MAIN CEPAT DAN JANGAN SELINGKUH
“Jalur belakangkan? Udah zamannya kok, asal bertanggung jawab sama kerjaan,” Caca mengusap sekilas bahu sahabatnya.
Adhya dan Caca baru selesai membeli pakaian kerja untuk Adhya mulai bekerja besok di tempat yang sama dengan Caca.
“Akhirnya ya, Ca. Mimpi kita kerja bareng setelah lulus kuliah terkabul, dipikir gagal gara-gara diseret nikah sampe viral,”
Caca mengangguk, dia senang jadi ada teman nanti. Bahkan pulang juga searah bisa bareng dan Caca nebeng pada Nolan yang katanya akan sering menjemput Adhya.
“Lama banget ibu-ibu belanja, bikin apa beli?” Nolan berhenti melangkah di depan keduanya.
“Dih, siapa suruh nungguin, udah dibilang bisa pakai taksi kalau pulang,” oceh Adhya dengan setenang mungkin walau tetap agak sewot.
Nolan menarik pinggang Adhya gemas. “Iya, gue salah karena mau nunggu istri,” lalu tersenyum manis.
Adhya mendengus, memilih mengabaikan senyum buaya itu.
“Romantisnya, tapi kali ini cuma ke Adhya kan?” Caca tersenyum dengan tatapan menyipit penuh selidik.
Nolan mengulum senyum. “Kayaknya,” jawabnya usil.
“Apa?!” pekik Caca.
“Udah, sekarang masuk aja, Ca. Jangan urus buaya,” Adhya menarik pelan lengan Caca agar segera masuk ke dalam mobil.
Nolan mengangkat pinggang Adhya sampai memekik kaget, padahal Adhya akan menyusul Caca duduk di jok belakang.
“Dikata supir? Sebagai istri harus peka, duduk di samping suami kalau ga mau durhaka, ga usah manyun.” Dengan modus Nolan mengecup bibir Adhya sampai terdengar suara kecupan nyaring.
Keduanya pun masuk dengan Adhya cemberut menahan kesal.
“Jadi Kak Nolan masih main cewek walau udah nikah? Woaahh.. Enak aja sakitin sahabat Caca,”
“Gue ga sakit, Ca. Kalau pun kena karma kan dia, tenang aja,” balas Adhya.
Nolan terkekeh geli. “Ga lah, Ca. Dia enak, udah cukup.” lalu mengedipkan sebelah mata pada Adhya sekilas dan fokus mengendarai lagi.
Adhya menganga sesaat dengan kesal plus jijik. Maksudnya enak pasti kearah sanakan? Ga tahu malu emang!
“Caca ragu, awas ya! Jangan cuma mau enaknya aja!”
“Mau orangnya juga kok,” Nolan melirik genit sekilas.
Adhya memilih berpaling ke jendela dari pada membalas tingkah menyebalkan Nolan yang tidak bisa diajak serius.
“Apa Adhya boleh cek ponsel?”
“Boleh kalau dia mau,” santai Nolan.
“Tuh, Adhya! Cek ponselnya, potong aja anunya kalau selingkuh,”
“Aduh ngilu, Ca!” kekeh Nolan.
“Ga, udah gue bilangkan, ada karma, dia yang ngerasain kok,” Adhya masih menatap pemandangan lewat jendela.
Nolan mengulum senyum, Adhya tipe kesukaannya. Tidak rewel, patuh.
Adhya menatap jemari Nolan yang menautkan jemari dengannya. Begitu erat dan saling mengisi dalam genggaman itu.
“Nanti ada hadiah, di lemari kiri, semoga suka,”
Adhya mengernyit, tumben sekali. Apa nanti malam dia akan digempur lagi?
“Gue ga ulang tahun,”
“Kan besok mulai kerja,” Nolan mengusap jemari yang dia genggam itu dengan fokus pada jalanan, menyetir dengan satu tangan begitu ahli.
“Aciee.. Kok jadi baik kasih-kasih kado,”
“Kan udah jadi istri, makanya Caca cari suami sana,”
“Nyebelin, udah tahu belum ada jodoh!” semprotnya.
***
“Di lemari kirikan?” Adhya membuka itu dan tidak ada apapun. “Ngibul pasti si pa’aya!” kesalnya.
“Apa sih bu’aya,” sambar Nolan terkekeh. “Salah sebut aja, langsung manyun gitu, jelek tahu.” godanya sambil membuka lemari lain.
Dengan dengusan kesal Adhya meraih kotak yang cukup besar dan bermerk. “Sombong amat beliin merk ini,” ledeknya.
Nolan hanya terkekeh tanpa tersinggung. Menatap Adhya yang membuka satu persatu penghalang itu.
“Tas?” Adhya masih berusaha membuka semuanya. “Woah.” refleksnya.
Tas putih dengan desain simple yang pernah dia tandai. Bagaimana bisa Nolan tahu?
“Caca?” tanya Adhya sambil menatap Nolan yang menjulang tinggi.
Nolan mengangkat pinggang Adhya hingga terduduk di meja rias yang untungnya skincarenya tidak ada di sana lagi karena tingkah berc*nta Nolan.
“Bukan, ngintip aja waktu lo main Insta, lo ngomong bagus, mau..”
Adhya yakin, saat itu sangat pelan mengucapkannya. Apa Nolan dekat sampai bisa mendengar jelas?
“Ekhem.. Oke, makasih. Gue ga akan bahas soal lo yang ngintip gue lagi main ponsel,” Adhya setenang mungkin walau berdebar.
Senang menerima tas keinginannya dan juga merasa aneh mendapat perhatian dari musuhnya dulu.
“Hm, mana ciumnya?”
“Apasih, biasanya jug—m?” kagetnya saat bibir di tabrak begitu saja.
“Mau di sini sambil duduk? Di kasur? Di bathtub atau?”
“Kasur tapi pelan.” jawab Adhya dengan cepat agak malu.
Nolan pun menggendong Adhya, membuat Adhya membelitkan lengan ke lehernya takut Nolan jahil menjatuhkannya.
“Pelan lama, ga masalah? Besok kerja,” Nolan melucuti pakaiannya sendiri lalu merangkak mengukung Adhya.
“Ya-yaudah, cepet tapi kalau udah bilang sakit pelanin,”
Nolan tersenyum di lekukan leher Adhya. Kini di antara mereka ada pembahasan soal berc*nta. Bukan perdebatan yang tidak penting.
“Mau gaya apa aja?” Nolan mengulum senyum geli.
“Asal jangan diiket-iket kayak waktu—” Adhya memilih berhenti.
Nolan tertawa pelan di depan wajah Adhya yang memerah. “Diiket karena cakar-cakar, masih basah luka sebelumnya, bukan mau di BD—”
Adhya menutup cepat mulut Nolan. “Jangan dibahas, pokoknya cepet.” tegasnya.
***
Wajah Adhya terbenam di bantal. Mendesah tertahan dengan tubuh meliuk, pinggulnya diangkat naik dan dikuasai Nolan.
Nolan bergerak cepat, menusuknya dalam hingga ke titik terujung.
Adhya terus terpejam merasakan itu. Ngilu-ngilu sedap. Untungnya dia mulai beradaptasi dengan berbagai gaya.
Nolan tidurkan Adhya sampai menyamping lalu kembali menarik dorongkan miliknya, menatap Adhya yang meremas bantal dengan wajah panasnya yang cantik.
“Hh.. Hh..” Adhya merem melek, mengusap lengan Nolan yang jemarinya meremas sebelah dadanya yang terguncang.
“Hh.. Adhya..” Nolan terdongak sekilas lalu mengangkat sebelah kaki Adhya.
Adhya kian merem melek. Kakinya Nolan kecupi dengan gerak yang temponya kian cepat dan dalam.
Suara percintaan begitu menggema, membuat keduanya meremang kian tak bisa membendung rasa yang nikmat.
Nolan menindih Adhya, mengajaknya berciuman sambil beristirahat sejenak, membiarkan Adhya merasakan pelepasannya yang entah keberapa.
Adhya mulai melenguh dan mendesah lagi saat Nolan bergerak dalam pelukannya. Kedua kaki pun membelit ke pinggang Nolan.
Nolan berhenti menciumnya, beralih saling menatap dan mendesah.
“Kalau panas gini Hh.. Menggiurkan, sugar.”
***
“Udah siap?” Nolan memainkan kunci mobil lalu mengintip wajah Adhya yang dirias.
“Udah.” Adhya merapihkan semuanya, memastikan tidak ada yang tertinggal dan penampilannya rapih.
“Mana cincin nikahnya?”
“Harus?”
“Oh mau keliatan jomblo gitu?” Nolan tersenyum usil lagi.
“Ck! Berliannya kegedean! Makanya cari yang simple!”
“Itu cincin nyokap! Kita buru-buru nikahnya, sugar,” lalu terkekeh geli.
Adhya memilih tidak berdebat lagi, memasang cincin nikahnya. Pasrah juga saat Nolan memeluknya dari samping.
“Ga boleh selingkuh kalau ga mau gue selingkuh.” bisik Nolan dengan mencuri ciuman panjang di bibir Adhya.
Yang berakhir membuat Adhya ngamuk karena lipstiknya rusak.
BULAN MADU DUA HARI
Adhya berjalan beriringan dengan Caca dan Mba Dela, menuju kantin untuk makan siang. Adhya terlihat berbinar senang.
Mungkin karena bisa bekerja di bidangnya, dengan mudah tanpa harus melewati sesi wawancara dan sebagainya.
Sungguh zaman yang tidak adil. Adhya tahu itu tapi dia tidak bisa berhenti, ini mimpi dari lama. Dia hanya akan bekerja dengan baik sebagai gantinya.
“Dah nikah ya, udah cukup umurnya kok,” Dela tersenyum ramah. Dia rekan kerja paling ramah yang Adhya sukai.
Semoga semua orang di sini tidak ada yang mengenalinya yang sempat viral. Semoga setiap harinya setenang ini walau pekerjaan kian menumpuk.
“Nanti kalau ada yang ga ngerti bilang ke Caca, atau mba Dela.. Dulu Caca juga di bantu sama mba Dela..” terang Caca.
Adhya mengangguk. Mereka pun mulai meraih piring, mengambil beberapa sendok nasi dan lauk pauk yang berjajar.
“Hari ini banyak yang enak,” ujar Caca. “Oh, mungkin hari senin,” kekehnya.
Adhya tidak terlalu peduli, makan apapun dia suka. Dari pagi dia gugup, membuatnya banyak berpikir sampai selapar ini.
***
Adhya terus makan, semua orang juga sama sambil berbincang membahas apapun.
“Boleh duduk?” izin Andi dengan tersenyum ramah.
“O-oh silahkan,” Adhya balas tersenyum. Dia kenal juga pada sosok maskulin namun ramah itu.
Entah kenapa, Adhya merasa melihat tingkah Nolan dari diri Andi dan Caca pun memberitahu kalau Andi memang versi Nolan di sini.
“Enak ya makanan hari ini,” ujar Andi basa-basi.
“Iya, mas An..” sahut Caca lalu tersenyum, dia ingin diperhatikan juga. Dan menjaga Adhya dari pria sejenis Nolan lagi. Untuk Nolan dia kecolongan. Tapi tak apa, mereka sudah sah menikah.
“Gimana hari ini kerjaan, Ca? Udah biasakan?” Andi mengaduk makanannya.
“Berat, mas An.. Makin banyak kesalahan, tapi udah bisa aku atasi.” jawabnya.
“Kamu gimana? Hari pertama kerjanya? Nyaman?” Andi beralih pada Adhya.
“Nyaman, mas.” lalu tersenyum. “Ada Caca dan Mba Dela yang bantu,” lanjutnya.
Dela hanya makan, menatap ketiganya sesekali lalu membalas dengan senyuman tipis saat namanya terpanggil.
“Bagus, kalau butuh bantuan aku siap bantu,”
“Makas—sebentar,” Adhya merogoh jas kerjanya saat ponselnya berdering.
Nama Nolan tertera, dia lupa jika istirahat akan melakukan panggilan telepon. Memang dasar Nolan, kok jadi aneh dan ingin berperan sebagai suami sungguhan, mana membahas soal selingkuh yang membuat Adhya merinding pagi-pagi.
“Hallo,” Adhya tidak beranjak, dia hanya keluar dari obrolan.
Caca, Dela dan Andi terus berbincang tentang apapun.
“Kenapa ga telepon?”
“Emang harus?”
Hening sesaat di sebrang sana. “Lo mau di pecat ya karena udah durhaka sama suami,” kekeh Nolan. “Gue gabut di rumah, uang bulanan semua bisnis udah masuk, mau jalan nanti?” tawarnya.
Adhya mendengus dalam hati, siapa suruh bergaya pengangguran. “Boleh,” jawabnya.
“Gimana kerjanya?” Nolan rebahan dengan hanya menggunakan boxer.
“Berjalan baik, banyak di bantu Caca sama mba Dela..” jawabnya sambil melanjutkan makannya.
“Lembut banget ya suara lo kalau di ponsel, bikin ngaceng aja,” kekeh Nolan sambil mengintip celananya yang mengembung.
“Ck!” Adhya melirik sekitar refleks. “Jangan mulai! Tutup ya?” ancamnya walau bernada lembut.
“Ck! Jangan dulu, gue denger suara cowok, deket banget, nyebut-nyebut nama Caca,”
“Iya, nanti di jelasin di rumah aja,” Adhya tak enak, kenapa juga Nolan bertingkah kepo begitu.
“Yaudah lanjut makan sana, gue mau tidurin dia yang bangun gara-gara lo. Yang betah ya, sugar. Kalau ga kuat kerja bilang,”
Adhya terdiam sejenak menerima perhatian yang terdengar tulus itu.
“Biar gue yang kerja di atas lo aja, sugar..”
Adhya langsung tersadar dari debaran sebelumnya. Dia segera menutup panggilan itu.
“Suami?” tanya Andi.
Adhya tersenyum tipis dan mengangguk lalu memulai makan.
“Adhya baru masuk kerja harus berhenti dua hari ya, besok sama lusa tanggal merah,” kekeh Dela. “Mau liburan kemana? Kalian ada rencana ga?” tanyanya.
Adhya menggeleng. “Belum ada,” jawabnya.
“Gimana kalau kita pergi liburan?” Caca begitu riang semangat. Bodo amat dengan tingkah buaya Andi yang menyingkirkan nasi di sudut bibirnya.
“Ga tahu, Nolan apa kasih izin atau engga.” jawab Adhya. Menyebalkan memang harus serba izin tapi dia tidak mau ambil resiko seperti Ayu yang menjadi istri durhaka.
***
“Hai, istriku..” Nolan menyambut sambil memeluk Adhya yang hanya datar. Merinding juga.
“Lo kerasukan?” bisik Adhya di pelukan Nolan yang kini melepaskan pelukan dan mengajaknya masuk mobil.
“Caca mana?” Nolan mengabaikan pertanyaan Adhya.
“Sama Andi dan mba Dela pulangnya,” jawab Adhya yang kini masuk ke dalam mobil Nolan.
Adhya agak terheran, kenapa Nolan banyak tersenyum, membukakan pintu. Pasti sedang ada maunya.
Tebak Adhya.
“Dua hari libur,” Nolan bersuara setelah setengah perjalanan. Adhya hanya rebahan menahan ngantuk saking lelah. Kerja memang tidak mudah walau di kantoran.
Atau mungkin karena pertama kali.
“Iya tahu, terus?” Adhya terlihat tak bertenaga di serang ngantuk.
“Honeymoonlah, kita ke hotel,”
“Apa? Gue belum siap-siap!” raung Adhya. “Pakaian gue gimana?” semprotnya.
Nolan tersenyum manis dengan menyebalkannya. “Kan polosan terus, pake jubah mandi udah cukup, orang cuma dua hari,” jawabnya santai.
“Ga mau!” amuk Adhya.
“Nanti bisa beli online, pokoknya soal itu gampang,”
Adhya langsung tidak ngantuk saat mobil Nolan benar-benar masuk ke bandara, dengan koper sudah siap dan mobil dibawa sopir panggilan. Hingga perjalanan dilalui, mereka pun berada dalam hotel bintang lima.
***
Nolan merangkul Adhya yang menekuk wajahnya, dia masih kesal karena terlalu mendadak. Padahal siap-siap dulu tidak akan lama.
Walau kesal, Adhya tetap menikmati dan menyukai isi hotel bintang lima ini. Begitu mewah, pelayanannya begitu baik selama berjalan melewati lobi.
“Gabut banget gue, liburan jauh lo ga akan mau apalagi baru pertama kerja,”
Adhya mengangguk. “Bagus deh lo paham,” balasnya agak sebal.
Nolan mengulum senyum geli, Adhya kalau marah rasanya ingin dia gigit.
Keduanya pun sampai di dalam kamar hotel yang berbau pengantin itu. Banyak bunga bertebaran, dengan dua angsa terbuat dari handuk di atas kasur.
Kamar yang begitu luas, ada ruang tamu, dapur, pokoknya seperti rumah. Nyaman sekali.
“Suka?” Nolan memepet, membelit tubuh Adhya.
Adhya mengangguk tidak bohong. Dinding kaca di sebelah sana menunjukan indahnya kota yang terbias senja.
***
Adhya pasrah tubuhnya terguncang hebat, Nolan terlalu bersemangat.
Nolan kecupi kaki Adhya yang memanjang disetiap sisi bahunya.
Adhya merasa pelepasan, namun Nolan tidak berhenti lama membuatnya kembali pelepasan lagi.
Astaga..
“Aghh.. Sugar..” Nolan mengecupi kaki Adhya, meninggalkan banyak jejak di keduanya tanpa berhenti membuat guncangan yang hebat.
“Nolan.. Istirahat dulu,” Adhya menggeliat gelisah, meremas bantal.
Nolan pun berhent.
“Kecepetan!” amuk Adhya lemas.
Nolan tersenyum dengan gantengnya. Menindih Adhya lalu mengusap kepalanya. “Sakit?” tanyanya serak.
“Udah engga terlalu,” jujur Adhya.
Nolan pun kembali bergerak, kali ini lebih pelan. Membuat keduanya kembali melenguh dan mendesah.
“Abis ini makan malam,” bisiknya.
Bersambung…