Semenjak saat itu, Heksa tidak menampakan sosoknya. Entah kemana, bahkan Lanon dan Lizia tidak bisa menerawangnya.
Kakek hanya bilang. Anak itu juga sedang berjuang. Kalian lebih baik pulang dan belajar yang benar.
Ujian berlalu, Lizia mulai kembali banyak dihantui. Beruntungnya Lanon tidak sibuk dengan para selirnya lagi. Dia yang menggantikan Heksa.
Ujian berlalu, kelulusan pun menyapa hingga sampai di hari perpisahan sekolah. Hampir tiga bulan Heksa tidak ada.
Lizia jelas tidak bisa melanjutkan novelnya. Dia hanya bisa menangis merindukannya. Dia tahu, Heksa melakukan itu karena tidak ingin melibatkannya ke dalam masalah besar.
Dan kalian tahu? Tidak ada jejak Heksa sampai bertahun-tahun lamanya.
Bahkan GNS sampai menjadi youtube horror, misteri, penelusuran, yang populer.
“Lizia, kita minggu depan harusnya pergi ke Bandung, penelusuran ke pabrik terbengkalai, tapi kayaknya bisa kemungkinan di undur soal masalah izin.. Kita tunggu kabarnya lagi nanti,” Gea menatap tabnya, mengabaikan Lanon yang memeluknya dari belakang.
Hubungannya dengan Lanon sungguh bagai keajaiban. Mereka bersama hampir 5 tahun lamanya. Kuliah pun di kampus yang sama.
Mereka semua bahkan kini sudah lulus. Lanon bekerja melanjutkan bisnis keluarga, sedangkan Lizia, Gea, Nimas dan Sion masih terus menjadi youtuber.
Heksa benar-benar hilang. Dia hanya cerita bagi mereka kini. Tidak ada sosoknya, bahkan tidak ada perpisahan. Lizia sampai mati rasa dibuatnya.
Lizia menyetujui gabung dengan youtube GNS pun berharap Heksa muncul, bahkan membantunya.
Tapi nyatanya tidak ada.
Kakek juga tutup mulut. Mungkin karena tidak mau juga para cucunya terjerat kasus yang membahayakan.
Rumah besar itu bahkan sudah dijual, kini dipakai untuk keperluan shooting.
Lanon menatap Lizia yang hanya diam, semakin pendiam. Bawel jika di depan kamera saja. Kasihan dia, Heksa menghilang mungkin menjadi patah hati pertamanya.
“Mau ikut ga?” Gea menoleh menatap Lanon membuat Lanon mengalihkan pandang ke Gea.
“Boleh.” Lanon mengecup sekilas pipi Gea lalu melepaskan pelukannya, dia ingin mengajak Lizia ngobrol.
***
Heksa menatap lurus kumpulan manusia di markas serba gelap itu. Dia berjalan dengan dingin, melewati lautan manusia yang tengah berpesta minuman.
Pakaian Heksa yang serba hitam, sungguh sangat mencolok di antara lautan manusia yang memakai pakaian berwarna, seksi atau keren.
Heksa menyugar poninya yang agak panjang itu. Gaya rambut Mullet membuatnya terlihat bad boy.
“Sa, sini.”
Heksa menatap ke arah teriakan teman-temannya itu. Mereka sudah tidak muda, mulai memasuki kepala 3 tapi gayanya bagai usia 20han.
Heksa duduk yang langsung dirangkul Tera. Dia yang paling dekat memang setelah dia bangun dari koma.
Heksa menatap lurus pria lebih muda di depannya. Terlihat santai dan tersenyum tipis.
“Si Hengky menang balap, makanya kita mendadak party. Lo pasti sibuk,”
Heksa tidak menjawab, dia memilih merokok dan mengambil segelas alkohol untuknya itu. Dia akan duduk menghabiskan satu botol minuman, beberapa rokok dan barulah akan pulang.
“Anak-anak kecil yang di ruang bawah tanah udah mulai diambil beberapa, organnya lagi dibutuhin,”
Heksa mendengarnya tanpa ikut masuk ke dalam percakapan mereka. Dia menikmati minumannya dengan menahan mual.
“Bisnis kita makin maju, uang makin banyak.” Tera berseru bahagia, meminum rakus alkoholnya.
Semakin malam semakin panas. Para wanita mulai menggila, mulai melepas pakaian dan sebagainya.
Kesenangan bagi Tere sebagai salah satu orang terpenting di dalam bisnis gelap ini.
Semua orang bagai binatang kini. Hanya Heksa yang tetap diam di tempatnya walau kini musik menyatu dengan desahan.
Heksa menatap Hengky yang menatapnya lurus. Keduanya saling menatap tajam.
“Kak, jangan gegabah lagi. Jangan sampai kakak balik jadi hantu lagi, bahkan mungkin beneran jadi hantu selamanya.”
Di sini Hengky bukan sedang mengancam, dia hanya mengingatkan Heksa. Dia berurusan dengan banyak orang yang berkuasa, Heksa akan kesulitan dan menghancurkan dirinya sendiri.
Hengky sempat berpikir mundur, tapi dia sadar. Yang dihadapinya tidaklah mudah. Mereka akan membuatnya mati dalam sekejap mata. Tanpa jejak.
Heksa hanya beruntung saja karena dia anak dokter Helena.
Sekejam-kejamnya Helena, dia tetap tidak akan bisa membunuh anak kandungnya sendiri.
***
Heksa melepas jaket kulitnya, melemparnya asal lalu rebahan. Dia terlihat frustasi karena teramat merindukan seseorang yang dia tinggalkan tanpa kesan yang baik.
Dia tidak ingin kebahagiaan Lizia hancur. Dia tidak ingin menjadi masalah di dalam keluarga hangat nan harmonis itu.
“Apa kamu masih buat novel dewasa, Lizia?” gumamnya dengan senyum getir.
Heksa mulai melepas resleting, memasukan jemarinya ke dalam celana dalamnya. Mulai memijat miliknya.
Heksa terpejam membayangkan semua yang pernah dia lewati bersama Lizia. Jika saja tidak mencari tahu, mungkin sampai sekarang dia akan berada di samping Lizia.
Tapi itu juga bukan pilihan baik. Lama di samping Lizia saat masih menjadi hantu hanya akan menyakitinya juga.
Lizia naik ke atas tubuh Heksa, menekan masuk miliknya yang mengeras dan semakin panjang berurat itu.
Hanya masuk setengah, Lizia begitu kesulitan merasakan penuhnya di sana. Dia bergerak pelan,
“Ahh.. Lizia..” Heksa terus membayangkan Lizia sampai rasanya dia gila dan di sana melumer basah.
Heksa terengah lemas nan lega. Walau pada akhirnya tersiksa oleh rindu yang entah kapan bisa terobati.
Dia sudah mengumpulkan beberapa bukti yang beresiko. Entah kapan ajalnya akan datang. Heksa merasa tercekik berada di antara manusia gila yang haus kekayaan.
Bahkan ibu dan ayahnya sendiri.
Heksa merasa sial sekali terlahir dari orang tua yang ternyata menghidupinya dengan uang hasil melakukan kejahatan.
Bagaimana bisa mereka tega membunuh dan menjual organ-organ itu?
Jadi manusia ternyata lebih buruk dari pada saat menjadi hantu. Dan manusia lebih menakutkan dari pada hantu.
***
Lizia menatap perjalanan, cukup lama ternyata. Minggu ini full kerja lagi setelah seminggu libur.
“Surat izinnya jangan lupa lagi,” Nimas begitu bawel pada staff lain di ponsel sebrangnya. Dia memang si paling sempurna.
Selalu memastikan semuanya hingga berakhir baik dan memuaskan.
Lizia tersenyum samar. Mereka malah jadi dewasa bersama. Sungguh pertemanan yang indah. Lizia merasa beruntung.
Entah itu soal orang tua dan teman. Dia selalu dipertemukan dengan orang-orang baik.
“Ga mau, ga usah.” tolak Lanon saat hendak di pakaikan lipbalm karena bibirnya kering.
“Ini pecah-pecah, ga bikin merah kok,” bujuk Gea.
“Ga mau, sayangku!” gemasnya sambil menolak.
Gea pun menyerah, dasar Lanon keras kepala. Setelah kesal, dia tersenyum. Tidak menyangka si tampan Lanon terus menjadi pacarnya.
“Aku lagi cemburu,” bisik Lanon lalu menekuk wajahnya.
“Ih, mereka cuma fans..”
“Tapi ada artiskan?”
Gea mengulum senyum. Dasar scorpio!
“Aku temenan sama semuanya, ga usah cemburuan.” Gea memeluk Lanon dari samping.
Berarti benar ya, buaya itu setia. Buktinya Lanon.
“Cih, mereka keliatan tertarik, temenan apaan.” dumelnya sambil berpaling melihat jalanan.
“Kamu raguin aku? Bukannya kamu tahu aku secinta apa sama kamu?” sendu Gea.
Lanon menghela nafas panjang. Sudahlah, dia mengalah saja. “Hari ini bintang tamunya siapa?” tanyanya.
“Dalfa..”
“Ck! Si genit lagi?”
“Haha.. Apanya yang lagi? Dia tahun lalu loh, kamu cemburuan ih, lucu..” Gea memeluknya erat.
Lizia menggeleng samar melihat Lanon dan Gea. Siapa sangka mereka malah langgeng. Lizia pikir Lanon hanya pura-pura.
Lalu bagaimana nasibnya dan Heksa?
***
“Kamu ga tahu kangennya aku gimana? Aku kayak orang gila asal kamu tahu?!” Heksa terengah dengan berderai air mata. “Aku kayak terus mati, Lizia.” lirihnya. Ngocoks.com
Lizia terisak hebat. Dia juga tersiksa parah. Keduanya berpandangan, lalu dengan hebat dan menggebu saling berciuman.
Heksa begitu rakus. Dia membuat bibir Lizia bengkak, lehernya kini Heksa beri jejak merah dengan banyaknya.
Lizia pasrah, Heksa begitu menggebu sampai keduanya bertindihan. Saling menyatu dan bergerak begitu hebat.
Lizia meliuk menggila, namun Heksa tidak berhenti.
Heksa terus menyiksanya, entah oleh rindu atau bayangan panas yang tertinggal dijiwa Lizia.
Jemari lentik itu kembali mengetik, Lizia terisak sendirian di dalam hotel yang dia tempati bersama Nimas dan Gea.
Gea sedang jalan dengan Lanon dan Nimas sedang di kamar mandi.
Bertahun-tahun novelnya tidak bisa lanjut. Hanya beberapa kata sudah membuatnya menangis karena tokoh yang ada dalam imajinasinya itu Heksa.
Imajinasinya kini terasa menyakitkan. Semua tentang Heksa.
Sosok yang sangat dia rindukan.
“Lizia, kenapa?” panik Nimas lalu segera memeluk Lizia. Tanpa banyak tanya, Nimas sudah tahu.
Lizia akan tiba-tiba menangis jika teringat sosok Heksa.
Bersambung…