Dimian pergi kuliah dengan kantung mata hitam melekat pada wajahnya. Paginya benar-benar suram.
“Morning, Dimi!” sapa Felicia tersenyum ramah sambil mensejajarkan langkahnya.
Dimian menoleh sesaat wanita di sampingnya. Felicia selalu tampak mempesona dan mementingkan penampilannya.
“Morning,” jawab Dimi dingin.
“Astaga, Dimi. Apa kau tidak tidur semalaman?” tanya Felicia saat melihat kantung mata hitam Dimian.
Dimian kembali menoleh Felicia. “Begitulah,” balas Dimian singkat.
Felicia terus mencari topik pembicaraan. Sepertinya sedikit demi sedikit Felicia menyukai Dimian. Apalagi saat ini mereka sering bersama walau hanya untuk mengerjakan tugas.
“Hmm, kenapa? Kau punya masalah?” tanya Felicia penasaran.
“Ti-tidak.” ucap Dimian berbohong. Padahal dalam pikirannya ia masih berkecamuk tentang Mysha yang tak pulang.
“Lalu?”
Dimian Menghentikan langkahnya. Sungguh, Dimian hanya ingin ketenangan pagi ini. Bukan pertanyaan-pertanyaan yang tak penting.
“Felicia, bisakah kau tak menanyakan hal itu terus?” Dimian berusaha tenang.
“Why?” Felicia mengangkat sebelah alisnya tak mengerti.
Dimian membuang nafasnya kasar lalu melanjutkan perjalanannya. Rasanya membuang waktu saja jika harus terus menjawab pertanyaan Felicia.
“Rasanya, aku harus pulang saat ini. Terima kasih atas makanan dan tempat tidurnya yang sangat nyaman.” ucap Mysha sambil tersenyum ramah.
Damian yang sedang membersihkan peralatan makan, lantas menoleh ke arah Mysha.
“Secepat itu?” tanya Damian sambil membersihkan tangannya.
Mysha berpikir sejenak. “Ya, kurasa aku harus pulang sekarang.”
Damian mengelap tangannya yang basah. “Ah, baiklah jika itu keputusan mu. Tapi, apakah aku boleh tahu dimana tempat tinggal mu?”
Mysha sedikit kebingungan dengan pertanyaan Damian. Bahkan, dirinya tak punya tempat tinggal sama sekali. Apa yang harus ia katakan? Apartemen Dimian? Tidak-tidak, Mysha masih kesal kepada Dimian. Aha! Tiba-tiba Mysha terpikirkan sesuatu.
“A-aku … Tinggal di sebuah rumah yang bersebelahan dengan kota ini.” ucap Mysha berbohong.
“Benarkah?” selidik Damian.
“Te-tentu,” Mysha sedikit gugup. Karena ia tak terbiasa untuk berbohong.
Damian mengangguk mengerti. “Baiklah, lain kali, aku yang akan mengunjungi mu.” ucap Damian sambil tersenyum manis.
Mysha mengangguk ragu. Ia berharap itu tak akan pernah terjadi.
Mysha berjalan gontai. Harus kemana ia pergi? Bahkan, dirinya tak punya tujuan sama sekali. Ia harus memecahkan misteri kematiannya sebelum ia berubah menjadi roh jahat. Tapi, itu mustahil tanpa bantuan Dimian.
“Aarrgghh ….” Mysha mengacak-acak rambutnya frustasi. Kenapa hidupnya harus serumit ini?
Mysha menghentikan langkahnya saat melihat seorang anak kecil dari golongan hantu tengah memeluk lututnya sambil menangis. Mysha merasa iba saat melihat anak itu. Di usianya yang masih kecil ini, ia harus merasakan rasa kesepian seperti halnya dirinya. Mysha berjalan cepat menuju anak kecil itu.
“Hei, apa yang kau lakukan di sini?” tegur Mysha sambil berjongkok di hadapan anak itu.
Anak itu sontak mengentikan tangisnya dan menatap lekat wajah Mysha, lalu ke arah belakang tubuh Mysha.
Mysha mengernyit saat melihat anak di hadapannya menatapnya dengan tatapan aneh.
“Ada apa?” tanya Mysha dan menoleh ke belakang mengikuti arah tatapan anak itu. Tak ada apapun di sana.
Mysha mengembalikan tatapannya.
“Berhati-hatilah! Sesuatu yang jahat tengah mengintai mu.” ucap anak itu datar dan menatap kosong wajah Mysha.
Mysha mengangkat sebelah alisnya. ‘sesuatu yang jahat?’ apa maksudnya?
Tiba-tiba anak itu menghilang bersama dengan asap yang mengikutinya.
Mysha masih bingung dengan ucapan anak tadi. Mysha memutar otaknya agar dapat mengerti maksud perkataan anak tadi. Tapi, tiba-tiba ia di kejutkan oleh seseorang yang memanggil namanya. Suara itu sudah tak asing lagi di telinganya, Dimian.
“Mysha!” panggil Dimian yang menatap lekat wajah Mysha.
Mysha langsung berbalik dan membalas tatapan Dimian yang menatapnya khawatir.
“Dimian?” ucap Mysha pelan.
Tiba-tiba Dimian berlari ke arah Mysha dan memeluknya. Sontak Mysha terkejut dan membulatkan matanya. Dadanya berdegup kencang seperti hendak keluar saat itu juga. Ini kali pertama ia dipeluk oleh seorang laki-laki.
Dimian melepaskan pelukannya dan menatap lekat wajah Mysha. Mysha merasa gugup saat netra coklat tajam itu menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran.
“Mengapa kau tidak pulang semalaman?” tanya Dimian dingin.
“A-aku … Hanya sedang merasa kesal padamu?” ucap Mysha pelan tapi masih bisa terdengar oleh Dimian.
Dimian mengerti dengan perasaan Mysha, seharusnya ia tak mengusir Mysha saat itu. “Maafkan aku.” lirih Dimian. “Tapi, haruskah kau pergi semalaman dan membuatku khawatir, hah?” bentak Dimian.
Deg!
Dimian khawatir kepadanya? Apakah Dimian memiliki perasaan yang berbeda kepada Mysha? Mysha menatap netra coklat itu penuh tanya.
“Ma-maaf,” ucap Mysha sambil menundukkan wajahnya.
Dimian menghela nafasnya sesaat. Pikiran dan hatinya kini mulai tenang, Mysha sudah ada di hadapannya.
“Baiklah, itu tidak penting. Ayo, pulang!” ajak Dimian sambil menarik tangan Mysha.
Mysha terkejut saat Dimian menggenggam tangannya. Mengapa Dimian menjadi sangat perhatian kepadanya?
“Kau pasti lapar,” ucap Dimian sambil menyiapkan bahan-bahan makanan untuk kemudian di masaknya.
“A-aku tidak lapar,” sergah Mysha. Karena memang ia telah makan di apartemen Damian.
Dimian mengangkat sebelah alisnya. Bukankah Mysha tidak makan apa-apa sejak ia pergi?
“Oh, baiklah. Apa kau sudah makan?” tanya Dimian sambil menutup lemari berisi bahan makanan.
Mysha mengangguk.
“Dimana?” Dimian duduk di depan Mysha sambil menyodorkan makanan ringan.
“Di … Apartemen saudara mu,” ucap Mysha pelan dan takut-takut.
Deg!
Dimian membelalakkan matanya saat mendengar kata ‘saudara’. Seketika ingatan di masa lalunya kembali hadir. Rasa sakit, tangisan, cacian, dan yang lainnya kembali hadir dalam ingatannya. Entahlah, padahal kejadian itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Tapi rasanya masih terasa sesak dan sakit.
Mysha mengernyit saat melihat Dimian seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Dimi, are you okay?” tanya Mysha.
Dimian tersentak dan mengembalikan pikirannya. “Ya, a-aku baik.” Bohong Dimian. Sebenarnya dalam hati dan pikirannya masih terputar masa lalu yang menyeramkan baginya.
Mysha menatap ragu Dimian.
“Baiklah, jika kau sudah makan. Aku akan pergi ke kamar ku,” ucap Dimian datar dan berlalu dari hadapan Mysha.
Mysha kembali mengernyit. Mengapa tiba-tiba sikap Dimian berubah begitu saja? Apakah ada sesuatu yang di sembunyikan dari Mysha? Mysha hanya menggeleng pelan dan duduk di atas sofa kesayangannya.
“Kenapa kau kembali lagi ke kehidupan ku? Apa kau tidak puas menyiksa ku?” batin Dimian sambil memandangi sebuah foto yang di dalamnya terdapat 2 orang anak laki-laki tengah tersenyum bahagia.
Flash back on-
“Kak, jangan! Maafkan aku, hiks ….” Dimian kecil terduduk di pojokan kamar sambil memeluk lututnya.
“Kau … Dasar sialan!” pekik Damian sambil membanting sebuah barang ke arah Dimian.
Damian kecil menjadi sangat tempramental setelah di tinggal oleh kedua orang tuanya dalam kecelakaan maut yang melibatkan Dimian dan kedua orang tuanya. Hanya Dimian yang selamat dari kecelakaan itu, sedangkan kedua orang tuanya meninggal.
Damian kecil menangis histeris setibanya pulang dari tempat les bahasa. Untungnya saat itu dia tidak ikut pergi. Ia menggoyang-goyangkan tubuh kedua orang tuanya, berharap keduanya terbangun dan mengatakan sesuatu kepadanya. Tapi sayang, itu tak terjadi.
Kini, tinggalah Damian dan Dimian kecil melangsungkan hidupnya. Mereka tinggal bersama bibinya. Tapi, perlakuan bibinya itu sangat berbeda kepada keduanya. Dimian selalu di perlakukan istimewa karena ia baik dan penurut. Hal itulah yang membuat Damian menyimpan rasa kebencian dan dendam kepada Dimian, adiknya sendiri.
Damian sering berlaku kasar kepada Dimian. Ia selalu menuduh bahwa penyebab kematian kedua orang tuanya adalah Dimian. Damian masih belum menerima kematian orang-orang yang ia sangat cintai dan berharga dalam hidupnya.
“Damian, apa yang kau lakukan?” Tiba-tiba suara pekikan bibi Ellyn menggema di ruangan itu.
Damian menoleh ke arah suara itu. Dan …
Plakkk!!!
Bibi Ellyn menampar pipi Damian kecil dengan keras.
Dimian yang menyaksikan hal itu, sontak membulatkan matanya. Walau bagaimana pun, Damian adalah kakaknya. Ia hanya mempunyai Damian dalam hidupnya.
“Bi, jangan lakukan itu!” ucap Dimian sambil melindungi kakaknya menggunakan tubuh kecilnya.
Damian menatap tajam bibinya dengan mata yang memerah dan basah akibat menahan tangis dan tangannya memegangi pipinya yang memerah.
“Minggir! Apa yang kau lakukan, sialan?” ucap Damian sambil mendorong tubuh Dimian. Alhasil Dimian terjatuh.
Dimian selalu bersikap baik terhadap kakaknya, bahkan ia beribu-ribu kali meminta maaf kepada kakaknya atas meninggalnya kedua orang tuanya. Padahal ia sama sekali tak melakukan apapun dan tak meningkatnya.
Saat kejadian itu, ia sedang tertidur dan terbangun sudah berada di ruangan bernuansa putih dengan luka di bagian kepalanya. Dengan pandangan yang remang-remang, ia melihat kedua orang tuanya tengah di tutupi oleh kain putih. Dimian kecil yang masih polos itu hanya berpikir, “apa yang di lakukan perawat itu?”. Dan tiba-tiba pandangannya kembali gelap.
Ia terbangun saat merasakan sebuah guncangan terhadap tubuhnya.
“Kau … Dasar! Kau yang menyebabkan kedua orang tua ku meninggal, hah!” bentak Damian sambil berurai air mata.
Dimian yang masih setengah sadar itu hanya menatap kakaknya tak mengerti. Ia lalu melihat beberapa orang berusaha menenangkan Damian dan menjauhkannya dari Dimian.
Beberapa detik kemudian, Dimian meneteskan air matanya. Ia mengerti dengan ucapan Damian, kedua orang tuanya telah meninggal. Hati dan perasaannya hancur. Tapi, ia memilih untuk diam dan merasakan hal itu sendirian. Berbeda dengan Damian yang menjadi sangat tempramental.
-Flash back off-
Dimian tersenyum kecut saaat mengingat kejadian itu,, ia kemudian meletakkan kembali foto itu ke dalam sebuah kardus kecil. Lalu ia mengusap wajahnya kasar. Rasa sesak kembali hadir dalam benaknya. Rasa penyesalan itu kembali menyelimuti pikiran dan hatinya.
“Aarrgghh …”
Buk!!! Pyarrr!!
Dimian menghantam kaca dengan menggunakan tangannya. Darah segar keluar dari ujung jari-jari tangannya.
Mysha tersentak saat mendengar suara hantaman benda keras di ruangan Dimian. Pikirannya langsung tertuju kepada Dimian.
“Dimi, kau baik?” Mysha mengetuk-ngetuk pintu kamar Dimian, memastikan Dimian baik-baik saja.
Dimian mendongkak dan menatap bayangan wajahnya di cermin yang kini sudah retak dan ada sedikit bercak darah di sana.
Mysha yang tak mendapatkan jawaban dari Dimian, langsung masuk ke dalam kamar Dimian karena perasaan khawatir yang menggebu. Ia membelalakkan matanya saat melihat darah mengalir dari sela-sela jari Dimian. Dimian tampak tidak baik, dengan rambut yang acak-acakan dan mata yang memerah.
“Dimi, apa yang kau lakukan?” bentak Mysha sambil berjalan ke arah Dimian yang sedang berdiri di depan cermin.
Dimian membalikkan tubuhnya dan terkejut saat Mysha ada di kamarnya.
Mysha lalu meraih tangan kekar Dimian dan melihat luka di tangannya. Ada beberapa serpihan kaca yang tertancap di sana.
“Ya! Kau … Bodoh! Apa yang kau lakukan, hah? Kau ingin membunuh dirimu sendiri?” bentak Mysha dengan perasaan cemas.
Dimian tak menjawab ucapan Mysha dan malah menatap lekat wajah Mysha yang khawatir. Entah kenapa, hatinya sedikit merasa tenang saat Mysha ada di sisinya.
Tanpa berpikir panjang, Mysha pergi mencari kotak P3K. Dan tak butuh lama, ia telah menemukan kotak itu di dalam sebuah lemari kecil di dekat tv. Dengan segera, Mysha mengambil kotak itu dan kembali ke kamar Dimian.
Ia melihat Dimian kini tengah duduk di tepi kasurnya dengan wajah yang menunduk. Mysha lalu duduk di samping Dimian dan meraih tangannya. Sontak Dimian mendongkakkan wajahnya dan menatap Mysha.
Mysha lalu mengobati tangan Dimian yang terluka. Tatapan Dimian tak pernah lepas dari wajah Mysha yang tengah serius mengobati lukanya. Hati dan pikirannya terasa tenang. Entah perasaan ini datangnya dari mana? Bahwa sekarang, Dimian tak dapat lagi mengelak dan membantah bahwa … Dia mencintai Mysha.
Tiba-tiba Dimian menarik tangan Mysha dan …
Cup!
Dimian mencium bibir Mysha lembut dan lama. Sedangkan Mysha terkejut dan membulatkan matanya.
Bersambung…