Gea, Nimas dan Sion hanya menatap, mengikuti gerak Lanon dan Lizia. Ketiganya seperti anak hilang yang kebingungan.
Semua lampu di rumah dimatikan. Hanya beberapa lilin yang menyala.
Gea merasa perutnya mulas, saking takut. Bahkan semua makanan enak yang baru masuk rasanya akan keluar lagi. Dia duduk dengan gelisah.
“Kakek minta gini, ngobrolnya biar nyaman.” jelas Lanon dengan sebelah jemari merayap menggenggam jemari Gea yang dingin sekali.
Bukti ketakutan.
Heksa jelas duduk di tengah-tengah si kembar dengan sesekali membantu Lanon memagari sekitar mereka.
Sion dan Nimas memucat, Gea pun sama. Bagaimana tidak, percaya tidak percaya semua lilin melingkar di belakang mereka menyala sendiri.
Gea ingin berteriak saking takut tapi dia memilih terpejam kuat, tanpa sadar meremas jemari Lanon yang menggenggamnya.
Lanon membiarkannya, dia sedang fokus. Banyak sekali makhluk dari kuburan penasaran karena kakeknya ke sini.
Lizia terpejam, mencoba tenang walau takut karena mereka begitu banyak mengelilingi.
“Jangan membuat cucuku takut, menjauh!” tegasnya.
Nimas dan Sion saling menggenggam dan berkeringat. Masih takut soal masalah lilin yang serentak menyala.
Mereka sedang berurusan dengan yang benar-benar hantu. Sion yang percaya diri ingin merekam memilih urung.
“Kayak di depan api unggun,” bisik Sion saking panasnya dan langsung berkeringat deras. Padahal hanya beberapa lilin.
Nimas mengangguk setuju. Dia juga begitu kegerahan.
Heksa menatap sosok kakek tua yang tepat berada di tengah-tengah lingkaran. Menatap Heksa lekat.
“Kakek hilangkan sedikit penghalang, agar memudahkanmu untuk menemui jalan,”
Heksa terpejam, membiarkan tangan keriput itu bergerak mengusap wajah Heksa tanpa menyentuhnya.
“Jelas itu ingatan yang dibuat oleh hantu suruhan,” gumamnya.
Heksa hanya terpejam pasrah. Dia ingin semua selesai. Jika memang dia masih bisa hidup menjadi manusia.
“Ternyata.”
Lanon menatap sang kakek, Lizia juga serius. Nimas, Gea dan Sion hanya diam dengan ketakutan.
Ketiganya merasa ruangan ini begitu panas, sesak. Beruntungnya Lanon tidak melepaskan jemari Gea. Itu juga sebagai bentuk perlindungannya.
Karena Gea sangat penakut, membuat para makhluk halus ingin mendekatinya.
“Kamu menyimpan rahasia besar.” kakek tersenyum misterius. “Sangat berbahaya,” lanjutnya.
Lizia berdebar. “Aku ga bisa masuk terawang, kek. Hebat banget energinya,” jelasnya pelan nan pemalu.
“Tentu, cucuku. Mereka menggunakan ilmu hitam yang cukup kuat, sedangkan yang kalian kuasai ilmu putih.”
Lanon hanya diam.
“Akan kakek bantu, kakek tidak ingin kalian terkena dampaknya seperti anak ini,” tunjuknya pada Heksa masih agak kesal.
“Ibunya kan, kek?” tanya Lanon memastikan.
“Ya.. Salah satunya,”
“Kalau gengnya? Hubungannya apa?”
“Kita buat ingatan anak ini pulih.” putusnya. “Jangan tidur sampai pagi, kalian harus saling jaga. Kita di sini bekerja, di sana pun sama.” jelasnya.
Lizia pun mengangguk, menjelaskan semuanya pada Nimas, Sion, Gea.
“Urusan Heksa kakek yang urus, kalian hanya perlu saling jaga.” perintahnya pada Lanon dan Lizia.
“Buat lingkaran, kita ga boleh sampai ada yang tidur.” perintah Lanon serius.
Gea, Nimas dan Sion jadi terbawa panik. Mana bisa mereka tidur. Namun anehnya, mereka tiba-tiba ngantuk.
“Mas, bangun!” Sion menampar pipinya pelan.
Nimas urung terpejam, hampir saja. Kenapa bisa sampai sengantuk itu.
“Hey, jangan tidur.” bisik Lanon sambil membelai sekilas pipi Gea.
Gea mengerjap, dia tidak sanggup menahan berat dikedua matanya.
“Gea..” Lanon kembali memanggilnya namun mata menatap tajam sosok hitam kerempeng bermata merah.
Lanon mencoba menyingkirkan kiriman itu.
PRANG!
Suara gelas pecah membuat ketiga manusia biasa itu menjerit dan saling menggenggam erat.
Itu dampak dari diadunya energi yang Lanon kirim untuk menyingkirkan hantu itu.
Semua hantu dari kuburan entah kemana. Di sini hanya gelap. Auranya bagai berada di tengah hutan.
Tidak ada suara manusia. Mereka sedang di serang ilmu hitam yang kuat.
Lanon menatap Lizia yang mimisan. “Kenapa? Jangan nerawang, jangan lawan mereka sendiri, kamu ga akan kuat. Kakak aja.” Lanon mengusap kepalanya khawatir.
Lanon meraih Lizia ke pelukannya, Gea pun sama. Gea tidak berdebar dan memperdulikannya. Dia hanya bersembunyi ketakutan di ketiak Lanon.
Nimas dan Sion juga sudah berakhir saling memeluk.
“Berdoa sebisa kalian.” perintah Lanon.
Lanon begitu serius menatap lingkaran energi hitam di atas kepalanya. Itu energi yang kakek buat untuk menyedot makhluk kiriman.
Lanon tidak habis pikir. Dokter yang terlihat menyedihkan bagai kehilangan anak ternyata yang melakukan semua ini.
“Argh!” pekik Heksa sampai terpental lalu pingsan.
Lanon menoleh, Lizia pun sama. Lizia hendak bergerak.
“Diam, jangan bergerak.” kakek terlihat serius melawan semua energi jahat.
Guru spiritual Lanon dan Lizia pun ternyata membantu menjaga keduanya dari jauh. Dia sudah dibayar mahal. Dan Lanon maupun Lizia sudah seperti anaknya.
“Gea.. Jangan tidur!” bentak Lanon yang sempat hilang fokus karena menatap tabrakan energi yang kuat.
Gea kembali sadar. Dia tidak bisa menghentikan ngantuknya. Dia mencubit lengannya sendiri, pipinya juga. Berharap sakit bisa membuatnya tidak tidur.
Lanon ingin membuatnya berhenti tapi tidak bisa. Dia harus fokus melindungi mereka semua.
Hingga perlahan pagi tiba. Semua energi hitam yang bagai angin puyuh sudah hilang. Kakek tersenyum.
“Kalian berhasil, biarkan dia sadar dengan sendirinya. Kakek pamit,”
“Kakek,” panggil si kembar bersamaan.
“Tidak usah berterima kasih, kakek hanya ingin melindungi cucu kakek. Jangan lupa sering mampir ke tempat kakek, ajak baba kalian.”
Keduanya mengangguk dan tersenyum dengan wajah lelahnya. Keduanya jelas paling lelah karena bertabrakan dengan energi-energi buruk.
“Ga papa?” tanya Lanon pada Lizia.
Lizia menggeleng lemas. Dia bergerak mendekati Heksa yang sama menggeliat, sadar dari pingsannya.
Heksa menatap langit-langit dengan terkepal. “Ternyata itu alasannya.” gumamnya dipenuhi amarah.
Lizia menghela nafas lega. Heksa tidak terluka, lalu menatap ketiga temannya yang pucat.
“Kalian gimana?”
Nimas dan Sion begitu kacau.
Lanon menatap pipi merah Gea, lengan lebamnya juga. “Mau tidur? Aku temenin, agh! Lizia.” dia mengusap lengannya yang dipukul manja Lizia lalu terkekeh, mencoba mencairkan suasana. Ngocoks.com
“Semalem dingin parah ya kan? Angin besar di dalam ruangan? Ga masuk akal,” Sion mulai bawel, menjelaskan semua yang dia rasakan, Nimas juga.
Gea juga sama semangatnya, sampai tidak sadar lengan lebamnya sedang diusap-usap Lanon sampai sembuh tidak berdenyut lagi.
“Lilinnya, bikin mau nangis,” Gea sama rempongnya.
Lanon memilih mendekati Heksa dan meminta kejelasan tentang ingatannya sekarang.
“Ternyata jual beli organ, geng itu yang cari orang khususnya tanpa identitas, orang gila dan bahkan culik anak. Gue kira awalnya geng biasa, nongkrong, balap liar, party, ternyata di dalemnya ada perdagangan manusia, dan lebih mengejutkannya lagi. Ibu terlibat. Gue mau lapor polisi tapi gagal.”
“Ternyata bukan masalah sepele, berarti kita semua dalam bahaya. Mereka udah endus kalau kita tahu soal lo.” Lanon menatap Lizia, Gea dan semuanya.
Kini mereka diincar demi menutup sebuah kejahatan.
“Gue hari itu bisa astral projection, gue cari bukti dan ketemu. Tapi ternyata itu jebakan. Gue di kunci di alam ini.”
“Kayaknya harus ada kepolisian yang acak-acak rumah lo, terus kita bisa bawa lo pergi dari rumah itu.”
Heksa sangat terkejut dengan apa yang dia ingat. Ternyata bukan soal broken home dan sebagainya. Semua ingatan palsunya membuatnya hampir ingin terus menetap di dunia lain.
“Masalahnya bahaya, kalian lebih baik mundur.”
Lizia sontak menoleh mendengarnya.
Bersambung…