SEKALI LAGI, LAGII DAN LAGIII
“Caca ga papa, cuma kapok minum aja sampai tiduran di toilet,” Caca terlihat tenang, walau hati dan pikirannya takut.
Caca berpikir dia kotor karena di sentuh om-om. Dia merasa sakit sekali dibagian pusatnya. Suara bocil, tingkah agak bocil tapi dia paham soal begitu.
“Maafin ya, Ca. Sampe harus ngerasain minuman dan mabuk,” Adhya memeluk Caca.
Caca balas memeluk, dia tidak enak hati karena berbohong pada Adhya. Dia belum berani, takut Adhya semakin merasa bersalah padahal tidak salah.
“Salah Caca, Adhya. Kalian udah ancam, Caca ga dengerin,” tatapan Caca meredup. Dia menyesal, padahal menurut pada Adhya saja saat itu.
“Emang salah Caca!” Adit menyahut.
“Kak Adit juga salah, malah ke kak Azura bukan ke Caca.” ceplosnya jujur.
Azura terdiam tak enak hati. Cemas dan perasaan tidak bisa dijelaskan kembali muncul namun dengan cepat Azura kendalikan.
“Maaf, ya, Caca.” Azura tersenyum tipis menyesal.
Caca diam bingung, dia keceplosan. Semua gara-gara Adit.
Kini Adit juga cemas, Azura memang terlihat baik-baik saja. Tapi sungguh, dia begitu rapuh. Seperti akan pecah hanya dengan sekali sentuh.
“Mau makan?” Adit mengusap kepala Azura.
Adhya melihat interaksi hangat itu. Adit memang sangat perhatian, memperlakukan perempuan dengan baik.
“Jangan ngarep.” bisik Nolan sambil memasukan jemarinya ke jaket yang di pakai Adhya untuk mengusap punggungnya.
Adhya menatap Nolan kesal. Dia masih tidak percaya bisa bercinta di asal tempat. Di club lagi. Rasanya dia jadi nakal.
“Kita pamit, dah mau pagi..” Nolan mendekati Azura. “Pulang ya, ra. Kamu harus sehat, makan yang banyak.. Katanya semalem kalian gagal makan, jangan lupa makan,” lanjutnya sambil pamit.
***
“Nolan..”
“Ga usah cemburu,” Nolan tersenyum sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Adhya.
Adhya refleks mundur sambil mendorong pipi Nolan agar menjauh. “Dih, apa sih!” kesalnya.
“Kenapa? Soal Azura, dia bener-bener sahabat kita, hidup dia berat, mental dia ga baik-baik aja,”
“Gue ga mau tahu! Gue ga cemburu! Gue mau tanya, bu-bukan itu,” padahal Adhya memang kepo soal Azura tapi sudah di tuduh cemburu membuatnya jadi mundur lagi.
“Terus?”
“Dah ga mood, minggir!” Adhya menyingkirkan Nolan yang condong padanya. Dia beranjak dari duduk walau kesulitan karena Nolan membelitnya.
“Kemana, sugar?” suaranya begitu lembut memikat, senyumnya begitu manis membuatnya tampan.
“Ha~ kencing,” jawabnya singkat dan malas.
“Kalau bohong itu yang bener,” Nolan tertawa pelan, membuatnya kian bersinar terang ketampanannya. “Beberapa menit yang lalu baru beres pipiskan,” Nolan menariknya kuat sampai punggung Adhya menabrak di dadanya.
Adhya menghela nafas pasrah, merutuki kebodohannya. Membiarkan Nolan cekikikan menyebalkan seraya beberapa kali mengecupi tengkuk, bahu dan cupingnya.
Adhya diam. Hanya beberapa kali suara kecupan terdengar yang beradu dengan suara televisi.
“Masih kepikiran soal Caca?” Nolan melepaskan Adhya yang langsung berpindah duduk dengan nyaman di sampingnya.
“Jelas. Ada bercak merah di sini,” Adhya menunjuk tulang selangkanya.
“Bisa aja nyamuk, dia di toilet club, biasanya banyak nyamuk,”
“Mungkin.” respon Adhya sekenanya. Mungkin perasaaannya saja. “AW!” pekik Adhya kesal saat Nolan meremas gemas lemak di betisnya.
Bugh! Bugh!
Adhya memukuli Nolan. Sungguh menyebalkan mana belum tidur karena semalam pulang kemalaman dan keadaan keos.
“Sarapan udah, perut kenyang tapi—”
“Apa?!” sewot Adhya.
“Bonus semalem mana? Satu kali? Rugi dong,” lalu Nolan tertawa geli mendengar tingkahnya sendiri.
Adhya menekuk wajahnya. “Capek tahu!” sebalnya. “Belum tidur,” lanjutnya.
“Mau gue bikin tidur?” Nolan tersenyum, menatap Adhya lekat. Membuat Adhya menelan ludah.
***
Nolan mencabut miliknya dengan terengah puas, dia seka keringat di rahangnya lalu menampar gemas bokong Adhya.
Adhya melenguh lemas dengan sama terengah. Dia pun mengubah posisi dari telungkup menjadi terlentang.
Nolan tersenyum, mendekatinya dan menindihnya lalu dia peluk kemudian cium bibirnya.
Adhya terpejam, balas memeluk Nolan dan balas menciumnya. Ciuman yang lembut tak tergesa.
“Ga malu lagi, sugar?” bisik Nolan di depan wajah Adhya.
Adhya melarikan tatapannya asal. “Malulah, kan manusia,” sewotnya salah tingkah. Kan, baru malu setelah selesai semuanya.
“Haha.. Gemes,” Nolan ndusel lalu menyusu gemas membuat Adhya kembali menggeliat gelisah disertai kekehan geli karena pinggang digelitik.
“Agh..” Adhya tertawa pelan dengan desah gelisah. Nolan tidak melepaskan mulutnya yang menyedot kuat sampai Adhya membusung.
Nolan tanpa berkedip menatap Adhya yang menggeliat panas, terdongak dan membusung untuknya.
Nolan memasukan jemarinya ke mulut terbuka Adhya lalu berhenti menyedotnya. Dia mendekatkan wajah pada Adhya..
“Suka?” tanyanya dengan menatap Adhya tidak berkedip. Ini perasaan yang pertama kali Nolan rasakan.
Begitu tertarik yang menggebu. Tak pernah puas.
Adhya mengangguk, mencoba menyingkirkan jemari Nolan namun susah sekali. Rasanya ingin muntah.
Nolan berhenti lalu menciumnya. Menautkan setiap jemari. Sepertinya Adhya tidak dia izinkan untuk tidur dulu. Sekali lagi saja.
Adhya merem melek, membalas ciumannya dan mengerang pelan saat Nolan menekannya masuk tanpa menghentikan ciumannya.
Nolan bergerak pelan, membuat tubuh yang merapat itu mulai terguncang dengan tempo yang sama.
Keduanya melenguh dan mendesah dalam kuluman lembut bibir satu sama lain.
Adhya begitu gelisah, terguncang dalam nikmat yang Nolan berikan.
Entah sejak kapan mereka bisa menormalkan kegiatan ini, seolah terbiasa saling mencumbu dan sebagainya.
“Jangan lagi, abis ini udah,” mohon Adhya dengan gelisah keenakan tak bisa dibendung.
“Ga janji, sugar.” Nolan tersenyum manis di depan wajah Adhya yang panas. Begitu usil menghentak kuat dan cepat sampai kepala Adhya hampir menyentuh kepala ranjang.
***
Nolan turun dari kasur, mereka tidur sampai sore. Makan siang terlewat begitu saja. Nolan meneguk air putih.
Tanpa melirik Adhya dan mengganggu tidurnya, dia pergi menyiapkan makan siang yang terlewat. Perutnya begitu keroncongan.
Nolan sibuk sendiri, memakai boxer ketatnya yang mempertontonkan tubuh tegap, kekar dan gagahnya.
Nolan begitu tinggi, tampan dan bercahaya.
“Dia lagi,” Nolan yang jengkel diteleponi memilih memblokirnya.
Semenjak Nolan terlibat dengan Adhya. Minat merespon mereka mulai menipis, mungkin kebutuhannya lebih terpenuhi dengan cara yang dia sukai tanpa banyak memikirkan kekhawatiran lain.
“Mauuu..” Adhya berjalan lesu dengan agak ngangkang, dia memang sudah tidak perawan lagi. Bodo amat, bahunya juga membungkuk saking pegal-pegal.
Nolan menatap Adhya yang hanya memakai bekas pakaian Nolan, tanpa dalaman karena Nolan bisa melihat tonjolan kecil dua.
Nolan tersenyum begitu manis. Mengecup kening Adhya walau si empunya menangkis pelan.
“Lapar,” wajah bantal Adhya terlihat lucu.
“Ini apa?” kekeh Nolan dengan usil mengusap tonjolan di balik kaosnya itu.
“Ishhh! Lapar, diem!” amuk Adhya.
Nolan pun menyiapkan semuanya. Keduanya makan terlihat fokus, saking lapar jadi tidak bisa beralih dari makanan.
“Besok kerja lagi,” Adhya menyandarkan punggungnya pada kursi.
“Ga mau?” Nolan menyeka mulutnya lalu mematikan ponselnya yang begitu berisik.
“Ck! Maulah, ngeluh bukan berarti ga mau,” Adhya terus berceloteh, menceritakan ini itu.
Nolan bersidekap, tersenyum menatap dan menjadi pendengar yang baik. Ternyata berdua, berbincang dengan Adhya lebih serius menyenangkan.
Bukan hanya sibuk berdebat seperti dulu.
BERBINCANG SAMBIL BERCINTA
“Ca? Caca?” Andi mengangsurkan satu botol susu kecil rasa Coklat kesukaan Caca. “Ca?” panggilnya lagi sambil duduk di sebelahnya.
Adhya menautkan alisnya juga, Caca hanya mengaduk makanan. Apakah selama sebulan ini Caca ada masalah?
“CA!” Adhya mencolek lengan Caca kesal namun juga cemas. “Kenapa?” tanya Adhya lalu menolak panggilan Nolan. Dia ingin tahu dulu Caca kenapa.
“Itu, bingung. Mau sewa apartemen yang di deket sini atau yang satunya lagi, harganya sih ga jauh beda,” Caca tersenyum. “Gimana ya?” lalu menatap Andi dan Adhya.
“Mau dibantu?” Andi tersenyum ramah.
Dela yang baru sampai duduk di samping Adhya.
“Bantu apa?” Dela menyahut penasaran.
“Ini mba, lagi cari apartemen, terus ada dua yang deket kantor, bingung gitu Caca..” jelas Caca sambil memulai makan walau tidak selera.
“Nanti mba bantu, jangan sampe mas Andi tahu,” kekehnya jenaka.
Andi tersenyum tanpa tersinggung. Cap buayanya sudah terlalu melekat. Jika pun berubah tidak akan bisa mereka percaya.
Andi tidak peduli juga soal itu.
***
“Kak, jauh.. Capek tahu! Caca ga sanggup bolak-balik ke sini, terlalu jauh.” Caca membereskan semua barang.
Adhya juga membantu, menyimpan beberapa barangnya di nakas, di lemari kecantikan. Adhya menarik sesuatu yang terselip di buku.
Garis dua? Ini apa?
Adhya menyembunyikan itu. Momennya tidak tepat. Nanti saja jika dia berdua dengan Caca. Apa Caca hamil gara-gara hilang di club? Apa Caca berbohong?
Adhya memucat. Jantungnya berdebar kencang. Sahabatnya hamil. Anak siapa? Caca baik, tidak pacaran. Lalu siapa? Atau ini test milik temannya?
Teman? Caca hanya memilikinya, Adhya belum hamil. Mba Dela juga ga mungkin rasanya.
“Malah bengong,” Nolan menampar manja bokong Adhya. “Bantuin Caca, sugar,” kekehnya sambil mengacak poni Adhya.
Anehnya Adhya tidak berseru kesal atau merespon apapun. Dia malah kembali bergerak membereskan barang Caca.
Nolan mengangkat satu alisnya heran. Tumben sekali langsung nurut tanpa ada perdebatan atau kekesalan.
“Ada salah? Hm? Gue ada salah, sugar?” Nolan mengintip wajah Adhya yang terlihat tegang, pucat juga.
“Ga.”
“Ada apa?” Nolan memaksa.
Adhya berkaca-kaca, apa karena di club saat itu? Adhya terisak.
“Kenapa?” tanya Adit.
Caca mendekat, menyingkirkan dua pria itu. “Ada apa, Adhya? Siapa yang jahatin, bilang sama Caca? Kak Nolan jahil?” tanyanya.
“Siapa, Ca?—” Adhya segera mengalihkan. “Ga, aku ga papa.. Mau datang bulan kayaknya,” Adhya menahannya. Kasihan Caca jika Adit sekarang tahu. Dia harus mendiskusikannya.
“Ha? Aneh banget,” ceplos Caca.
“Lanjut aja, agak kepikiran hal lain,” Adhya tersenyum menenangkan mereka dan kembali sibuk.
Hingga Adhya dan Nolan kembali pulang setelah mengantarkan Caca ke apartemen. Apa keinginan Caca itu sebagai pelariannya agar tidak ketahuan hamil?
Nolan melirik Adhya yang terus diam, terlihat memikirkan sesuatu yang begitu berat. Apakah ada masalah?
“Kenapa?” bisik Nolan lalu meniupkan udara ke telinga Adhya.
Adhya sontak tersentak dan menjauh, mengusap telinganya. “Ck! Bisa ga jangan dulu ganggu!” lalu beranjak memilih ke kamar.
Nolan menghela nafas sabar. Dia beranjak menyusul sambil bermain ponsel. Memblokir beberapa perempuan yang terlalu mengejarnya.
“Kenapa ikut sih?!” Adhya menatap kedatangan Nolan semakin kesal.
“Lo kenapa uring-uringan? Hm?” Nolan mematikan ponsel dan menyimpannya ke nakas.
“Gue cuma pusing kerjaan, emang apalagi!”
“Makanya jangan kerja,”
Adhya menatap Nolan marah, membuat Nolan tersenyum.
“Oke-oke, gue ga akan ngomong gitu lagi. Ada yang bisa gue bantu?” Nolan mendekat, duduk sambil menatap Adhya yang rebahan.
Wajah Adhya terlihat pucat dan layu. Nolan yakin, bukan soal pekerjaan Adhya begini.
“Ga ada.”
“Oke. Tidur, gue mau ke kontrakan dulu, ada kerusakan di sana,” Nolan mengecup sekilas bibir Adhya.
“Gue ikut. Gue mau cari angin.”
Tumben, Nolan tersenyum senang. Ini pertama kalinya Adhya mau melihat bisnisnya.
“Oke, nyonya Nolan..”
***
Adhya menatap kontrakan banyak pintu itu. Mulutnya agak menganga walau sedikit saking kaget. Ternyata banyak, dia kira hanya 3 kontrakan.
Suaminya itu banyak uang ternyata. Wow. Adhya tidak akan ragu lagi meminta ini itu di luar uang bulanan.
“Ini di sini, kalau di daerah kota agak lebih mewah, mahal juga,” jelas Nolan.
“Masih ada?” tanya Adhya terdengar agak kaget.
Nolan terkekeh. “Kerenkan?” lalu mengecup pelipis Adhya sekilas. “Di daerah Bandung, ada 5, daerah Bogor itu 10.. Daerah Surabaya yang terbanyak, 20 pintu, ada di pedesaan daerah Garut juga, lebih murah itu ada 15 kalau ga salah.. Daerah —..” jelasnya panjang lebar.
Adhya hanya melongo mendengarkannya. Bisa dibilang kontrakan 100 pintu Nolan memilikinya. Dia bukan pengangguran biasa.
“Makanya di bantu Adit, di bantu tenaga ahli lainnya,” Nolan menutup percakapan. Dia harus membahas dengan tukang bangunan dulu.
Adhya mengerjap, menatap Nolan yang lebih serius mengamati soal kerusakan.
“Berapa uang yang Nolan punya?” gumam Adhya penasaran. Di kartu yang diberikan Nolan banyak isinya, pasti itu bukan kartu satu-satunyakan?
Adhya menatap kontrakan kosong yang sepertinya baru ditinggalkan, ada satu orang yang sedang membersihkan semuanya.
Adhya melihat isinya, tidak buruk. Luas juga. Keren sekali. Nolan dia akui keren.
“Bagus ga?” Nolan merengkuh pinggang Adhya.
“Bagus.” Adhya tidak bohong.
Nolan tersenyum senang, dia kecup lagi pelipis Adhya. “Nanti kita jalan ke semua kontrakan yang gue punya..” ajaknya.
Adhya mengangguk saja sambil melihat seluruhnya.
Nolan kembali bersama pekerjanya, membicarakan biaya perbaikan dan sebagainya.
***
“Boleh banyak minta dong?” Adhya terlihat senang, tatapannya sayu merasakan Nolan yang memenuhinya dan bergerak pelan.
“Boleh, sugar.” Nolan menatap Adhya dengan senyuman, meremas dua boba yang naik turun akibat pergerakannya.
Adhya tersenyum dengan kedua mata terpejam merasakan nikmatnya tumbukan di bawah sana.
Berbincang sambil bercinta memang selalu enak. Apalagi Nolan jadi lebih pelan tidak buru-buru.
“Apa ya? Hmm..” Adhya terlihat melayang merasakan kenikmatan itu.
“Belanja apapun,” Nolan menyasar leher Adhya tanpa berhenti.
“Hm.. Apapun..” Adhya merem melek.
“Mau coba pegang uang gue?” Nolan kembali menatap Adhya tetap tanpa berhenti bergerak.
“Ha? Engga mau, tapi mau tahu.” Adhya sungguh penasaran, apa saja dan berapa yang Nolan punya.
“Jadi?”
“Maksudnya.. Mau tahu punya apa, berapa Hh.. Tapi ga mau coba pegang banyak, uang bulanan aja, sama uang jajan..” Adhya mengusap tengkuk Nolan gelisah.
Adhya mulai terengah, sepertinya akan pelepasan lagi. Nolan lebih mempercepatnya hingga Adhya bergetar lemas.
Adhya terengah lega, terpejam puas dan pasrah saat Nolan mengangkatnya menjadi diatasnya dan perlahan mulai bergerak sambil berbincang lagi.
“Ha.. Nolan,”
“Hm, sugar?”
“Apa bisa pegang rahasia?”
Nolan berhenti. “Rahasia apa?” dia usap wajah Adhya.
“Janji jangan bilang dulu?” Adhya terlihat gelisah.
“Hm? Janji.”
“Ga jadi. AGH!” Adhya tersentak kaget saat Nolan menghentaknya kuat sebagai kekesalannya.
“Apa?” Nolan menatapnya serius. Dia sudah penasaran.
“Itu.. Ha-hamil—”
“LO HAMIL?” potong Nolan kaget plus senang.
“Ck! Bukan!” ralat Adhya cepat agak salah tingkah, Nolan begitu bersemangat, membuatnya merasa bersalah karena ingin menunda.
“Terus?” Nolan mendatarkan wajahnya.
“Caca.. Gue liat test pack garis dua di kamarnya. Apa karena saat di club waktu itu? Caca pasti bohong, dia ga deket sama pria manapun, Nolan..”
Nolan terdiam. Caca? Caca hamil?
“Adit pasti ga tahu,”
“Makanya tutup mulut dulu, gue mau ke Caca besok, jadi sehari nginep ya?”
Nolan mengangguk mengizinkan.
Bersambung…