MEJA MAKAN
“Mau makan apa?” Ciko begitu lunak, berubah bagai membujuk anak kecil. Wajah datar dan aura dinginnya entah kemana.
Caca mengerjap, menatap wajah Ciko yang mengintip wajahnya. Senyum tipisnya begitu menenangkan. Caca sejenak mengamati wajah tampannya yang bersih itu.
“Hm?” Ciko menunggu dengan sabar.
Caca mengalihkan pandangannya. Dia terlalu ketara mengamati Ciko sepertinya. Membuatnya malu sampai pipinya panas.
“Ga mau apa-apa,” jawab Caca pelan nan lirih. Dia sungguh tidak memiliki nafsu makan apapun.
Perasaannya tidak bisa dijelaskan.
Ciko menghela nafas pelan, dia beranjak dan duduk di depan Caca. Bersimpuh sambil menggenggam 2 jemarinya.
“Kamu boleh benci aku, tapi dia gimana? Dia lapar, Caca. Semalem kamu ga makan, di pernikahan Adit juga.”
Caca terdiam menatap Ciko lagi. Dia tahu sedetail itu.
“Serius, ga ada nafsu makan.” cicit Caca menunduk lesu. Mual untungnya tidak muncul pagi ini.
Ciko mengusap jemari dingin Caca. Membuatnya hangat. “Bubur ya?” bujuknya begitu lembut.
Caca sampai kembali diam menatap Ciko. Dia seperti melihat orang lain. Membuatnya tanpa sadar mengangguk.
Ciko tersenyum tipis. Mengusap sekilas pipi kiri Caca yang memerah lalu beranjak tanpa banyak kata.
Dia akan memesannya. Menyiapkan air hangat untuk Caca.
Caca mengerjap gugup, tiba-tiba merasakan jantungnya berdebar.
***
Adhya terpejam lemas nan terengah di atas meja makan itu. Membiarkan Nolan yang berdiri merebahkan kepalanya di dada Adhya.
Nolan menyeka peluh di wajah dan lehernya lalu menegakan tubuh dan kembali bergerak perlahan lagi.
“Cuaca pagi ini panas banget Haa..” Adhya mengerang gelisah, meremas setiap lengan Nolan yang berada di setiap sisi tubuhnya yang terguncang cantik.
Nolan tidak berkedip, menatap pakaian Adhya yang compang-camping seksi. Di atas meja, di pagi hari.
Astaga.. Enaknya menikah.
Adhya menyambut wajah Nolan, membingkainya lalu menjulurkan lidahnya yang langsung saling membelit.
Panas sekali paginya. Entah kenapa Adhya juga sangat aktif dari biasanya.
Nolan kecupi rahang Adhya, telinga lalu merambat ke lehernya yang sudah penuh dengan jejak percintaan.
“Inih.. Ga sebentar, lama! Nolan,” lirihnya gelisah.
“Sekarang, sugar. Sekarang,” Nolan mulai mengeratkan pelukan, menggeram dan kian cepat.
“Nolan!” jerit Adhya tertahan, meremas punggung Nolan. Dia terlalu cepat dan liar.
Nolan mengerang rendah, dia menghentaknya dalam sampai bergetar bersama Adhya yang menggelinjang di pelukannya.
Adhya terpejam, merasakan hangat di sana. Semoga kali ini dia bisa mengandung.
Keduanya sama terengah lemas penuh nikmat dan kelegaan.
Nolan seka keringat di wajah Adhya, mengecupi wajah dan bibirnya.
***
Nolan tertawa pelan mendengar ocehan Adhya tentang nasi goreng yang mendingin.
“Kita lagi berproses, sugar. Angetin aja,” Nolan gigit pelan pipi Adhya lalu menyiapkan air di meja makan yang baru Nolan bersihkan.
“Ha.. Oke.” Adhya terdengar kesal, menghangatkannya sebentar. Menyajikannya.
“Makasih, cantikku.” Nolan mencubit bibir manyunnya sekilas.
“Ga tahu gimana rasanya,” Adhya memulai makan, di lidahnya tidak buruk lalu menatap Nolan.
“Hm.. Enak,” pujinya tidak bohong.
Keduanya menghabiskan sarapan tanpa sisa. Saking lapar dan banyak mengeluarkan tenaga sebelumnya.
“Caca belum bales pesan, dia mungkin masih tidur atau cari sarapan. Nanti siang makan bareng ya?”
“Hm, boleh.” Nolan meminum air sedikit. “Adit juga ajak makan bareng, tapi ga langsung di jawab,” lanjutnya.
“Boleh aja, kita makan bareng biar Caca ga merasa Adit jauh,” itu bukan ide buruk.
“Oke.” Nolan menyalakan ponsel, menjawab Adit bahwa dia bisa makan siang bersama, akan membawa Adhya dan Caca. Adit senang membalas pesannya.
“Gue yakin, posisi Adit juga berat,” Nolan mematikan ponselnya. “Yang penting kita adain aja pertemuan, sesingkat apapun. Biar Caca ga kesepian,”
Adhya menatap Nolan haru. Buaya satu itu ternyata baik. Sangat peka dengan perasaan orang lain. Saking pekanya jadi playboy mungkin ya. Kekeh Adhya geli sendiri memikirkannya.
***
“Ra, kita makan sama Nolan, Adhya, Caca, ya siang ini.” Adit mendekati Azura.
“Oke, seneng kalau banyakan.” walau Azura merasa tak nyaman sebenarnya. Caca terlalu ketara seperti tidak menyukainya.
Membuat Azura selalu merasa tak enak hati tanpa alasan pasti.
“Aku mau kamu sama Caca lebih akrab, kita keluarga sekarang,” Adit memeluk Azura penuh harap.
Azura mengangguk, membalas pelukan Adit.
“Gimana masih sakit? Aku terlalu semangat semalem,”
Azura bersemu malu. Semalam mereka lebih liar dari malam-malam biasanya.
“Udah engga terlalu.”
Adit mengecup kepala Azura. “Seneng banget bisa nikah sama kamu, Ra. Semoga selalu bahagia ya,” lalu dikecupi lagi.
Azura tersenyum. Adit begitu baik, dia hanya perlu bahagia dan lebih baik lagi agar bisa membalas kebaikan Adit.
Walau rasanya menyesakan, tidak nyaman. Azura harus berjuang. Dia tidak boleh berpikir ingin hilang di dunia ini.
Adit bisa saja kecewa padanya. Dia tidak ingin begitu.
***
Caca memakan buburnya sampai habis. Entah karena enak atau baru sadar dia lapar. Yang jelas habis tanpa mual.
Ciko begitu lega melihatnya. Dia juga selesai sarapan.
“Ca, boleh aku beliin kamu kasur, televisi?” Ciko akan selalu bertanya, dia ingin Caca nyaman.
“Engga mau.” Caca menggeleng dengan dua matanya yang meredup agak ngantuk. “Kak Adit bisa salah paham, kecuali Kak Ciko izin sama kak Adit,” lanjutnya.
Ciko mengangguk, akan dia pikirkan bagaimana caranya membicarakan itu pada Adit. Jelas Adit masih belum mau berdamai.
Ciko meregangkan tubuhnya. Dia merasa tidak enak badan. Kasur yang dipakai Caca begitu keras.
Caca melirik Ciko. “Apa kak Ciko ga kerja?” tanyanya mencicit.
“Siang berangkat, kamu sama Adhya udah diurus pengunduran dirinya, kamu istirahat yang banyak.” Ciko menunjuk kulkas. “Udah di isi makanan, banyak ngemil biar bayinya sehat,” jelasnya.
Caca mengangguk pelan dan menunduk. Dia masih tidak tahu harus bagaimana. Ingin marah-marah membencinya bukan tipenya dan juga lelah rasanya.
“Minta nomor, Adit.” Ciko tidak akan menunda dan banyak berpikir. Sekali pun berakhir debat. Kasur yang di pakai Caca sungguh tidak baik untuknya.
***
“Lo tidur sama Caca?” amuk Adit sampai menjauh dari Azura.
Mereka baru selesai bercinta di pagi hari menuju siang.
“Gue ga tidur, cuma cek semua yang ada di apartnya!” Ciko milih berbohong, membuat Caca lega di sampingnya.
Caca tidak menolak jika Ciko akan memberikannya kasur bagus. Dia juga sudah tidak kuat jujur saja. Tubuhnya selalu terasa rontok jika bangun tidur.
Adit mengepalkan tangan. Ingin mengamuk tapi dia memilih menelannya. “Apa seburuk itu kasurnya?” tanyanya mulai luluh.
Adit sedih. Bahkan soal itu dia tidak tahu. Kakak macam apa yang menyiksa adiknya tanpa dia sadari.
Di sini dia tidur di kasur empuk.
“Sehari aja bikin gue harus pergi ke tempat pijet. Pokoknya gue kasih semua buat Caca, tanpa Caca minta, tanpa hal buruk apapun. Ini niat baik gue buat dia yang gue cinta,”
Adit diam sejenak. “Jangan lewati batas lagi. Gue kasih kepercayaan sementara buat lo tanggung jawab. Kalau akhirnya gue tahu lo cuma dendam, lo habis sama gue!” lalu mematikan panggilan sepihak.
Adit terisak pelan. Azura jelas mendekat dan memeluknya.
“Aku gagal jadi kakak, Ra. Adik aku satu-satunya hidup susah tanpa aku tahu.”
***
Caca menatap semua barang mewah yang datang. Caca mendongak saat Ciko mengulurkan tangan.
“Kita tunggu di cafe sebrang. Tukang pasti cepet pasang wallpaper dinding, semua aku renov, jangan protes, Adit udah kasih izin!” tegasnya namun terdengar tetap lembut.
Caca hanya diam patuh. Dia masih bingung. Dia senang namun masih tetap sedih.
“Siang Caca harus ke tempat makan, kak Adit sama yang lain makan siang,”
“Aku ikut.”
“A-apa? Jangan.” Caca begitu lemah.
Ciko sampai menoleh, menatap wajah pucat Caca, tangannya terulur memeriksa keningnya.
“Demam.” segera dia gendong.
Caca berontak pelan, namun Ciko tidak kunjung menurunkannya hingga berakhir di dalam mobil dan di bawa ke rumah besar dengan banyak pelayan.
Tak lama ada dokter. Caca tidak bergerak, dia terlalu pening dan lemas.
JANJI, MASALAH DAN BERHASIL
Ciko menatap Caca yang mengigau di tidurnya. Demam memang belum turun tapi dokter sudah menanganinya. Demamnya muncul hanya karena banyak pikiran dan kelelahan.
Ciko sangat tahu, betapa berisiknya pikiran Caca walau wajahnya seperti bayi polos.
Ciko usap peluh yang muncul lalu mengompres lagi. Caca sudah ganti pakaian, dia menggantinya agar nyaman karena yang sebelumnya penuh keringat.
“Hiks..” Caca menangis dalam tidurnya lalu terdiam lagi. Entah apa yang sedang dia mimpikan saat ini.
Ciko menatapnya tak terbaca. Dia salah satu alasan kehancuran Caca. Dia menyesal namun semua sudah terjadi. Dia hanya akan bertanggung jawab.
Dia akan menjamin dan membahagiakan Caca.
“Ha.. Dingin,” lirih Caca dengan mata sedikit terbuka. “Kak Adit..” lirihnya begitu pelan dengan mata kembali terpejam.
Ciko masuk ke dalam selimut, menutupi Caca dan memeluknya agar hangat. Caca terus bergumam tidak jelas hingga suara nafasnya yang terdengar teratur.
“Tidur yang nyenyak, mimpi indah, Caca.” bisik Ciko lembut walau wajahnya tidak ada keramahan jika Caca tidak melihatnya.
Semalaman Ciko menjaganya, memastikan demamnya turun dan untungnya pagi tiba demam Caca turun.
Ciko akan mengubah dirinya sendiri untuk Caca. Dia akan mengubah dirinya lebih lembut dan perhatian agar Caca nyaman di dekatnya.
***
Adit pamit pada Azura, kemarin memang tidak jadi makan siang. Nolan dan Adhya juga membatalkannya karena ada urusan mendadak.
“Kemana?”
“Aku mau beli beberapa barang, Nolan suruh buat kontrakan yang kemarin di perbaiki,” jawabnya.
“Oh, oke. Hati-hati, makan malem di sini ya.. Aku mau siapin,” Azura terpejam sekilas menerima kecupan di bibirnya.
Adit mengangguk.
Adit pun pergi. Sebelum menjalankan tugasnya, dia ingin melihat apartemen Caca dulu. Mumpung masih cukup pagi.
Apa di sana ada Ciko? Bagus jika ada, dia ingin membicarakan semuanya. Dia tidak tenang, dan akan memilih mengalah jika itu baik untuk adiknya.
Sungguh dia akan berdamai walau berat mengingat Ciko pernah melukai Azura dan sekarang menargetkan Caca hingga adiknya harus mengandung sebelum menikah.
Adit pun sampai, dia turun dan menuju ke unit apartemen adiknya. Di sana hanya ada dua pegawai yang tengah membereskan sampah.
Adit tersenyum. “Saya kakak dari pemilik apartemen ini,” lalu tatapan Adit meliar, menatap sekeliling.
Dalam apartemen jadi nyaman dan bersih. Ada banyak hal baru, terlihat mahal. Jika begini Caca akan nyaman.
“Pak Ciko membawa bu Caca karena beliau sakit, jadi kami di percaya menyelesaikan semua ini,”
“Sakit?” Adit berdebar cemas. “Baik, Makasih pak.” Adit segera mendial nomor Caca.
Adit bergegas turun menuju mobil Nolan yang selalu dia pakai itu. Entah urusan pekerjaan atau sehari-hari.
“Ca, kamu dimana? Sakit apa?” todong Adit tanpa menyapa dulu.
“Dia masih tidur, demamnya udah turun, cuma perlu makan obat dan vitamin. Siang pulang ke apart,” jelas Ciko datar.
“Dimana Caca sekarang? Dia bisa di tempat gu—”
“Lo urus Azura! Caca ga akan nyaman ganggu kalian. Dia aman di sini,” potong Ciko.
“Gue perlu ngobrol hal penting sama lo. Biarin Caca tidur dan temuin gue di—”
“Lo datang ke alamat gue.” potong Ciko lalu menjelaskan alamatnya dan mematikan panggilan sepihak.
***
Nolan menatap Adhya yang sibuk membungkus makanan untuk sahabatnya. Nolan tidak masalah, dia juga anteng ngemil sambil menatapnya.
“Caca sakit, kasihan..” Adhya terlihat murung sedih, terus membungkus dengan bersih dan rapih.
“Aman, Ciko banyak uang, dia ga akan diem karena ada anaknya di rahim Caca.” Nolan menyimpan cemilan, mengecup pipi Adhya lalu berjalan untuk meraih minum.
“Lo udah percaya kalau Ciko ga akan macem-macem? Dengan dia bikin Caca hamil aja—”
“Ssstt.. Sugar, jangan emosi. Kasihan Caca kalau kita gini, Caca nanti merasa bersalah. Kita mending biasa aja, tanpa nolak atau terima Ciko. Kita fokus aja bantu Caca nyaman, pastiin dia ga sendirian, masalah Ciko biarin aja,” potong Nolan lalu meminum airnya.
Adhya terdiam. Benar, lebih baik fokus pada Caca.
“Ada yang dateng,” ujar Adhya saat mendengar bel berbunyi. “Bentar,” dia pun pergi dari dapur.
Nolan kembali meraih cemilan dan duduk anteng menunggu Adhya. Paling yang datang paket yang dipesan Adhya.
“Nolan.”
Nolan berhenti mengunyah dan menoleh pada suara yang memanggilnya. Itu bukan Adhya, suara perempuan lain yang tak asing.
“Hiks.. Nolan, aku hiks hamil,”
Tubuh Nolan membeku, dia menatap Adhya yang memucat kaget juga sepertinya melihat ada perempuan tanpa sopan santun masuk begitu saja.
“A-Apa?” lirih Nolan syok.
***
Adhya pergi tanpa peduli Nolan lagi. Dia membiarkan suaminya menyelesaikan tanpa ikut campur.
Adhya menuju rumah yang katanya rumah Ciko. Caca ada di sana bahkan dia tidak tahu Adit juga ada.
“Adhya? Kenapa?” Adit berhenti berbincang dengan Ciko.
“Caca mana?”
“Lantai dua, pintu ketiga.” jawab Ciko datar.
Adhya pun pergi bergegas. Membiarkan Adit melanjutkan percakapan seriusnya dengan Ciko.
Ciko datar saja, dia sungguh tidak memiliki dendam. Dia hanya terobsesi ingin memiliki Caca sampai nekad. Kenapa tidak ada yang percaya.
“Gue ga suka semenggebu ini sama Azura. Dia cuma sahabat yang kita sayang, gue mungkin belum paham sama perasaan hari itu.” Ciko begitu malas menjelaskannya.
Dia sungguh bukan karena Azura. Dia sudah lama melupakannya. Hanya Caca, terus Caca yang dia lihat lewat informasi yang selalu Andi berikan.
Dari mereka kuliah, bahkan bekerja di kantor yang Ciko ambil alih itu. Sampai malam itu tiba, Ciko hilang kendali.
Caca terlalu tidak bisa dia lewatkan.
“Gue ga akan egois. Kalau Caca mau lo tanggung jawab, dia terima itu. Gue akan kasih restu, dengan syarat jangan sakitin dia. Kalau mau, sakitin gue aja.”
Ciko mengangguk. “Gue paham. Gue akan bujuk Caca pelan-pelan, gue mau kasih dia kehidupan yang layak, gue ga akan paksa.” janjinya.
Adit berdiri. Dia harus pergi melanjutkan pekerjaannya.
***
Ciko bersandar di dekat pintu kamarnya yang diisi Caca dan Adhya kini. Keduanya tengah berpelukan dan sama terisak.
Ciko tidak heran mendengarnya. Nolan sedang ada masalah, salah satu perempuan yang pernah singgah dan main-main bersama Nolan hamil.
“Karma buaya,” gumam Ciko.
“Tapi kak Nolan yakinin, dia ga mungkin kecolongan, coba percaya dulu, Adhya.. Jangan kabur gini,” tegur Caca dengan isak pelan.
Ciko terdiam. Dia lumayan tahu, Nolan memang selalu sedia payung sebelum hujan. Dia nakal, selalu membawa k*ndom untuk jaga-jaga.
Apa ini jebakan. Bisa jadi. Pikir Ciko acuh tak acuh. Hingga nomor Asing muncul di ponselnya.
Nomor Nolan. Isi pesannya menanyakan Adhya, menjelaskan masalahnya panjang lebar.
“Padahal gue ga mau tahu, kenapa harus jelasin panjang lebar.” gumam Ciko acuh namun memilih tidak diam.
Dia meminta orang suruhannya yang terpercaya menyelidikinya dulu. Siapa tahu memang Nolan melakukan kesalahan dan apes.
***
Adhya melirik Ciko, kata Caca pria itu sangat baik memperlakukannya jadi dia tidak perlu khawatir.
“Gue pulang, Nolan udah nunggu.” Adhya memeluk Caca, lumayan tenang jika sudah bercerita.
“Hm, hati-hati. Semoga masalahnya cepet selesai,”
Adhya mengangguk lalu menatap Ciko yang menatapnya datar. “Kak Ciko, titip Caca.” Adhya mencoba tidak terlalu formal. Toh mereka sudah bukan boss dan pegawai lagi.
Ciko mengangguk. “Sopir akan anter,” balasnya.
Adhya hanya mengangguk, itu permintaan Caca agar Adhya mau di antar oleh sopir Ciko yang pastinya lebih aman.
Adhya pun pulang, dia akan menuruti kata Caca. Tidak boleh kabur, marah atau kecewa dulu. Dia harus menemani Nolan sampai selesai. Apalagi Nolan sudah mengaku tidak pernah meninggalkan benih kecuali pada Adhya.
***
Caca duduk di atas kasur Ciko yang empuk dan luas itu agak canggung. Ciko terlalu menatapnya lekat.
“A-ada apa, kak?” tanya Caca mencicit risih. Apa di wajahnya ada kotoran?
“Mau makan siang? Udah saatnya minum obat.” Ciko menyentuh kening Caca yang hangat berangsur-angsur normal.
Caca menahan nafas sejenak lalu memilih mengangguk. Dia merasa lapar. Dia juga ingin sembuh agar tidak merepotkan banyak orang.
“Adhya bikin bubur,”
Ciko tahu, dia bergerak membuka wadah bubur yang dibawa Adhya.
“Kapan pulang?” tanya Caca mencicit.
“Beres makan obat.” Ciko akan mengantarnya.
***
Caca berdebar pasrah saat Ciko dengan mudah menggendongnya hingga sampai di apartnya. Mata Caca membulat melihat ruangan yang bercat putih lusuh kini berubah menjadi indah banyak bunga pink menghiasi dinding.
Ciko sepertinya tahu. Caca suka warna yang soft dan feminim.
“Suka?” bisik Ciko sambil menurunkan Caca perlahan dan berdiri di kakinya sendiri.
Caca mengangguk pelan, menatap semuanya. Televisi, kulkas, semua barang baru lainnya. Pasti banyak uang dikeluarkan.
“Caca ga tahu balasnya gimana?” gumam Caca yang Ciko tangkap jelas walau suaranya pelan.
“Jangan tolak tawaran 3 bulan, itu bayarannya.”
***
Nolan berjongkok, menunduk menunggu pulangnya Adhya. Di saat dia berjuang ingin anak dan berhasil, kenapa ada masalah begini.
Nolan sampai bertengkar hebat dengan Namira. Dia yakin, hubungan mereka pun sudah cukup lama tidak terjalin. Kehamilan Namira terlalu muda.
Nolan bersumpah tidak berc*nta dengan siapa pun lagi semenjak menikahi Adhya.
“Nolan.” Adhya memanggilnya bergetar sedih.
Nolan mendongak dan berdiri cepat lalu memeluknya. Nolan terus bersumpah, menjelaskan semuanya.
“Kita ke dalem, jangan di sini.”
Nolan mengangsurkan test pack yang Adhya tinggal di kamar mandi lalu menggendongnya.
Adhya hendak menolak di gendong namun memilih menatap yang dia pegang lalu melotot. Pantas moodnya narik turun dahsyat. Ternyata sedang hamil?
“Ha-hamil?” lirih Adhya syok penuh haru.
Nolan mengangguk. Dia sungguh kacau. Dia akan mencari bukti bahwa anak Namira bukan anaknya.
Bersambung…