Keduanya bersandar sambil mendengarkan celotehan dua perawat itu. Terkhusus Heksa yang begitu serius tanpa peduli dengan celotehan Lanon.
“Jadwalnya jadi ketat, mungkin dengan dia kerja bisa ngobatin bebannya,”
“Anaknya masuk geng, nakalkan dia..”
“Iya, nakal. Semasa sadarnya juga bikin Helena kesulitan, tapi ya namanya juga ibu. Seburuk apapun kayaknya akan terus menganggap anak, buktinya dokter Helena sekarang terpuruk soal anaknya yang ga kunjung pulang,”
“Untungnya suami dokter Helena selalu baik, dia selalu jemput, nemenin kalau terpuruk,”
“Kamu kok tahu betul ceritanya?”
“Tahu dari mba Hilna, dia perawat deketnya dokter Helena, dia sepupu aku,”
Heksa diam merenung. Dia merasa aneh dengan ingatan yang hinggap dijiwanya. Apa sungguh itu ingatannya?
Ingatan betapa hancur keluarganya sampai Heksa enggan untuk kembali menjadi manusia. Dia nyaman menjadi hantu. Tapi, jika begitu kenapa ingatannya harus hilang dulu?
Heksa masih merasa ada yang aneh. Semua kunci ada pada nenek sihir yang cukup sulit ditaklukan.
Apa benar dirinya diguna-guna?
“Dokter Helena yang mana ya?”
Heksa tersadar dari pemikirannya. “Mana gue tahu. Mungkin aja—”
“Coba dulu, gue mau lo cepet jadi manusia biar ga sembarangan sentuh adik gue!” oceh Lanon sambil mulai mencari tanpa peduli Heksa lagi.
Heksa pun memilih menerawang, namun tidak bisa. Keanehan lagi. Dia pun terpaksa mengikuti Lanon.
“Selamat siang, dokter Helena.”
Langkah Lanon dan Heksa sontak terhenti. Keduanya tersentak senang. Akhirnya bertemu dengan mudahnya.
“Bagaimana keadaan pasien Lanon?”
“Hanya tidur, dok.”
Helena mangut-mangut. “Dia anak dari salah satu rekan kerja suamiku, mereka orang-orang baik,” ungkapnya. “Jadi kangen, Heksa.” lanjutnya lalu menghela nafas panjang.
“Sabar ya, dok.”
“Udah coba ke orang pintar dari yang jauh sampai deket, mereka ga ada yang sanggup. Katanya Heksa ga bisa pulang, ga mau pulang,” Helena terlihat berkaca-kaca.
Heksa menelan ludah. Apa sungguh itu dirinya? Jantungnya berdebar hebat.
“Gue yakin, dia ibu lo.” Lanon terlihat serius. Dia sudah masuk ke dalam kenangan Helena dan memang Heksa yang bersamanya yang ada didalamnya.
Heksa hanya diam, dia tidak tahu harus apa.
Lanon menatap Heksa serius. “Masalah ada di lo sekarang.” ujarnya.
***
Lizia menatap Lanon yang sedang makan, sudah bangun. Lizia melirik Heksa yang begitu pendiam.
Heksa beranjak, menghempas hantu tanpa kepala itu agar menjauh dari ruangan Lanon lalu duduk lagi dan diam.
Lizia sungguh penasaran, apa yang terjadi? Kembarannya juga bertingkah aneh dengan diam saja. Biasanya sangat bawel jika bersama keluarga.
Lizia memilih nekad dengan menerawang. Dia terpejam dan fokus hingga darah segar mengalir deras dari hidungnya.
“Ck! Ma, Baba.. Lizia mimisan,” tatapan Lanon menajam menatap Lizia yang dia tahu, pasti begitu karena mencoba menerawang.
Suster yang menemani Helena sontak membantu menanganinya, sedangkan Helena mulai memeriksa Lanon.
“Bagaimana sekarang?” tanyanya sambil memeriksa denyut jantung Lanon.
“Baik, dok. Heksa bagaimana keadaannya? Apa aku boleh tahu dia ada di mana?”
Helena membeku, Heksa yang tengah menatap Lizia cemas pun menoleh kaget. Lanon memang sat set sat set.
“Kamu—”
“Heksa, ada apa dengan Heksa?” Abidzar hanya tahu rekannya dalam bisnis pertanian itu memiliki anak. “Kamu kenal?” tanyanya.
Tapi tunggu, Heksa?
Abidzar merasa tidak asing. Dimana dia mendengarnya.
“Boleh aku tahu?” Lanon menatap Helena, kedua matanya merah menahan air mata kerinduan.
“Hm, boleh. Dia lagi di rawat di rumah,”
“Rumah yang besar dengan tujuh pilar?”
“Kamu tahu?” kaget Helena. “Apa kamu teman, Heksa?”
“Bisa dibilang gitu, dok.” Lanon melirik Heksa malas. Tapi ya sudahlah. “Cuma mau kasih saran, jangan terus rawat Heksa di sana. Heksa pasti sembuh, tolong pindahin dia, dok.”
“Lanon, kamu ngawur soal apa sih, nak?” Celine kebingungan dibuatnya.
“Kak Lanon sama kayak aku, ma, ba. Dia bohong selama ini, dia bisa liat hantu dan lainnya.” jelas Lizia dengan sebelah hidung disumbat kapas.
Lanon melempar cengiran. “Ada alasannya kok, biar mama, baba, fokus ke Lizia.” ungkapnya.
Celine dibuat cemas. Bagaimana bisa Lanon berjuang sendirian? Apa sesakti itu turunan yang diberikan oleh keluarga terdahulu?
“Aku ga papa,”
“Jadi, kamu memiliki hal yang spesial?” Helena berdebar.
“Bisa dibilang begitu, dok.” lalu tersenyum genit.
Heksa mendengus ingin meninjunya. Tapi, apakah dia sungguh ibunya?
“Rumah dokter gelap banget, lebih baik pindah, dok. Heksa kesulitan buat pulang,”
Helena menyeka air matanya yang akan jatuh.
“Dia ada di sini, selama ini Heksa terjebak di sekolah, memakai seragam lama dari sekolah yang sekarang jadi tempat aku dan kembaranku sekolah.” jelasnya.
“He-Heksa di sini?” dokter Helena ingin tidak percaya tapi kenapa rasanya ucapan anak remaja itu benar adanya.
“Dia masih kebingungan. Ingatannya belum pulih, semoga dokter mau denger saranku, untuk pindahin Heksa, dan satu lagi, izinin kita ketemu ya, dok.”
***
Gea menatap ponselnya. Tidak ada pesan dari Lanon. Apakah buaya satu itu sudah memiliki mangsa lain? Apa dengannya sungguh hanya main-main?
“Pulang naik taksi aja,” Gea menatap satu motor yang tidak asing. “Hengky?” gumamnya.
“Hai, Ge..” sapanya setelah membuka kaca helm. “Ngapain?” tanyanya.
Gea urung mencari taksi. Dia akan selalu mengingat apa yang Lanon bilang padanya. Soal jangan dekat atau berurusan dengan Hengky.
Dia salah satu mata-mata geng.
“Lagi nunggu jemputan, Lanon.” Gea mencoba biasa saja, tersenyum ramah dan untungnya dia kembali mendengarkan Lanon untuk selalu berada di tempat ramai.
“Lanon siapanya—”
“Pacar, dia pacar aku.” potongnya agar segera cepat dia pergi.
“Dia buaya—”
“Dia jadi kadal kalau sama aku,” potong Gea asal ceplos. Sungguh ingin Hengky pergi.
“Hahaha, dasar. Yaudah, aku pergi kalau kamu ga mau nebeng.”
Gea tersenyum saja sambil mengangguk dan lalu menghela nafas lega. Hingga panggilan muncul dari Lanon.
Panjang umur.
“Ha—”
“Sini pacar, ke rumah sakit Harapan. Aku di rawat,”
“APA?!” Gea segera menghentikan taksi untuk meluncur ke rumah sakit.
Lanon tersenyum samar. Untung saja saat itu Gea ketiduran di kamarnya.
Lanon membuka dua kancing seragam paling bawah Gea. Perut mulus putihnya terpangpang.
Dia menghisap daging dekat pusar Gea. Menandai Gea menggunakan hal mistis agar jika ada rasa takut dari Gea, dia akan tahu apa yang terjadi dan dimana posisinya.
Lanon menjilat bekasnya. Dia melirik Gea yang pulas. Dia kancingkan lagi.
“Cakepnya cewek dadakan gue.” gumam Lanon.
***
“Aku takut, aku mau Lanon atau Lizia ga berurusan sama hal tak kasat mata.” Celine begitu cemas. Dia sungguh trauma. Ngocoks.com
Abidzar memeluknya, mengusapnya untuk menenangkannya. “Anak kita anak baik, mereka ga akan bisa diem aja kalau memang mereka bisa bantu, sayang.”
“Mereka kayak kamu! Tapi tetep aja! Yang mereka urus itu dunia lain yang bisa aja sakitin mereka lagi,” Celine menangis tak tenang.
“Kita berdoa aja, hm?”
Abidzar kecupi wajah basah Celine. Mereka memang sudah tidak muda, tapi terlihat masih segar.
Keduanya berakhir bermesraan. Abidzar membujuk dengan hal yang sangat disukai Celine.
Di satu sisi Abidzar pun khawatir. Dia akan meminta bantuan pada guru spiritual mereka. Tanpa Celine tahu.
Abidzar hanya tidak ingin Celine banyak berpikiran buruk jika saja gurunya menjelaskan yang bisa saja Lanon atau Lizia dalam bahaya.
Abidzar membiarkan lehernya digigit vampire tercantik di hidupnya.
Bersambung…