CANGGUNG DAN PANAS
“Hai, kak.” Caca terlihat canggung. Tersenyum kikuk.
Adit memicing, menatap sekitar.
“A-Awas licin, tadi mau pel lantai tapi kelupaan, malah asyik pegang ponsel.” jelas Caca yang segera meraih lap lantai, lantai basah bekas Ciko.
Adit menjelaskan semuanya, berharap Caca akan kembali tinggal bersamanya. Walau nanti Adit sudah menikah.
Tapi Caca menolak. Azura rentan, jika tidak sengaja Caca melukainya, Adit pasti akan ikut terluka.
Adit pun pamit pergi setelah mendapat jawaban pasti.
Caca menghela nafas lega, dia beranjak menuju kamar dengan cepat. Melihat Ciko yang telanjang bulat.
Caca menganga lalu berbalik. Tubuhnya menegang. “Pa-pa-pak Ciko kenapa,” dia tak bisa berkata-kata.
“Basah. Ada pakaian besar, Ca?” Ciko meraih handuk Caca, memakaikannya agar Caca bisa membawakannya pakaian.
Dengan segera Caca membuka lemari pakaian berbahan plastik itu. Dia mencari atasan yang dulu dia ambil dari Adit karena menyukainya.
Untuk celana ada training yang cukup besar, paling kependekan di Ciko.
“I-ini, pak.” Caca menyerahkan itu dengan canggung.
“Ciko atau kak Ciko, Ca.” Ciko menerima lalu melepaskan handuk begitu saja.
Caca sontak meninggalkan kamarnya dengan wajah memerah. Dia harus bagaimana memperlakukan Ciko. Apa dia menelpon Adhya saja? Jika Nolan tahu akan heboh dan masalah rumit nantinya.
Dan juga mereka akan sibuk mempersiapkan honeymoon lagi.
“Apa nyaman di sini, Ca?” Ciko mendekati Caca yang berdiri dekat sofa kecil yang hanya ada tiga itu.
Ciko duduk tanpa di suruh. Menatap Caca lekat. Caca mengeratkan jaket yang menutup piyamanya.
“Nyaman, kak.” jawabnya pelan dan memilih duduk.
Ciko terlihat lebih tenang, itu bagus dari pada semenyeramkan saat datang tadi.
Hening, membuat Caca gelisah diduduknya.
“Kak Ciko ga berhak bawa anak ini, Caca bisa urus sendiri,” yakinnya.
“Hm.”
Caca mengerjap, apa maksud dari gumaman itu. “Ja-jadi, kak Ciko ga usah ketemu atau ke sini, Caca ga akan lapor polisi karena ga ada bukti.” jelasnya terus terang.
“Hm.”
Caca menautkan alis. Kenapa hanya hm, hm saja. Membuatnya bingung..
“Kalau gitu kak Ciko pergi,”
“Hm,”
Caca menatapnya kesal. Sepertinya Ciko tidak fokus, bukti dari matanya yang tidak berkedip menatapnya lurus tak terbaca.
“Kak Ciko!” Caca berseru agak kesal, merasa dipermainkan. “Emang ya, jahat!” gumamnya kesal.
Caca terengah emosi, sedih dan campur aduk. Bisa-bisanya orang jahat itu duduk tenang di depannya.
Ciko beranjak, mendekat untuk mengusap puncak kepala Caca. “Kalau ga mau anak itu di rebut, lebih baik nurut.” lalu pergi.
Ciko akan tenang karena dia sudah berhasil memasang kamera tersembunyi untuk memantau Caca.
Caca berdebar cemas. Apa semuanya akan direbut darinya? Bahkan anak yang dikandung pun?
***
“Aku ke tempat Caca, Ra. Aku lupa pamit karena aku sebentar aja ke sana,” Adit mengusap sisi lengan Azura. Menenangkannya.
“Aku pikir hiks kamu ninggalin aku, aku cuma minta kamu izin biar aku ga panik,” isaknya.
Azura ingin normal, tapi tidak bisa. Mentalnya memang sudah terganggu.
“Aku salah, maaf.” Adit merengkuh Azura, membawanya masuk. “Ada dua minggu lagi waktu kita sebelum nikah, kamu jangan banyak keluar. Aku juga akan kurangin keluar kalau ga penting,” lanjutnya.
Azura mengangguk. Membalas pelukan Adit erat. Adit tidak marah, dia hanya harus bersabar. Ini keputusannya.
“Siapa Nala?” bisik Azura. “Aku ga sengaja liat pesan di ponsel kamu.” lalu mengurai pelukan.
“Dia orang baru yang urus bisnis lain Nolan, aku dipercaya buat bantu dia sampai bisa, lumayan uang tambahan,” Adit tersenyum.
Azura merasa gelisah namun memilih tersenyum dan mencoba percaya. Dia sebenarnya percaya pada Adit, tapi perempuan diluar sanalah yang tidak bisa dia percaya.
Adit kembali memeluk Azura. Dia begitu merasa serba salah. Pikirannya dipenuhi rasa khawatir terhadap Caca, tapi Azura juga membutuhkannya.
Adit tahu, dia salah karena mengutamakan Azura dibanding adiknya. Tapi jika diukur mental, mungkin Azura lebih parah dan harus lebih ditolong.
Adit percaya, Nolan dan Adhya akan membantu Caca.
“Apa Caca baik-baik aja?”
“Dia baik, ga layu. Dia mulai senyum lagi,”
***
Caca meringkuk di kasur. Baru saja selesai teleponan dengan Adhya. Dia memilih tidak menceritakan datangnya Ciko agar tidak cemas.
Dia tidak ingin mengganggu Adhya yang ingin memiliki momongan.
Caca mengusap perutnya. “Nanti kalian harus berteman ya,” lalu tersenyum. Perutnya belum buncit, tapi rasanya memang ada yang berbeda dengan tubuhnya.
Tidak menyangka akan merasakan hamil.
Namun sedih, dia hamil tanpa suami. Ayah bayinya malah musuh kakaknya. Dia mungkin hanya akan menjadi single mom.
Caca terisak pelan, hormon membuatnya gampang sekali menangis. Jika sendirian begini, rasanya menyedihkan.
Ciko mengetatkan rahangnya melihat itu. Harusnya memang tidak dengan cara begitu dia memiliki Caca.
Tapi jika tidak begitu, mana bisa dia terikat dengannya. Obsesinya sungguh besar terhadap Caca.
Ciko meraih sekantong plastik cemilan, dia keluar dari mobil yang terparkir di gedung apartemen Caca. Dia kembali masuk, menekan pintu bel walau tahu kunci sandi pintunya.
Dia takut Caca semakin takut dan tak nyaman lalu kabur. Begitu pikirnya.
Caca di atas kasur tersentak kaget, buru-buru menyeka air matanya. “Apa kakak ada yang ketinggalan? Astaga! Sembab ga ya,” paniknya lalu bersiap membuka pintu.
“Kenap—”
Ciko masuk lalu menutup pintu. “Kita ngobrol sambil makan cemilan sehat,” ujarnya dengan senyum tipis. Membujuk jiwa Caca agar tidak terlalu takut padanya.
“U-udah malem, ga enak—”
“Penjaga udah di bayar mahal, Ca. Tenang aja, kita disini bukan mau ngulang malam itu.” potong Ciko.
Dia menatap televisi cukup jadul itu. Dia tidak tahu harus bagaimana menyalakannya. Apa masih bisa di tonton.
Caca mencoba tenang, percaya. Dia masih tidak percaya sosok seperti Cikolah yang membuatnya hamil.
Caca mengunyah, agak takjub dengan rasa cemilan itu. Enak dan cocok dilidahnya.
“Malam itu, Caca mabuk?” Caca membuka suara, lebih baik memanfaatkan waktu selagi tidak menyeramkan di samping Ciko walau canggung.
“Hm..” awalnya, setelah itu dia bius.
Caca menghela nafas. Memang salahnya mungkin. Dia ingat duduk di kursi bar, melihat orang pesan. Dan dia ingat!
“Caca ga pesen minuman, dikasih..” serunya.
“Hal wajar, Ca. Aku yang kasih,” Ciko menatap wajah bayi Caca. Kini ada di depannya, begitu nyata.
Caca memilih membahas. Semua sudah terjadi. Anaknya juga sedang tumbuh. Ada Nolan dan Adhya yang membantu.
“Kasih aku waktu 3 bulan, aku akan bikin kamu jatuh cinta.” Ciko mendekat, menggenggam sebelah jemari Caca.
Caca menahan nafas kaget, jantungnya berdebar sampai wajahnya memerah.
“Tanpa Adit dan Nolan tahu. Kalau kamu sayang anak kita. Coba kamu pikir, saat dia besar. Dia ditanya siapa ayahnya, kamu bilang atau anak kita bilang ga punya ayah, kasihan dia, Ca.”
Caca menarik jemarinya hingga terlepas dari genggaman Ciko. Begitu canggung namun menebarkan.
“Aku cinta kamu dari lama, serius. Apa Andi ga bilang sesuatu?”
Caca mengerjap. Kenapa dengan Andi?
***
“Udah berapa kali ini?” Nolan terlentang dengan keringat membasahi leher dan otot di perutnya.
“Itung sendiri!” sebal Adhya. “Katanya istirahat, bentar banget! Lemes!” celotehnya.
Nolan tertawa pelan. Dia menggebu ingin bayi, Adhya juga enak dan pasrah saja. Bagaimana bisa Nolan menyia-nyiakan waktu.
“Oke, 5 menit lagi.” Nolan urung mengguncang Adhya dengan kenikmatan lagi. Dia akan menambah waktu istirahatnya.
Adhya pun terpejam sejenak, mengisi daya hingga merasakan bibir Nolan sudah menari di lehernya.
“Baru 3 menit deh kayaknya!” kesal Adhya.
“Sensi amat sih,” Kekeh Nolan sambil ndusel.
“Abis ga sesuai terus! Lebih baik jujur, lima kali lagi sayang, bukan sekali ini udah tapi lagi,” omelnya.
Nolan tertawa pelan. “Oke, lima kali lagi, sayangku sugar..” balasnya.
Adhya semakin kesal, dia menggigit bahu Nolan dan Nolan menghisap dada Adhya kuat setelahnya.
“Aduh!” Adhya mendesah gelisah. Balas dendamnya Nolan terlalu enak.
***
Adhya menatap dirinya di depan cermin.
Dia berdiri dengan Nolan merengkuhnya dari belakang, terus menggerakan pinggulnya.
Dua dadanya yang bergerak Nolan peluk dan remas-remas.
Pemandangan yang begitu panas.
Adhya melenguh halus saat Nolan mengangkat sebelah kakinya lalu Adhya setengah rebahan di meja itu.
Posisi ini atau apapun jika itu Nolan Adhya akan menggigil suka.
Nolan begitu liar sampai Adhya merebahkan tubuhnya di meja itu. Membiarkan berdiri dengan satu kaki karena satunya dipegang Nolan.
Panasss
KESEDIHAN DAN KEBAHAGIAAN
Adhya tersenyum menatap Caca yang cantik sekali hari ini. Hari di mana Adit dan Azura menikah, hanya keluarga, beberapa teman saja yang datang.
“Gue ga tahu pak Ciko akan datang, Lo ga papakan, Ca?” Adhya berubah cemas.
“Ga papa, Adhya. Caca ga mau banyak pikiran, kata pak dokter jangan banyak pikiran,” jawabnya.
Tersenyum memang tapi entah kenapa kedua mata Caca terlihat sedih.
“Kalau dia maksa, nyakitin, jangan ragu bilang ya, Ca..” ujar Nolan yang fokus di kemudi lalu menghentikan mobilnya di gedung apartemen agak lusuh itu.
“Apa ga mau pindah tempat?” tanya Nolan. Dia banyak kontrakan yang aman, tapi Caca selalu saja menolak.
“Ini tempat yang nyaman, kak Nolan.” Caca meraih semua barangnya. “Makasih ya udah antar Caca,”
“Jangan sungkan, Ca. Ada apa-apa telepon, kita pasti usahain datang,” balas Nolan.
“Iya, jangan takut. Bergantung aja sama kita,”
***
“Apa Caca beneran baik-baik aja?” Adhya menatap jemarinya yang di genggam Nolan.
Mereka masih di perjalanan menuju kediaman. Nolan terlihat santai melajukan mobilnya. Sambil jalan-jalan malam mungkin.
“Emang kenapa?”
Adhya menatap Nolan, apa ceritakan saja?
“Kak Azura..”
“Dia kenapa?” Nolan melirik sekilas.
“Dari dulu, Caca selalu ngerasa Adit direbut perhatiannya, selalu utamain Azura, kita ga tahu soal sakit mentalnya,”
Nolan terdiam sejenak.
“Seharusnya, maunya Caca.. Diakan adiknya, harus lebih diutamain, dia juga kesulitan, Nolan. Apa di dunia ini, cuma Kak Azura yang punya masalah mental?”
Nolan masih memilih diam.
“Caca juga punya, dia selalu merasa kesepian, ditinggal, wajahnya aja polos kayak bayi, dia aslinya sama rapuh kayak kak Azura.. Makanya apa Caca baik-baik aja liat kak Adit nikah sama Azura yang pastinya Caca akan merasa Adit sepenuhnya punya Azura sekarang..”
Nolan tiba-tiba merasa bersalah. Dia maupun Adit sama saja. Mengutamakan perasaan Azura, menyuruh orang disekitarnya mengerti tentang Azura tanpa peduli perasaan yang lain.
“Tapi Caca terus nolak gue nginep, apa sekarang dia lagi nangis sendirian?” Adhya tiba-tiba terisak.
Kenapa Caca cobaannya berat. Hamil sendirian, apa dia sungguh baik-baik aja?
***
Caca terisak sesak, terus mengayunkan langkah menuju pintu apartemennya. Dia memasukan pin lalu masuk tanpa bisa berhenti dengan tangisnya.
Mungkin karena hormon juga membuatnya begitu sensitif.
Caca senang melihat senyum bahagia di bibir Adit, mereka cocok. Ganteng dan cantik tapi entah kenapa dia begitu sedih.
Dia merasa semakin sendirian. Kakaknya, orang satu-satunya yang selalu ada kini memiliki kehidupan baru yang mungkin saja fokusnya tidak lagi padanya sepenuhnya.
Caca melepaskan tas di tangannya begitu saja. Tangisnya semakin kencang, dadanya sesak. Tangisnya begitu tergugu.
Caca tidak peduli dengan sekitarnya yang gelap. Masih ada bulan yang menerangi apartemennya lewat jendela besar itu.
Hingga siluet hitam terlihat, suara langkah terdengar. Tangis Caca agak terjeda saat melihat pria tinggi mendekat dan merengkuhnya.
Tanpa peduli siapa. Caca kembali menangis, tersedu-sedu. Yang dia tahan seharian ini pecah di pelukan orang yang harusnya dia benci.
“Ada aku, kamu ga akan sendirian.”
Caca mendengar itu semakin pecah, dia menangis sampai lemas dan terlelap. Ciko jelas menggendongnya dengan mudah, merebahkannya perlahan lalu memeluknya.
Di atas kasur keras itu Ciko memeluknya erat. Dia merasa terluka mendengar tangisnya. Rasa ingin memiliki dan menjaganya semakin menggebu.
***
Adhya memeluk Nolan, Nolan pun sebaliknya. Mereka hanya saling memeluk dan diam. Sibuk dengan pemikiran masing-masing.
“Nolan, kok udah honeymoon, kita juga sering begitu, kenapa ga kunjung hamil ya? Apa ada yang salah?”
Nolan tersenyum tipis, dia sudah menduga. Adhya pasti akan bertanya begitu. Merasa tidak kunjung hamil.
“Proses, sugar. Kita pasangan menikah, biasanya ga bisa sekali hamil, Tuhan mau kita menikmati setiap prosesnya..”
“Tapi kalau ga kunjung—” Adhya berhenti.
Nolan paham kemana arahnya. Dia peluk Adhya erat, mengecup rambutnya beberapa kali.
“Ga papa, gue ga kecewa kok, santai aja.. Suka banget gue sama prosesnya,”
“Ck! Hm.. Apa ini karma karena awal nolak—”
“Engga gitu, udah jangan dipikirin, kita yakin aja dan terus berproses,” potong Nolan.
“Lucu ya,” Adhya terkekeh pelan.
“Hm? Apanya?” Nolan mengurai pelukan, dia tatap wajah Adhya yang semakin bercahaya saja. Cantik.
“Kitakan musuh seranjang, tapi kok makin lengket,” kekeh Adhya.
Nolan mengecup dan menggigit gemas bibir bawah Adhya sekilas.
“Kita bukan musuh, cuma lawan debat aja, sugar..” kekehnya.
“Tetep aja, dulu setiap ketemu mana bisa akur, selalu aja berantem sampai kalau ketemu itu muak, mana lo buaya..” Adhya mencubit sekilas pipi Nolan.
“Bukan buaya yang suka sering jajan ya, sesekali aja, sugar. Gue nyesel, harusnya lebih jaga diri buat lo, tapi tenang aja.. Semua kebiasaan udah gue lepas perlahan.. Sekarang lumayan bisa ga terlalu ramah sama perempuan,”
Adhya menatap Nolan yang berceloteh menjelaskan ini itu. Bibir Adhya terangkat, mengukir senyum. Dia akan mencoba percaya, sejauh ini Nolan cukup menepati janjinya.
***
Adit terdiam di ujung kasur. Dia tidak bisa menyingkirkan wajah sedih adiknya dengan senyumnya yang terasa palsu.
Rasanya dia meninggalkan Caca sendirian. Padahal menikah atau tidak akan tetap sama. Jika pun Caca repotkan dia akan lakukan tanpa masalah.
Apa pilihannya ini tidak salah?
Satu sisi dia ingin menyelamatkan Azura agar tetap hidup di sampingnya. Menjadi sahabat, kekasih dan istrinya.
Satu sisi dia seperti meninggalkan adiknya yang tengah hamil sendirian.
Perasaan Adit menjadi tidak nyaman tanpa bisa dijelaskan.
Apa dia berdamai saja. Membiarkan Ciko bertanggung jawab terhadap adiknya. Tapi, apakah Ciko sungguh tulus.
Dulu saat bersahabat Ciko memang sangat baik walau sama buaya seperti Nolan, Adit juga tidak sepenuhnya baik, bermain perempuan pernah sebelum bertemu Azura, pecah pun persahabat mereka hanya karena kesalah pahaman.
Ciko menyakiti Azura karena emosinya yang tidak terima saat itu.
Sekarang… Apa bisa Ciko dia percaya?
“Kenapa? Lelah ya?” Azura tersenyum dan duduk di samping Adit.
Adit menatap Azura dengan gaun tipisnya. “Cantik, dari siapa?” tanyanya mencoba berhenti berpikir.
“Hadiah, Zahra..”
“Bagus, lebih bagus ga pake apa-apa sih,” Adit mengulum senyum melihat Azura tersipu.
***
“Siapin sarapan? Tumben,” Nolan membenarkan boxernya lalu menempel ke punggung Adhya yang mengaduk nasi goreng buatannya.
“Jangan bikin kita jadi musuh lagi, diem aja.” sensi Adhya.
Nolan tersenyum, memeluknya tanpa banyak berkata. Adhya mengulum senyum karena berhasil membuat Nolan menurutinya.
“Wangi ga?”
Nolan mengangguk. “Enak kayaknya.” jawabnya semakin membelit perut kecil Adhya.
“Pasti, jarang masak tapi sekali masak jago,” bangga Adhya begitu angkuh, menggemaskan. “Jangan grepe!” tegur Adhya sambil menoleh sekilas.
Nolan ndusel di bahu Adhya, tetap memasukan dua jemari tangannya ke dalam CD dan satunya br*.
Adhya menggigit bibirnya, terus mengaduk lalu mematikan kompor.
“Sebentar ya,” Nolan menarik dan merebahkan Adhya ke meja makan.
Adhya terlihat kesal walau berakhir tersenyum pasrah saja di makan Nolan di meja makan hingga nasi goreng mendingin.
***
Caca segera mendorong Ciko dengan marah. Mereka tidur semalaman? Gara-gara kesedihannya dia sampai melakukan hal itu.
Caca membencinya. Membenci semuanya. Keadaannya. Melihat sumber masalahnya jelas membuatnya kacau.
Moodnya sangat buruk pagi ini.
Caca menyeka air matanya. Dia merasa tidak bisa menahan kesedihannya.
Ciko menatap Caca dalam diam, mengabaikan pakaiannya kusut, rambutnya berantakan. Dia tidur nyenyak memeluk Caca semalaman.
“Apapun aku kasih. Kamu akan bahagia sama aku, Caca.” yakin Ciko.
“Pak maksudnya kak Ciko, pasti cuma balas dendamkan? Caca udah hancur, kak. Balas dendamnya udah berhasil,”
Tatapan Caca begitu layu, lelah, putus asa. Pengaruh hormon hamil juga. Nafsu makan hilang, apapun hilang sepertinya.
“Apa tawaran aku ga menarik. 3 bulan, Caca..” Ciko mendekat namun Caca mencegahnya.
“Caca mati rasa kayaknya, udah cukup kak. Ga akan sanggup lagi kalau terluka lagi,” lirihnya dengan bibir bergetar.
Ciko mengetatkan rahang dan kepalan tangannya.
“Cinta, ini cinta bukan dendam. Caraku salah, aku tahu. Tapi tanpa dia, kita ga terikat, Caca.” Ciko menatap perut Caca.
Caca mengusap perutnya dengan air mata kembali berjatuhan.
“Kamu benci aku, itu pasti. Tapi aku mohon, manfaatin aku, Ca. Bergantung sama aku, aku kasih semuanya buat kamu, aku secinta itu,”
Caca menatap Ciko. Dia merasa asing jelas, dia tidak akrab dengan Ciko, tiba-tiba hadir dan menawarkan cinta.
“3 bulan, coba aku. Aku bisa bikin kamu merasa hidup, ga sendirian, dan bahagia.”
Bersambung…