“Dimi, aku tahu ini berat,” Nathalie menepuk pundak Dimian pelan.
Dimian masih tergugu dalam tangisnya. Hal yang paling ia takutkan dahulu telah terjadi. Mysha benar-benar telah pergi dari hidupnya. Hari-harinya mungkin akan terasa lebih berat.
“Aku gagal,” lirih Dimian.
Nathalie menggelengkan kepalanya. “Kau tak gagal, Dimi … Kau berhasil. Bukankah ini yang diinginkan oleh Mysha? Pergi ke tempat seharusnya dia berada. Mysha sudah pergi, Dimi, Mysha sudah bahagia disana. Kau harus bisa melupakannya,”
“A-aku tak bisa melupakannya, Mysha cinta pertama ku. Dia yang telah membuat hari-hari ku lebih berwarna dari sebelumnya.” Dimian tersenyum miris saat mengingat kembali kejadian-kejadian yang telah dilaluinya bersama Mysha.
Nathalie yang mendengarnya tentu merasa iba. Ia mengerti dengan perasaan Dimian. Memang sulit jika kita kehilangan orang yang sangat cintai. Terlebih orang itu telah memberikan warna baru kepada hidup kita.
Tiba-tiba Dimian berdiri dan menatap dingin saudaranya yang masih tergeletak pingsan. Dimian mendengus dingin dan pergi meninggalkan Damian.
“Dimi, dia saudara mu,” teriak Nathalie.
Dimian menghentikan langkahnya dan tersenyum miring.
“Dia bukan saudara ku.” Dimian menekankan kata-katanya.
“Apa kehilangan Mysha tak membuatmu cukup hancur? … Dan sekarang kau akan kehilangan saudara mu juga? … Dimi, sadarlah! Damian masih saudara mu. Kejadian ini bukan Damian yang melakukannya, tapi roh jahat itu.” Nathalie menatap Dimian penuh pengharapan agar Dimian dapat menerima Damian kembali. “Damian bukan orang jahat, Dimi.” tambah Nathalie.
Dimian memejamkan matanya, mencoba mencerna setiap ucapan Nathalie. ‘jangan sampai kejadian ini mengubahnya menjadi seorang yang jahat’. Dimian menghela nafasnya berat, kemudian berbalik.
“Aku akan membawanya ke apartemen ku,” ucap Dimian sambil berjalan ke arah saudaranya.
Nathalie mengangguk dan tersenyum.
Dimian lalu membopong tubuh Damian ke apartemennya.
***
Dimian dengan sabar mengompres dahi saudaranya yang demam. Wajah Damian memerah akibat suhu panas tubuhnya yang tak kunjung turun. Tak jarang Damian mengigau, menyebut nama ibunya. Hal itu membuat hati nurani Dimian tersentuh, walau masih ada kebencian disana, tapi Damian tetap saudaranya. Mereka pernah tersenyum, tertawa dan bahagia bersama.
Dimian teringat kalau Damian belum makan apapun semenjak dirinya pingsan kemarin. Ia kemudian pergi ke dapur untuk memasak sesuatu.
Damian membuka matanya perlahan. Ia meringis dan memegangi kepalanya yang sedikit pusing. Tak sengaja dia memegang kompresan yang ada di dahinya. Ia mengernyit, “siapa yang melakukannya? Dan … Dimana ini?”
Dimian telah selesai dengan acara memasaknya. Ia berjalan menuju ruang tamu tempat Damian tertidur dengan nampan berisi sup hangat dan nasi. Ia tak terkejut sama sekali saat melihat Damian sudah bangun, Dimian malah memasang wajah dinginnya.
“Kau sudah bangun?” tanya Dimian dingin sambil meletakkan nampan di atas meja.
“Dimian? Dimana ini?” Damian berusaha bangkit dari tidurnya.
“Apartemen ku,” ucap Dimian nyaris tanpa ekspresi.
Damian mengangkat sebelah alisnya. Ia semakin kebingungan. Seingatnya dia ada di sebuah toko cemilan sehat kesukaannya.
“Kau tak mengingat sesuatu?” Dimian duduk di samping Damian.
“A-aku tidak tahu, aku melihat diriku seperti bukan aku. Terkadang aku tak mengingat kenapa aku bisa sampai di suatu tempat.” tutur Damian sambil memegangi kepalanya.
Dimian mengernyit, wajar saja, dalam tubuh Damian bukan hanya ada dirinya, tapi ada sosok lain.
“Kau tau apa penyebabnya?” tanya Damian yang langsung membuyarkan lamunan Dimian.
Dimian beralih menatap Damian. Dimian menggeleng ragu, ia tak yakin akan menceritakan kejadian buruk ini kepada saudaranya. Biarlah semua ini menjadi kenangan yang ia kubur dan simpan rapat-rapat sendirian.
“Ah, ku pikir kau tahu. Mengingat kau mewarisi ilmu yang diberikan oleh kakek dahulu,” Damian menerawang jauh. “Apa ini untukku?” tanya Damian saat melihat nampan berisi sup dan nasi di hadapannya.
“Iya,” ucap Dimian.
Seketika Damian tersenyum lebar. “Kau memang saudara ku yang paling baik,” Damian lalu mengambil nampan itu dan memakan sup dan nasi yang diberikan oleh Dimian.
Dimian tersenyum tipis, ada rasa bahagia bercampur haru dalam hatinya. Kini saudaranya telah kembali, Damian yang hangat dan penuh kasih sayang yang ia rindukan. Tanpa Dimian sadari, bibirnya tersenyum lebar saat melihat saudaranya makan dengan lahap seperti singa yang tak makan selama 3 bulan.
“Oh, ya, Dimi, kau sudah makan?” tanya Damian.
“Ya, aku sudah,” bohong Dimian. Entahlah, dirinya sedang tidak berselera makan akhir-akhir ini. Kehilangan Mysha membuat ia tak lagi memiliki semangat.
Damian hanya mengangguk-angguk mengerti dan melanjutkan makannya.
“Jadi, selama ini kau berkuliah disini?” tanya Damian dengan mata yang berbinar menatap betapa megahnya universitas tempat Dimian belajar.
“Ya, aku berkuliah disini.” ucap Dimian sambil tersenyum lebar.
“Pasti biayanya sangat mahal, kau punya uang darimana?” selidik Damian mengalihkan pandangannya.
Dimian mendengus dingin dan terkekeh kecil. “Tentu saja aku mengandalkan kemampuan otakku,” ucap Dimian sambil menunjuk ke arah kepalanya.
Damian tersenyum lebar, tentu ia tak meragukan kemampuan otak saudaranya itu. Dimian selalu lebih unggul di pelajaran daripada dirinya.
“Kau selalu membuat keluarga kita bangga,” ucap Damian sambil menepuk-nepuk bahu Dimian.
Dimian hanya tersenyum kecil. “Ayo, aku akan mengajakmu berkeliling,” ucap Dimian sambil berjalan terlebih dahulu. Dan dengan senang hati diikuti oleh Damian.
Beberapa pasang mata tertuju kepada mereka. 2 orang pangeran tampan nampaknya baru saja turun dari khayangan. Bukan hanya karena wajah mereka yang sangat mirip, tetapi senyuman keduanya juga mampu membuat kaum hawa meleleh saat itu juga.
“Dimi!” panggil seorang gadis.
Sontak Dimian dan Damian menoleh. Felicia mengernyitkan dahinya saat melihat laki-laki di samping Dimian sangat mirip sekali dengan Dimian.
“Felicia?” gumam Dimian.
“A-apa yang terjadi?” Felicia menutup mulutnya tak percaya sambil berjalan ke arah keduanya.
Dimian dan Damian terkekeh geli.
“Dim, kenapa wajahnya sangat mirip sekali denganmu?” tunjuk Felicia ke wajah Damian.
Dimian tertawa kecil. “Perkenalkan, dia saudara ku, Damian.”
Damian mengangguk dan mengulurkan tangannya. Felicia masih tak berkedip. Lalu ia membalas uluran tangan Damian.
“Fe-felicia,” ucap Felicia tergagap.
“Maaf aku tak pernah menceritakannya padamu, karena kami memang sudah berpisah sejak kecil,” Dimian tersenyum manis.
Felicia beralih menatap Dimian, “Ti-tidak masalah,” Felicia masih tak percaya. “Oh, ya, sidang skripsi akan di mulai beberapa hari lagi, ku harap kau tak melupakan itu,”
“Aku tidak melupakannya, bahkan aku sudah mempersiapkannya.” Dimian tersenyum tipis.
“Baiklah, semoga kau beruntung, Dimi.” Felicia tersenyum manis. Ah, senyuman itu masih tetap membuat hati Dimian bergetar hebat.
“I-iya, kau pun,” tiba-tiba Dimian sedikit gugup.
Damian yang menyadari hal itu hanya tersenyum geli. Nampaknya saudaranya sedang jatuh cinta.
Felicia pergi setelah berpamitan dan memberikan senyum ramahnya.
“Hei, boy, sepertinya kau sedang jatuh cinta.” Damian menyenggol lengan saudaranya sambil tertawa kecil.
Dimian mengalihkan pandangannya. “A-apa? T-tidak,” bohong Dimian.
Tentu Damian tahu saudaranya tengah berbohong, terlihat dari wajahnya yang memerah.
Ah, sepertinya Dimian mulai kembali ke kehidupan awalnya. Hidup tanpa Mysha.
***
Seminggu telah berlalu, Dimian masih terus berusaha melupakan Mysha. Hingga pada suatu malam.
Damian tengah santai duduk di atas sofa sambil menonton acara televisi. Sedangkan Dimian sedang berada di kamar mandi membersihkan tubuhnya.
Ia tersenyum tipis, sebuah sabun mandi beraroma mawar masih tergeletak di atas tempat peralatan mandinya. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Mysha.
Dimian mengambil sabun itu dan menghirup aromanya. “Aku merindukanmu, Mys,” gumam Dimian. “Entahlah, apakah Felicia akan menggantikan sosok dirimu di hidup ku? Aku tak yakin,” Dimian tersenyum miris dan meletakkan kembali sabun itu. “Aku harap … Ada keajaiban yang datang kepadaku malam ini,” Dimian menghela nafasnya berat. Lalu ia menyelesaikan acara mandinya.
15 menit telah berlalu, Dimian keluar dari kamar mandi sambil menggosok-gosokkan handuk kecil ke rambutnya. Tampak saudaranya masih asik dengan acara televisi.
“Kabar mengejutkan terjadi hari ini, di kabarkan bahwa putri sulung dari pemilik perusahaan Addison corps yang telah hilang selama bertahun-tahun dan sempat dinyatakan meninggal, telah ditemukan dalam keadaan baik walau masih dalam kondisi lemah.” ucap seorang presenter di televisi.
Dimian yang mendengar nama ‘addison corps’ langsung membulatkan matanya. Dimian menahan tangan Damian yang akan memindahkan acara televisi itu.
“Tunggu!” pinta Dimian.
Damian mengernyitkan dahinya.
“Mysha, orang-orang biasa menyebutnya. Gadis berparas cantik dan dikenal baik hati ini, sempat koma beberapa hari sebelum akhirnya di culik. Sebuah keajaiban, kini dirinya telah ditemukan dalam keadaan masih hidup. Kini Mysha sudah di pindahkan ke sebuah rumah sakit di kota new York,” tambah presenter itu.
“Aku seperti mengingat wanita itu?” ucap Damian.
Tanpa berpikir panjang lagi, Dimian segera berlari menuju ke arah pintu dan menuju rumah sakit yang disebutkan oleh presenter tadi, yang kebetulan tak jauh dari apartemennya. Senyuman bahagia tak henti-hentinya menghiasi wajah tampan Dimian. Siapa lagi kalau bukan penyebabnya, Mysha.
Dengan nafas ngos-ngosan, Dimian berhenti di lobi rumah sakit.
“M-mysha Carolin Addison,” ucap Dimian pada seorang petugas rumah sakit.
Petugas rumah sakit itu mengerti dan tersenyum ramah lalu mengecek komputernya.
“Kamar 302 VVIP lantai 11,” ucap petugas itu.
Tanpa berpikir panjang lagi, Dimian kembali berlari menuju tempat yang disebutkan oleh petugas tadi. Ia memilih tak menggunakan lift karena ia pikir itu terlalu lama, jadi ia memutuskan untuk menaiki tangga darurat. Dirinya benar-benar merasa bahagia, apakah ini sebuah mimpi? Apakah cintanya masih akan tetap tumbuh? Ah, semoga saja.
Dimian menghentikan langkahnya sebentar, sebenarnya kakinya sudah lelah melangkah. Tapi Mysha ada disana, menunggunya. Senyuman bahagia terus terpancar dari wajah Dimian. Ia kembali berlari.
Dan akhirnya, disinilah dia, di depan sebuah pintu berwarna putih bertuliskan nomor 302 atas nama Mysha. Apakah dia yakin dia akan masuk? Apakah Mysha masih mengingatnya? Pertanyaan demi pertanyaan terus muncul di dalam pikiran Dimian. Tapi ia harus yakin, Mysha, cintanya, tak akan pernah salah.
Dimian membuka pintu itu perlahan. Tampak Mr. Arnold dan Margaretha ibunya Mysha tengah saling bercengkrama dengan seorang gadis yang masih terbaring diatas ranjang rumah sakit.
Mr. Arnold dan Margaretha menoleh ke arah Dimian, begitu juga dengan gadis itu.
“D-dimian?” gumam Mysha dengan tatapan tak percaya.
Dimian tak dapat membendung air mata bahagianya lagi, Dimian berlari dan segera memeluk Mysha.
“D-dimian … Hiks …,” Mysha membalas pelukan Dimian.
Dimian semakin erat memeluk Mysha, seolah-olah Mysha akan pergi darinya lagi. Mr. Arnold dan Mrs. Margaretha hanya tersenyum haru dan menatap kedua insan itu bahagia.
“Ja-jangan tinggalkan aku lagi … Hiks …,” Mysha memeluk Dimian erat.
Dimian menggeleng-gelengkan kepalanya, tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga menangis. “Tak akan, Mys… Aku tak akan meninggalkan mu lagi, aku disini, bersama mu,”
Keduanya saling berpelukan, melepas segala kerinduan yang sempat tertunda.
Bersambung…