PAGI KEDUA
“Loh, kok lo kabur,” Nolan terbahak pelan melihat Adhya yang turun dari mobil dan lari seperti dikejar orang.
Adhya dan Nolan sebelumnya berdebat di mobil, Adhya tidak mau sekarang, tapi Nolan membujuknya sekarang.
“Lucu banget,” gumam Nolan sambil menutup pintu mobil lalu bermain ponsel.
Banyak sekali pesan masuk, dia lewati semua perempuan yang haus perhatiannya lalu berhenti pada pesan Caca.
Caca: Kak Nolan, Adhya tadi tangan kirinya keseleo, pasti ga akan cerita, obatin ya.. Hampir Caca lupa,
Nolan tersenyum tipis. Jadi Adhya hanya percaya Caca? Kelak Nolan akan membuat Adhya sangat terbuka padanya, tak hanya soal tubuhnya.
“Astaga.. Kayaknya malam ini harus libur. Besok pagi aja lagi,” kekehnya seraya mengayunkan langkah untuk menyusul Adhya.
Nolan melepas kemeja hingga menyisakan kaos polos hitamnya, melempar asal ke sofa beserta kunci mobil.
“Loh, dikunci?” Nolan terus mengetuk pintu. “Janji, ga akan ngapa-ngapain kalau itunya beneran sakit, serius cuma tidur,” lanjutnya.
Pintu pun terbuka dengan Adhya yang berlari dan bersembunyi di selimut.
“Janji ya! Jangan malam ini. Masih sakit.” cicit Adhya di akhir.
“Iya bawel!” Nolan mencari salep agar tidak bengkak dan juga pegal. Dia harus segera mengoleskan itu pada tangan Adhya.
***
Adhya mengerjap, menatap tangannya yang sedang diolesi obat dan dipijat pelan. “L-lo tahu dari mana?” tanyanya agak sewot padahal salah tingkah.
Nolan tersenyum manis. “Caca.” jawabnya lalu mengusap kepala Adhya sekilas. “Dah beres, lanjut tidur.” perintahnya.
Nolan membereskan semuanya lalu melepas kaos untuk bersiap tidur. Dia akan cuci tangan, dan bersih-bersih.
“Jorok, ga bersih-bersih?” tanya Nolan sebelum masuk kamar mandi.
“Ga, emang jorok! Kenapa mau ceraiin? Gue sih seneng,” lalu menjulurkan lidah.
Nolan tidak membalas, dia masuk ke kamar mandi.
Adhya mulai sayup-sayup akan terlelap namun pergerakan disampingnya membuat matanya kembali terbuka.
Nolan mendorong lembut bahu Adhya hingga terlentang lalu menindihkan setengah tubuhnya dengan bibir mulai menyesap manisnya bibir Adhya.
Adhya meremas lengan Nolan dan memukulinya hingga ciuman paksa itu terlepas.
“Gue tahu lo benci gue atau pernikahan ini, tapi jangan jadiin Cerai candaan atau celetukan kayak tadi. Kita ga tahu ke depannya gimana, dan ucapan itu bisa jadi do’a.”
Adhya kicep didepan wajah Nolan yang begitu dekat.
“Bibir lo lebih enak dari cewek lain,” jujur Nolan sambil menyeka bibir bawah Adhya dengan jempol tangannya.
Adhya sontak mendorong Nolan hingga terlentang di sampingnya.
“Hahaha.. Sekarang tidur, kalau ga mau gue serang!”
Adhya sontak berbalik, menutup dirinya dengan semilut namun melotot saat Nolan memeluknya dari belakang, membelit perutnya.
“Ihhh!” Adhya mulai memukuli Nolan.
Keduanya berakhir saling menyerang dan terbahak puas. Terus saja begitu. Hingga Adhya menyerah karena ngantuk.
Adhya tidak peduli lagi dengan pergerakan Nolan yang memeluknya lagi. Kedua matanya sungguh berat.
***
Adhya menggeliat geli dalam tidurnya. Mencoba menepis hewan di lehernya. Begitu basah dan menjilatnya geli.
Adhya mulai kesal, perasaan dia tidak tidur di rumah. Apa kucingnya itu pindah.
“Ihh!” kesal Adhya lalu membuka matanya.
Nolan dengan rambut acak-acakan, muka bantal dan senyum manisnya menyambut. Begitu tampan, membuat Adhya terpaku beberapa saat.
“Ck! Ganggu, lo jilat-jilat?” Adhya mengusap lehernya sendiri.
“Susah dibangunin sih,” Nolan tetap tersenyum, sepertinya memang sudah bawaan dari lahir murah senyum.
Adhya memalingkan wajahnya. “Jam berapa sih ini!” kesalnya lalu menatap jam di nakas.
“Udah jam 8 pagi, ga mau liat usaha suami lo?” Nolan menopang kepala dengan sebelah tangannya.
“Ga, gue butuh uangnya aja!” ketus Adhya sambil diam mencoba mengumpulkan nyawa sepenuhnya.
“Kalau dari jual obat gimana?” Nolan mengusap sesuatu yang mengering di sudut bibir Adhya.
Adhya menepis pelan dan menggantikan jemari Nolan. Astaga! Itu ilernya lalu menatap Nolan yang santai saja.
“Ck! Terserah!”
“Galak amat sih,” Nolan mendekat, membelit perut Adhya yang membuatnya urung bangun. “Minta jatah dong, galak amat,” Nolan kembali tersenyum manis.
“Ga ngaruh ya! Ga usah senyum-senyum!” cerocos Adhya agak salah tingkah dan juga berusaha menghindar dari jatah.
Apa serius Nolan ingin meminta jatah?
“Pagi kedua boleh lah,” Nolan menarik Adhya agar semakin merapat lalu dia tindih tanpa membebaninya.
Adhya menelan ludah lalu tak bisa menghindar lagi. Nolan mulai melumat bibirnya dengan perlahan.
Adhya berdebar menerima itu. Nolan yang begitu lembut. Tidak terlalu buru-buru seolah paham kalau dia belum berpengalaman.
Ciuman Nolan yang lama di mulutnya kini mulai merambat ke rahang, leher Adhya dengan begitu dihayati.
Adhya menggigit bibir bawahnya, dia gengsi jika mendesah. Rasanya dia sama menikmati walau pada nyatanya memang menikmati.
“Shh.. ” Adhya kelepasan saat jemari Nolan masuk ke dalam pakaiannya lalu memijat sebelah dadanya lembut.
Adhya menelan ludah merasakan lehernya disasar tak terlewatkan bersamaan dengan buaian jemarinya.
Nafas Adhya kian memberat. Senyum Nolan di leher Adhya terbit. Akhirnya pancingannya berhasil.
Pagi kedua pasti akan sukses. Nolan janji akan pelan-pelan.
“Engh.. Ah..” Adhya meringis, dia masih belum terbiasa. “Gede banget sih!” keluh Adhya seraya meremas lengan Nolan kuat.
“Sstt.. Pelan kok, masih sempit.” Nolan meringis pelan, dia terus berusaha menekan miliknya. “Punya lo cantik, sugar.” pujinya dengan terus menekan pelahan.
Adhya merona dan meringis samar disertai desah halus saat jempol tangan Nolan membelai bulatan kecilnya yang begitu sensitif.
“Biar makin basah,” Nolan tersenyum, terus berusaha sambil mengulum bibir Adhya lalu berhasil.
“Agh!” Adhya memalingkan wajahnya hingga pagutan terlepas.
“Shh.. Rileks,” Nolan mengusap wajah Adhya. “Cengkraman lo astaga, enak banget. Hisap gue ah..” bisiknya dengan mengerang seksi.
“Berhenti ngomong jorok!” Adhya malu, tapi juga meremang. Membuatnya merasa kupu-kupu menggeliat begitu banyak.
MEMBELI DAN MEMASANG KONDOM
“Biasa aja dong jalannya, jangan kayak kingkong gitu,” Nolan terbahak pelan sambil ngemil dan selonjoran di sofa.
Sungguh santai hidupnya. Membiarkan uang yang mengejarnya bukan dia yang mengejar uang.
Adhy terpejam kesal, terus berjalan ke dapur tanpa bisa mengubah jalannya yang agak ngangkang itu.
Jika dirapatkan rasanya aneh, mana masih agak merasa mengganjal. Akibat pagi kedua setelah pagi pertama.
“Lo yang bikin gue gini!” semprot Adhya dengan membawa dua botol minuman atas perintah Nolan.
“Iya, sugar. Maaf ya,” Nolan menyambut botol di tangan Adhya sambil memiting leher Adhya tanpa tenaga lalu menyedot pipinya sekilas.
“Jorok! Ihh! Jijik tahu!” amuk Adhya semakin kesal. “Tahu ah! Mau ke Caca aja!” putusnya seraya beranjak marah.
“Caca kerja, emang lo pengangguran,” ledek Nolan dengan kekehan.
Lihat perubahan sikap itu! Saat minta jatah begitu lembut tapi setelah semua terjadi menyebalkan lagi.
“Aduh-aduh!” pekik Nolan.
Adhya memukulinya membabi buta lalu pergi dengan teramat kesal sampai mata berair. Kebiasaan. Marah pasti nangis.
Nolan menyimpan minumannya. Dia mengejar Adhya ke kamar.
“Ayo, kita ke perusahaan Caca,” ajak Nolan.
Adhya tetap tidak merespon.
“Ga mau?”
“Lo rese! Gue capek, jangan diajak bercanda dulu,” kesalnya dengan bibir bergetar menahan tangis namun air mata tetap berjatuhan.
“Ululuh, cengengnya..” Nolan menarik Adhya ke pelukannya dengan paksa.
“Gue serius!” pekik Adhya kesal. “Dari selesai mandi, lo terus aja usil! Gue tuh lagi banyak pikiran!” amuknya.
Nolan mulai serius. “Apa? Lo mikirin apa?” tanyanya.
Adhya memilih melepaskan pelukan Nolan yang awalnya susah menjadi mudah karena Nolan mengalah.
“Mau tidur. Nanti sore anterin ke Caca,” lalu melangkah lagi sambil menyeka air matanya.
Nolan menghela nafas sabar karena Adhya masih tidak terbuka lalu melirik kaki Adhya yang banyak jejak merah. Benar, yang membuat Adhya berjalan seperti kingkong dirinya.
“Ck! Lo enak sih, mana sah di mata hukum.” gumamnya.
***
Nolan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, sambil menikmati senja dan Adhya juga tidak buru-buru.
“Beli makanan buat Caca, mampir dulu.”
Nolan tidak menjawab.
“Denger ga?” Adhya menatap Nolan agak kesal karena merasa diabaikan. Biasanya juga akan sangat berisik mengusilinya.
“Pake pertanyaan dong, boleh beli makanan dulu buat Caca? Jangan kayak preman, gue suami lo sekarang.” Nolan menaik turunkan alisnya usil.
Adhya menghembuskan nafasnya kesal. “Boleh mampir?” tanyanya setenang mungkin bukan selembut mungkin.
“Boleh, sugar.”
Adhya berpaling ke jendela. “Sugar-sugar! Gue bukan sugar!” dumelnya pelan. Biasanya juga bodo amat, mungkin karena kesal jadi terdengar menyebalkan.
“Beli apa?” Nolan mengusap-usap paha Adhya.
Adhya menatap itu. “Apa ke semua perempuan lo gini?” tanyanya lalu menatap Nolan tanpa menepis.
Dia takut dosa, sungguh. Temannya yang selingkuh dari suaminya kini hidup sangat apes yang dulunya hedon.
Nolan menggeleng. “Mana berani, mereka bisa aja lapor polisi terus minta nikahin. Makanya lo beruntung dapet gue,” kekehnya.
Adhya menghela nafas sabar. “Gue mau beli es krim, cemilan.” jawabnya.
Nolan pun sudah tahu harus kemana. Dia tersenyum geli, penasaran juga. Kenapa Adhya selalu tidak menolaknya walau tatapan menunjukan kekesalan.
Tapi jangan dulu di bahas.
“Ke sini aja,” Nolan membelokan mobilnya ke minimarket sejuta umat.
Adhya tidak menolak. Dia pun turun tanpa menunggu Nolan yang langsung mengekor santai.
“Lo minum?” tanya Adhya melihat bir dalam kaleng.
“Ga sering, sesekali buat angetin badan.” jawabnya yang tentu saja bohong. Dia buaya yang biasa nongkrong di club malam sambil minum-minum saking pengangguran.
Adhya pun memilih cemilan.
“Lebihin es krimnya, siapa tahu ada Azura,”
Adhya pun patuh. Nolan terlihat sayang sekali pada Azura, sama seperti Adit. Beruntung sekali Azura bisa disayang keduanya sebesar itu.
“Cemburu ya?”
Adhya melotot. “Dih, apa sih! Geer banget jadi orang!” kesalnya lalu segera ke kasir.
“Mba, istri saya cemburu, harus diapain ya?” Nolan mulai deh! Ramah dengan kaum perempuan.
“Gue ga cemburu!”
“Eh, lo istri gue? Cakep ya mba,”
Adhya menatap Nolan kesal. Mana banyak orang di belakangnya. Memalukan.
“Eh kemana? Tuhkan, cemburu,” kekeh Nolan.
“Mba, beli kondomnya, yang banyak, buat bujuk istri,” ujarnya sungguh tidak tahu malu.
***
“Dasar pengantin baru, beli banyak banget,” Azura tertawa geli, menatap Adhya yang kini mukanya begitu merah.
Mana sebelumnya Adhya menyerahkan itu sambil bilang dia membelikannya untuk mereka.
“Pamer banget,” Adit melirik Nolan yang pasti dia yang beli.
“Simpen di tas, sugar.” Nolan mengulum senyum geli melihat kepanikan Adhya yang plus malu itu.
Adhya hanya diam pasrah saat Nolan memasukan itu ke dalam tasnya. Dia sungguh malu lalu dengan kesal meraih dua es krim, menginjak kaki Nolan dan mengajak Caca.
Dosa menginjak suami sekali ga papa, dia kesal soalnya. Adhya tidak menoleh saat Nolan memanggilnya dengan tawa usil.
***
“Jadi apa yang mau diceritain? Kak Nolan selingkuh? Maksa atau?”
Adhya menggeleng. “Bukan itu.” lalu menunduk sesaat. “Takut hamil, kak Nolan selalu di-di da-dalem, baru sekarang beli pengaman,” jelasnya agak tergagap.
Caca mengangguk paham sambil menjilati es krimnya. “Kan ada suami, kenapa takut? Ga siap hamil atau ada alasan lain?” tanyanya.
Keduanya tengah duduk di ayunan yang ada di taman sambil menikmati senja. Bahkan Caca masih memakai setelan kerja karena baru pulang.
Untung mereka sahabatan. Tidak masalah soal lelah atau tidaknya selagi mereka membutuhkan satu sama lain.
“Kan pernikahan kita itu karena viral atau bisa dibilang paksaan, takutnya kalau hamil, dia selingkuh terus anak jadi korban, ga mau.” jujurnya dengan tulus.
“Iya sih, kak Nolankan buaya, frendly juga. Tapi tetep harus di obrolin, Adhya. Sekarang gini deh, kalau kalian terpaksa, pernikahan kalian ga ada harapan, saat kalian gituan bisakan? Kalau engga bisa, pisah kamar atau drama lain yang intinya kalian ga mau barengan itu baru ada kemungkinan cerai,”
Adhya diam saja, mendengarkan Caca dengan suara anak kecil itu berbicara serius dan dewasa.
Penampilan memang agak bocah, tapi dibanding Adhya. Caca lebih dewasa.
“Obrolin, Adhya.”
“Nanti Kesinggung dosa gimana? Temen kita si Ayu lo tahu sendiri hukuman dosa ke suaminya,”
“Jangan-Jangan waktu begituan ga nolak takut dosa?”
Adhya mengangguk, padahal dia belum siap. Tapi enak kok.
“Lucu banget sih musuh seranjang satu ini!” Caca memeluk Adhya gemas. “Adhya, obrolin sama Kak Nolan apapun itu, kalian nikah sah dimata hukum dan agama. Kalau masih bisa dijalanin lebih bagus dari pada cerai, mau emang jadi janda?” goda Caca.
“Ga lah!” Adhya agak salah tingkah.
Nolan di balik pohon tersenyum manis. Benar dugaannya. Adhya takut hamil. Pantas saat pelepasan di dalam, Adhya selalu diam termenung.
Makanya Nolan beli Ko*dom karena itu. Untuk jaga-jaga juga.
***
“Hh.. Hh.. Pakein k*ndomnya,” pinta Nolan sambil memberikan satu pada Adhya.
Adhya yang terengah lemas mengerjap. Dia memasangnya? Apa Nolan tahu kegelisahannya?
Nolan tersenyum. “Kita banyakin berduaan dulu, baru nanti pikirin anak. Orang tua pasti maklum,” yakinnya.
Adhya tersenyum tipis. Apa Caca memberitahu Nolan? Atau memang Nolan peka seperti pada tangannya yang keseleo?
Adhya menghangat. Dia mengangguk sambil membuka bungkusan itu.
Nolan menatap wajah Adhya yang lebih tenang itu. “Akhirnya kita malam pertama,” kekeh Nolan sambil memijat gemas sebelah dada Adhya.
Nolan membantu Adhya untuk duduk.
“A-Apa ga bisa sendiri?” Adhya menelan ludah, malu karena ini pertama kali melihatnya dengan jelas.
“Ga mau. Ga akan pake kalau lo yang ga pasangin,” Nolan tersenyum manis khasnya lalu mengusap pipi Adhya sekilas.
Kan, jika sedang menerima Jatah begitu tingkahnya. Besok pasti akan usil dan menyebalkan lagi.
Dengan gemetar Adhya memegang itu, mulai memasukannya ke dalam balon karet itu. “Gi-ginikan?” tanyanya dengan wajah memerah malu.
Nolan terpaku dengan wajah gugup Adhya, begitu cantik hanya terbias cahaya lampu tidur.
“Gini?” Adhya melepaskan tangannya setelah berhasil.
Nolan menatap miliknya, membenarkannya lalu rebahan di kasur. “Naik,” pintanya.
Adhya semakin bersemu. Dia akan liar di atas Nolan lagi?
“Nolak suami dosa.” ucap Nolan dengan menahan geli karena mengingat saat menguping di rumah Adit.
Dan lucunya Adhya naik dan seperti saat itu. Dia memasukannya sendiri.
Nolan membingkai wajah Adhya setelah keduanya melenguh saling mengisi. Nolan mulai bergerak tanpa berhenti menciumnya.
Bersambung…