GARA GARA HORMON
Entah sejak kapan, wajah Ciko begitu dekat. Caca tidak berkedip menatap bola matanya yang begitu indah. Ini pertama kalinya.
Caca menahan nafas saat bibir Ciko hinggap di bibirnya. Caca tidak terpejam, dia menatap kedua mata Ciko yang tertutup. Bulu matanya panjang dan lentik. Indah sekali.
Jemari Caca meremas setiap sisi pinggang kaos santai yang dipakai Ciko. Merasakan bibirnya disapu lembut, kepala Ciko bergerak kadang ke kiri, ke kanan.
Caca semakin meremas kaosnya, melirik telinga Ciko yang memerah. Entah kenapa, dia sulit mendorongnya menjauh.
Ciumannya terasa enak walau kian membuatnya sesak. Nafasnya menipis. Caca terpejam lalu terbuka lagi saat Ciko menjauh.
Caca melahap rakus udara, Ciko pun begitu. Keduanya saling menatap, bibir Ciko perlahan naik membentuk senyuman tipis.
Caca melirik bibir basah Ciko lalu naik ke kedua matanya yang tajam namun menyejukan, penuh kasih sayang.
Ciko menyelipkan rambut kecil Caca ke telinganya, mengusap sekilas pipi yang memerah itu.
“Aku pulang,” bisiknya lalu tersenyum tipis dan beranjak.
Caca hanya diam, menatap kepergian Ciko dengan perasaan tak rela ditinggal sendiri? Serius? Caca menggelengkan kepalanya, sepertinya dia sudah gila.
Diakan musuh kakaknya. Belum bisa diyakini baik.
Caca menyentuh bibirnya, rasa ciumannya terus terasa. Membuat jantungnya berdebar. “Caca udah gila kayaknya.” gumamnya lesu.
***
Ciko tersenyum tipis. Menatap perjalanan malam yang terasa indah. Caca tidak menolak ciumannya.
Jantung Ciko menari-nari bahagia dibuatnya. Udara terasa lembut menerpa wajahnya.
Ponsel berdering membuyarkan bayangan ciuman yang beberapa saat lalu terjadi.
Ternyata orang suruhannya. Apa sudah ada kabar pasti tentang benar tidaknya perempuan itu mengandung anak Nolan.
Ciko terlihat serius, auranya jika sedang serius memang tidak main-main.
Di tempat Nolan dan Adhya. Keduanya tengah duduk berpelukan. Lebih tepatnya Nolan memeluk Adhya sangat erat.
“Percayakan, sugar?” bisik Nolan setelah menjelaskan hubungannya dengan Namira yang hanya sebatas kenalan di club.
Untuk saat ini belum.
“Engga.”
Nolan terpejam sekilas, mengurai pelukannya. “Ga ada gitu ucapan nenangin, gue juga kaget, seneng sama sedih, lo hamil tapi astaga..” Nolan mengusap perut Adhya lalu mengecup lehernya.
Adhya memilih diam. Dia masih merasa percaya tidak percaya dengan isi di rahimnya kini.
“Jangan kabur. Gue usahain cepet selesai,” yakin Nolan sambil meraih dagu Adhya agar menatapnya tepat di kedua matanya. “Dengerin ga?” tanyanya agak sedikit kesal.
“Ha?” sahut Adhya terlihat masih dialam kagetnya.
“Astaga.. Sabar.” gumam Nolan dan memilih memeluk Adhya. “Jangan pikirin Naura, eh siapa Namira..”
“Ga. Gue ga mikir soal itu, Nolan. Tapi ini,” Adhya mengusap perut bawahnya. “Serius hamil?” lirihnya.
Adhya sedang mengingat, apa ada perubahan yang dia rasakan? Apa ya?
“Jadi, ga mikirin Namira?” Nolan mengurai pelukannya. Menatap wajah datar Adhya yang terlihat masih bingung itu.
“Engga. Itu urusan lo, nunggu kabar baiknya aja. Semoga bener, kalau pun iya. Terus gimana? Gue hamil juga.” santainya.
Nolan yang jadi bingung. Kenapa Adhya terlihat menyebalkan ya, mending ada drama nangis, marah dari pada begitu.
“Iya sih.. Pokoknya gue akan bikin lo percaya kalau gue ga main ceroboh, dulu..”
Nolan jadi canggung membahas kenakalannya dulu. “Nakal gue udah habis, saatnya gue memperbaiki hidup sama lo, pilihan terakhir gue.” yakinnya.
“Hm, oke.” balas Adhya agak merinding tapi juga suka. Sialan. Nolan ingin menjadi satu-satunya hingga akhir begitu. Di tambah ada anak kelak.
Adhya tidak akan merumitkan keadaan. Dia akan membiarkan Nolan dengan fokus menyelesaikan masalahnya.
“Ciko juga bantu,”
“Kak Ciko?”
“Gue makin iri, lo ga pernah tuh panggil gue dengan sopan, atau sayang kek,”
“Bukan saatnya ngeluh.” tegur Adhya datar.
Nolan pun kicep. “Iya, beres masalah ini, jangan lupa panggil sayang atau Kakak, ayah, papa, daddy pokoknya terserah.” dia peluk lagi Adhya.
***
Azura terengah dan mendesah, naik turun seksi di atas tubuh Adit. Keduanya sama-sama berkeringat. Sama terengah namun Adit kadang melamun.
Dia khawatir dengan keadaan Caca yang kini ada Ciko di sampingnya. Tak hanya itu, Nolan juga sedang ada masalah namun dia tidak bisa membantunya.
Sahabat dekat bukan berarti tahu segalanya sampai ke atas ranjang pun.
“Shh..” desis Adit saat bibir bawahnya digigit dan ditarik Azura. Dia bahkan baru sadar Azura berhenti bergerak.
“Kenapa? Haa..” Azura nemplok di dada bidang Adit yang lembab oleh keringat.
“Engga, lagi mikirin posisi apa lagi,” kekeh Adit lalu membalik Azura.
Azura meredup sedih. Adit masih saja banyak menutupi sesuatu demi dirinya. Itu sungguh mengganggu.
Azura tersenyum sebelum kembali mendesah walau sudah hilang selera.
Adit menciumi leher Azura, meninggalkan banyak jejak di sana dan di dadanya yang besar.
“Kamu kecil, tapi ininya besar.” bisik Adit serak, ndusel di belahannya. Tempat yang sangat Adit sukai.
“Pelan, dit.” lirih Azura.
***
Keesokan paginya. Ciko bertemu Nolan, memberikan bukti yang dia terima dari orang suruhannya. Ciko membayar mahal. Tapi tak apa, semakin cepat selesai, semakin baik juga untuk Caca.
Adhya sahabat yang sangat di sayang Caca. Tidak baik jika Caca terlalu banyak pikiran, apalagi ada anaknya yang sedang tumbuh.
“Thanks, Ko.” Nolan menatap Ciko dewasa yang begitu tenang dan rapih. Uang memang mengubah Ciko. Di tambah mungkin karena jabatannya.
Beda dengan Nolan yang sangat santai, soal penampilan dia tidak peduli. Tampangnya sudah menolong.
“Lo cepet beresin, Caca ga boleh banyak pikiran.” lalu beranjak.
“Lo cinta banget sama Caca?”
Ciko diam sejenak. “Lo pikir sendiri.” lalu Ciko pergi meninggalkan Nolan yang tersenyum senang.
Mungkin kedekatan mereka tidak seperti dulu. Tapi dia cukup senang Ciko mau membantunya. Membayar mahal tanpa pamrih.
Nolan bisa saja melajukan itu sendiri, tapi Ciko bertindak cepat membuatnya berterima kasih untuk itu.
Nolan menatap semua bukti itu. Banyaknya CCTV. Pemeriksaan kandungan Namira yang lengkap.
“Bahkan hampir dua bulan kita ga ketemu, dan lo bilang itu anak gue?” sinis Nolan kesal.
Untung Adhya tidak banyak drama. Pertengkarannya sesaat.
Nolan beranjak tanpa menghabiskan minuman pesanannya. Dia membayar lalu segera menuju Adhya, mengajaknya untuk ikut agar segera selesai.
“Kita harus menikmati kehadiran dia, masalah ini harus selesai sekarang.”
***
Caca membuka mata perlahan, sambil mengumpulkan nyawa lalu mengangkat tatapannya.
Ciko menatapnya datar namun perlahan bibirnya menipis. Senyum tipis terbit menyapa Caca yang langsung mendudukan diri di kasur.
Sejak kapan Ciko masuk.
“Enak tidurnya? Udah jam 9 pagi,” Ciko melirik jam yang membelit lengannya. Bukan kerja, malah asyik memandang Caca yang tidur berjam-jam.
Caca akui, kasur yang diberi Nolan begitu nyaman. Membuatnya tidur tanpa terbangun saking empuk. Rasanya tidur di atas awan. Tidak terasa pegal sama sekali.
Caca mengangguk pelan, menjawab pertanyaan Ciko sebelumnya.
“Saatnya sarapan, minum vitamin.” Ciko mengusap kepala Caca.
Caca mengangguk tanpa bisa membuka suara. Dia canggung tapi anehnya ada setitik senang. Dia tidak sendirian. Apa sekesepian itu?
Ciko tersenyum, perasaannya kembali menghangat. Entah hormon atau apapun itu. Dia sungguh berterima kasih.
Caca begitu manis dengan kepatuhannya.
Ciko mengulurkan tangannya, Caca menatap itu ragu lalu menyambutnya. Ciko genggam dan tuntun Caca menuju meja makan yang memang Ciko beli. Hanya 4 kursi. Tidak seperti di rumahnya yang 15 kursi.
“Bubur toping daging ayam atau daging sapi?” Ciko menarik kursi untuk Caca.
Caca berdebar dan duduk dengan manis. “Ayam.” jawabnya pelan.
Tanpa kata, Ciko membuka bungkusan mahal itu. Dia memesan khusus sarapannya dari chef terkenal langganannya jika sakit.
“Habisin.” Ciko pun menyiapkan obat dari dokter yang diresepkan untuk Caca selama hamil muda.
Terutama obat untuk mual, jangan sampai terlewat.
“Masalah Adhya udah aku beresin, tinggal nunggu kabar dari Nolan.”
Caca tersenyum senang mendengarnya. Tanpa butuh banyak hari. Moodnya langsung membaik.
***
Film menyala, diabaikan oleh dua sejoli yang bergumul di sofa. Caca merasa aneh. Tubuhnya menerima itu dengan berdebar.
Gaun tidurnya sudah naik seperut. Dia begitu sulit mendorong Ciko agar berhenti dan menjauh.
Semua gara-gara film itu. Caca merasa gila di gelitik hormon yang membuatnya menerima semua sapuan lembut.
Tidak! Ini salah.
Caca takut hamil lagi. Oh astaga! Caca langsung tersadar dengan pemikiran bodohnya.
“Engh.. Kak Ciko,” lirihnya. “Caca Haa lagi hamil.” desahnya gelisah.
Ciko sontak berhenti, menatap wajah merah Caca yang cantik. Dia rapihkan lalu mengajak Caca duduk dan memeluknya.
“Maaf, Ca. Aku ga bisa nahan diri.” sesalnya.
KUPU KUPU
“Selesai, sugar!” Nolan berlari cepat mendekati Adhya dan memeluknya. “Kan, dia bohong!” serunya bahagia.
Adhya menatap Nolan yang mengurai pelukan, mencium bibirnya namun Adhya hentikan tidak lama.
“Mana buktinya? Bukan di sogok pake uangkan?” tanyanya penuh selidik.
“Astaga, seburuk itu gue di mata lo, hm?” gemas Nolan sambil menggigit sekilas pipi Adhya.
“Mana sini liat buktinya!” Adhya begitu tidak sabaran.
Nolan membuka map coklat itu. Mengeluarkan semuanya. Adhya begitu serius melihat satu persatu.
“Gimana?”
Adhya menatap Nolan lalu tersenyum. Senyum yang sampai membuat Nolan terpana. Senyum yang begitu indah dan tulus.
“Seneng, akhirnya masalah ini selesai cepet.” Adhya mendekat, memeluk Nolan lebih dulu. “Jangan bikin masalah lagi, gue kasih kepercayaan sekarang..” bisiknya.
Nolan balas memeluk dan mengangguk. “Gue ga akan rusak kepercayaan lo,” janjinya semangat.
Keduanya berciuman, kembali saling memeluk dengan senyum bahagia.
“Udah makan?” Nolan mengurai pelukannya.
“Belum, sayang.” Adhya mengulum senyum geli melihat Nolan yang terdiam sejenak lalu berpaling dengan pipi dan telinganya memerah.
Buaya salting lucu juga ya. Ralat! Mantan buaya.
“Cie, sayang merona,”
Nolan mengulum senyum, menggelikan sekali tingkahnya. Rasa senang begitu membuncah. Nolan alihkan.
Dia berjongkok, mulai mengusap perut Adhya yang atasannya Nolan angkat. Perut Adhya sedikit menonjol.
Ada anaknya di sana.
Tatapan Nolan meredup sedih. Semoga ucapan Namira tidak terwujud. Jangan sampai anaknya menanggung karma.
“Gue ga Ceroboh, Namira. Harusnya lo cari yang masuk akal, gue jelas ga akan diem karena sekarang gue udah ada istri.”
“Lan, gue ga tahu siapa ayahnya, gu-gue..”
“Gue tahu, gue juga sama buruknya dulu. Gue cuma mau lo berhenti tidur sama siapapun yang lo temuin. Lo terlalu murah, Namira..”
“Setelah lo puas dan lo katain gue murah?”
“Gue cuma mau lo sadar. Otak cowok yang bebas itu isinya cuma selangkangan, dia suka manfaatin cewek kayak lo, gampang di ajak tidur, bukan berarti mereka mau jadiin lo istrinya.. Mau tanggung jawab sama anak yang lo kandung. Hanya cuma buat main aja.. Mereka pasti berpikiran yang sama.. Itu bisa aja bukan anaknya, lokan tidur sama banyak cowok,”
Namira mengepalkan tangannya. “Gue di rusak kaum lo juga! Dan di sini gue yang salah?” amuknya.
“Ck! Gue mau lo berhenti dan sadar. Kalau gini siapa yang susah? Lo! Gugurin dia, sama aja lo nanggung sial, beratkan? Jadi berhenti, besarin dia, ada atau tanpa ayahnya. Lo harus tanggung jawab sekali pun lo harus nanggung malu. Waktu lo tidur sama banyak cowok aja ga malu.”
“Lo jahat, lan. Lo ga tolong gue. Gue harap anak lo rasain apa yang gue rasain. Karma itu ada. Lo udah banyak tidurin cewek juga,”
Nolan terdiam. Dia jadi kepikiran, mana sekarang Adhya hamil.
“Gue niat baik, kenapa lo seolah sumpahin anak gue?” kesal Nolan..
“Tanpa ketemu, tanpa gue sumpahin pun gue yakin. Karma pasti ada. Lebih baik lo pergi!”
“Nolan! mikirin apa sih?” Adhya menampar pelan pipi Nolan sampai mengaduh kaget sebenarnya bukan sakit.
“Kenapa?” panik Nolan.
“Tahu ah, bete!” Adhya turun dari pangkuan Nolan.
Nolan yang memancingnya, Nolan yang malah diam ditengah jalan.
Nolan sampai tidak sadar mereka sedang penyatuan di atas sofa saking anteng dengan pikirannya.
“Aduh, sugar!” panggilnya lalu berlari menyusul tanpa peduli miliknya yang keras bergerak menggemaskan.
***
Caca menatap Ciko, dia jadi suka menatap wajahnya yang bersih, manly tapi juga lembut. Berbeda dengan aura saat menjadi boss di kantor.
“Ada apa?” tanya Ciko sambil tersenyum tipis.
Caca terlalu terang-terangan menatapnya, bisa-bisa Ciko hilang kendali dibuatnya. Kedua mata Caca berbinar penasaran dan itu menggemaskan dengan wajahnya yang seperti bayi.
“Engga.” jawab Caca pelan lalu melarikan tatapannya ke televisi lagi.
“Kenapa?” Ciko mengangkat Caca agar duduk bersila menghadapnya. Caca sampai melotot kaget. “Ga mual? Tadi muntah, tapi ga banyak.” dia usap kepala Caca.
Caca jadi seperti kucing lucu. Dia menggeleng dengan menatap Ciko, mengamatinya lagi. Seperti ada magnet yang membuat Caca ingin menatapnya.
“Mau ngobrol?” Ciko mematikan televisi. “Apapun, tanyain.” lanjutnya.
Caca mengerjap gugup. Kini sekitarnya hening. Rasanya Ciko akan tahu kalau jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Ciko bersila juga, mendekat pada Caca membuat jarak mereka tidak terlalu jauh. Caca bisa melihat ada tahi lalat di hidung Ciko. Kecil.
“Ke-kenapa kak Ciko lakuin itu? Caca ga inget apapun, apa Caca beneran mabuk?”
Ciko menatap Caca lekat. Dia harus berbohong lagi. “Hm, kamu paling bercahaya malam itu. Aku udah lama nunggu kamu sampai sebesar sekarang,” dia usap lagi kepala Caca.
Sepertinya Caca suka di usap kepala.
“Nunggu? Buat balas dendam?” Caca mengerjap gugup.
Ciko langsung menggeleng. “Adit, Nolan, juga tahu. Aku hilang kendali sama kamu, aku suka dari lama, dari kita masih sahabatan. Kamu ga inget kalau aku ada di antara Adit sama Nolan?” tanyanya.
Caca menggeleng. Dia terlalu polos saat itu. Terlalu asyik menjalani masa remajanya sampai tidak terlalu ngeh dengan orang di sekitar Adit.
Saat satu rumah baru dia kenal Nolan. Hanya dia yang dia tahu. Atau mungkin Caca hanya lupa saja.
“Aku selalu liat kamu kalau lagi sama Adit, dari jauh emang. Kamu pernah datang ke tongkrongan, minta uang ke Adit,”
Caca tak tahu ada Ciko di antara teman-teman Adit yang saat itu Caca takuti karena sering di goda oleh mereka.
“Lucu, kamu dikepang dua,” Ciko sangat ingat detail semuanya. Saking membekasnya Caca dalam ingatannya.
“Aku udah selama itu suka kamu, Ca.”
Caca berdebar. Apa tidak salah jika dia penasaran? Apa sungguh ini bukan jebakan? Caca takut terjebak dan terluka kelak.
“Kak Ciko masih musuhan sekarang?”
Ciko menggeleng. “Sama Adit? Engga,” jawabnya yakin. “Dia udah kasih restu dengan syarat ga sakitin kamu. Dalam waktu 3 bulan aku harus buat kamu jatuh cinta jugakan.” lanjutnya.
Caca merona. Dia menundukan tatapannya malu. Bagaimana bisa Ciko terang-terangan begitu. Caca takut goyah bahkan sebelum 3 bulan.
Hormonnya sedang tidak baik. Tidak bisa Caca cegah. Disentuh saja dia diam bukannya menolak mengingat Ciko membuatnya hamil.
Caca bahkan bingung, kenapa dia tidak membencinya walau kesal ada saat mengingat dia hamil oleh Ciko.
Caca mendongak lagi. Ciko terus saja menatapnya. Caca menelan ludah. “Aku atau kak Azura. Seandainya pilih, kak Ciko pilih siapa?” tanyanya begitu pelan.
Ciko tersenyum. “Pilih kamu, pastinya.” jawabnya sambil menarik Caca ke pelukannya.
Ciko kembali tersenyum. Caca diam di pelukannya, membiarkan Caca mendengarkan detak jantungnya yang menggila.
***
Adit di sibukan oleh pekerjaannya. Ada kosan Nolan yang terkena masalah. Dua dari beberapa kontrakannya hangus terbakar.
Nolan juga ikut berangkat melihatnya. Membuat dua manusia itu cukup sibuk semingguan ini.
Azura jelas tidak bisa sendiri. Dia ikut dan berdiam diri saja di hotel yang Adit tempati sedangkan Nolan hari ini akan pulang karena sudah meninggalkan Adhya yang sedang hamil muda sendirian hampir seminggu.
Nolan akan mempercayakannya pada Adit.
Nolan pun pulang, cukup lama di perjalanan sampai akhirnya tiba dengan di jemput Adhya. Lucu sekali, wajah sebalnya.
“Ga diangkat! Jarang telepon! Udah tahu lagi mual, kalau denger suara lo ga mual!” omel Adhya.
Nolan segera memeluk Adhya. ” Hm, maaf. Semua udah beres, di urus sama Adit sisanya, kita pulang, kangen-kangenan di rumah..” ajak Nolan sambil terus menenangkan Adhya yang cengeng.
Argh lucu, Nolan tidak bisa menahan kegemasan Adhya yang sedang hamil. Dia akan sering membuat Adhya hamil. HAHAHA
***
“Lagi apa?” tanya Ciko.
Caca sontak melotot kaget, dia sedang tidak memakai apapun. Dia mencari handuk yang mendadak hilang saking panik.
Ciko tetap berjalan, menatap tubuh indah dengan perut bawah yang menonjol itu. Dia meraih handuk yang dicari Caca lalu membelitkannya.
Caca pun berhenti panik. Dia menatap Ciko dengan wajah merah. Nafasnya terengah. Dia malu.
Ciko tersenyum samar melihat tubuh Caca yang dia balut dengan handuk. Wajah bayinya sungguh membuat Ciko gila.
Ciko kecupi bahu basah itu, mengabaikan tetesan air yang berjatuhan dari rambutnya.
“Kenapa mandi jam segini, gerah?” bisik Ciko dengan suara serak.
Caca mendadak bisu, dia meremang merasakan bahu dan tengkuknya di kecupi. Jantung berdebar. Perutnya terasa aneh, banyak sekali kupu-kupu menggeliat.
Bersambung…