“He-Heksa.. Kak Heksa.” Lizia beranjak dari duduknya yang lesehan. Restoran bertema Korea itu cukup sepi hari ini.
Sosok tak asing melintas dan mirip sekali dengan Heksa.
Nimas dan Gea segera beranjak menyusul, takutnya Lizia kembali berhalusinasi. Sudah tidak sekali dua kali begitu.
“Liz..”
Lizia menarik lengan berurat nan kekar itu. Membuatnya bertatapan dengan wajah yang tak asing itu.
“Kak Heksa..” panggilnya pelan dengan suara lembutnya yang tidak berubah. Tangisan pecahnya pun sama lembutnya.
“Siapa ya?” alisnya bertaut.
Lizia sontak berhenti menangis. Apa Heksa tidak mengenalnya setelah sadar. Lizia yakin, dia Heksa yang dikenalnya.
“Kak Heksa, ga lucu.” lirihnya.
“Saya memang Heksa, tapi—”
“Kak.. Jangan gitu,” lirihnya dengan terisak takut. Apa selama ini tidak menemuinya karena tidak mengingatnya?
Lizia kembali sedih.
“Liz,” panggil Nimas sambil merangkulnya.
Pegangan Lizia melemas. Ternyata sosok yang dia rindukan tidak merindukannya, bahkan mengingatnya.
Tapi tak apa, dia tetap ingin menemuinya.
“Kak, boleh minta nomornya? Siapa tahu hiks.. Nanti inget,” bibirnya begitu bergetar.
Nimas dan Gea terkejut. Lizia menjadi berani, sepertinya di depan mereka memang Heksa. Benar-benar tampan.
“Maaf sebelumnya, saya ga kasih—”
“Instagram, atau apapun.” mohon Lizia begitu menggebu. Jika pun tidak bisa mengingatnya, dia bisa kenalan lagi.
Lizia ingin Heksa.
“Maaf ya, kak.” Gea tersenyum tak enak hati melihat Lizia yang begitu putus asa, memaksanya.
“Ga papa, mari.” Heksa pun melanjutkan langkahnya dengan rahang mengetat.
Lebih baik Lizia sakit sekarang. Dia tidak ingin mengacaukan hidupnya yang harmonis bersama keluarganya.
Lizia menangis deras melihat Heksa menjauh dan hilang di belokan. Hubungannya berakhir begitu saja.
“Dia ingkar janji.” isak Lizia.
Nimas dan Gea membawa Lizia ke tempat semula lalu menenangkannya.
Heksa terkesiap saat kerahnya ditarik seseorang ke toilet laki-laki. Di sana Heksa di pukul membabi buta.
“Bajingan!” umpat Lanon.
Heksa tidak menangkis, menerimanya sampai sudut bibirnya berdarah. Lanon terengah menyudahinya.
Heksa terkekeh sinis. Lebih tepatnya sedang ingin membuat semua orang membencinya, melupakannya.
“Lo masih bisa bikin adek gue sesakit itu? Setelah kembali lo lupa sama yang tolong lo?!” murka Lanon.
“Bawa adek lo jauh, bikin dia lupain gue. Itu tugas lo!” dinginnya lalu meludahkan darah dari sudut bibirnya yang terluka.
Lanon mengepalkan tangannya. “Lo begini karena mereka pake ilmu hitam?” tanyanya masih penuh amarah.
“Bukan. Gue bisa hadang semuanya kalau soal ilmu hitam. Tapi bisnis gelap yang lo tahu pastinya. Gue bukan Heksa hantu saat itu lagi. Gue ga mau seret Lizia masuk ke dunia yang lebih gelap.”
Heksa memilih pergi. Dia harap Lanon bisa paham, toh dia tahu Lanon beberapa kali menerawang dan juga astral projection menemuinya setelah sadar.
Heksa hanya pura-pura tidak tahu saja. Padahal setelah bangun, dia menjaadi bisa melihat dan merasakan makhluk lain.
Bagai sosoknya yang masih menjadi hantu.
***
Heksa menatap Helena dan Heri. Orang tuanya yang tengah bahagia dengan uang hasil menjual organ dari anak-anak hasil penculikan itu.
Heksa terus melakukan yang terbaik untuk menghentikan kegilaan mereka bersama geng yang di pandangan orang baik, tapi aslinya buruk.
Heksa main sendirian. Dia tidak akan mengajak siapa pun untuk membantunya. Heksa tengah mengelabui nenek sihir di rumah ini, mencoba mengajak teman-teman hantunya dulu untuk membantunya.
Semua Heksa lakukan dengan perlahan dan penuh kehati-hatian. Jika misinya selesai, mungkin dia bisa membuat Lizia masuk ke dalam hidupnya lagi.
Tapi tidak untuk saat ini. Walau dia sangat teramat rindu ingin memeluknya dan menyatakan cintanya.
“Mama dan Papa mau liburan, ikut, Sa?” tanya Helena ramah.
Dia kini senang, anaknya itu tidak membangkang seperti dulu sampai membuatnya tega membuatnya koma lama.
Helena sampai bekerja sama dengan dukun agar Heksa tidak menghalangi jalannya untuk sukses.
Helena juga takut dibunuh petinggi dari bisnis gelapnya. Membuatnya terpaksa membuat Heksa terjebak di dunia lain.
“Masih ada urusan di markas, ada balapan beberapa hari lagi.” jelas Heksa dengan tenang.
“Oh iya, mama baru ingat.” Helena terus merapihkan uang itu ke dalam koper lagi.
Heksa menatap Heri yang sibuk berhitung dengan mesin khusus untuk uang itu. Heksa sangat tahu, dibelakang mamanya, papanya itu memiliki banyak wanita.
Heksa sungguh sial terlahir di keluarga ini.
“Kalau anak papa juara, nanti papa belikan satu mobil keluaran terbaru,” janjinya.
“Makasih, pa.” balasnya tetap tenang.
Heksa sudah tidak sabar ingin menghukum semua orang, apa bisa? Dia sungguh ingin membantu anak-anak tidak bersalah di ruang bawah tanah.
Mereka menangis, memohon dan ketakutan. Mereka dibunuh dengan keji hanya untuk diambil organnya saja.
Heksa terdiam saat mengingat wajah terluka Lizia. Wajah bayinya yang lembut tidak berubah, dia memohon begitu. Ingin rasanya dia peluk, dia cium.
Tapi sungguh belum saatnya.
***
“Ada balapan lagi kayaknya di jalan sana, di tutup soalnya.” Gea bersandar di bahu Lanon.
“Iya, kayaknya seru. Nonton yuk, pacar.” ajaknya sambil menghirup wangi rambutnya yang terawat.
“Bentar, Nimas nonton balap yuk?” ajaknya pada Nimas yang duduk di jok kedua lalu pada Lizia yang berada di jok depan. “Liz, yuk?” ajaknya.
Lanon menurunkan rok Gea yang tersingkap sampai mempertontonkan dalamannya itu. Dia melirik Lizia, berharap menolak.
Di sana akan ada Heksa. Dia akan patuh pada Heksa demi kebaikan Lizia. Bisnis gelap mereka memang bahaya.
Lanon juga menyesal karena spontan menjawab ucapan Gea dengan mengajaknya nonton.
Namun seolah takdir, Lizia mengiyakan ajakannya.
“Lebih baik nonton di rumah aja yuk, dingin kalau ke sana.” Lanon memeluk Gea manja.
“Ihhh kamu, mereka udah mau.” sebal Gea siap marah.
Lanon tersenyum, menghela nafas pasrah. “Yaudah, iya.” dan pasrah saja pipinya dikecup-kecup Gea.
***
Heksa tengah berjalan sambil memakai sarung tangan gayanya. Dia akan ke belakang dulu sebelum balapan di mulai.
Malam ini lebih ramai dari biasanya.
“Kemana, Sa?”
“Toilet dulu.” sahutnya tanpa menghentikan langkahnya melewati beberapa orang yang melintas.
Heksa mencoba mengabaikan pikirannya tentang Lizia.
Jika pun dia menemukan pria lain, maka mau tidak mau dia akan merelakannya saja. Mungkin memang itu yang terbaik.
Heksa terkesiap saat tubuhnya di dorong masuk ke dalam toilet lalu dikunci dengan cepat. Ngocoks.com
“Lizia?” kagetnya refleks dan segera Heksa rutuki.
Dia kan sedang pura-pura amnesia. Memang dasar bodoh!
Heksa terkesiap lagi saat Lizia naik ke closet duduk lalu membelit lehernya dan menciumnya rakus.
Lizianya kenapa begitu berani?
Heksa merasakan ciuman amatirnya. Tetap rasa yang sama. Tapi bedanya kini dia manusia, tidak akan membuatnya sakit.
Heksa begitu dilema tapi keinginan dan pilihan mendadaknya tidak bisa dicegah, hanya akan disesali kelak.
Heksa membalas tak kalah rakus. Dia balas memeluk, menggendong Lizia dan menyandarkannya di dinding.
Lizia menjatuhkan air mata disela ciumannya.
Sebuah energi pelindung membungkus mereka, menjamin agar tidak ada yang bisa menerawang apa yang mereka lakukan.
Heksa membuka mata, menatap energi itu yang membuatnya semakin rakus menciumnya. Bibir Lizia sampai bengkak. Keduanya terus melakukan lagi.
Lizia sampai terharu. Feelingnya benar. Heksa tidak melupakannya.
Bersambung…