Lizia kembali demam karena gilanya hari ini dengan Heksa. Yang terjadi saat itu kembali terulang.
Lizia terlalu menghayati. Terlalu membiarkan Heksa mengulangnya lagi. Rasanya dia sungguh terbius.
Dia terhasut oleh bisikan Heksa. Dia hilang akal saking menggiurkannya rasa yang diberikan Heksa.
Ide jelas membanjiri otak.
Lizia menggeliat dari pelukan Heksa. Sudah tahu demamnya akibat bersentuhan lama dengan Heksa, malah di peluk terus.
Lizia menyentuh keningnya yang semakin panas, tubuhnya juga lemas.
Heksa sontak ikut bangun, dia meraih semua pakaiannya dan Lizia.
“Kamu belum pake apapun,”
Lizia menatap tubuhnya kaget, sampai tidak terasa. Heksa membantunya walau Lizia sempat menolak, Heksa tetap memaksanya.
Heksa menatap wajah sayu Lizia. Dia mencoba sedikit demi sedikit menyembuhkan Lizia. Besok pasti sembuh.
Lizia urung untuk menulis. Maaf aku ga bisa update hari ini. Batinnya merasa sedih karena banyak pembaca yang menunggunya.
Lizia memilih tidur. Membiarkan Heksa mengobatinya, entah bagaimana. Lizia yang merasa tubuhnya perlahan ringan.
“Wah, gue jago juga sekarang. Berkat diajarin si babeh waktu sadar jadi hantu,” gumam Heksa.
Si babeh itu juga hantu bukan manusia.
Heksa menoleh pada jendela. Ada sosok perempuan berwajah rata, rambutnya gimbal, melayang-layang.
“Ck! Ganggu!” kesal Heksa lalu menghilang dan berpindah ikut melayang, bahkan menjambak rambutnya lalu menariknya jauh sampai trauma kembali lagi.
“Wah, bawa temen ya lo!” Heksa meninggalkannya lalu menjambak satunya lagi.
“Aww.. Aww.. Abang jahat,” lalu cekikikan khasnya.
“Pergi!” usirnya pada keduanya dengan jengkel. “Kalian lesbi? Ngapain tertarik ke cewek gue! Cari cowok sana, kakaknya kek!” oceh Heksa lalu menghilang dan kembali ke kamar Lizia.
Heksa menyelimutinya, dia akan menjaganya dari luar. Lizia butuh istirahat. Makanya Heksa menjaganya dari hantu lain dengan ketat agar besok sembuh.
***
Lanon tersentak kaget, bahkan Gea pun sampai sumpitnya terlempar. Lanon menatap kesal gangguan di jendelanya itu, sedangkan Gea kaget biasa, menganggap angin menghantam jendela.
Padahal ada sosok perempuan yang di usir Heksa tengah nemplok cantik dengan wajahnya yang buruk rupa.
“Ck! Hantu jelek!” gumam Lanon seraya beranjak.
Gea membeku. Hantu jelek? Kakak Lizia juga bisa lihat hantu?
Gea menelan ludah lalu terbatuk-batuk saat sadar di dalam mulutnya masih ada makanan yang sedang dia kunyah.
Gea tersedak sampai wajahnya memerah. Dia meneguk air dengan melirik menatap Lanon yang hanya berdiri dengan jendela kini terbuka.
“Yaelah, bang.. Di sana diusir, disini juga!” lalu tertawa khasnya.
“Benerin dulu muka lo, sisir rambut lo, baru ke sini. Sana-sana!” ujar Lanon lewat batinnya.
Lanon menutup jendelanya. “Angin ternyata, kenapa sampe batuk?” ujarnya begitu perhatian, suaranya lembut.
Gea kembali dibuat meleleh. Pantas banyak perempuan yang baper. Senyumnya manis, suaranya lembut, perhatian, peka, pokoknya impian para gadis.
Walau minusnya nakal, suka tawuran dan balap liar.
“Ekhem.. Ga papa.” balasnya dengan berusaha menahan batuk. Dia kembali minum, walau tenggorokan rasanya panas bahkan kedua matanya berair.
Mienya terlalu pedas.
“Kak.. Maksudnya Lanon, kenapa bawa aku ke sini?” Gea lega akhirnya bisa lancar menyuarakan pertanyaannya.
“Emang ga boleh bawa pacar?” lalu tersenyum.
Gea sontak merona. Jika begini terus, Gea yakin. Dia juga akan menjadi salah satu korban Lanon.
Gea jadi tidak bisa berkutik. Menolak apalagi karena pada dasarnya dia sangat mau Lanon. Apalagi dia dikecup di bibir.
Gea ingin ngereog rasanya. Dia ingin cepat pulang dan menjerit di kamarnya, menggigit bantal atau menendang angin dengan bahagia.
“Makan lagi,” Lanon meraih sumpit Gea, menyimpannya di telapak tangan Gea. “Lembutnya tangan pacar aku,” lalu tersenyum.
Astaga.. Gea tidak bisa berkata-kata.
“Lizia kayaknya tidur, mau langsung pulang?” padahal Lanon belum siap saja Lizia tahu temannya sudah berada di genggamannya.
***
“Nimas, Gea ngapain?” heran Sion sambil menunjukan grup yang berisi mereka. “Dia ngetik ga jelas, apa lagi dalam keadaan terancam?” cemasnya.
Nimas menautkan alis, dengan serius membaca tulisan random yang dikirim Gea. “Salah makan apa gimana? Ga jelas.” gumamnya lalu mendial nomor Gea.
“Hal—”
“Iya, sekarang pulang. Udah dulu ya?”
Nimas dan Sion bertatapan.
“Apa dia lagi ketemuan?”
“Sama cowok?” seru Nimas menambahi. “Tapi ga mungkin ga ajak kita, dari dulu kita selalu ikut,” lanjutnya.
“Udahlah, lanjut aja pilih-pilih kamera, gue mau cepet-cepet youtube kita rame. Kita rencanain tempat lagi, kita bikin jadwal ngumpul minggu depan,” putus Sion.
Nimas mengangguk. “Gue juga ga sabar. Ga nyangka dan beruntung bisa kenal Lizia.” balasnya senang.
“Kita masih perlu banyak pikirin banyak hal, terutama harus punya guru spiritual yang bisa jaga kita, Lizia juga bisa tapi tetep aja kita butuh, kalau ada apa-apa biar disembuhinnya gampang,”
Keduanya berbincang sambil memilih beberapa kamera dan lainnya.
“Soal kak Heksa, gue masih penasaran,”
“Kita harus bantu dia,”
Tak lama Gea menelpon keduanya. Meminta di jemput. Gea terlihat berbunga-bunga membuat keduanya bertanya-tanya.
“Lanon pacar aku,” cicitnya tersipu.
“Halu!”
“Ck! Orang beneran!”
“Serius? Jangan dulu seneng, dia itu buaya. Siapa tahu lo daging ayam selanjutnya yang jadi korban,” ujar Nimas yang di angguki Sion.
Gea sontak berubah gelisah.
***
Lizia sudah tidak kuat, dia nemplok di dinding dengan terus mendesah. Bahkam kesakitan karena rasanya baru.
Heksa terlalu kasar namun anehnya nikmat. Miliknya masuk begitu dalam, menghantam keras ke titik terujung..
“Ah..” desahan Lizia terus mengisi kekosongan, suara tabrakan antar kulit memanaskan suasana.
Heksa jilat lengan bahkan ketiaknya tanpa jijik, dia kecupi pinggiran dadanya dan menghisapnya kuat, mengulum puncak pinknya.
Lizia pun berhenti menulis padahal baru beberapa puluh kata. Perasaannya tidak enak, begitu tiba-tiba.
“Kak Heksa, apa Lanon di rumah?”
Heksa menutup majalah pakaian Lizia. Dia beranjak mendekati Lizia yang duduk gelisah. Heksa mulai mencoba mencari keberadaan Lanon lewat penerawangannya.
“Ga ada.”
Lizia menutup laptopnya. Perasaannya tidak enak. “Aku harus terawang kakak—”
“Jangan, aku aja.” Heksa menghilang secepat kilat.
Lizia memilih keluar dari kamar, menuju Celine yang tengah menonton televisi bersama Abidzar. Bagai remaja di mabuk cinta.
“Baba, mama.” panik Lizia. “Kak Lanon mana?” tanyanya.
“Hm? Katanya keluar sebentar, ngumpul sama temen-temen.” Celine jadi ikut cemas. “Ada apa? Kamu liat sesuatu?” tanyanya.
“Engga tahu, ga enak aja.” Lizia menunggu Heksa.
“Gimana, Kak Heksa?”
Heksa? Siapa Heksa?
Abidzar dan Celine menatap Lizia yang tengah berbincang sendirian itu. Mereka selalu tidak bisa percaya dengan apa yang terjadi pada Lizia. Lizia yang spesial. Ngocoks.com
“Dia di keroyok, udah ada polisi. Tenang aja, ke rumah sakit Harapan,”
Mereka pun pergi.
Heksa menemani Lizia yang menangis di pelukan Abidzar. Bibir Heksa tersenyum, dia ikut membelai kepala Lizia.
Gadisnya itu sungguh lahir di keluarga yang sempurna.
“Katanya karena guna-guna,”
Heksa menoleh pada dua perawat yang melintas di belakangnya, hilang di belokan.
“Kasian dek Heksa, dokter Helena kayak mau nyerah,”
Heksa merasa tertarik dan penasaran. Apa namanya sama atau memang dirinya.
“Kita ikutin,”
Heksa menatap kaget Lanon yang menyeretnya.
“Loh, lo MATI?!” kaget Heksa yang langsung kena tinjuan karena berujar sembarangan.
“Aishh.. Sialan,” gumamnya sambil merasakan pipinya sakit.
“Tubuh gue lagi sakit, mending mereka anggap gue tidur,”
Lizia menoleh menatap kepergian Heksa dan kembarannya. Dia bernafas lega. Dokter juga menjelaskan kalau Lanon sedang tidur.
Bersambung…