Lizia senang, dia dan kakaknya akan bisa membantu Heksa. Tapi, entah kenapa perasaannya selalu tidak enak.
Lizia tersenyum pada Heksa yang mengusap kepalanya.
“Apa aku ga usah kembali aja?” lirihnya sendu. “Aku ga akan bisa sentuh kamu sesuka hati, nanti susah kalau kangen.” keluhnya bagai bocah.
Lizia melotot samar. “Ih! Kok gitu, aku ga mau sama hantu.” lirihnya. “Kamu lupa? Aku demam kalau pelukan lama, apalagi kalau—” Lizia tidak melanjutkan suara lembutnya.
“Kalau apa?” Goda Heksa sambil memepet Lizia. “Apa, cantik? Kalau aku jilat kamu sebadan-badan?” bisiknya usil di depan wajah Lizia yang merona.
“Ih! Kamu ke sana terus!” Lizia mendorong pelan wajah Heksa dengan tersipu.
“Ya udah, ke sini aja.” Heksa menyentuh dalam rok Lizia.
Keduanya sontak bertengkar manis, tertawa bersama lalu berpelukan. Lizia senang namun tetap cemas tanpa alasan.
“Aku mau jaga kamu, mau nikah sama kamu,” bisik Heksa terdengar tulus dan bersungguh-sungguh. “Aku harus jadi manusia kayaknya, aku akan berjuang. Tunggu aku ya,” bisiknya.
Lizia tersipu lalu mengangguk. Lulus sekolah nikah muda? Eum, boleh sih. Lizia entah kenapa mau jika itu Heksa.
Lizia merasa dirinya sudah gila.
“Cium dulu,”
“Ti-tiba-tiba?” Lizia pun terpejam dan pasrah saja.
***
“Gea pacaran sama kakak?” Lizia menatap Lanon penuh selidik. “Gea baik, kak. Dia satu-satunya temen aku,” lirihnya.
“Emang kakak sakitin dia? Engga loh,” Lanon merangkul Lizia lalu menatap Heksa. “Apa? Ga usah rangul-rangkul, cuma gue yang boleh!” tegasnya.
Heksa hanya berdecih malas. Tidak tahu saja jika berdua mereka sudah sangat jauh dari batas seharusnya.
Lizia mengabaikan Lanon dan Heksa. Tatapannya berfokus pada sosok hitam bermata merah yang mengintip itu.
“Kak.. Itu—”
Heksa dan Lanon langsung menuju kearah makhluk itu berada. Senyum miring terbit di bibir keduanya.
“Mau cari gara-gara ternyata,” ujar Lanon sambil melepaskan rangkulannya dari Lizia.
Lanon dan Heksa saling mengkode lewat tatapan lalu mulai mengejarnya yang menghilang, jelas hanya Heksa yang bisa menyusul makhluk itu.
Lanon mencoba membantunya lewat mengirim energi pada Heksa.
Lizia sibuk menerawang dan berusaha menghentikan pendarahan di hidungnya. Dia tidak berenti walau merintih merasakan sakit di kepalanya.
Lizia merasa ada yang tidak beres dengan Helena juga. Entah kenapa Lizia merasa ada bisikan bahwa Helena juga yang menghalangi Heksa untuk pulang ke raganya.
Lizia terengah, terus mencoba menerawang keras tanpa peduli dengan darah yang mengalir dari hidungnya.
Lizia merintih sakit, hingga pada akhirnya jatuh pingsan.
***
“Siapa yang suruh nerawang sejauh itu?! Kamu mau mati?” amuk Lanon pertama kali membentaknya cukup kasar.
Lizia terpejam lemas. Dia jatuh sakit karena terlalu mengorek masa lalu sejauh itu.
“Kamu pikir aku seneng bisa balik ke raga aku walau ngorbanin kamu?” kini Heksa yang ngamuk. “Kamu pikir aku seneng kalau aku jadi manusia dan kamu jadi hantu?” ocehnya.
Keduanya jadi terlihat mirip jika sedang ngamuk begitu.
“Ada apa?” Celine menyimpan tasnya, tergesa menghampiri Lizia yang rebahan di kasur. Celine terlihat cemas.
“Dia— ga makan, ma. Bandel,” bohong Lanon demi kebaikan. Dia tidak ingin Celine cemas karena masalah permistisan.
“Bukannya mama udah siapin makan? Kamu tinggal angetin,” omel Celine dengan tetap perhatian.
“Emang bandel aja,”
“Kamu yang bandel, kenapa ga angetin terus paksa adiknya buat makan,”
“Loh, malah aku yang di marahin,” keluh Lanon yang sama sekali tidak marah, hanya pura-pura kesal.
“Mau baba panggilin dokter ke sini?” Abidzar mendekat dan duduk di pinggiran kasur Lizia.
“Ga usah, ba, ma. Ditidurin aja udah cukup,”
“Oke, aku tidurin ya, sayang.” suara yang terdengar oleh Lanon dan Lizia itu mengudara. Membuat Lizia merona samar.
Dan
BUGH!
Heksa terpental oleh tenaga dalam Lanon lalu meringis kesakitan. Punggungnya menghantam lantai.
Lizia tersentak samar dan mencoba biasa saja, mendengarkan perhatian dari Celine dan Abidzar.
“Gue pites pen*s lo kalau berani jauh sentuh adik gue!” ancam Lanon lewat batinnya.
“Dasar kakak ipar, galak.”
Lanon semakin melotot tidak suka. Apa katanya tadi, kakak ipar?
***
“Emh..” Lizia melenguh merasakan lehernya dikecup dan dijilati Heksa. Jemarinya juga menari di setiap sisi pinggangnya, mengusap dengan begitu lembut menggelitik.
Heksa turunkan celana dalamnya membuat Lizia tidak memakai apapun lagi. Jemari besar dari lengan berurat itu mulai mengusap paha dalam, melebarkan kaki lalu meraba pusatnya.
Heksa tidak melepaskan kecupan di leher Lizia yang wanginya membuat Heksa gila, ingin terus mengendusnya.
“Ahh..” Lizia merem melek merasakan satu jari masuk. “Ahh..” lenguhnya lembut, kini jari kedua yang masuk, memutar dan mulai mengocok perlahan.
“Eng.. Ah.. Heuk..” Lizia gelisah tak karuan saat kocokannya kian cepat. Rasanya dia akan segera sampai.
Di tambah ciuman Heksa dari leher berpindah ke puncak dadanya, menghisap kuat keduanya bergantian.
“Ah.. Ahh.. Udah,” Lizia meliuk lembut lalu bergetar halus merasakan pelepasannya dan melenguh saat jemari itu terlepas.
Heksa meremas kedua bukitnya, terus menghisapnya tanpa peduli cairan dari jemarinya berpindah ke dada Lizia.
Heksa hisap, jilat semuanya bahkan kini berpindah untuk menghisap madu di bawah sana.
“Shh.. Ohh..” Lizia meliuk gelisah, meremas dadanya sendiri dengan begitu panasnya.
Mulut Heksa menari di bawah sana, membuat Lizia gelisah dan menggeliat tak tahan dengan aktifnya mulut
“Jadi mau coba, Cantik.”
Lizia menoleh pada Heksa, sudah tidak kaget lagi jika Heksa mengintip. Ngocoks.com
“Mau coba dong,” bujuk Heksa sambil membelit Lizia dari belakang dan meremas dadanya dari luar pakaian.
Lizia menggeliat, terlihat malu-malu tapi mau. “Kak Heksa,” lirihnya gelisah saat dadanya terus diremas-remas dan lehernya diendus geli.
“Nulisnya lanjut nanti,” Heksa memposisikan diri bersimpuh di dalam meja belajar Lizia, melebarkan kaki Lizia.
Lizia terengah samar melihat posisi panas itu. Harusnya dia mulai mempersiapkan untuk ujian semester, malah melakukan hal gila.
Setelah 17 tahun lebih, Lizia merasa dia semakin mesum. Memang alangkah bagusnya nikah muda saja.
Lizia tidak ingin melakukan kesalahan lebih berat lagi. Cukup dengan hantu Heksa dia begini.
Lizia memilih mengetik sambil mendesah halus, merasakan mulut Heksa mulai jauh.
Bersambung…