“Agh! Agh! Ampun, kek.” Heksa mencoba menangkis walau pukulan kakek tua itu cukup keras dan bertubi-tubi.
Gea mengerjap menatap Lizia yang menatap ke satu titik, di atas batu nisan. Mereka sedang berjongkok dan berdoa.
Gea melirik Lanon yang menatap ke titik yang sama. Bagi Gea tidak ada apa-apa, tapi Lanon dan Lizia menatap bagaimana Heksa di pukuli habis-habisan oleh mendiang kakeknya— ayah kandung Abidzar.
“Beraninya sentuh-sentuh cucuku! Resikonya besar! Hantu bodoh!”
“Aku bukan hantu, aduh kek..”
“Apa? Bukan hantu? Minta di pukul!”
Lanon tersenyum samar. Dasar Heksa bodoh! Walau sekali pun dia belum meninggal, tetap saja dia jadi roh saat ini.
“Sudah dari lama kakek ingin mendisiplinkan anak ini! Cucu kakek sampai terbawa arus gairahnya, itu juga salahmu! Bukan soal gen dan sebagainya! Aura mesummu kuat,” ocehnya begitu marah pada Heksa yang menciut sambil mengusap bekas pukulannya.
“Dan Lizia, cucuku tercinta.”
Lizia menelan ludah. Apa semua yang dia dan Heksa lakukan kakeknya itu tahu?
“Sepertinya kakek harus bantu anak ini untuk segera kembali. Kakek akan berusaha membantu, kalian harus menikah!” tegasnya. “Jika tidak, calonmu kelak yang akan sial, cucuku.” jelasnya.
Heksa tersenyum senang, tandanya Lizia hanya untuknyakan? “Aduh.. Ampun kek,” ringisnya.
Melihatnya senang membuat kakek marah.
“Terima kasih atas doa kalian, kita bertemu malam, kakek yang datang.” beliau pun menghilang.
Lizia tahu, beliau hanya jin yang menyerupai kakeknya. Tapi beliau baik, selalu membantunya bahkan tanpa disadari Abidzar.
***
Lanon meraih koper kecil Gea tanpa kata. Dia membawanya ke kamarnya, kamar utama yang selalu dia tempati di rumah sederhana ini.
“Kak Lanon, bukannya lebih baik perempuan sekamar di kamar aku? Masa kakak sama Gea sekamar,” ujarnya pelan.
Lanon tersenyum geli, mengacak poni adiknya gemas. “Kalian di sini, lebih luas. Kakak di sana, Sion ajakan. Kalian bertiga,” jelasnya.
Lizia menghela nafas lega. Lucu sekali, membuat Lanon mengacak poninya lagi. “Titip pacar kakak, kalau di ponselnya ada cowok lain, aduin ok?”
Lizia melirik Gea yang tersipu lalu tersenyum dan mengangguk. Kali ini dia akan percaya pada Lanon. Semoga dia tidak menyakiti Gea.
Lizia yang diapit Gea dan Nimas hanya pasrah saat ditarik keduanya untuk masuk ke kamar.
“Sumpah indah banget di sini, udaranya beuhhh!” Gea terlihat gembira.
“Eitss jangan ngalihin topik ya! Cerita, kamu udah di remes—”
Gea membekap Nimas keras sampai terpental ke kasur. Mereka melotot kaget walau berakhir tertawa. Lizia pun tertawa lepas walau tawanya tetap saja pemalu.
Nimas misuh-misuh tapi jadi ikut tertawa. Mereka pun berakhir perang bantal.
Heksa mengintip di jendela luar kamar yang akan Lizia tempati. Dia baru selesai membuat pagar agar tidak ada yang berani mendekati Lizia apalagi mengganggunya.
Lizia terlihat bagai anak kecil tanpa beban. Biasanya gadis itu hanya akan menunduk tidak percaya diri, bahkan hampir mirip hantu karena tertutup rambut.
Heksa menghangat, senyumnya semakin lebar melihat cantiknya Lizia dengan tawa manjanya yang begitu pemalu. Bahkan tidak berani melayangkan pukulan bantal dengan kelas.
Lizia memang sangat lembut, walau otak dan imajinasinya mesum. Heksa terkekeh memikirkannya.
Sisi Lizia yang satu itu membuat Heksa ingin menculiknya sekarang, tapi kakek Lizia pasti akan habis memukulnya.
Heksa tidak ingin buruk di mata keluarga Lizia, sekali pun kakek itu sudah beda alam.
Heksa semakin bertekad. Kini banyak yang ingin dirinya kembali menjadi manusia. Jadi hantu memang enak, bisa berbuat nakal tanpa diketahui. Menyentuh dada perempuan sesuka hati.
Tapi, kini hanya Lizia yang dia inginkan. Heksa jatuh cinta padanya. Tidak ada alasan lagi untuk berada di dunia ini.
Semoga semua cepat selesai.
***
Sion merekam semua keindahan, sore di desa memang luar biasa indah. Banyak petani yang akan pulang.
Kesederhanaan yang tidak pernah dilihat mereka saat di kota.
“Apa di sini ada tempat angker?” tanya Sion pada Lanon.
“Ada, banyak. Tapi desa sebelah sama sebrang. Hantu di sana kuat dan bisa nunjukin diri,” jelas Lanon sambil mengupas pisang kecil lalu menekannya ke mulut Gea.
Gea yang tengah menatap lurus pemandangan sontak tersentak kaget.
“Makan. Belum masuk apapun dari pertama sampe. Jangan nakal, harus ada yang masuk ke perut.” Lanon beralih pada Lizia yang asyik menjawab obrolan Nimas.
“Udah makan belum?”
“Udah, sama roti.” jawab Lizia lembut. Mereka bisa dibilang adik kakak yang bisa dihitung jari berantemnya.
“Nasi belum, mau minta masakin ke bu Jasmin,” Lanon beranjak, mengulurkan tangannya pada Gea. “Mau ikut? Sambil liat pemandangan.” tawarnya.
Gea berdebar menatap uluran tangan itu. Dia menyambutnya dan beranjak.
“Ciee.. Emang ya, dunia terasa berdua kalau pacaran,” ledek Nimas.
Lizia hanya tersenyum menatap kepergian keduanya.
“Makanya pacaran,” ledek Sion sambil menjejalkan pisang bekas gigitannya ke mulut Nimas.
Untungnya mereka sudah biasa satu makanan berdua. Tidak jijik lagi.
Heksa yang berdiri di belakang Lizia kini duduk, memeluknya dari belakang. Dia tidak tahan lagi, tak apa nanti di pukul kakek.
Lizia menatap Heksa lalu tersenyum.
“Kita berjuang ya, makasih udah pindah dan datang ke sekolah. Seandainya ga dateng, selamanya aku mungkin betah jadi hantu nakal, ga tahu masih ada raganya di dunia ini.”
Lizia tersenyum. “Kalau nanti berhasil pulang, kak Heksa masih mau jaga akukan?” tanyanya lewat batin.
“Aku jadi manusia karena kamu, mau kamu,” Heksa tersenyum tulus.
Lizia tersipu, menggemaskan dengan kedua mata menyipit karena silau dari matahari yang akan berpulang.
“Makasih, Lizia.” Heksa mengecup bahu Lizia lama lalu ndusel di bahunya, memeluknya erat.
“Mau cium kak Heksa.”
Heksa sontak mengangkat wajahnya mendengar suara batin Lizia. Kali ini Lizia yang mau duluan?
Sayangnya, tempat tidak mendukung. Tapikan dia hantu.
“Buka aja mulutnya, aku yang kerja.” bisik Heksa semangat.
Lizia mengerjap, melirik Nimas dan Sion yang asyik merekam atau memotretnya. Sedangkan Heksa sudah asyik mengulum bibir bawah dan atasnya, menjejalkan lidah, mengabsen giginya.
Lizia menelan ludah. Rasanya nakal sekali. Pasti akan demam sedikit, tapi rasanya senang. Lizia suka.
Heksa menyesap, mencecap berkali-kali. Hingga sosoknya menghilang. Tentu saja di tarik sang kakek dan dipukulinya.
“Aduh… Ampun, cuma cium kek, aduhh!”
***
Lanon tersenyum ramah menyambut candaan anak-anak kecil maupun remaja yang dia kenal bahkan ada yang seusianya.
Mereka kenal Lanon karena selama penyembuhan Lizia di desa sebrang, membuat Lanon cukup lama tinggal di desa. Bermain permainan baru bersama mereka.
Lanon sebenarnya ingin terus hidup di sini, tapi cabang bisnis Abidzar di kota melesat setelah berasnya yang murah berkualitas mewah mulai beredar di pasaran. Ngocoks.com
“Ini sawahnya baba,” tunjuk Lanon. “Nanti kalau urusan penting selesai, kita ikut panen.” ajaknya.
Gea mengangguk senang. “Kayaknya tomatnya manis.” lalu menelan ludah. Tomat memang kesukan Gea.
“Mau petik satu?”
Gea menatap Lanon lalu tersenyum, haruskah dia mengangguk? Dan pada akhirnya mengangguk.
Lanon melepaskan genggaman tangannya dari Gea lalu melompat ke jalan setapak, meraih satu tomat merah dan mendekat lagi pada Gea.
“Cuci dulu, cobainnya di rumah.” Lanon melap tangannya ke celana lalu menggenggam sebelah jemari Gea lagi.
Rasanya nyaman, hangat dan pas saja. Lanon baru pertama kali merasakan perasaan nyaman dan dengan mudahnya menggenggam duluan jemari seorang gadis..
Perempuan yang menjadi korbannya pasti agresif, mereka yang memulai hal apapun.
Bersambung…