Lizia membuka matanya cepat. Dia celingukan lagi. Bukan sekali dua kali, terus saja melakukan itu dengan Heksa di alam lain?
Rasanya nyata, sampai tidak menyangka pernikahan pun di laksanakan sederhana. Helena dan Heri beralasan tidak hadir karena ada operasi dadakan.
Celine dan Abidzar mencoba maklum. Walau Celine misuh-misuh karena bagaimana bisa di pernikahan anaknya tidak hadir, apa tidak bisa cuti dulu?
Pernikahannya memang tanpa resepsi, tapi tetap saja.
Abidzar tentu menenangkan Celinenya, mengajaknya untuk bisa maklum yang penting pernikahan anaknya berlangsung lancar.
“Sebenarnya baba berat lepas kamu, tapi Lanon yang yakinin baba..” Abdizar mengusap kepala sang anak dengan sayang dan terharu.
Anaknya sudah besar bahkan dipersunting pria pilihannya. Abidzar tidak menutupi bahagia dan harunya. Tugasnya kini berpindah, walau tidak sempurna, setidaknya Abidzar sudah berusaha membahagiakannya, sekali pun mungkin gagal.
Kelak semoga anaknya akan selalu bahagia, lebih bahagia bersama suaminya.
Abidzar pamit ke belakang dulu, dia takut membebani anaknya jika menangis di depannya.
Heksa mendekati Abidzar, mereka pun memutuskan untuk bicara antar pria. Heksa sangat maklum perasaannya. Kelak jika dia memiliki anak gadis mungkin akan sama.
Mengingat keluarga Lizia harmonis, jelas berpisah walau pun masih satu negara tetap saja akan sulit.
Lizia akan Heksa bawa ke apartemennya. Itu yang membuat Abidzar sedih, di rumah tidak akan ada Lizia lagi.
“Baba belum kenal kamu lama, tapi Lanon percaya kamu. Dia yakinin baba, katanya kamu sumber kebahagiaan Lizia. Baba harap selamanya ya, jaga Lizia..” Abdizar mengusap lengan Heksa.
Heksa mengangguk, hangat sekali sosok Abidzar. Dia lah sosok yang pantas di panggil ayah, papa, atau baba.
Jauh sekali dengan papanya yang hanya mencintai uang dan jabatan.
“Aku boleh anggap baba kayak ayahku sendiri?”
“Tentu, sangat boleh.” Abidzar memeluknya. “Sekarang baba orang tuamu juga, baba sungguh titip Lizia.. Dia anak yang baik, dia teramat baik.”
“Sebaik, baba.” Heksa mengeratkan pelukannya, jadi terbawa haru. Lizia sangat beruntung hidup di keluarga yang sangat harmonis dan sederhana walau harta melimpah.
Celine menarik Lizia ke tempat yang hanya ada dia berdua.
“Lingerie yang mama siapin dibawakan?” bisik Celine dengan rempongnya.
Lizia sampai merona, bahkan merah padam. Malu sekali membahas itu. Dia mengangguk pelan agak salah tingkah.
“Pinter, buku tipsnya jangan lupa baca,” Celine menganggap Lizia polos, padahal dengan ilmu yang dia punya selama menulis cerita dewasa dia cukup banyak ilmunya.
Bahkan mungkin bisa saja liar dari apa yang biasanya dia tulis. Apalagi Heksa juga sangat teramat mesum.
Celine begitu bawel. Tidak peka bahwa wajah anaknya sudah sangat merah. Lizia juga tidak menolak, mendengarkan dengan patuhnya.
Memang anak baik, walau imajinasinya agak lain.
***
Celine dan Abidzar melambai, menatap kepergian mobil Lizia dan Heksa yang melaju meninggalkan rumah.
“Hiks..” Celine baru berderai air mata tak tertahankan.
“Apartemennya deket, ma.. Ngapain nangis,” goda Lanon. “AHK!” pekiknya terkena pukulan Celine.
Abidzar segera merangkul dan menghentikan lengan Celine yang akan memukuli Lanon lagi. Anaknya itu memang suka sekali menggoda ibunya. Dasar nakal.
“Mama, lebay..”
“Apa?!” serunya kesal dengan terisak.
Niat Lanon hanya ingin menghiburnya, tidak sedih berlarut-larut. Mereka juga akan bisa sering berkunjung. Apalagi masih di kota yang sama.
Bahkan Lizia dan Heksa pastinya akan lebih sering menginap, mengingat bahaya mengintai mereka.
Lanon menatap kepergian mobil yang terus mengecil dan menghilang. Dia menjamin di perjalanan tidak ada yang mengganggu Lizia yang tengah bahagia.
Lanon tersenyum. Lizia begitu bahagia, perasaannya itu sampai bisa Lanon rasakan. Memberikannya pada Heksa walau membuatnya khawatir tetap pilihan yang baik.
Lizia yang selama ini kesulitan, berhak merasakan kebahagiaan bersama pilihannya. Heksa pun akan bisa membantunya.
Lanon juga senang, Heksa manusia tetap bisa melihat dan Berinteraksi dengan dunia hantu.
Bahagia ya kalian.
“Loh, mama, baba.. Lizia mana?” Gea terengah, dia terlambat karena harus mengikuti casting.
“Baru aja, telat banget.” Celine menyeka air matanya lalu merangkul kekasih anaknya. “Temenin mama, lagi sedih. Lanon biarin,” kesalnya.
Lanon tertawa pelan. “Ma, aku ga ketemu dia udah seminggu loh.. Kangen, siniin ga.” dia mengejar pelan.
“Engga mau!”
Gea tersenyum, Pertengkaran yang lucu. Dia direbutkan orang-orang baik.
“Aku marah ya, sayang.. Ma siniin ga,” goda Lanon sambil meraih Gea dari belakang, membelit lehernya.
“Aduh susah nafas,”
Celine sontak memukuli Lanon yang tertawa menikmati ocehan Celine. Dia senang, Gea begitu diterima.
Gea juga berhak bahagia. Gea selalu merasa dihargai, selalu merasa rasanya memiliki keluarga. Hidupnya juga berat. Sama seperti Heksa.
***
Heksa menggenggam jemari Lizia, mengecupinya sesekali. Keduanya begitu mesra di dalam mobil menuju hotel untuk malam pertama. Hadiah dari Lanon yang pastinya sudah Lanon buat agar tidak ada gangguan.
“Kakak ipar aku emang terbaik,” Heksa tertawa pelan, begitu bahagia.
“Soal Hotel ya, kak?”
“Iya, sayang. Dia emang baik ya,” pujinya yang tentu saja tidak akan pernah terucap jika ada Lanon.
Lizia mengulum senyum. “Baik banget, cuma ya emang agak ngeselin aja kadang.” curhatnya.
Heksa kembali mengecup jemari Lizia lalu berbisik. “Lingerienya cantik, pakai pokoknya.” lalu terkekeh.
“Kak Heksa tahu?” kagetnya lalu sadar, Heksakan punya kelebihan juga.
“Bukunya juga baca ya, tapi kayaknya kamu lebih ahli dari buku itu.” matanya memicing menggoda Lizia yang tersipu dan salah tingkah.
“Tapi, kak.. Pelan ya,” bisiknya.
“Siap, cantik.”
Keduanya saling menatap dan tersenyum lalu berpelukan. Begitu kasmaran. Heksa rasanya baru merasakan hidup kembali sekarang. Ngocoks.com
Bisakah dia bahagia walau sebentar? Tolong masalah jangan datang dulu. Dia ingin menikmati perannya sebagai suami Lizia.
Sesampainya di hotel.
Lizia kewalahan, dia juga sama aktif. Benar-benar mengandalkan jejak imajinasi yang dirinya buat.
Heksa begitu bersemangat, tergesa bagai tidak ada hari esok. Mungkin karena terlalu lama menahannya. Dia begitu tidak terkendali.
“Ahh..”
Heksa semakin semangat mendengarkan desahan Lizia. Dia sesap lehernya, dia bagai vampire haus darah.
“Engh..” Lizia merasa nafasnya memberat. Ternyata begini rasanya disentuh oleh sosok Heksa yang manusia.
Lebih membara, tubuhnya hangat. Sentuhannya membuatnya berkali-kali lipat meremang.
“Pelan-pelan.” pinta Lizia dengan suara lembutnya yang lirih.
“Aku lapar,”
“Tapi lingerienya..”
“Ga perlu.” balas Heksa dengan kelaparan, terus mencari kulit Lizia untuk dia kecup.
Bersambung…