DIBAKAR PAGI BUTA
“Kenyang?” Nolan bersandar di punggung kursi restoran dengan santai, menatap Adhya yang bersandar ke kursi, membuat kepalanya bersantai di lengan Nolan yang merangkul kursi yang di duduki Adhya.
Adhya tidak peduli, kursi berbahan kayu itu jadi empuk akibat ada lengan Nolan.
“Mau jajan?” tanya Nolan saat Adhya tidak menjawab pertanyaan sebelumnya dan sibuk sendiri.
“Engga, kenyang.” singkat Adhya lalu terdiam menatap orang lalu lalang.
Nolan juga memilih diam, menatap Adhya yang terlihat menarik.
“Malem lebih ramai ya, ga panas mungkin.” celetuk Adhya setelah cukup lama diam.
“Hm.” Nolan hanya merespon begitu, masih asyik mengamati bahkan menghitung tahi lalat di wajah Adhya dan di lehernya yang memanjang karena kepalanya bersandar di lengan.
Ada jejak merah yang muncul, mungkin karena lupa atau terlalu tipis Adhya menutupinya dengan entah apa itu, Nolan tidak tahu.
Jemari tangan Nolan terulur mengusap leher Adhya, memudarkan hasil riasannya hingga tanda merah satu nampak.
“Ngapain?” Adhya melirik galak karena ini tempat umum.
“Noda,” jawabnya asal lalu menjauhkan lagi tangannya.
Adhya tidak membahas lagi, dia beralih menatap langit malam. Makan malam ditempat terbuka memang dingin tapi indah, apalagi malam ini langit cerah bertabur bintang.
“Dingin banget, lo ga dingin?” Nolan membenarkan jaket Adhya yang terbuka asal menjadi tertutup rapat dengan sebelah tangan.
Adhya mengambil alih, membenarkannya. Nolan pun menarik tangan yang dijadikan bantal oleh Adhya.
“Kita beli yang anget-anget.” Nolan beranjak untuk membayar.
Adhya menatap Nolan yang begitu ramah, perempuan yang sedang diajak bicara oleh Nolan terlihat tertarik. Nolan memang memikat.
Adhya menghela nafas panjang. Memiliki Nolan pasti akan berat. Banyak sekali saingan secara tidak langsung. Untung dia tidak peduli.
“Iya, istri.” Nolan tersenyum manis khasnya, kasir cantik itu terpesona dibuatnya. “Cantikan, mba. Baik banget dia. Eh, makasih ya.. Makanannya di sini mantap,” Nolan acungi jempol lalu pergi meninggalkan kesan baik.
“Sayangnya udah ada pawang, gue perempuan berkelas, ogah jadi selingkuhan,”
“Ayo, sugar.” Nolan mencolek dagu Adhya dengan gemas kebiasaan dulu mulai tampak lagi membuat Adhya mendelik kesal dan beranjak.
***
“Biar anget, diem!” Nolan memaksa merangkul Adhya.
Keduanya berjalan menyusuri pedagang kaki lima yang begitu ramai pembeli. Kepulan asap dari makanan terlihat dari beberapa tempat, membuat wangi di sekitar menjadi enak menggiurkan.
Adhya menelan ludah. “Kenyang tapi mau sate,” Adhya menepuk perut Nolan sambil mendongak menatapnya. “Lokan perut karet, gue mau 10 tusuk, lo juga beli biar ga malu makan di sini, mau ga? Wanginya enak banget.” terangnya hampir ngeces saking ingin.
Tanpa menjawab Nolan membawa Adhya ke tempat keinginannya dan mulai memesan sate. Bagi Nolan itu tidak ada apa-apanya karena hanya daging kecil yang dibakar. Kalau nasi, Nolan juga tidak akan sanggup.
“Bukannya ga bisa ada asap?” Nolan memperhatikan wajah Adhya yang mengernyit saat asap menyapa wajahnya beberapa kali.
“Henak.. Hh…” sesak juga. Memang ada-ada saja Adhya itu.
“Kenapa, mba?” tanya pelayan pria yang menyimpan beberapa gelas berisi air. “Anginnya sedang besar, biasanya tidak begini,” terangnya.
Nolan melebarkan jaket, menarik Adhya agar bernafas di dadanya. Jangan terlalu menghirupnya langsung.
“Iya, pak. Ga papa,” balas Nolan ramah. “Katanya enak, wangi, tapi malah susah nafas, emang ga suka asap aja dari dulu.” terangnya.
Keduanya berbincang tanpa canggung.
Adhya terdiam, lumayan enak pernafasannya. Dia jadi malah sibuk mendengar detak jantung Nolan.
Nolan begitu gampang bergaul, apakah banyak hati yang terluka karena ramahnya dan sukanya Nolan terhadap sentuhan?
Nolan sungguh sangat suka menyentuh bahkan dari dulu. Dia tidak ragu memegang tangan membantu untuk bangun atau usil apapun itu, mengusap kepala jika gemas, banyak lagi.
Adhya tidak heran jika setelah menikah, Nolan tidak bisa untuk tidak menyentuh. Dan setelah terjadi, Nolan semakin lengket.
Adhya tidak mendengar Nolan berbincang lagi.
“Betah bener di dalem,” kekeh Nolan.
Panjang umur.
Adhya terdiam sejenak lalu tersenyum usil. Dia jilati dada Nolan sebisa mungkin tidak menimbulkan gerakan agar yang melihat di sekitarnya tidak ambigu.
Ada rambutnya juga yang menghalangi.
Nolan sontak tersentak samar, menunduk lalu kembali menatap lurus sambil menggigit bibir bawahnya menahan gelitikan dan juga senyuman.
Usil mereka kini berbeda. Dulu adu fisik atau saling mengejek jika bertemu. Sekarang menjurus ke hal dewasa.
Seru juga.
“Pesanan datang,” Nolan menepuk punggung Adhya, agar berhenti menjilati kaosnya yang terasa lembab.
Adhya menjauh, menegakan duduknya seolah tidak terjadi apa-apa. Nolan menatap sambil mengulum senyum.
“Nakal ya, sugar?” bisik Nolan setelah pelayan pergi sambil mengintip wajah Adhya yang datar dan fokus pada sate.
Nolan meremas paha Adhya gemas sekilas, membuat Adhya melotot samar dan kaget.
“Makan!” Nolan berseru sambil menampar pelan paha Adhya.
“Iya!”
Keduanya asyik makan, Nolan juga menikmatinya. Pilihan Adhya tidak salah. Memang enak. Bahkan sate Adhya sisa dua dia habiskan.
“Kenyang, puas banget!” Adhya menepuk pelan perutnya lalu meraih tissue dan menyeka mulutnya.
Nolan menyeka mulutnya lalu membayar. Keduanya kembali berjalan, Nolan merangkul lagi dan Adhya sudah tidak peduli.
Keduanya hanya melihat-lihat karena perut tidak bisa menampung itu semua. Mungkin besok, malam terakhir mereka akan kembali.
“Beres makan yang di bakar-bakar, saatnya gue bakar lo nanti jam 1 pagi, sekarang kita bersih-bersih terus tidur.” Nolan mencubit gemas sebelah pipi Adhya. “Lo lusuh, ngantukan?”
Adhya tidak menjawab, dia malah meraih dan menggigit lengan terbalut jaket yang jemarinya mencubitnya tadi itu.
Nolan hanya tertawa pelan, yang Adhya gigit itu jaketnya.
“Jauh amat kita jalan!” jengkel Adhya setelah melepas gigitannya dan menghempas lengan Nolan.
“Gendong?”
Adhya menatap Nolan tertarik. “Di punggung,” jawabnya.
“Oke, silahkan tuan putri,” Nolan langsung menyiapkan posisi.
Adhya melompat, memeluk leher Nolan dan tubuhnya pun terangkat. Enaknya, kakinya sudah lumayan berkedut.
Keduanya diam beberapa saat, menikmati suasana di jalan, lobi hingga keluar dari lift menuju kamar hotel yang mereka tempati.
“Jadi, siap di bakar nanti?”
Adhya mendengus, menatap wajah Nolan dari samping. “Ga mau durhaka, jadi siap aja.” jawabnya.
Nolan terkekeh dengan tampannya. “Jadi, ga dari hati gitu?” tanyanya.
“Ck! Nyari topik biar berantemkan? Ga! Males!” Adhya memilih mengalihkan dan diam.
Dia suka kok, di tambah Nolan sudah suaminya. Mau setidak nyaman apapun, pasti akan terbiasa.
“Gue akan berusaha, pernikahan ini harus sampai gue ga ada di dunia ini. Lo gimana? Mau ikut bantu atau ngejar Adit?”
1
Adhya melotot samar, kenapa membawa Adit?
“A-Apa sih!” Adhya segera lompat dari gendongan dan masuk ke dalam kamar.
Nolan tersenyum geli. Padahal dia sedang serius.
***
Adhya pasrah saja. Nolan benar-benar membakarnya di pagi buta. Adhya telungkup di kasur, membiarkan pipi kirinya penyek di bantal.
Adhya terdongak, membuat Nolan meraih lehernya, mengusapnya lalu menabrakan bibirnya dengan rakus.
Nolan terus menggerakan pinggulnya maju mundur menghantam pantat Adhya yang bergetar karena ulahnya.
Adhya menelan ludah, merem melek setelah ciuman Nolan berpindah ke bahu dan punggungnya.
Posisi ini baru. Rasanya memang belum terbiasa tapi menggetarkan. Rasanya Nolan memuja bagian tubuh belakangnya.
Keduanya membakar pagi buta menjadi panas hingga matahari mulai mengintip barulah selesai. Nolan dengan ronde yang tak cukup satu itu.
Nolan mengambil minum, tanpa mengganggu Adhya yang terlelap pulas diatas kasur yang seperti kapal pecah.
HARI TERAKHIR DAN KEMBALI BEKERJA
“Menurut gue sih, jangan ya..”
Adhya menoleh dan mengikuti gerak Nolan yang berdiri di sampingnya yang tengah membereskan semua barang yang dia bawa atau dia beli di sini.
“Jangan berharap sama Adit lagi,” ujar Nolan di depan wajah Adhya dengan menyebalkannya. Mulai kumat.
“Ck! Ga jelas,” dumel Adhya dan memilih mengabaikannya.
“Adit cuma fokus sama Azura, jangan tutup mata soal itu. Fokus pertama Caca, kedua Azura. Jadi, lo ketiga kalau jadi,”
“Apa sih! So tahu!” Adhya memukuli Nolan yang hanya tertawa dan ndusel padanya dengan menyebalkannya. “Jauh-jauh sana!” kesalnya.
“Adit loyo, kerenan gue.. Percaya deh,” Nolan malah kian memepet, membuat Adhya menipiskan bibir saking jengkel.
“Terus? Ga pe.du.li!” Adhya berpaling jutek dan mulai melipat lagi.
“Yang sampe kelojotan, Aghh.. Nolaann”
Adhya sontak menoleh tajam. Emang hanya ingin usil saja dia, Adhya yakin. Nolan ingin membuatnya marah.
“Canda,” Nolan mencolek puncak dada Adhya dari luar pakaiannya. “Apa sih natapnya gitu amat,” godanya.
Memang ingin ditinju.
“ADUH!” pekik Nolan yang gagal menangkis tinjuan Adhya di perutnya, tidak terlalu kuat memang tapi lumayan lah.
“Lo beresin sendiri sana!” Adhya merajuk, dia tidak mau melanjutkannya. Dia BETE!
“Ga bisa, sugar.” Nolan membelit perut Adhya lalu menggendongnya agar kembali ke tempat. “Lanjut, gue makan duluan.”
“Nah, gitu dong,” gumamnya.
Nolan tersenyum, menggigit pelan pipi Adhya lalu berlari kabur.
***
“E-engga,” Adhya menggeleng, menatap Nolan agak salah tingkah. Dia duduk di pangkuan Nolan setelah selesai bercinta untuk yang terakhir kalinya. “Gue ga suka kak Adit,” lanjutnya dengan agak gugup.
Nolan tahu itu kebohongan. Dia bersandar santai pada sofa dengan menatap Adhya di pangkuannya polosan.
Adhya memeluk dadanya agak malu. “Ga usah bahas kak Adit, mau suka atau engga emang bisa sama-sama? Kak Adit terlalu baik buat jadi pembinor,” sambungnya begitu penuh bela.
“Kan, suka berarti!” tunjuk Nolan sambil tertawa puas lalu meremas sisi pinggul Adhya gemas dan mengusap pahanya.
“Ih! Ga gitu! Ck! Nyebelin! Beres bercinta pasti nyebelinnya kumat lagi!” celoteh Adhya dengan begitu kesal.
“Yaudah, ga mau nyebelin caranya bercinta lagi,” Nolan menggerakan miliknya lagi yang memang masih tertancap dalam kehangatan itu.
“A-Apa? Hh..” Adhya meremas bahu Nolan, apa sungguh akan melakukannya lagi?
“Bentar kok, sugar. Rileks,” Nolan merebahkan Adhya di sofa. Dia sasar tubuh atasnya dengan terus menumbuknya.
Adhya merem melek dalam desahnya yang panjang tak berjeda.
“Sugar,”
“Kenapa manggilnya gula mulu sih, Ogh..” Adhya mengernyit gelisah, meremas punggung Nolan dan mencakarnya, untung tidak ada kuku.
“Karena manis, segalanya manis, shhh.. Enaknya, sugar,” bisik Nolan menggeram rendah tepat di samping telinga Adhya.
“Pelan,” rintih Adhya saat Nolan terlalu liar.
Nolan menurutinya, mengangkat wajah lalu mengulum bibir Adhya yang selalu manis. Tidak salah dia menamainya sugar.
Adhya bergetar. Nolan berhenti sejenak, mengangkat Adhya menjadi duduk di pangkuannya. Mereka kembali bergerak pelan.
Wajah panas Adhya begitu candu. Terlihat sangat menggairahkan. Begitu memerah cantik dengan kedua matanya yang sayu.
Adhya tak tahan, tapi tidak bisa berhenti naik turun di pangkuan Nolan tanpa malu seperti biasa.
Nanti akan malu jika semua selesai. Mungkin belum terbiasa. Mereka masih dibilang pengantin baru.
Nolan merebahkan Adhya lagi, dia ingin bergerak cepat dengan bebas.
Keduanya terus bergelung dalam sofa, begitu romantis ditemani senja. Penerbangan mereka memang Penerbangan malam dengan harapan pagi sampai dan Adhya langsung pergi bekerja.
Adhya terengah, tubuhnya yang bergesekan dengan tubuh kekar Nolan begitu menggelitik membuatnya semakin bergairah.
Apalagi di bawah sana, Nolan yang kian hari kian menunjukan taringnya. Dia yang suka cepat dengan miliknya yang di atas rata-rata.
Benar kata Nolan. Walau dia belum pernah dengan Adit, tapi sepertinya Nolan yang terbaik.
***
“Hai, gimana bulan madunya?” tanya Adit sambil membantu membawa koper yang Adhya bawa.
Adhya menelan ludah. “Gitu, rame.” jawabnya pelan agak gugup, mungkin karena tatapan usil Nolan saat ini yang membuat Adhya canggung.
“Dia kangen sama lo,” Nolan melirik. “Eh maksudnya kita kangen sama lo, terutama gue,” Nolan merangkul Adit usil bagai banci.
“Jijik banget, terlalu banyak asupan ya, Adhya, jadi kaya orang gila,” kekeh Adit sambil menyingkirkan Nolan.
Nolan melirik Adhya yang menatapnya tajam nan kesal. Nolan tersenyum sambil merangkulnya.
Nolan membungkuk. “Apa, sugar?” bisiknya di telinga Adhya.
“Lo rese!” geramnya lalu mendatarkan wajahnya.
“Langsung kerja?” tanya Adit setelah selesai memasukan semua koper.
“Iya, masa baru sehari masuk langsung izin,”
“Bolehlah, selagi ada Nolan,”
“Tuhkan,” sambar Nolan.
“Ga, udah cukup dimasukinnya pake koneksi, ga mau!” tolak Adhya agak bete.
“Iya, oke.” Nolan menggiring Adhya untuk segera masuk ke dalam mobil.
“Nanti hari minggu kalau ga salah, kita nginep di rumah, rumah orang tua gue,” Nolan baru ingat soal itu.
“A-apa? Engga mau, malu!”
“Masa sama mertua malu, Ya.. Ada-ada aja,” kekeh Adit yang baru masuk dan menyalakan mobilnya.
“Makanya biasain, masa sama orang tua kedua malu.” tambah Nolan.
Adhya pun mengabaikannya. Dia duduk dengan tenang. Agak pening tapi tetap harus bekerja. Baru sehari masuk juga.
Selama perjalanan hening, Adhya memutuskan untuk tidur juga.
“Sampe, sugar.” bisik Nolan sambil mengecup gemas sebelah pipi Adhya.
Adhya bangun, perlahan menyingkirkan wajah Nolan lalu merapihkan penampilan. “Makasih kak Adit,” ujarnya agak serak.
“Hm..”
“Sama gue?”
Adhya menoleh menatap Nolan. Dengan masih mengumpulkan nyawa dia bergerak mendekat mengecup bibir Nolan sekilas tanpa kata dan turun.
Nolan tersenyum. Ini pertama kali Adhya menciumnya duluan.
“Jangan terlalu keras kerjanya sayangku sugar,” teriak Nolan dengan senyum cerah. Bahkan melempar senyum pada perempuan yang melintas.
Adhya menggeleng samar. “Dasar buaya, manis banget! Kesemua cewek disenyumin!” dumelnya.
“Jadi musibah waktu itu pembawa berkah? Lo keliatan lebih bercahaya, Lan.” kekeh Adit yang mulai melajukan mobilnya lagi.
“Hm, mungkin. Seru aja, bangun tidur ada dia, setiap hari terus usilin dia, biasanya jarang ketemu, usil kalau ketemu,” terangnya.
“Malam ini ke club?”
“Libur dulu,”
“Merinding gue, tumben libur. Gue sebenernya ga mau, tapi Azura selalu ke sana, jadi harus ke sana..”
“Lo sayang banget, lebih dari gue. Bahkan semenjak ada Adhya gue jarang ketemu Azura,”
“Makanya dateng, dia jangan sendirian, dia ga baik-baik aja, Lan.”
Nolan memilih diam. Dia akan memikirkannya nanti.
Bersambung…