PAGI PERTAMA
“L-Lo nga-ngapain?” Adhya menahan nafas saat tubuhnya diangkat lalu direbahkan di atas kasur. “Lo ngintipkan?!” teriaknya agak tergagap.
Nolan terlihat aneh. Tatapannya terlalu menyeramkan namun juga mendebarkan.
“Apa gue salah minta hak sebagai suami?” suara Nolan memberat serak.
Adhya terdiam membeku. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Otaknya blank. Dia masih terkejut oleh beberapa hal. Dari mulai Nolan menatapnya yang sedang berpakaian.
“Gue mau. Apa boleh?”
Adhya semakin bungkam. Kenapa harus bertanya? Diakan jadi susah menjawab. Apa semua orang bertanya dulu saat malam pertama?
“Hm?”
“A-apa sih!” cicit Adhya.
“Ga boleh?”
Adhya menelan ludah, meliarkan tatapannya salah tingkah dengan muka memerah. Dia sungguh tidak tahu harus bagaimana.
Nolan tersenyum samar lalu pada akhirnya mendekat, dia kembali meciumnya dengan lembut.
Adhya mengerjap gugup lalu pada akhirnya terpejam tanpa membalas. Dia tidak tahu caranya.
Dulu saat pacaran pun dia hanya mengecup, tidak sampai seperti saat ini.
“Buka mulutnya,” bisik Nolan serak.
Adhya tidak tahu kenapa begitu patuh, membiarkan giginya di absen lalu lidahnya diajak main.
“Engh..” lirih Adhya tanpa sadar.
Nolan semakin semangat, menciumnya kian rakus sampai suara decap ciumannya terdengar nyaring.
***
“Sa-sakit.. Hh..” Adhya meremas lengan bisep Nolan dengan wajah mengernyit dan meringis kesakitan.
Nolan mengecup bahu kiri Adhya lalu mendudukan tubuhnya untuk mencari jalan dengan jelas.
Adhya menatap sayu nan malu. Mencoba merapatkan kaki namun Nolan tahan dan perlahan memulainya.
“Malu..”
“Ga papa, cantik kok.” Nolan tersenyum manis menenangkan, kembali memeluk Adhya dengan perlahan menembus pertahanan.
“Hh.. Sakit, gue ga bohong.. Hh..” Adhya memukul bahu Nolan.
“Tahan bentar,” Nolan terus berusaha dengan bibir mulai berkelana, mencoba agar Adhya teralihkan.
“Hh.. Engga.. Itu oh engga.. Hh udah,” Adhya terdongak dan mencoba mendorong bahu Nolan yang tidak bergeming.
Nolan berhenti sejenak, membiarkannya hanya masuk sedikit. Dia manjakan bibir Adhya dengan ciumannya yang lembut tanpa tergesa.
Adhya mengernyit, meremas setiap sisi bahu Nolan dan mencakarnya lalu memekik sampai ciuman Nolan terlepas.
“Hh.. Hiks.. Lo jahat!” Adhya terisak dan terengah pelan. “Sakit!” lirihnya dengan bibir bergetar lalu memukul bahu Nolan sekilas.
Nolan mendesis halus. Di bawah sana begitu mencengkramnya kuat. Dia seka sudut mata Adhya lalu mengecup bibirnya sekilas.
Nolan terus menatapnya hingga berhenti memangis dan kembali tenang. Dia akan menunggu sampai Adhya rileks.
Nolan tersenyum, mengusap kaki Adhya yang berada di sisi pinggangnya. Dia peluk Adhya.
“Keren banget, sugar. gue yang pertama.” Nolan mengecupi wajah dan puncak kepala Adhya.
Adhya hanya meringis ngilu saat Nolan bergerak halus tanpa sadar.
***
Nolan mencabutnya dengan terengah lega lalu rebahan di samping Adhya yang sama terengah dan lemas penuh keringat.
Adhya bisa merasakan sesuatu mengalir keluar dari pusatnya yang berkedut.
Apa dia dan Nolan melakukannya? Sungguh?
Nolan tersenyum lalu menyamping menopang kepala menghadap Adhya. Menyelimutinya hingga sedada.
“Enak ga? Sakitnya ga lamakan?”
Adhya memilih terpejam malas merespon senyum yang begitu cerah. Nolan terlihat senang setelah semuanya terjadi.
“Ada tissue basah ga? Jangan tidur dulu,” Nolan meraih boxer.
“Buat apa?” lirih Adhya lemas agak malu.
“Buat bersihin bawah lo-”
“Ga usah! Mau ke kamar mandi aja,” potong Adhya. Dia malu jika harus Nolan yang membantu membersihkannya.
Adhya baru merasakan malu setelah semua terjadi.
“Sialan! Badan j*lang banget sih!” Adhya menampol keningnya sendiri sambil berjalan tertatih ke dalam kamar mandi.
Adhya menghela nafas panjang. Memilih berhenti mengeluh dan merutuki dirinya sendiri. Dia harus membersihkan badan dari jejak Nolan.
Sedangkan Nolan terus rebahan, menatap kepergian Adhya setelah pagi pertamanya bersama Adhya yang hebat.
***
“Hai, sugar.” Nolan menghampiri Adhya yang sepertinya akan keluar. “Kemana?” tanyanya lalu duduk di samping Adhya yang memasukan barangnya ke dalam tas.
Adhya memalingkan tatapannya, terlihat masih canggung dengan apa yang terjadi tadi pagi.
“Eu.. Ke Caca,” jawabnya cepat lalu beranjak. “Izin ke sana, ga lama kok.. Soalnya hari ini Caca-”
“Iya tahu,” potong Nolan dengan senyuman manis.
Adhya kembali memalingkan wajahnya. Dia berdehem pelan. “Oke.” lalu beranjak namun lengannya di cekal Nolan.
“Tunggu, gue ambil kunci dulu.”
Adhya menatap kepergian Nolan agak kesal. Pantas boleh ternyata dia mau ikut. Padahal dia pergi untuk menghindari Nolan.
Adhya masih sangat malu dengan apa yang terjadi di atas ranjang.
“Ayo,” Nolan mencubit pipi Adhya gemas sambil berjalan lebih dulu.
“Sakit!” kesal Adhya.
Nolan terus melangkah. Seharusnya hari ini bertemu dengan temannya untuk memasukan Adhya ke perusahaannya tapi semua rencana gagal.
Nolan akan bertemu Adit saja, katanya Azura juga ada ditempatnya. Tempat Adit yang baru. Rumah itu dijual karena hal viral yang memalukan.
“Caca ikut pindah? Katanya mau ikut ke tantenya,”
Adhya memainkan tali tasnya Tanpa ingin menatap Nolan. “Ga, dia mau bebas jadi milih ikut Adit,” jawabnya datar.
Nolan melirik Adhya. Apa dia marah soal kejadian tadi pagi? Tapi Adhya tidak menolak, menerima semua perlakuannya.
MANA BISA SEKALIAN
“SERIUS? GEDE GA?” Caca terlihat penasaran nan riang.
Adhya sontak merasakan wajahnya panas. Dasar Caca! Si polos m*sum!
“Gu-gue itu apa.. Sakit tahu,” cicit Adhya agak salah tingkah.
“Serius? Aduh, Caca jadi takut begituan,” ringisnya ngeri.
“Ta-tapi ada enaknya kok,” balas Adhya dengan cepat dan semakin salah tingkah.
“Jadi, kak Nolan sama—”
“Ga ya! Dia tetep ngeselin, masa tadi cubit-cubit, sakit tahu!” potong Adhya kesal sekali. Dia pikir setelah pagi pertama akan berubah lebih lembut.
“Kak Nolan buaya, kok mau sih? Katanya ga akan pernah—”
“Ya tahu. Lagi gila aja makanya gitu. Jangan bahas lagi!” potong Adhya.
“Ihh asyik tahu, bahas lagi aja. Kak Nolan desah ga? Seksi ga?”
“No komen!” Adhya memilih beranjak keluar dari kamar Caca untuk mengambil minum di dapur.
Caca hanya terbahak melihat wajah Adhya yang memerah dan kini kabur itu. Sahabatnya benar-benar jadi istri sekarang.
Adhya mengibaskan tangannya, mukanya terasa panas. Langkahnya terhenti melihat tawa Nolan dan Azura.
Keduanya seperti sepasang kekasih yang menikmati waktunya memasak di dapur. Nolan dan Azura terlihat serasi.
“Misi,” Adhya melanjutkan tujuannya.
“Eh, sugar.” Nolan berhenti mengganggu Azura lalu nemplok memeluk Adhya dari belakang.
Adhya menepisnya dengan kesal dan juga risih, ada orang lain juga di dapur. Tak hanya itu, mereka tidak biasa begitu.
“Mau ambil apa?” Nolan menuruti mau Adhya, tidak memeluknya lagi.
“Minum.” singkat Adhya, meraih dua botol air minum lalu tersenyum tipis pada Azura dan pergi tanpa pamit pada Nolan.
Adhya kesal. Entah soal Azura mencuri fokus Adit, dan sekarang akrab juga dengan suaminya. Bukan cemburu. Azura terlalu serakah di matanya.
***
“Ada, lagi tidur. Nonton film malah ketiduran,” Caca duduk di samping Adit, mulai memalak kakaknya untuk membeli cemilan.
Dia dan Adhya akan maraton drama.
“Kak Nolan, Adhya nginep ya hari ini?” pintanya tetap fokus menerima uang yang diangsurkan kakaknya.
“Engga, kita pulang agak malem aja.” Nolan ingin berduaan seperti tadi pagi. Mana cukup sekali. Mereka pengantin baru.
“Kan, pelit!”
“Jangan ganggu pengantin baru, nih cepet pesen makannya, ntar makin gendut kalian,”
“Nyumpahin, kita ga akan gendut!” Caca pun pergi meninggalkan dua laki-laki yang akan bermain game itu.
“Lan, tengkuk lo merah-merah di cakar kucing?”
Nolan mengulum senyum sambil memilih karakter gamenya.
“Keliatan?”
“Hm, jangan bilang Adhya KDRT?” kekeh Adit yang kini tersenyum pada Azura yang datang dengan dua minuman untuk para sahabat.
“Ra, bisa mainin bentar, mau ke Adhya dulu.” Nolan tiba-tiba ingin melihat istrinya. Sudah berjam-jam dari pertemuannya di dapur tidak bertemu lagi.
***
“Dia sih tokoh utamnya, Caca yakin,”
Adhya membuka matanya perlahan, menatap Caca yang rebahan santai di sampingnya. Adhya yang menyamping menghadap Caca mengernyit agak ngantuk.
Caca berbicara dengan siapa?
Adhya menoleh, Nolan tersenyum. Adhya baru sadar dia berbantalkan lengan Nolan dan sedang di peluk.
“Ck! Ga usah peluk-peluk,” gumam Adhya setengah mengantuk.
Adhya memilih ke posisi semula, mengabaikan Nolan yang malah mempererat pelukannya. Mengendus rambutnya.
“Di sini Caca jomblo ya!” tegur Caca menatap keromantisan itu.
Adhya memilih memejamkan mata lagi. Dia kelelahan. Mungkin karena melayani Nolan saat pagi hari.
Nolan tidak merespon Caca, dia menonton sambil memeluk Adhya yang tidak bergerak lagi, mendengkur halus.
“Jangan mainin Adhya ya! Apalagi udah kak Nolan tidurin,” Caca menatap Nolan sungguh-sungguh.
“Adhya cerita?” Nolan menatap Caca.
“Jelas, kita sahabatan, Adhya tipe yang susah mendem sendiri.”
“Enak ga katanya?”
“Ga, kak Nolan kecil,” jawab Caca mengejeknya, bercanda namun Nolan sepertinya menganggap serius.
Nolan terkekeh memeluk gemas Adhya. Dia akan membuktikan lagi nanti. Miliknya tidaklah kecil.
***
“Udah jam 1 pagi, kenapa ga nginep aja sih?! Bisakan tidur sekamar sama kak Adit,” dumel Adhya dengan wajah berpaling kesal ke arah jendela mobil.
Nolan mengulum senyum, mencolek dagu Adhya sekilas dengan usilnya. “Ga peka jadi istri.” lalu mencubit lengannya gemas.
Adhya memekik kesal, memang tidak terlalu sakit tapi tetap saja menyebalkan. Dari dulu pasti ada momen dia di cubit.
“Gue tahu gue gemesin tapi—”
“Ke Adit kakak, ke suami sendiri kok engga.” potong Nolan.
Adhya berdecak kesal dan kembali berpaling. “Adit emang pantes dihormatin, lo engga! Nyebelin! Dari dulu selalu nyebelin!” cerocosnya tak berjeda.
Nolan tertawa pelan lalu mengulum senyum. “Ga akan nyebelin lagi kok,” bujuknya sambil mencolek paha Adhya yang tidak tertutup roknya.
Adhya memukul tangan nakal itu.
“Kita ga bisa nginep.” Nolan mulai menjelaskan dan menjedanya sebentar. “Kita itu pengantin baru, masa cuma sekali,” lalu mengulum senyum melirik wajah Adhya yang berbalik menatapnya kaget.
“Ngelakuin lagi?” pekiknya.
“Emangnya ada yang cuma sekali seumur hidup?” Nolan pura-pura kaget lalu tertawa pelan, begitu menyebalkan.
“Ishh! Nanti aja tahun depan!” ketusnya.
Nolan terbahak. “Kita pulang kan ada alasannya, ga mungkin tahun depan, tapi kalau 20 menit ke depan, pasti bisa.” lalu berkedip genit.
Ingin sekali Adhya menggetok kepala buaya satu itu.
Bersambung…