiapin honeymoon ya? Pergi aja, jangan jadiin Caca alasan, Adhya.”
“Tapi, Ca..”
“Kalian lagi proses mau punya anakan? Pergi, Adhya.. Biar nanti anak Caca ada temen,” Caca tersenyum. “Serius, Caca dah gede, udah bisa jaga diri..” yakinnya walau dalam hati sedih.
Dia hanya memiliki Adit, dan kini Adit memiliki urusannya sendiri. Tapi tak apa, sudah waktunya dia jaga diri. Tuhan juga memberinya anak. Mungkin untuk jadi teman sepinya.
“Nih, pegang kartu ini.. Sandinya 100124,” Adhya akan menuruti mau Caca, jangan sampai Caca terbebani.
***
Nolan bergegas menghampiri Adhya yang berdiri di depan gedung apartemen agak lusuh yang Caca tempati itu.
“Udah lama nunggu, sugar?” tanyanya setelah mengecup kening Adhya sekilas.
Nolan pikir Adhya akan kembali menginap di tempat Caca hari ini. Saat Adhya menelpon dan memintanya untuk menjemput jelas saja Nolan pergi meninggalkan Adit dan Ciko.
Jangan sampai Adhya berubah pikiran.
“Ga. Dari mana?” tanya Adhya yang pasrah saat Nolan tuntun untuk segera masuk ke dalam mobil.
Nolan pun masuk dan barulah menjawab. “Tadi kita di tempat Ciko, kita lurusin semuanya.” jawabnya.
Adhya menatap Nolan penasaran. “Jadi gimana? Kak Adit kasih izin kalau pak Ciko mau nikahin Caca?” tanyanya.
“Engga, Adit ga bahas itu. Mungkin belum juga. Kita cuma bahas kesalah pahaman, ternyata dia pergi juga bukan karena masalah kita musuhan, dia memang pewaris, jadi harus sekolah di luar sampai bisa jadi kayak sekarang..” jelasnya.
“Harusnya kalian bahas Caca!” kesal Adhya. “Oh iya, kartu gue kasih ke Caca, dia mau resign.” lanjutnya.
“Pilihan bagus. Ga papa kasih aja, biaya hidup Caca ga akan besar, dia anak baik..” balas Nolan sungguh tidak keberatan karena Caca sudah dia anggap adik sendiri.
“Kok Caca ga kenal Ciko? Bukannya kalian bertiga sempet sahabatan?”
“Cacakan tinggal sama bibinya waktu itu. Jarang ketemu sama Adit,” jawab Nolan sambil fokus pada jalanan.
Adhya pun mangut-mangut.
“Kalau pun ketemu cuma sepintas, gue juga ga Terlalu kenal Caca saat itu. Beberapa tahun setelah Adit putusin buat berdua sama Caca baru kenal..”
“Nolan,”
“Hm?” Nolan menoleh sekilas.
“Boleh gue keluar kerja, cari di tempat lain?”
“Boleh banget, bahkan ga perlu ke tempat lain lebih boleh,” Nolan tersenyum seraya menoleh sekilas.
Adhya diam, dia ingin tetap kerja mencari penghasilan sendiri.
“Gue pisah kartunya.. Sebulan sekali gue kasih uang belanjaan, sama keperluan diri sendiri, uang itu udah jadi hak lo.. Kalo ke depannya ada sesuatu, gue ga akan ambil apa yang udah gue kasih..”
Adhya menatap Nolan, buaya satu itu ternyata baik sekali. Pantas banyak diincar oleh buaya betina.
“Kenapa?” Nolan menatap heran Adhya sekilas saat wajahnya ditekuk kesal. “Oke, kerja aja kalau mau ga papa.” Nolan mengalah dari pada marah lagi.
“Mau honeymoon lagi?” tawar Adhya.
Nolan sontak tersenyum cerah dan mengangguk. “Maulah!” jawabnya.
“Yaudah, besok mau resign juga.”
***
“Pelan aja,” Adhya menatap wajah Nolan yang sungguh dekat di depan wajahnya. “Rakus amat, sakit!” lirihnya gelisah.
Nolan mengabulkannya, kali ini mengulum dada Adhya lembih lembut. Mengusap kulitnya begitu perlahan menggelitik Adhya.
“Mau ke daerah mana? Atau keluar negeri aja?” tanya Nolan yang kini mendekatkan wajahnya ke wajah gelisah Adhya.
Adhya mengusap tengkuk dan rambut belakang Nolan. Dia menatap wajah tampan itu. Dulu mungkin suka bertengkar jika bertemu, jadi di pikirannya Nolan seperti beruang hitam.
Ternyata begitu tampan jika dengan sadar melihatnya tanpa kesal dan sebagainya. Apa lagi jika sedang enak begini. Begitu bercahaya.
“Cakep ya? Bukannya jawab malah anteng,” kekeh Nolan sambil mengecup pipi Adhya gemas.
“Hm..” jawab Adhya tidak bohong.
Nolan semakin melebarkan senyum lalu berdecak. “Bisa aja bikin gue degdegan!” lalu ndusel di leher Adhya.
Adhya tersenyum dan menggeliat kegelian. “Ke Korea boleh?” tanyanya.
“Ga.” Nolan menatap Adhya. “Di sana banyak cowok yang lo suka,” kekehnya.
Adhya ikut terkekeh. “Mereka ga akan bisa gue temuin, ets kok lo kayak cemburu?” ledeknya.
“Gue emang cemburu,” Nolan mendekatkan bibirnya namun Adhya bungkam.
“Ngeri banget cemburu!”
Nolan hanya diam menatap, membuat Adhya salah tingkah dan melepaskan bekapannya.
Adhya kaget saat tiba-tiba dua jemari masuk. “Kaget!” seru Adhya kesal plus malu juga. Mereka sedang serius berbincang tiba-tiba di sana mulai mengocoknya pelan.
“Kita fokus.” bisik Nolan sambil menatap Adhya yang menggeliat karena tingkah dua jemarinya.
Nolan hisap dadanya membuat Adhya kian tak karuan.
***
Adit turun dari mobil. Dia berlari menerobos hujan, menghampiri Azura yang kedinginan menunggu di luar.
“Kamu ngapain, Ra?” Adit terlihat khawatir.
Azura terlihat melemas lega. “Aku takut. Kalian pecah gara-gara akukan? Aku tahu semua dari Zahra,” isaknya pelan.
Azura begitu cemas. Dia merasa ingin pergi saja dari dunia ini jika jiwanya merasakan kegelisahan yang tidak bisa dia jabarkan.
“Jangan marah sama Zahra.. Aku yang paksa dia buat cerita soal dulu,”
Adit memeluk Azura. “Kita udah damai, aku udah selesaiin semuanya. Ciko udah tahu semuanya juga.. Dia ga ada alasan buat ganggu kamu, kita..” yakinnya.
“Jangan pergi, Dit. Kayaknya tanpa kamu aku ga yakin bisa terus bertahan..” lirihnya.
“Aku ga akan tinggalin kamu kayak mereka, ga akan, Ra.”
Azura mendongak, menatap Adit lalu berjinjit mengecup bibir Adit sekilas. Adit sontak membalas seraya menggiring Azura masuk.
Keduanya begitu memanas. Malam ini sepertinya menjadi malam yang entah keberapa kali mereka melewati batas.
***
Caca terhenyak kaget. Matanya membulat saat melihat ada Ciko yang basah di depan pintunya. Apa Ciko hujan-hujanan?
“Pa-pak Ciko?” Caca berdebar. Sosok di depannya orang yang merusaknya.
“Resign? Kenapa?” Ciko jelas tidak suka, dia tidak bisa melihat Caca berkeliaran di sekitarnya lagi.
Dia pindah ke negara ini lagi pun untuk bertemu Caca yang sudah dewasa bahkan kini hamil anaknya.
Caca melihat sekitar, takut ada yang melihat. Sadar soal itu. Ciko mendorong pelan Caca hingga keduanya berada di dalam dan pintu pun tertutup.
“Gimana keadaan kalian?” Ciko mengamati isi apartemen Caca. Ternyata tidak ada kemewahan, namun bersih dan nyaman.
“Pak Ciko kenapa masuk?!” panik Caca. Jika Adit datang bagaimana? Mana tadi Caca menelepon Adit untuk membawakan selimut lebih tebal.
Ting tong!
Caca melotot itu Adit? Dengan panik Caca menyeret Ciko menuju kamarnya. Memperingatinya untuk sembunyi.
Ciko tidak peduli. Dia melihat sekeliling kamar Caca. Ciko juga tahu, antara Nolan atau Adit yang datang.
Ciko mencoba kasur Caca yang begitu keras, tidak ada empuk-empuknya.
Bersambung…