Mysha tak dapat membendung air matanya lagi. Dirinya benar-benar merasa sedih sekaligus bahagia. Benarkah kedua orang paruh baya di hadapannya ini adalah orang tuanya?
“Mommy, Daddy,” lirih Mysha sambil berusaha mengusap wajah kedua orang tuanya itu.
Dimian tentu merasa iba melihat Mysha seperti itu. Ia kemudian memilih untuk menunduk.
“Anak muda, katakan! Bagaimana kau bisa mengenali anak kami?” tanya Mr. Arnold, ayah Mysha sekaligus pemilik perusahaan Addison corps.
Dimian lalu mendongakkan kepalanya menatap lawan bicaranya itu. Sesaat ia melirik ke arah seorang wanita paruh baya di samping Mr. Arnold, yang ia pikir dia adalah ibunya Mysha.
“D-dia teman ku,” ucap Dimian sambil mengalihkan pandangannya ke arah Mysha yang sedang tertunduk sedih.
Mr. Arnold mengangguk mengerti. “Lalu, kenapa kau sepertinya sangat peduli terhadap Mysha?”
Dimian memutar otaknya, mencari-cari jawaban yang tepat. “A-aku hanya ingin tahu. Aku tertarik dengan kasus itu.”
Mr. Arnold kembali mengangguk-angguk. “Mysha sudah meninggal, kau tak perlu repot-repot untuk mencari tahu kebenaran kasus itu.” ucap Mr. Arnold yang membuat Mysha sontak mendongkak dengan berurai air mata dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mysha di sini, Dad. Jangan katakan itu! Itu membuatku semakin merasa sakit.” lirih Mysha sambil memegangi dadanya.
Dimian ikut merasa sedih saat melihat Mysha tengah menangis. Ingin rasanya ia memeluk Mysha dan menenangkannya.
“Bagaimana kau tahu Mysha sudah meninggal?” tukas Dimian.
Mr. Arnold memutar bola matanya malas. “Bukankah detektif itu telah menjelaskannya padamu?”
“Ya, itu benar. Tetapi apakah kau sudah melihatnya sendiri bagaimana dan dimana mayat Mysha berada?”
Mr. Arnold menatap Dimian tajam. Tapi itu tak membuat Dimian merasa gentar. Karena ia memang mengatakan hal yang benar. Mengapa orang-orang telah menyebutkan bahwa Mysha telah meninggal sedangkan mereka belum melihat mayat Mysha sama sekali.
“Mysha belum meninggal.” tegas Dimian. Entah kenapa, kata-kata itu spontan keluar dari mulut Dimian. Ia merasakan Mysha sebenarnya masih hidup.
Deg!
Sontak kata-kata itu membuat semua orang yang ada di sana terkejut. Bagaimana bisa Dimian mengatakan hal itu tanpa adanya bukti yang jelas? Bahkan, detektif terhebat sekali pun angkat tangan terhadap kasus Mysha.
Mr. Arnold tersenyum remeh. Baginya, Dimian hanya seorang pemuda yang masih labil dan tak tau dunia orang dewasa.
“Sebaiknya kau pulang! Selesaikan saja kuliah mu, lalu kau bisa mengungkap misteri kematian Mysha.” ucap Mr. Arnold.
Dimian merasa tak terima dirinya di remehkan seperti itu.
“Aku akan membuktikan bahwa sebenarnya Mysha masih hidup,” tegas Dimian yang berhasil membuat kedua bola mata Mysha membulat sempurna. Dimian tak akan berhasil dengan kasus itu, bahkan Mysha sendiri pun tak mengetahuinya.
“Silahkan, jika kau berhasil dengan kasus itu, aku akan memberikan perusahaan ku kepada mu atau kau bisa meminta apapun yang kau mau,” ucap Mr. Arnold meremehkan Dimian. Karena ia yakin Dimian tak dapat mengungkap misteri kematian Mysha.
Mysha membulatkan matanya dan menatap ayahnya itu. Mysha tak percaya bahwa ayahnya akan memberikan perusahaannya kepada Dimian jika Dimian berhasil mengungkap misteri kematiannya, semudah itu?
Dimian tampak menimbang-nimbang ucapan Mr. Arnold. Sebenarnya ia pun membutuhkan biaya untuk apartemen, kebutuhan hidup dan kuliahnya. Apakah dia harus menerima tawaran Mr. Arnold?
“Bagaimana?” tanya Mr. Arnold dengan senyum arogannya.
Dimian masih tampak berpikir dengan matang. Kasus kematian Mysha bukanlah kasus yang biasa. Sudah banyak detektif hebat yang mencoba mengungkap kasus itu, namun hasilnya selalu nihil. Dan Dimian? Dia hanya seorang mahasiswa semester akhir dengan kelebihan di matanya. Akankah dia bisa mengungkap misteri itu?
“Baiklah, aku setuju.”
Mysha beralih menatap Dimian tak percaya. Mysha menggigit bibir bawahnya dengan mata yang sudah basah. Mysha pikir Dimian melakukan hal itu karena Dimian mencintainya. Tetapi itu salah, Dimian luluh hanya karena harta yang menurutnya tak berarti apa-apa di bandingkan perasaannya.
Mr. Arnold lalu bersalaman dengan Dimian tanda perjanjian itu di setujui.
***
“Ayo kita mencari tahu kasus kematian mu.” ucap Dimian dengan semangat.
Sontak Mysha menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Dimian.
“Kenapa?” tanya Dimian dengan wajah bertanya-tanya.
“Kau tak perlu mencari tahu tentang kasus kematian ku!” Mysha menatap kosong ke depan.
“Why?” Dimian masih menatap Mysha dengan wajah bingung. “Bukankah alasan mu mendekati ku adalah untuk mencari tahu kasus itu?”
Mysha beralih menatap Dimian sendu. “Tidak perlu! Kau hanya menginginkan harta ayah ku bukan?”
Dimian tersenyum kecil. “Tentu saja, aku membutuhkan biaya untuk kuliah ku dan yang lainnya.”
Mysha semakin merasa kesal kepada Dimian. Tak terasa, bulir air matanya kembali menetes. Hal itu membuat Dimian mengernyit.
“Aku membenci mu, Dimian!” Mysha lalu pergi meninggalkan Dimian dan dengan sekejap Mysha sudah menghilang dari pandangan Dimian.
Dimian semakin mengernyit heran, setelah itu dia mengangkat bahunya cuek dan kembali berjalan.
“Mysha!” panggil seseorang yang tak asing lagi di telinga Mysha.
Sontak Mysha menghentikan langkahnya dan berbalik.
“Damian?” gumam Mysha sambil menyipitkan matanya.
Damian berlari kecil menghampiri Mysha.
“Akhirnya ketemu,” ucap Damian dengan nafas ngos-ngosan.
Mysha mengusap air matanya dan berusaha bersikap seperti biasanya.
“Kenapa?” tanya Mysha.
“Tunggu! Kau menangis?” tanya Damian saat melihat wajah Mysha yang sepertinya tengah tidak dalam keadaan baik.
Mysha tersenyum kaku dan menggeleng. Sungguh, Mysha bukanlah tipe orang yang pandai berakting.
“Kau bohong!” tukas Damian sambil menatap lekat wajah Mysha.
Mysha tertunduk dan kembali menjatuhkan air matanya. Damian lalu memeluk Mysha dengan sayang. Sungguh, Mysha membutuhkan itu saat ini. Mysha menangis tersedu-sedu dalam pelukan Damian. Mengapa hidupnya benar-benar menyedihkan? Mengapa Tuhan terus saja mengujinya? Bahkan, Dimian sekali pun telah menyakiti hatinya.
“Tak apa, menangis saja!” Damian mempererat pelukannya.
Mysha menangis sejadi-jadinya, mengeluarkan segala kesedihan, amarah, penyesalan dalam hidupnya. Sungguh, tak ada yang mengerti perasaannya saat ini.
***
“Kau pasti lelah, minumlah!” Damian memberikan sebotol air mineral.
Mysha lalu meraih botol itu dan meneguknya habis. Secara kasat mata, air itu masih tersisa penuh dalam botol. Tetapi sebenarnya air itu telah habis di minum oleh Mysha.
“Kau bisa bercerita sekarang?” tanya Damian sambil menatap Mysha penasaran.
Sesaat Mysha mengusap sedikit air yang tersisa di ujung bibir. Ia lalu menarik nafasnya panjang dan menggeleng pelan.
“Entahlah, aku rasa kau tak perlu tahu.” Mysha tersenyum manis.
Damian menghela nafasnya panjang. “Ah, baiklah, Aku mengerti. By the way, aku telah mencari mu kemana-mana.”
“Benarkah?” Mysha menatap Damian tak percaya.
“Ya, sepertinya kau membohongi pria ini.” Damian tertawa kecil.
Mysha menggigit bibir bawahnya dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sepertinya ia sudah tertangkap basah.
“Hei, tenanglah! Aku tak apa,” Damian menarik dagu Mysha agar menghadapnya.
Sontak kedua netra mereka bertemu satu sama lain dan saling mengunci. Keduanya hanyut dalam percakapan batin. Entah kenapa, batin Mysha tiba-tiba merasakan hal yang berbeda. Bukan cinta! Tapi sesuatu yang sangat menyakitkan baginya. Tapi apa? Entahlah, Mysha pun tak mengetahuinya.
“Aku tak apa. Tapi, bisakah kau jujur kali ini? Dimana kau tinggal?” ucap Damian lembut dan sedikit ada penekanan.
Mysha mengabaikan batinnya yang masih bertanya-tanya. Apa yang harus ia katakan? Apartemen Dimian? Sepertinya iya, kali ini dia harus berkata jujur.
Damian masih menatap Mysha penuh selidik.
Mysha menelan salivanya sesaat saat melihat mata coklat tajam milik Damian. Dengan sedikit ada rasa ketakutan, Mysha mencoba untuk mengatakannya.
“A-apartemen s-saudara mu,” ucap Mysha pelan.
Sesaat Damian menatap tajam wanita di hadapannya, tapi tiba-tiba ia tersenyum manis.
“Oh, baiklah.” Damian menjauhkan wajahnya dari wajah Mysha dan menyenderkan tubuhnya di bangku itu.
“Tak ada gunanya kau memikirkan sesuatu yang hanya membuatmu sedih.” Damian menatap kosong ke depan.
Mysha beralih menatap Damian bingung.
“Dunia ini luas, Mys. Kau bukan satu-satunya hantu yang bersedih saat ini.” Damian lalu menatap Mysha. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna.
Mysha kembali tertunduk, tak kuasa menatap mata coklat itu. Mata yang hampir sama dengan orang yang sedang ia benci saat ini, Dimian.
“Tak ada gunanya kau menangisi dia terus, sedangkan orang yang kau tangisi saat ini malah tak peduli dengan mu. Bahkan dia sama sekali tak peduli.” Damian tersenyum kecut lalu mengembalikan pandangannya ke depan.
Mysha berpikir keras, mencoba mencerna setiap ucapan Damian yang menurutnya benar.
“Dami?” ucapan Mysha melemah.
“Hmm?” Damian kembali menatap Mysha.
“Bisakah kau membantuku?” Mysha berharap Damian dapat membantunya menyelesaikan kasus kematiannya dan setelah itu, dia bisa pergi ke tempat dimana seharusnya dia berada.
Damian tersenyum tulus. “Tentu, Mys.”
Ah, sungguh. Mysha sangat menyukai senyuman itu. Senyuman yang jarang ia lihat pada wajah seorang Dimian, tapi Mysha dapat melihatnya dalam sosok lain, Damian.
“Apa kau bisa membantuku untuk mencari tahu dimana mayat ku atau tubuh ku berada?” Mysha menatap Damian dengan penuh pengharapan.
Tiba-tiba raut wajah Damian berubah menjadi dingin. Hal itu membuat perasaan Mysha bertanya-tanya. Ada apa dengan Damian? Apakah ucapannya salah?
“Dami … Maaf jika itu merepotkan mu. Aku tak apa, jika kau tak mau membantuku, aku akan mencari lagi orang yang bisa membantu ku.” Mysha putus asa. Lalu hendak pergi meninggalkan Damian.
Tapi tiba-tiba Damian menarik tangan Mysha. Sontak Mysha berbalik dan menatap Damian bingung.
“Aku akan membantumu,” Damian tersenyum tulus dan mengangguk meng-iyakan permintaan Mysha.
Senyum bahagia jelas terukir di bibir manis Mysha. Mysha mengucapkan terima kasih sampai beberapa kali.
“Oh, ya. Apa kau mau tinggal di apartemen ku?” tawar Damian.
Mysha berpikir sejenak. Saat ini dia memang tidak mempunyai tempat tinggal. Apartemen Dimian? Ah, Mysha rasa dia tak akan kembali lagi ke sana.
Mysha mengangguk cepat sambil tersenyum bahagia dan di balas senyuman pula oleh Damian yang juga merasa bahagia.
“Baiklah, ayo pergi. Kau pasti lelah.” Damian mengulurkan tangannya.
Mysha dengan senang hati menerima uluran tangan Damian. Mungkin hari ini dia akan memulai hidup yang baru dari nol.
Bersambung…