Lizia memalingkan wajahnya, tetap mogok bicara dan marah pada Lanon. Dia masih merasa kecewa, kenapa juga Lanon merahasiakannya.
Kenapa harus dirinya yang menderita sendirian.
Heksa mengusap sekilas pipi Lizia lalu tersenyum. “Lanon niatnya baik, udah hampir seminggu, baikan gih..” dia cubit pelan pipinya.
Lizia menatap Heksa, melirik Lanon lalu menggeleng. “Ga mau, masih marah.” balasnya pelan sambil melanjutkan langkahnya dari dapur ke lantai atas— ke kamarnya.
Lanon menghela nafas jengkel, menatap punggung adiknya yang tersayang itu. Dia akan selalu tidak nyaman jika bertengkar dengan Lizia. Kesayangan di keluarganya.
Lanon tidak iri sama sekali soal betapa sangat dimanja Lizia dan dia bagai anak tiri yang selalu menjadi pihak di salahkan.
Lanon tahu, dia laki-laki. Sudah sepantasnya dididik keras. Dia tahu orang tuanya begitu juga tetap sayang, jika sakit mereka sama paniknya seperti pada Lizia.
Lanon juga sadar, dia memang nakal makanya mereka sering memarahinya.
“Baikan, kak.”
“ANJING!” pekik Lanon kaget sambil loncat kecil lalu menoleh pada Abidzar yang langsung memasang tatapan tajam walau senyumnya ramah.
“Apa, kak? Baba mau denger sekali lagi?”
***
Lanon merapihkan beberapa jimat yang jatuh dari tempatnya. Dia melirik Lizia yang membiarkannya begitu saja. Biasanya dia akan memperlakukan mereka semua bagai bayi.
Mentang-mentang ada Heksa. Membuat Lanon kesal saat melihat hantu banyak gaya itu tengah membuka lembar majalah.
“Dek, maaf.”
Lizia tetap memunggunginya, sedang membuka majalah juga.
“Kakak ga kasih tahu karena biar semua fokus ke kamu, kakak ga takut hantu, sedangkan kamu takut. Kamu yang lebih butuh di tanganin,”
Deg!
Lizia jadi terharu mendengarnya.
“Kakak jaga kamu kok, sesekali sih emang tapi jaga kok, bantu juga kalau ada waktu luang. Namanya juga manusia, ga bisa selalu bareng 24 jam..”
Lizia menatap Heksa. Jika dia manusia, mungkin akan sama seperti Lanon. Tidak bisa menjaganya 24 jam.
“Dengerin ga?”
Lizia mengerjap. Sejak kapan dia melamun sambil menikmati wajah tampannya Heksa?
Lizia berdehem. “Iya, denger.” cicitnya.
“Maaf, hm?”
Lizia pun menoleh. “Jangan bohong lagi,” lirihnya lembut, begitu manja.
Suara Lizia memang suara paling lembut yang Lanon dengar.
“Hm, kamu juga. Jangan bohong, bilang kalau dia macem-macem.” sindirnya pada Heksa yang tetap asyik membuka majalah, memilihkan pakaian yang cocok untuk Lizia.
Lizia balas memeluk Lanon. Menikmati kehangatan dan usapan kembarannya itu.
“Heksa pilih apa?” bisiknya pada Lizia.
“Baju buat aku,” jawabnya sambil melepaskan pelukan, membiarkan Lanon mendekati Heksa yang asyik sendiri.
“Ngapain lo?” ketusnya lalu melirik yang sedang Heksa tandai.
Pakaian yang mempertontonkan belahan dada, pokonya pakaian seksi.
“Kurang ajar lo pilihin adik gue itu!” amuknya.
Heksa mengaduh walau berakhir diselipi tawa geli karena berhasil menggoda Lanon si tukang ngamuk.
“Kak soal Gea, dia gimana? Geng itu—”
“Tenang aja, izinin kakak pacaran aja sama dia, semua aman.” potong Lanon dengan senyum buayanya.
“Ga mau!”
“Harus mau, tenang aja, kakak ga gigit kok. Dia aman aja, yakin.”
“Ga mau! Dia temen terbaik aku sekarang,” lirihnya sebal. Suara lembutnya selalu terdengar pelan.
***
Gea menatap laki-laki yang berada di motor besar itu. “Hengky? Ada apa?” tanyanya lalu menoleh kaget saat pinggangnya di belit oleh sosok yang baru datang dari belakang.
“Hai, bro. Gue ambil cewek gue ya, udah sore harus dianterin pulang,” Lanon menatap jam di lengannya.
“Oh, ok.” singkatnya ramah.
Lanon membawa Gea yang berjalan kaku, dia tegang karena pertama kali pinggangnya di sentuh lawan jenis. Begitu geli menggelitik.
“Polos, ramah, dia itu racun.” celetuknya pelan sambil terus menyeret Gea menuju mobilnya.
Gea menatap keringat di tubuh Lanon, dia sepertinya sedang main basket, atau baru selesai? Setelannya juga setelan basket.
Gea terpesona melihatnya. Apa dekat dengan Lizia bisa membuatnya dekat dengan Lanon? Sungguh beruntung.
“Lan!”
Gea tersentak kaget dan berhenti melangkah karena Lanon juga berhenti.
“Wih, cewek baru? Yang kemarin kayaknya bukan ini,”
Lanon berdehem. “Apaan sih lo, sana-sana. Gue cabut, jan lupa tas gue bawa, ntar gue kasih yang lo mau,” ujarnya sambil berlalu.
“Serius? Oke, Lan!”
Gea terdiam, mulai tersadar kalau Lanon itu spesies binatang yaitu buaya!
“Masuk, aku anter.” Lanon tersenyum.
Gea sampai linglung melihat senyum manisnya. Dia menelan ludah dan bagai robot begitu patuh masuk ke dalam mobil.
Lanon melirik Hengky yang kini tidak sendirian, dia bersama temannya yang menggunakan tiga motor besar yang sama, hanya beda warna.
Lanon melihat ada yang tidak beres dengan Hengky. Dia tidak bisa menerawangnya, Hengky sangat beraura gelap walau sosoknya bagai kutu buku yang baik hati, keren dan cukup digilai.
Ternyata dia salah satu anggota geng yang dulunya geng Heksa. Dia orang kiriman itu, kenapa mereka harus kirim mata-mata.
Lanon semakin penasaran, kenapa Heksa menjadi hantu dan apa hubungannya dengan geng, rumah dan lainnya.
Gea melirik Lanon yang diam serius, bahkan terlihat menakutkan auranya. Sungguh tidak ramah.
Cepat sekali mood Lanon berubah. Pikir Gea.
“Kak— maksudnya, Lanon.” Gea jadi terbawa panggilan Lizia, diakan tetap seumuran. “Tadi, itu— eum, kata kamu—”
“Pacaran yuk?”
Gea menganga kaget. “Ha-Hah?” beonya merasa salah dengar.
“Kamu pacar aku mulai hari ini,” Lanon mencubit pipi Gea sekilas lalu fokus ke jalanan lagi.
Gea mengerjap, mematung dengan masih syok. Dia dan Lanon memang cukup dekat semenjak berteman bersama Lizia.
Tapi—
Gea tidak bisa berpikir dan berkata-kata lagi.
***
“Lucu yang ini, cantik.” Heksa menunjuk foto yang Lizia ambil di ponselnya.
Di mata Heksa dan Lizia foto itu jelas berdua. Lucu, konyol dan romantis. Fotonya dan Heksa.
Keduanya tertawa bersama, bersentuhan tanpa ragu lagi. Haha hihi di atas kasur dengan sesekali kadang berciuman.
Lizia sudah benar-benar terbius.
Heksa mengusir dulu hantu, baru kembali ke kamar Lizia. Menindih Lizia yang telungkup bermain ponsel itu.
“Eh, Lanon bawa Gea.” Heksa berbisik lalu mengendus leher Lizia.
“Ke sini? Ngapain?” Lizia hendak menggeliat.
“Ga usah ganggu, biarin mereka PDKT, demi kebaikan Gea. Lanon pasti jagain dia, karena dia temen adiknya.”
Lizia urung menggeliat, dia pun mengangguk. Demi kebaikan Gea. Jika kakaknya itu selingkuh atau menyakiti Gea, Lizia cincang anunya!
“Nenen kamu besar, cantik.” pujinya berbisik serak.
Lizia merasakan jemari yang ditindih tubuhnya mulai meremas-remas.
“Ihh..” Lizia tertawa pelan kegelian saat terus diremas dan lehernya di hisap. Lizia juga bisa merasakan tusukan di sana.
Lizia tertawa pelan, begitu lucu. Lemah lembutnya yang khas. Heksa sungguh jatuh hati.
“Aku mau jadi manusia, aku mau nikahin kamu, Lizia. Aku mau kamu,”
Hening, hanya saling bertatapan hingga… Keduanya berciuman, mulai sama polos lagi dan Lizia kembali dibuat gila lagi.
***
Gea duduk di pinggiran kasur Lanon. Di rumah ini tidak ada orang tua Lanon, ingin ke Lizia tapi pesan dan panggilannya tidak di jawab.
Lizia memang tengah sibuk. Sibuk mendesah nakal. Lizia sudah mulai nakal tanpa sepengetahuan orang.
Gea melirik gugup Lanon yang memakai kaos di depannya. Ngocoks.com
“Udah makan belum?” Lanon kembali sibuk meraih dan menyimpan ini itu.
“Be-belum.”
“Mau pesen apa?” Lanon meraih ponsel lalu duduk di samping Gea.
Gea semakin kaku. Dia berada di kamar laki-laki pecinta basket, berduaan. Gea takut tergoda karena tampangnya.
Yang dia takutkan bukan Lanon lagi, tapi dirinya sendiri.
“Mau pesen apa, hm?” Lanon bertanya lembut sampai Gea meleleh di tempat. Pantes buaya.
“Apa aja,” cicitnya.
Lanon merapatkan duduknya, dia ingin Gea memilihnya bersama. Walau nyatanya Gea malah asyik menatap tampannya Lanon.
“Mau aku cium?” Lanon menoleh, menatap Gea yang melotot kaget. “Kalau belum mau, liatnya ke sini dulu.”
Gea masih kaku, dia begitu berdebar lalu terpejam sekilas saat bibirnya di kecup sangat ringan.
“Kita resmi jadian,” lalu tersenyum. “Jadi pesen apa?”
Gea semakin kaku, membuat Lanon tertawa pelan cukup gemas.
Bersambung…