Keduanya masih belum berhenti, seolah rindu belum sembuh. Seolah tidak akan ada kesempatan lagi besok dan seterusnya.
Heksa melahap bibir bengkak Lizia lagi, mengajak lidahnya saling membelit. Membingkai wajahnya, terus memperdalam ciumannya.
Lizia meremas lengan Heksa, dia mulai kewalahan. Nafasnya menipis. Beruntungnya Heksa menjauhkan wajahnya.
Lizia langsung menghirup udara dengan rakus. Heksa tersenyum, dia kecupi lehernya, dia sasar tanpa terlewat.
Lizia merem melek, meremas bahu Heksa. Sudah lama sekali tidak merasakan sentuhannya dan kali ini nyata.
Sosok Heksa manusia bukan hantu tampannya yang nakal lagi.
Lizia mengecupi pipi Heksa dengan berani, malu hanya akan muncul di akhir. Lizia juga tidak peduli.
Dia tidak akan sakit lagi.
Heksa tersenyum menerima keagresifan Lizia. Dia menikmatinya. Membalasnya dengan kecupan lagi.
“Engh..” lenguh Lizia saat merasakan jemari Heksa meremas dadanya langsung, memelintir puncaknya.
Lizia kembali menabrakan bibirnya dan Heksa menyambut rakus tentu saja. Tidak melepaskan remasannya.
Heksa dudukan Lizia dicloset duduk, dia kembali lumat bibirnya dengan jemari membuka beberapa kancing pakaian Lizia.
Ciuman pun berpindah ke dua bukitnya, berpindah ke bibirnya lagi. Terus saja bolak-balik.
Lizia menggeliat gelisah dengan tak sabar. “Kak Heksa, mau.” lirihnya.
Heksa menghentikan hisapan di sebelah dada Lizia. “Mau apa?” tanyanya serak.
“Mau.” Lizia memeluk leher Heksa, pasti Heksa paham.
“Maaf, Lizia. Terpaksa aku pura—”
“Jangan di bahas, lagi mau kakak.” lirihnya serak, terlihat sudah sangat ingin.
Heksa menelan ludah. Tidak indah jika di sini. Dia harus membuat tempat khusus yang sulit di jangkau oleh ilmu hitam sekali pun.
“Nanti aku kasih kabar, sabar dulu.” Heksa kembali mencium Lizia, membelai bawahnya. Dia hanya akan membuat Lizia sampai pelepasan.
***
Heksa tersenyum samar, dia berdebar bahagia mengingat Lizia yang merengek tidak mau berpisah. Tapi, sayangnya toilet bau.
Mereka tentu saja harus berpisah.
Heksa mulai mengatur tempat. Dia ingin mempunyai privasi. Semoga saja tidak akan menjadi masalah.
“Ma, pa.”
“Ya?”
Helena dan Heri terlihat tengah bersiap untuk pergi liburan.
“Aku janji, aku ga akan buat masalah. Bisnis kalian aman, tapi izinin aku keluar.” Heksa berharap dikabulkan.
Untuk saat ini dia ingin bersama Lizia dulu, mengumpulkan bukti dengan pikiran terganggu malah tidak akan berakhir baik.
Siapa tahu Lanon bisa membantunya. Walau sebenarnya tidak ingin melibatkan mereka. Tapi mengingat Lanon spesial, sepertinya bisa diajak kerja sama tidak berjuang sendirian.
Tak hanya itu, mereka memaksa ingin membantu juga.
Sudah cukup dia menyakiti dan menyiksa Lizia dengan rindu. Dia pun sama tersiksa, sudah saatnya menepati janjinya yang terlambat.
“Mama ga percaya kamu,” Helena melipat tangan di perut dengan serius.
“Mama bisa kirim mata-mata. Aku cuma mau hidup normal. Aku mau kerja di bidang lain, selain kesehatan.”
Helena melirik Heri.
“Mama bisa kurung rohku kayak dulu kalau aja aku ingkar.”
Keduanya kembali saling melirik. Helena juga sudah muak melihat satu-satunya anak yang tidak sejalan dengannya dan sang suami.
Diberi kekayaan instan tidak mau. Heksa memang anak bodoh. Pikir Helena.
“Mama dan papa akan kirim beberapa orang, bahkan satu dukun. Kalian bertingkah, maka kamu selamanya akan jadi hantu,” Helena begitu tenang.
Heksa menatap ibunya dengan sedih. Dulu saat kecil, mereka hidup sederhana. Tapi setelah mengenal kemewahan, ibunya jadi terlihat seperti orang lain.
Mereka terlalu buta dan tuli.
Heksa mengepalkan tangannya, dia ingin menolong anak-anak di sana. Tapi entah kapan karena pergerakannya seperti siput.
Heksa harus mengubah rencana, setelah bertemu Lizia dan berbincang sebentar dia pun sadar. Dia tidak bisa melawan mereka sendirian. Dia butuh manusia lain. Bukankah hidup pun juga begitu?
Heksa mengaku tak bisa jika sendirian. Hanya akan banyak korban berjatuhan jika dia sangat lelet.
Dia hanya perlu membuat rencana, entah tertulis atau perhantuan. Dia akan bicarakan di pertemuan nanti.
“Aku juga mau nikah, ma, pa.”
“Nikah?” Helena menautkan alisnya.
“Kalian kenal. Dia anak tante Celine dan Om Abidzar.”
Heksa yakin, permintaannya terwujud dengan mudah. Tapi jangan senang dulu, mereka pasti punya rencana lain yang berbahaya.
Mereka akan tega tidak peduli pada anak atau tidak sepertinya.
Heksa melirik teman hantunya yang tertarik energi lain. Mereka mulai beraksi hanya karena permintaannya.
Heksa segera membantu mereka, menyembunyikannya dulu.
“Jangan ganggu mereka, ma, pa. Siapa pun yang ada di belakang kalian, jangan khawatir. Kalian bisa melanjutkan bisnis. Jika melanggar, kalian boleh ambil nyawaku.”
Heksa mencoba tidak takut, melindungi semua hantu baik yang menemaninya entah dari semenjak menjadi hantu bahkan setelah menjadi manusia kembali.
Heksa harus melindungi diri dulu saat ini. Berbohong pun tidak peduli. Dia ingin hidup bersama Lizia. Mereka baru bersama lagi.
“Aku mau nikah secepatnya.”
“Kita batalkan liburan.” putus Heri. Dia merasa ragu sebenarnya, tapi melihat Heksa yang tidak berguna di bisnis ini juga membuatnya muak.
Anaknya terlalu so suci. Seolah tidak butuh uang.
***
Lizia mesem-mesem. Satu jam yang lalu Heksa memintanya pada kedua orang tua. Lizia tidak menyangka mereka akan secepat itu datang tanpa pemberitahuan.
“Ck, manusia kasmaran.”
Lizia menatap hantu di jendela yang tidak bisa masuk itu. Dia hantu perempuan yang selalu menertawakannya jika sedang sedih.
Karena sering muncul, membuat Lizia sudah tidak takut lagi. Hantu itu membuat pertahanan juga sebenarnya, membuat jendela itu menjadi tempatnya.
“Aku mau nikah, jelek.” balasnya pelan dan tersipu. Jantungnya berdebar. Dia sepertinya sudah sangat jatuh cinta.
Lizia juga tidak tahu sejak kapan dia begini. Heksa membuatnya terus tersenyum sampai pegal pipi.
Suara ketawa yang melengking terdengar. Lizia mengabaikannya.
“Menikah? Tidak akan mudah,”
Lizia sontak melunturkan senyum. “Kenapa? Kenapa ga mudah?” tanyanya penasaran. Biasanya Lizia akan tidak peduli dengan omong kosong hantu, tapi kali ini dia penasaran.
Hantu jelek itu mulai serius. “24 jam menjaga rumah, bla-bla-bla..” bibirnya yang sobek begitu bawel.
Dari kekurangan hingga kelebihan di ceritakan.
Lizia menghela nafas panjang saat sadar, kenapa juga dia mendengarkan celotehan hantu.
“Lizia.”
Lizia menoleh sekilas dan hantu itu sudah menghilang. Semua hantu sepertinya takut pada Lanon.
“Ada apa, kak?”
“Serius mau nikah?”
Keduanya berpelukan sayang. Lanon begitu sayang kembarannya, adiknya.
“Hm, aku mau kak Heksa.” Lizia mengulum senyum senang.
Lanon tersenyum. “Kamu udah jatuh cinta parah ya ke hantu mesum itu,” kekehnya.
Lizia hanya tertawa pelan, mengulum senyum dan tersipu saat mengingat Heksa yang memintanya pada keluarga dan mengajaknya menikah.
“Di sini udah aman.” Lanon melepas pelukan. Menjelaskan ini itu soal hantu yang menjadi mata-mata.
Mereka harus hati-hati agar Heksa aman. Di sini dia akan mengorbankan nyawanya. Lizia mengangguk patuh mendengar penejelasannya. Terselip cemas.
***
“Ahh..” Lizia terus berisik, merasakan kedua bukitnya naik turun cepat dan di bawah sana di tumbuk hebat.
Lizia menatap sekeliling sebelum melanjutkan ketikannya. Ngocoks.com
Dia sedang tidur, tapi kenapa sekarang malah menulis novel dewasanya.
“Kita di dunia lain, Lizia.”
Lizia menatap siluet yang muncul di kegelapan lalu langkahnya terayun hingga wajah Heksa terpampang nyata.
“Aku mau kamu.” Heksa menerjangnya rakus, menggendong dan merebahkannya ke kasur. Terus menindih dan melahap rakus bibirnya.
Malam pun panas.
Lizia meringis merasakan dua jemari melonggarkannya di sana. Memutar lalu maju mundur dan terus terulang.
“Apa aku mimpi-” ucap Lizia.
“Bisa jadi.”
Heksa terus bermain di sana sini. Mendesah dan mengerang hingga rahim Lizia penuh oleh miliknya yang meleleh.
“Lagi.” Heksa begitu cepat, tidak menjeda lama. Membuat Lizia bagai busur panas dan bergetar nikmat.
“Apa ini imajinasi?”
“Bukan, sayangku.” gemas Heksa dan kembali mengguncangnya dengan hebat, cepat dan dalam.
Apapun itu, kenapa nikmatnya terasa dan Lizia terlelap dalam nikmat. Dia tidak sadar apa yang terjadi lagi.
Bersambung…