Heksa menatap Lizia yang menggeliat, membuka matanya perlahan. Terdiam mengumpulkan nyawa lalu tersenyum tipis, tersipu cantik. Muka bantalnya begitu menggemaskan.
“Putri malu,” bisik Heksa sambil mengecup keningnya sekilas dengan gemas.
Lizia menatap Heksa yang jelas tidak akan tidur, dia hantu. Jika pun tidur, paling hanya tidur ayam.
“Kita berangkat siang ini,” Lizia tersenyum sambil mengamati wajah Heksa. Tampan sekali. “Kamu seneng?” tanyanya pelan.
Heksa mengangguk. “Seneng, karena kamu seneng.” godanya lalu mencolek hidung Lizia dan beranjak setelahnya.
Heksa membuka tirai kamar Lizia. Matahari mulai mengintip. Heksa berdebar, apa yang akan terjadi ke depannya?
Kenapa bisa Lanon curiga dengan yang katanya ibunya itu. Heksa menjadi aneh saat ini. Ingatannya begitu berantakan. Sampai kesulitan merangkainya.
Heksa terpejam sekilas, menahan sakit di kepalanya. Dia menutupi semua itu dari Lizia.
“Bangun cantiknya aku, jangan males. Kecuali kalau kamu mau demam lagi,” Heksa berdiri di samping Lizia.
Dengan usil Heksa meraih jemari Lizia, meletakannya di pusatnya. Lizia melotot dan seketika merona. Tapi, tidak menarik jemarinya.
“Nakal.” kekeh Heksa geli.
Lizia tersipu lucu. Dasar pemalu. Tapi entah kenapa, Lizia kini malah terlihat seperti remaja kasmaran.
***
Heksa menatap kaki jenjang Lizia. Indah sekali kaki yang selalu dia jilati dan kecupi itu. Hari ini Lizia cantik dengan kaos crop top dan rok jeans di atas lutut.
Lizia meraih tas selempangnya, memakainya, mengisinya dengan beberapa keperluan bahkan beberapa bahan pengusir hantu.
“Bawa secukupnya. Ada aku sama Lanon, ga usah khawatir.” Heksa mengacak pelan rambut Lizia lalu tersenyum manis.
“Iya.” Lizia berhenti memasukan barang. Dia meraih ponsel, dompet barulah dia turun ke bawah.
Di sana sudah ada Sion dan Nimas.
“Gea mana?” tanya pelan Lizia.
“Kak— maksudnya, Lanon yang jemput.” jawab Nimas.
Celine dengan riang gembira menyuguhkan beberapa cemilan. “Loh, anaknya mama udah turun, coba cek dulu suhu tubuhnya.” dia sentuh kening anaknya.
“Udah engga, ma.” Lizia tersenyum.
“Iya, udah sembuh.” Celine kecup gemas pipi Lizia. “Mama seneng kamu berubah,” bisiknya dengan tulus.
“Mama seneng kamu jadi banyak teman,” tambah Celine dengan berbisik.
Lizia tersenyum semakin lebar.
“Ayo, dimakan ga usah sungkan. Anggap rumah sendiri, makasih udah mau jadi temennya Lizia,” haru Celine.
“Lizia baik, tan. Dia keren,” seru Sion dengan mengacungi dua jempol baru mulai memakan cemilan.
Heksa menatapnya sinis. Ada rasa cemburu menyeruak mendengar pujian dari laki-laki lain untuk Lizianya.
Sion menelan kunyahannya lalu celingukan. Kenapa rasanya dia sedang ditatap sesuatu yang menyeramkan.
Dekat dengan Lizia memang rasanya dia jadi sensitif walau tidak bisa melihat secara jelas sosok hantu.
“Apa mama boleh tahu? Kenapa kalian ramai-ramai mau ke desa?” Celine mematap ketiganya.
Lizia terlihat gugup.
“Itu, tan. Kita teh mau liburan singkat aja. Mumet, katanya banyak sawah, udaranya sejuk. Sambil belajar buat ujian semester kayaknya enak.” jelas Nimas.
“Oh iya.. Tante udah siapin tempat di sana, kalian pasti betah. Dan satu lagi, Lanon sama Gea. Tante denger mereka pacaran?” selidiknya.
Nimas Melirik Sion, keduanya melirik Lizia yang gugup lucu sampai berhenti mengunyah dan mulai panik.
Apa Celine melarang pacaran? Selama ini Lanon memang buaya tapi tidak pernah sekali pun mengenalkan perempuannya pada orang tua dan Lizia.
Lanon sungguh hanya bermain, jalan dan sudah sebatas itu lalu mereka mulai drama tidak ingin di tinggalkan karena jika tidak ada Lanon, tidak akan ada yang mentraktirnya belanja atau makan dengan royal.
“Kak Lanon—”
“Mobil udah siap.”
Lizia, Sion, dan Nimas menoleh dan merasa lega. Akhirnya ada penyelamat. Lizia takut salah jawab.
“Siang, tante.” Gea tersenyum ramah. Manis sekali, terlihat lugu.
Celine menatapnya lekat dengan senyuman sama ramahnya. Ternyata begini selera Lanon? Astaga, kenapa anaknya itu cepat sekali besar.
“Kalau Lanon nakal, berani remas-remas, bilang ke tante biar disunat lagi,”
Gea, Nimas, Sion, saling lirik dan tertawa canggung. Gea merasa wajahnya sangat panas sekali.
“Remas sekali boleh dong, ma. Hiburan,” celetuk Lanon.
Celine langsung naik darah. Membuat keadaan agak canggung walau pertengkaran Lanon dan Celine terlihat menggemaskan.
“Ma, satu lagi anaknya nakal nih.. Suka di jilat-jilat,” ujar Heksa di telinga Lizia.
Lizia menelan ludah dengan wajah segera memerah.
Nimas melirik Gea sambil cekikikan. “Yon, udah di remes kayaknya, merah gitu.” bisiknya.
“Tapi, kenapa Lizia juga merah ya? Lucu banget mereka,” Sion ikut cekikikan.
Heksa mengecup pipi merah itu, membuatnya semakin merah.
***
Lanon memainkan telunjuk Gea, dia tengah diam saja menikmati perjalanan dengan sesekali melihat dunia lain yang tak sengaja dia lihat.
Lanon memasang wajahnya datar. Semua orang tidur kecuali Heksa tentu saja. Dia menjaga Lizia dari gangguan tak kasat mata dengan mudahnya.
Baguslah, Lanon jadi tidak lelah harus mengeluarkan energi untuk mengusir mereka.
Lanon menatap Gea yang tidur dengan mulut terbuka, tidak sadar dan begitu lelap. Dia tutup mulutnya lalu tersenyum.
Gadisnya manis sekali. Tapi, bukan waktunya untuk cinta-cintaan. Dia ingin membantu adiknya dulu.
Berinteraksi dengan Heksa jelas akan tidak baik untuk Lizia. Jika terus menerus berdekatan dan lama.
Lanon mengusap rambut Gea, membuatnya semakin tidak sadarkan diri. Tidurnya bagai pingsan.
Hingga mobil pun berhenti di jalan desa yang tidak bisa di masuki mobil. Sinyal masih belum bisa menyentuh desa yang katanya dari dia bayi itu tidak pernah berubah.
“Udah nyampe ya?” Sion menyugar rambutnya, mengguncang Nimas yang terlelap dengan mulut terbuka di bahunya. “Ahss.. Ngiler lagi,” keluhnya kesal.
Sion sibuk misuh-misuh dan adu mulut dengan Nimas yang masih setengah sadar itu.
Lizia juga bangun, dia hanya diam dengan menggemaskan seperti bayi, mengerjap dan memandang sekeliling.
Heksa tersenyum, membenarkan pakaian dan rambutnya. Keinginan menjadi manusia jadi menggebu tiba-tiba.
Gea menggeliat, menyecap lalu menatap Lanon yang tersenyum manis sekali. Menatapnya yang masih linglung dan mengerjap.
“Basah.” tunjuk Lanon ke bahu dan dada bidangnya.
Gea sontak tersentak kaget, malu juga. “Maaf, maaf.” paniknya.
Lanon menahan jemari Gea yang mengusap dadanya. “Ga papa, bahaya kalau diusap. Nanti ada remes-remes part 2 gimana?” bisiknya.
Gea menahan nafas dengan jantung berdebar. Jadi ingat saat baru dijemput Lanon di pertigaan dekat rumahnya.
Gea masuk ke dalam mobil, di perjalanan agak terjebak macet sampai 30 menit lamanya. Entah bagaimana akhirnya, Lanon menciumnya di bibir. Ngocoks.com
“Kak— maksdnya, Lanon. Ini di tempat umum.” paniknya sambil mendorong bahu Lanon.
“Kacanya gelap, ga papa kok sebentar.” bisiknya lirih lalu kembali melumatnya walau tidak dibalas Gea.
Lanon juga tidak tahu kenapa begitu tertarik dengan bibir Gea semenjak gadis itu masuk ke dalam mobil.
Gea membuka matanya, mengerjap gugup saat merasakan jemari Lanon meremas dadanya. Dia panik dan segera mendorong Lanon.
“Hey, ayo turun. Itu Lizia manggil-manggil,” Lanon tertawa geli, apa Gea tengah mengingat remas-remas part 1?
“Ha?” Gea panik. “Iya, Liz. Ini turun,” dia segera memepet Lizia, mencoba menjauhi sosok yang membuatnya salah tingkah.
Heksa menggenggam tangan Lizia yang nganggur. Keduanya saling tersenyum sesaat bak remaja kasmaran.
Mereka mulai menikmati keindahan.
Bersambung…