“Mysha Caroline Addison, anak sulung dari pemilik perusahaan Addison corps?” tanya seorang detektif terkenal yang menyelidiki kasus kematian seseorang di kota Florida.
Sesaat, Dimian menatap Mysha di sampingnya. “Benar?” bisik Dimian.
Mysha hanya mengangkat bahunya. Ia sama sekali tak mengingat kejadian di masa lalunya itu.
Dimian menghela nafasnya panjang. Akan sulit menyelediki kasus yang tak memiliki titik terang sedikit pun.
“Bisa kau tunjukkan fotonya?” pinta Dimian pada detektif itu.
Detektif itu membuka beberapa berkas 5 tahun lalu.
“Ini!” ucap detektif sambil menunjukkan foto Mysha yang sedang memakai seragam sekolah dan tersenyum manis.
“Ya, itu aku.” ucap Mysha girang sambil menunjuk ke arah fotonya.
“Bagaimana dengan kasusnya?” tanya Dimian sambil meraih foto itu dan melihatnya. Dimian tampak mengulum senyum saat melihat sebuah senyuman polos yang di perlihatkan di wajah Mysha, sangat menggemaskan.
Mysha yang menyadari hal itu, langsung mengerucutkan bibirnya kesal. Dimian seperti mengejeknya.
Bukk!!
Mysha memukul kepala Dimian, alhasil Dimian sedikit terpelanting. Sontak hal itu membuat Dimian merasa bingung dan menatap Mysha bertanya-tanya.
“Ada apa?” bisik Dimian.
“Menyebalkan!” umpat Mysha sambil bersidekap.
Dimian terkekeh geli melihat tingkah Mysha. Ia tak menyadari bahwa detektif itu tengah menatapnya bingung dan aneh.
“Are you okay?” tanya detektif itu memastikan.
Sontak hal itu membuat Dimian salah tingkah.
“Y-yes,” Dimian kembali menatap detektif itu.
“J-jadi bagaimana dengan kasusnya?” tanya Dimian mengembalikan topik.
“Kasus itu sudah lama di tutup. Karena, baik dari pihak kami maupun kepolisian, tidak pernah menemukan titik terang dari kasus ini. Kemungkinan besar, penjahat itu membawa kabur Mysha ke luar negeri.” tutur detektif itu.
Dimian dan Mysha sama-sama membelalakkan matanya. Pantas saja roh Mysha tak pernah kembali ke tempat yang seharusnya. Karena memang kematiannya tidak wajar dan kasusnya tak pernah selesai.
“Lalu, apakah masih ada kemungkinan kalau Mysha masih hidup?” tanya Dimian penasaran.
Detektif itu menghela nafasnya sesaat. “Entahlah, saat itu Mysha di bawa kabur dari rumah sakit dalam keadaan sangat kritis. Penjagaan kami sangat lemah waktu itu,” ujar detektif.
Dimian mengangguk-angguk mengerti. Mysha tak kuasa untuk menahan tangisnya. Beberapa bulir air mata jatuh di pipi mulusnya. Dimian yang melihatnya tentu merasa iba. Ingin rasanya ia memeluk Mysha sesaat untuk menenangkan hatinya.
“Lalu, apa penyebab penjahat itu menginginkan Mysha?” tanya Dimian.
“Mysha memiliki chip komputer yang di dalamnya terdapat beberapa proyek teknologi ilegal terbesar di dunia. Teknologi itu sangat berbahaya jika sampai jatuh ke tangan orang yang salah.” jelas detektif.
Dimian mengangkat sebelah alisnya. Ia sama sekali tak mengerti dengan apa yang di ucapkan detektif itu.
“Teknologi itu bisa menghancurkan 3 sampai 4 negara hanya dalam waktu beberapa detik saja,” sambung detektif.
Dimian membelalakkan matanya. “Lalu, dimana sekarang chip itu berada?” tanya Dimian.
Detektif itu menghela nafasnya kembali. “Soal itu … hanya Mysha yang mengetahuinya. Itu sebabnya, Mysha menjadi sasaran berikutnya atas kejahatan mereka.”
“Berikutnya? Apa itu artinya sebelum-sebelumnya juga sudah ada korban?” tanya Dimian yang semakin tertarik dengan kasus ini.
“Tentu saja, sir Arnold Schwarzenegger, pemilik pertama dari chip itu. Dia mati mengenaskan di rumahnya akibat serangan jantung. Tapi, hasil otopsi dari pihak rumah sakit menyatakan, tak ada tanda-tanda bahwa sir Arnold memiliki riwayat penyakit jantung. Dan kemungkinan besar ia di bunuh.” ujar detektif sambil menunjukkan foto seorang laki-laki setengah baya.
“Berikutnya, Gerald Ford, asisten dari sir Arnold yang di titipi chip itu. Ia di bunuh di sebuah kota kecil di Las Vegas. Begitu seterusnya sampai berakhir kepada Mysha. Tapi untungnya, saat itu pihak kami sudah melakukan pengawasan terhadap Mysha.
Karena mereka menaruh kecurigaan besar kepada Mysha setelah terbunuhnya detektif Steve di salah satu kamar mandi umum dan saat itu hanya ada Mysha disana. Jadi, kemungkinan besar chip itu berada pada Mysha.” tutur detektif dan dibalas anggukan mengerti dari Dimian.
“Dan lagi, Mysha adalah satu-satunya saksi atas terbunuhnya detektif Steve oleh penjahat kelas internasional itu.” sambung detektif.
“Lalu mengapa Mysha sampai kritis?” tanya Dimian.
“Saat itu … Mysha sedang berjalan di salah satu jalan menuju toko buku. Dan sepertinya penjahat-penjahat itu sudah mengetahui keberadaan chip itu. Mereka sudah mengintai Mysha dari beberapa hari terakhir.
Pihak kami pun tak tinggal diam, kami sengaja membiarkan Mysha berjalan sendirian di tempat itu untuk memancing penjahat itu keluar.
Tapi sayang, penjahat itu terlalu licik dan mempunyai strategi yang baik. Dengan cepat, sebuah mobil sport berkecepatan tinggi menabrak Mysha dengan sekali kedipan mata saja. Kami benar-benar merasa bersalah saat itu. Lantas kami langsung membawa Mysha ke rumah sakit terdekat.
Mysha berada dalam kondisi kritis beberapa hari itu. Sampai hari itu kami kecolongan kembali, penjahat itu mematikan seluruh CCTV yang berada di rumah sakit dan menyuntikkan obat tidur kepada seluruh penjaga Mysha.
Mereka sangat licik, mereka menyamar sebagai dokter dan seorang perawat. Dan dengan mudah dapat keluar masuk rumah sakit bahkan membawa Mysha pergi.” jelas detektif.
Dimian menghela nafasnya panjang. Sedangkan Mysha dengan mata yang berkaca-kaca, ia masih mencoba bertahan dan mendengarkan ucapan detektif itu.
Dimian lalu bertanya tentang hal yang lainnya mengenai Mysha dan teknologi hebat itu.
Mysha berjalan murung di samping Dimian. Sesekali ia menendang kerikil kecil sembarangan. Dimian yang menyadari hal itu. Memutar otaknya, bagaimana cara membuat Mysha tersenyum kembali?
“Umm … Kau mau es krim?” tanya Dimian saat melihat sebuah toko es krim di sebrang jalan.
Mysha mendongkakkan kepalanya, lalu menggeleng pelan. Sungguh, ia tak ingin sebuah es krim atau apa pun saat ini. Ucapan detektif tadi benar-benar membuatnya merasa sedih. Orang-orang tak mengetahui jasadnya dimana bahkan dirinya sendiri pun tak mengetahuinya. Ia ingin pergi ke tempat seharusnya ia berada, bukan di sini, bergentayangan tak punya tujuan.
Tiba-tiba Dimian berlari ke sebuah toko boneka. Tentu saja hal itu membuat Mysha mengerucutkan bibirnya kesal, Dimian meninggalkannya? Aarrgghh … Menyebalkan. Mysha lalu duduk di sebuah kursi di samping trotoar jalan. Pikirannya masih terfokus pada kematiannya.
Tiba-tiba Dimian datang dengan tangan yang ia simpan di belakang.
“Hei, tak ada gunanya kau terus murung seperti itu,” ketus Dimian yang berdiri di depan Mysha.
Sontak Mysha mendongkakkan kepalanya.
Dimian lalu menunjukkan sebuah boneka kucing putih lucu. Mysha bergantian menatap boneka itu dan wajah Dimian. Pikirannya bertanya-tanya, apa maksud Dimian?
“Untukmu!” ucap Dimian sambil duduk di samping Mysha dan menyerahkan boneka itu.
Mysha tersenyum manis. Dimian sangat romantis menurutnya.
“Kau tau kenapa aku memberikan boneka kucing itu?” tanya Dimian.
Mysha menggeleng cepat sambil memperhatikan boneka itu dan tersenyum lebar.
“Karena sejatinya kucing selau memberikan kebahagiaan di dalam sebuah keluarga,” ujar Dimian.
Mysha yang mendengar ucapan Dimian langsung tersenyum lebar. Itu artinya dirinya memberikan kebahagiaan bagi Dimian?
“Ah, tentu saja, karena aku memang selalu membawa kebahagiaan bagi semua orang,” ucap Mysha sombong.
“Tapi, tetap saja. Kucing itu menyebalkan saat sudah mengambil makanan kita tanpa izin, dan jangan lupakan soal cakarannya yang menyakitkan.” ujar Dimian sambil terkekeh kecil.
Mysha langsung membulatkan matanya saat mendengarkan ucapan Dimian. Dia pikir Dimian romantis, tapi tetap saja Dimian masih menyebalkan.
“Aarrgg … Aaargg …” Dimian mempergakan bagaimana kucing mencakar sambil tersenyum puas.
Mysha yang menatap Dimian dengan wajah kesal. Ia menggigit bibir bawahnya dan siap untuk memukul Dimian.
“Sini, biar aku tunjukkan bagaimana kucing mencakar!” ucap Mysha sambil hendak mencakar Dimian. Tapi Dimian buru-buru mengelak dan lari sambil tetap tertawa. Sontak Mysha pun ikut berlari mengejar Dimian yang menyebalkan itu.
“Dimi!” ucap Mysha sambil melihat hamparan langit cerah dan di tangannya terdapat sebuah es krim rasa moccha.
“Hemm,” balas Dimian mengalihkan pandangannya
“Jika aku pergi nanti, Aku ingin menjadi awan putih di bawah sinar matahari.” ucap Mysha sambil menerawang jauh.
Dimian mengangkat sebelah alisnya. “Why?”
“Yang meski tak kau minta, diam-diam melindungimu dari terik matahari dan menyaksikan mu bahagia bersama istri dan anak-anak mu kelak.” Mysha tersenyum manis, matanya masih asik memandangi langit siang itu.
Dimian yang mendengar ucapan Mysha sontak terkejut. Ia tak pernah membayangkan bahwa suatu saat dirinya dan Mysha akan berpisah. Mysha benar-benar telah mencuri hatinya. Ia ingin Mysha yang berada di sampingnya, bukan orang lain. Tapi apalah daya, dunianya dan dunia Mysha telah berbeda. Mereka tak mungkin bersatu.
Dimian menundukkan kepalanya memikirkan itu semua. Ia harus menyiapkan diri agar bisa siap untuk kehilangan Mysha. Tapi mungkin itu akan sulit.
“Aku akan membantumu menyelesaikan kasus kematian mu!” ucap Dimian. Walau dalam hatinya ia tak ingin melakukan itu, karena jika kasus itu telah terungkap, maka Mysha akan pergi meninggalkannya. Tapi ia tak bisa bersikap egois seperti itu, ia harus memikirkan kebahagiaan Mysha pula. Ia yakin, Mysha merasa sedih dan tersiksa saat menjadi hantu.
Mysha mengalihkan pandangannya menatap Dimian, lalu tersenyum manis.
“Terima kasih,” ujar Mysha lembut.
Dimian kembali menundukkan wajahnya. Ini benar-benar sulit? Apa dia bisa melakukannya? Hidup tanpa Mysha di sisinya? Hantu itu benar-benar telah mencuri hati seorang Dimian.
“Ahh … Akhirnya,” Mysha merebahkan tubuhnya di atas sebuah sofa di apartemen Dimian.
Dimian menatap sesaat Mysha dan tersenyum kecil.
“Kau mau makan apa?” tanya Dimian sambil membuka lemari kecil berisi bahan makanan.
Mysha bangkit dan berpikir sejenak. “Hmm … Terserah kau saja, aku selalu menyukai masakan mu,” ucap Mysha lalu kembali tidur di sofa itu.
Dimian hanya tersenyum dan mulai mengambil beberapa bahan makanan untuk kemudian memasaknya.
Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit-an saja. Beberapa makanan sudah tersaji di sebuah meja makan. Dimian memang pandai memasak sejak dari kecil, tentu saja ibunya yang mengajarkannya.
Mysha masih terlelap dalam tidurnya setelah asik menonton sebuah film di laptop Dimian. Mungkin karena ia juga terlalu kelelahan.
Dimian tersenyum kecil saat melihat wajah damai Mysha dalam tidurnya. Hatinya merasa tak tega untuk membangunkannya. Tapi, Mysha belum makan apapun seharian ini kecuali mungkin es krim yang di belinya saat tadi.
“Mysh!” panggil Dimian sambil menepuk pelan pipi Mysha.
Mysha tak merespon ucapan Dimian dan masih tertidur.
“Astaga, dia benar-benar terlelap.” gumam Dimian.
“Mysh … Bangun!” Dimian kembali menepuk-nepuk pipi Mysha.
Mysha hanya menggeliat kecil dan malah mendengkur lembut. Dimian tersenyum geli melihat hal itu. Andai Mysha adalah seorang manusia, mungkin dia akan memotretnya dan menyebarkannya di akun media sosialnya.
“Mysha!” panggil Dimian.
Mysha masih tak memberikan respon.
Dimian menghela nafasnya panjang. “Baiklah, aku akan makan terlebih dahulu!” ucap Dimian sambil bangkit.
Tapi tiba-tiba Mysha menarik tangannya. Dimian kehilangan keseimbangan karena kakinya kurang bertumpu pada lantai. Alhasil Dimian terjatuh di atas tubuh Mysha dan bibirnya dan Mysha bersatu. Dimian membulatkan matanya dan terkejut. Ini adalah pertama kalinya Dimian mencium seorang wanita.
Sesaat Dimian terpaku dan menatap wajah Mysha yang tengah damai tertidur. Hatinya benar-benar merasa tenang. Sedangkan Mysha tak menyadari hal ini.
Bersambung…