SPESIAL CACA DAN CIKO
Caca merasa bersyukur tidak perlu menjelaskan atau menjawab soal orang tua. Apa Ciko sudah menceritakan semuanya? Senyum Caca terbit.
Dia menatap sekeliling. Keluarga hangat Ciko. Hanya kedua orang tua dan satu adiknya yang katanya adik angkat.
Tapi wajahnya mirip dengan ibu Ciko.
“Tambah lagi makannya?” Aura tersenyum ramah, menyambut Caca dengan begitu baik.
“Udah cukup, mama..” jawab Caca dengan senyum malu-malu.
“Tambah aja, kak. Ini enak, kesukaannya Anggis,” timpal Anggis sama ramah.
Caca tersenyum kikuk agak panik. Dia tidak bisa makan yang ada bahan wortelnya, dia dari kecil sangat tidak menyukainya.
“Caca ga pernah makan wortel. Dia ga bisa, dari kecil,” Ciko bersuara dengan tenang.
Caca menatapnya agak kaget. Bagaimana bisa Ciko tahu? Ciko balik menatap, mengusap sudut bibir Caca yang ada noda lalu kembali makan.
“Oh sayang banget, tapi ga papa.” balas Anggis.
“Gimana penjelasan dokter?” tanya Andri setelah selesai minum. Sepertinya dia selesai makan makanan sehatnya.
Caca menelan kunyahannya, melirik Ciko yang untungnya Ciko menjawab.
“Baik, mereka sehat, pa.”
Caca melirik sudut bibir Ciko, bekas luka pukulan dari Andri karena saat datang Ciko jujur soal kehamilannya.
Caca sampai ingin pulang karena suasana menegang dan untungnya Aura merelai, membicarakan semuanya dengan kepala dingin.
Pada akhirnya suasana berubah baik. Dia disambut bahagia. Perutnya di usap Aura dan Anggis.
Caca sampai terharu.
“Caca mual parah?” tanya Aura pada Caca.
Caca menggeleng pelan. “Engga ma, ga terlalu karena kak Ciko sering ingetin makan obat mual,” jawabnya begitu pemalu.
Caca masih belum merasa percaya diri. Dia membawa aib, tapi nyatanya mereka menerima. Entah harus bagaimana dia bertingkah.
Dia masih perlu adaptasi dengan kehangatan mereka.
***
“Iya, ini Caca udah pulang kak Adit, di anter sama kak Ciko.” ujar Caca pada Adit di sebrang ponsel.
Hening beberapa saat.
“Gimana keluarga Ciko? Dia baik?” tanya Adit seraya menjauh dari dekat ruangan Azura.
Adit tidak tega melihat Azura dari jauh dengan banyak terdiam, di depannya dokter tengah memeriksa dengan memberikan beberapa pertanyaan yang kadang di jawab kadang tidak.
“Baik, mereka sangat baik.”
Ciko tersenyum samar dengan fokus pada jalanan. Dia merasa beruntung memiliki orang tua yang tidak emosi penuh drama dan tidak menuntun kesetaraan, kelas dan sebagainya.
Bagi mereka, manusia sama. Tidak ada si kaya dan si miskin.
“Iya, kak Adit juga jangan lupa makan,”
“Kasih ke Ciko bisa? Kakak mau ngomong sama dia,”
Caca menatap Ciko. “Kak, kak Adit mau bicara katanya,” ujar Caca mengangsurkan ponsel.
“Deketin sini,” pinta Ciko.
Caca bergerak, mendekatkan ponselnya ke telinga Ciko. Dia menatap jemari sebelahnya yang bebas di genggam Ciko.
“Kenapa?”
“Apa orang tua lo ga tanya soal—”
“Engga. Mereka tahu, gue udah jelasin semuanya dan mereka terima soal itu. Lo tenang aja,” potong Ciko datar.
Caca masih asyik menatap sebelah jemari Ciko yang terus mengusap dan memainkan jemarinya. Geli tapi tidak dia singkirkan.
“Gue titip, Caca.”
“Hm, gue akan jaga dia. Kehilangan dia kayaknya gue bisa gila.”
Caca bersemu lucu. Menjilat bibirnya gugup, tidak berani menatap Ciko yang meliriknya sekilas.
Sambungan pun tak lama terputus. Adit juga harus melanjutkan hal yang tertunda. Menjenguk Azuranya.
Dia dan Azura yang berjuang untuk sembuh dari penyakit mental yang tidak nyaman ini.
Caca kembali duduk namun sebelah tangannya tetap Ciko pegang.
“Kak, duduknya jadi ga nyaman,” keluh Caca karena jadi agak menyamping karena tangannya masih di paha Ciko.
Ciko melepaskannya.
“Nikahnya ga mau besar-besaran, mama kayaknya setuju aja, tapi kalau seandainya udah lahiran, ada resepsi, kamu mau, Ca?” tanya Ciko.
“Ma-mau aja. Ngikut kak Ciko,”
Ciko mengusap pipi Caca sekilas. “Istri yang baik, nurutnya kamu tuh gemes.” lalu tersenyum tipis.
Caca semakin merasakan wajahnya panas.
***
Ciko merangkul Caca, memayunginya agar tidak basah. Caca menghangat, Ciko begitu menjaganya sampai mengorbankan bahunya yang basah.
“Kak Ciko kehujanan.” ujar Caca begitu pelan.
“Yang penting kamu engga.” balas Ciko acuh tak acuh, dia fokus menatap jalananan. Harusnya dia langsung naik ke apartemen Caca bukan mengajak Caca jajan dulu.
Semoga Caca tidak terkena flu. Hujan mendadak deras untung ada satu payung lagi yang belum terjual.
“Dingin?” tanya Ciko memastikan Caca terpayungi dengan benar.
“Engga.” Caca memakai dua jaket. Jaketnya dan Ciko. Membuat Caca berdebar haru.
Ciko bernafas lega karena sebentar lagi akan sampai. Ciko memastikan Caca masuk dulu, dia menutup payung dan menyimpannya asal di dekat kotak surat. Siapa tahu ada yang membutuhkannya.
Barulah Ciko merangkul Caca untuk masuk ke dalam lift. Menatap seluruhnya, Caca tidak terkena basah. Hanya sepatunya.
“Kak Ciko basah,” Caca menunjuk bahu Ciko yang sangat basah.
“Ada baju aku di apart kamu, ga masalah.” singkat Ciko.
Angin dan hujan begitu deras. Semoga dia sehat agar bisa menjaga Caca.
Caca menatap Ciko tidak berpaling, mengerjap beberapa kali. Terus mengamatinya sampai Ciko sadar dan tersenyum.
“Apa? Jangan minta diserang gitu, aku lagi dingin.” bisiknya lalu tersenyum tipis dan merangkul Caca mencari kehangatan. “Dingin, Ca.” lirihnya agar Caca tidak menjauh karena malu dia goda.
***
Caca merebahkan tubuhnya. Selimut tebal membelitnya. Nyaman. Setelah habis satu gelas susu hangat, sikat gigi, cuci muka dan kaki, tangan. Caca memutuskan rebahan.
Hujan begini memang enak tidur.
“Udah mau tidur?” Ciko muncul dengan celana diatas lutut dan kaos tanpa lengan. Menunjukan betapa keren bisepnya.
Caca terdiam mengingat dua lengan itu berada di setiap sisi tubuhnya. Mengukungnya dalam keadaan polos.
Caca menelan ludah.
Ciko terkekeh geli. Dia merangkak lalu duduk di samping Caca yang rebahan. Ciko menatapnya dengan tenang.
Caca sampai lupa wajah sangar Ciko saat menjadi bossnya.
“Ikut tidur boleh? Dingin,” ujarnya pelan nan lembut.
Caca membuka mulut lalu merapatkannya dan mengangguk pelan.
Ciko pun masuk ke dalam selimut tebal itu sambil menarik tubuh Caca agar merapat dengannya.
Caca terpejam geli saat Ciko mengecupi wajahnya lalu ndusel di lehernya dan mengecupinya juga.
Caca menelan ludah.
Ciko pun berhenti. Menatap Caca yang merona. Manis sekali, membuat Ciko menerbitkan senyuman.
“Bayiku,” bisik Ciko sambil menekan hidungnya sekali.
Caca kian bersemu. Dia bukan remaja lagi. Wajahnya memang menipu.
“Caca udah mau punya bayi,” cicitnya.
“Tapi suara, wajah, tingkah kamu ketutup sama aura bayi,” bisik Ciko mengecupi pipi Caca sampai basah.
Caca merem melek. Tidak tahu sejak kapan hubungannya dengan Ciko berubah semakin dekat.
Apa karena mereka akan menikah?
Caca terpejam menikmati bibir Ciko yang dari leher turun ke dadanya. Nafas Caca mulai memberat, Ciko menarik turun belahan piyama itu, bibirnya memutar di sekitar puncaknya yang mengeras lucu.
Ciko membuat Caca tanpa sadar membusung. Hingga tubuhnya tersentak saat mulut Ciko mengulum puncak dadanya bergantian.
Caca membusung gelisah, menggeliat. Suaranya mendesah begitu pelan sampai Ciko mendongak dan tersenyum.
“Suka?” tanyanya serak. Ciko merasa gemas dengan desah halusnya yang manja lirih.
Caca bersemu merah, memalingkan tatapannya malu. Mana wajah Ciko berada di belahannya.
Caca terpejam dan tersentak. Wajahnya terdongak saat Ciko kembali mengulum dan menghisapnya.
“Kak Ciko,” Caca meremas rambut belakang Ciko. Dia menggeliat. “Haa..” rintihnya begitu halus.
Ciko meraih yang sebelahnya. Membuat Caca semakin gelisah. Nafasnya memberat.
Ciko berhenti, dia membungkam bibir Caca yang menggemaskan. Desahnya sungguh mengujinya. Ciko begitu rakus sampai Caca kewalahan.
Pakaian tidur Caca begitu berantakan di acak-acak oleh Ciko.
BAHAGIA
Adhya tersenyum bahagia. Setidaknya untuk saat ini Caca tidak sendirian. Adhya juga melihat ketulusan di kedua mata Ciko.
Dia tengah diperjalanan, pulang dari pernikahan Caca yang sederhana sesuai permintaan Caca.
Untuk resepsi akan dilakukan setelah lahiran atau anaknya cukup besar nanti.
“Seneng, sugar?” Nolan tersenyum melihat mood Adhya. Bahkan sesekali bersenandung.
“Hm, Caca berhak bahagia. Semoga kak Ciko tulus,” jawabnya sambil meraih jemari Nolan dan memainkannya.
Nolan menyetir dengan sebelah tangan, begitu ahli dan keren. Nolan balik genggam jemari Adhya dan mengusapnya.
Semakin hari rasanya semakin lengket. Pacaran setelah menikah ternyata tidak buruk. Nolan sangat menikmati dan menyukainya.
“Mau lanjut jalan aja?” Nolan melirik Adhya sekilas.
Adhya terdiam sejenak lalu mengangguk. “Mau, belanja yuk? Liat peralatan bayi,” ajaknya.
“Oke, kita belanja!” Nolan mengecup punggung tangan Adhya yang masih dia genggam erat jemarinya.
“Asyik, makasih papa sayang..”
“Iya, mama..”
“Ihhh geli banget ya,” Adhya geli sendiri tapi suka, dia berdebar dibuatnya.
“Ga.” balas Nolan sambil mengecup lagi punggung tangannya.
“Merinding, tapi lucu kamu di panggil papa. Btw, sejak kapan kita aku-kamu?” Adhya baru sadar soal itu.
***
Adhya menatap Nolan yang berjongkok membenarkan tali sepatunya, lalu memasangkan topi.
“Lagi terik, pake dulu. Kita jalan dikit ke depan, di sana ada toko peralatan bayi lengkap, abis itu kita ke mall..”
Adhya mengulum senyum. Masih duduk di jok, menyamping menghadap keluar, sedangkan Nolan berjongkok.
“Kok tahu?”
“Aku selalu cari tahu tentang anak, biar ke depannya aku kayak bisa diandalkan,” ujar Nolan sombong lalu terkekeh.
Adhya menghangat. Mantan buaya di depannya sepertinya sungguh-sungguh dan sudah sangat siap memiliki anak.
“Kamu pasti nanti jadi papa keren,” puji Adhya.
Nolan mengulum senyum geli, tumben Adhya memujinya. Tapi, makasih. Dia sangat senang mendengarnya.
“Kamu juga, mama.” Nolan mengecup punggung tangan Adhya lalu berdiri. “Saatnya keluar princess,” lalu tersenyum.
Adhya tersipu.
Keduanya berjalan saling bersisian, jemari bertaut saling menuntun ke tujuan yang sama. Keduanya seperti pasangan yang tengah jatuh cinta. Sepertinya memang begitu.
Adhya mulai menerima, mulai sering menatap Nolan dengan penuh ketertarikan. Apalagi Nolan.
“Mana? Masih jauh?”
“Dikit lagi.”
Keduanya berjalan tanpa bersuara lagi. Hingga toko besar pun mulai terlihat.
“Itu?”
“Hm, besarkan? Kayaknya sih lengkap,” Nolan agak tidak yakin namun melihat betapa besar sepertinya memang cukup lengkap.
“Ihh.. Bagus-bagus,” Adhya tidak sabar untuk segera masuk.
Nolan melepaskan genggaman tangannya, membiarkan Adhya memilih sesuka hati. Nolan pun mulai ikut melihat-lihat.
Bak mandi bayi, peralatan lainnya sedangkan Adhya langsung melipir ke bagian pakaian. Jantung keduanya sama berdebar tidak sabar.
Kehamilan pertamanya itu sungguh dinantikan oleh keduanya.
***
“Mau tinggal sama mama?” tanya Aura seraya mengusap perut Caca yang sedikit lebih terlihat dari saat pertama mereka bertemu.
Caca juga agak gendutan sekarang. Aura lega, anaknya itu sungguh bertanggung jawab dengan yang dia perbuat.
Caca harus menerima yang setimpal dengan pengorbanannya. Anaknya itu sungguh-sungguh gila sepertinya karena cinta.
“Caca sih ngikut kak Ciko, ma.” jawab Caca disertai senyuman tulus.
“Sini aja, sama Anggis,” tambah Anggis.
Caca melirik Ciko disampingnya yang duduk santai. Namun terlihat sekali moodnya baik. Ciko lega dan bahagia karena sudah berhasil menjadikan Caca istrinya.
“Ga, tapi nanti kapan-kapan nginep.” balas Ciko yang membuat Anggis dan Aura mendesah kecewa tapi tidak memaksa.
“Gimana, mual?” Aura bertanya hal lain.
“Engga terlalu, ma. Cuma dikit aja, untungnya ga sampe muntah,” jawab Caca mulai membiasakan diri tidak terlalu canggung dengan mertuanya.
“Papa mana?” tanya Ciko. Setelah selesai acara sederhananya, dia tidak melihatnya lagi.
“Ada meeting dadakan, papa di ruang kerja,” jawab Anggis.
“Kalau gitu kita pamit sekarang, bilangin ke papa maaf ga pamit, takut hujan. Udah gelap di luar,” Ciko beranjak, meraih jemari Caca untuk ikut beranjak.
“Mama boleh tahu apartnya Caca?”
“Engga. Kita langsung pindah ke apartku, ma..” jawab Ciko.
Caca tidak kaget, soalnya kemarin Caca sudah obrolkan dengan Ciko. Caca sih oke saja, jika itu yang terbaik. Katanya tempat kerja Ciko lebih dekat.
Caca jadi kangen kantornya. Dia kangen bekerja juga.
***
“Kenapa?” Ciko mematikan mesin, dia pun turun di susul Caca yang menatap parkiran mewah itu. Sungguh berbeda.
Gedungnya memang mewah. Ini pasti apartemen mahal. Lebih mahal dari miliknya.
Ciko meraih jemari tangan kiri Caca, dia tuntun untuk masuk ke dalam lift dan menuju lantai 5 tempat unit apartemennya berada.
“Semua pakaian udah ada, mama yang bantu beliin, semoga suka.”
Caca mengangguk dan mengulum senyum. “Makasih, kak Ciko.” balasnya.
“Apapun buat kamu,” Ciko membelai sebelai pipi Caca lalu mengecup keningnya.
Ciko merasa mimpi bisa menjadi suami Caca tanpa menunggu 3 bulan lamanya. Dia begitu senang bisa membawanya ke apartemen yang biasanya dingin kesepian. Kini ada Caca disekitarnya.
Caca bersemu salah tingkah. Jantungnya berdebar. Perlakuan Ciko begitu lembut, penuh kasih sayang. Membuat Caca yang sempat membenci perlahan terkikis oleh setiap tingkah baik Ciko.
Ciko datang di saat dia membutuhkannya. Di saat dia merasa putus asa dan hampir hilang arah.
“Kita sampai. Selamat datang, Caca.” Ciko menekan kode dan melebarkan pintunya.
Caca tersenyum tipis lalu melangkah masuk dengan sedikit ragu dan canggung. Wanginya enak, dalamnya begitu luas dan mewah. Uang memang tidak akan bohong.
Pasti Ciko membayar mahal untuk ini.
“Sebelum istirahat, makan dulu.” Ciko merangkul Caca, mengajaknya ke meja makan yang sudah dipenuhi makanan.
Ciko akan memberikan bonus untuk asisten pribadinya. Dia melakukan pekerjaannya dengan baik.
Caca menutup mulutnya sekilas, makanan di depannya terlihat menggiurkan dan makanan kesukaannya.
Keduanya makan, dengan sedikit canda tawa pelan. Caca terlihat lebih bersemangat hari ini. Ciko semakin lega.
“Semoga anakku ga senakal aku waktu kecil, kata mama aku ga bisa diem.”
“Bukannya tanda anak pintar ya?”
Ciko tersenyum. “Makasih. Aku kayaknya emang pinter. Pinter dalam hal apapun, bikin kamu jerit contohnya.” kekehnya pelan.
Caca merasa wajahnya panas. Dia sempat menjerit saat Ciko terus mengulum dadanya hari itu. Dia malu!
Keduanya membersihkan diri. Memakai piyama yang nyaman lalu duduk bersandar di kepala ranjang.
Caca merasa nyaman sekali, kasurnya lebih enak dari kasurnya yang dibelikan Ciko di apartemennya.
“Kamarnya nyaman?”
Caca menatap sekeliling, dulu hitam sekali sekarang campuran hitam putih yang mewah dan elegan.
“Lebih berwarna, waktu itu ga gini.” komentar Caca.
“Jelas berwarna. Ada kamu dihidup aku.” Ciko mendekat, memeluk Caca. Caca bersemu, membalas memeluk Ciko walau agak ragu diawal. Keduanya diam saling menikmti kehangatan.
“Malam ini, boleh, hm?” bisik Ciko. Caca berdebar. Tanpa perlu dijelaskan dia jelas paham arahnya kemana. Caca menelan ludah lalu mengangguk pelan.
Ciko tersenyum, mulai mengecupi kepala, bahu hingga leher Caca dengan begitu perlahan, begitu lembut. Hingga decap ciuman terdengar. Keduanya mulai jauh. Ciko yang lebih aktif memang.
Hingga suara percintaan pun terdengar pelan. Ciko sungguh berhati-hati, perlahan namun pasti. Dia akan memperlakukan Caca dengan baik.
Tidak seperti awal. Ciko terlalu hilang kendali, dia juga cukup marah karena dengan berani Caca berada di club yang berbahaya.
Desah keduanya saling bersahutan. Kulit bertemu kulit. Kehangatan yang melahirkan bulir keringat penuh cinta. Keduanya terlihat sama-sama menginginkan dan menikmati. Caca pada akhirnya menyerah pada kenikmatan itu.