Lizia yang baru selesai mandi dan mengeringkan rambut menghampiri Heksa yang tengah menikmati film dan cemilan.
“Udah? Sini, yang.” Heksa tersenyum cerah, melempar cemilan itu hingga tergeletak di meja depan mereka.
Heksa merentangkan dua tangannya sebagai sambutan. Lizia tertawa pelan, tersipu malu nan lemah lembut khasnya.
Putri malu kesayangan Heksa yang akan Heksa pastikan menjadi putri pemberani dalam hal itu tentu saja.
“Wanginya kesayangan,” Heksa mengendus leher Lizia dan memeluknya erat.
“Geli,”
“Masa?” Heksa semakin sengaja menggesekan hidung ke lehernya, mulai menggelitik pinggang Lizia.
“Ah.. Hahaha.. Geli,” suaranya tetap saja terdengar lembut. Tawanya begitu menggemaskan di telinga Heksa.
“Ampun?”
“Iya hahahaha..” Lizia menggeliat mencoba menangkis, menahan lengan Heksa.
Heksa mengulum senyum setelah mengecup bibir dan pipinya lalu berhenti menggelitiknya. Dia menarik Lizia agar bersandar padanya.
“Kak Heksa.” panggilnya pelan saat sebelah jemari Heksa masuk ke dalam pakaiannya dan menyelipkan telapak tangan besarnya ke dalam bra.
Sepertinya akan menjadi kebiasaan. Telapak tangan itu hanya mendarat di sana, hanya meremas sesekali saja.
***
Lizia mengernyit merasakan silaunya matahari pagi. Lizia menoleh ke belakang lalu tersenyum saat tahu dia suaminya. Heksa.
Seperti biasa, satu telapak tangannya mendarat di dadanya. Bahkan piyamanya sampai berantakan akibat ulahnya.
Lizia perlahan melepaskan jemari besar itu. Dia merapihkan piyama dan keluar dari selimut. Dia akan mencoba memasak sarapan.
Ini hari pertama dia pindah ke apartemen Heksa. Dia harus cepat beradaptasi, kembali melihat semua isinya yang sudah lengkap.
Tentu saja. Lanon, Gea, Nimas dan Sion membantu menyiapkan semua barang. Mereka memang yang terbaik.
Lizia membuka kulkas. Dia mulai menimang, apa saja bahan yang harus dia keluarkan.
“Nasi goreng aja kali ya,” gumamnya.
Di kamar, Heksa tersenyum senang, tidak beranjak dari tidurnya agar bisa menikmati sarapan yang Lizia sedang siapkan.
“Diem aja bikin jatuh cinta, apalagi berusaha bikin sarapan. Kamu mau bikin aku tergila-gila segila apa, hm?” gumamnya dengan mood sangat baik.
Heksa menatap hantu mengganggu di jendela dengan senyuman, menyingkirkannya dengan tidak kesal. Malah tersenyum.
Sungguh mantan hantu yang kini semakin bucin.
Namun senyum Heksa perlahan luntur. Apa dia berhak sebahagia ini di saat bahaya tengah mengintainya dan Lizia?
Heksa menghela nafas berat. Suara derap langkah membuatnya segera terpejam dan pura-pura lelap.
“Untung belum bangun.” Lizia meraih ponsel dengan hati-hati. Namun langkahnya terhenti, dia ingin mencium Heksa.
Lizia mendekat, mengecup bibirnya lalu kembali keluar kamar. Heksa tersenyum dengan mata terpejam.
Ternyata hidup sebagai manusia memang yang terbaik. Bertemu dengan Lizia sungguh kado terindah.
Heksa akan lebih baik lagi memperlakukannya.
***
“Enak ga ya?” Lizia kembali mencicipi nasi goreng buatannya, dia merasa tidak percaya diri. Ini pertama kali dia membuatnya.
Lizia sampai tidak sadar dengan lamanya dia mencicipi, meragu dan terus hanya menimang gelisah.
Heksa juga sudah sangat tidak sabar sampai memutuskan untuk bangun sendiri tidak menunggu Lizia kembali ke kamar dan membangunkannya.
“Yang.”
Lizia tersentak pelan mendengar panggilan yang belum lama Heksa buat itu. Sejak malam pertama kalau tidak salah.
“Ya, kak?” sahutnya kaget dan berdebar. Dia masih belum percaya diri dengan buatannya.
“Ngapain?” Heksa menatap meja makan, ada dua piring berisi nasi goreng.
“Itu.” Lizia menunduk, terlihat sekali tidak percaya diri. “Aku ga tahu enak engganya, baru pertama bikin,” suaranya begitu pelan.
“Oh ya?” seru Heksa antusias. “Mana sini, senengnya dibuatin sarapan,” Heksa kecupi gemas pipi Lizia.
“Tapi ga tahu apa—”
“Udah ada niat mau bikin sarapan aja udah bagus, yang. Ga usah takut, aku suami kamu. Aku terima bahkan kekurangan kamu sekali pun.” potong Heksa sambil membingkai wajah Lizia. “Sini, ciuman dulu.” ajaknya.
Lizia berjinjit, bibirnya pun menempel dan Heksa menggendongnya agar leluasa menikmati bibirnya tanpa menyakiti leher Lizia.
Lizia membelit leher Heksa, mengusap tengkuk dan menyisir rambut belakangnya hingga berantakan.
Suara decap dari ciuman terdengar begitu nyaring, bukti ciuman keduanya semakin menuntut.
Heksa melepaskan bibirnya, menjauhkan sedikit wajahnya. “Sarapan dulu, bisa-bisa mau kamu kalau lanjut.” dia dudukan Lizia di kursinya.
Mereka mulai makan, Heksa begitu lahap.
“Kenapa kamu ga percaya diri? Seenak ini,” puji Heksa jujur.
Lizia tersipu, bagus kalau begitu. “Kalau gitu aku bikin sarapan ya, aku mau belajar banyak bikin makanan.” balas Lizia.
“Makasih, sayang.”
Lizia mengulum senyum senang. Seperti biasa, Lizia makan paling lambat dan seperti biasa, Heksa dengan hobby barunya.
Lizia mengunyah dengan sebelah dada di remas-remas. Apa seenak itu ya memainkannya?
Heksa dengan bucinnya terus menatap, membuat Lizia semakin lambat makannya.
***
Lizia terengah lega, dia telungkup di meja makan dengan kaki menopang lemas tubuhnya yang di serang Heksa.
Heksa memeluk perut Lizia, mengecupi bahunya. Membiarkan semua benihnya menyebar ke rahim istrinya.
“Haa.. Selalu luar biasa, kita lebih nakal dari saat itu ya, yang.”
Lizia tersenyum lemas dan mengangguk. Sungguh nakal. Selesai makan, dia yang di makan di meja makan.
“Enak posisinya?”
Lizia mengangguk, tidak sakit sama sekali walau Heksa agak cepat temponya tadi.
Heksa pun melepas belitannya, menatap miliknya yang tertanam seluruhnya itu. Perlahan menariknya.
“Kita ke kamar mandi.” Heksa segera menggendong Lizia dengan mudah menuju kamar utama dan sampailah di kamar mandi.
Keduanya membersihkan diri, memutuskan untuk bermalas-malasan di kasur. Bercanda manis, atau membahas tentang apapun.
“Aku anaknya mau dua,” Lizia menatap wajah tampan Heksa.
Heksa meremas sebelah dada Lizia, seperti biasa. Jemari sebelah tangan itu akan bertengger di dadanya. Lizia sudah lelah menghitungnya, saking sering.
“Aku sih, semaunya kamu karena kamu yang hamil.” lalu tersenyum, mengecup sekilas bibir Lizia.
“Tapi takut,”
“Takut Lahirannya?”
“Bukan, takut anak aku nanti tersiksa kayak aku. Katanya bisa turun ke anak. Walau ada sisi baiknya, tapi tetep aja. Sebelum ketemu kak Heksa, hidup aku ga kayak sekarang. Semua yang aku alami buat aku takut, jadi ga mudah deket sama orang,”
Heksa tersenyum, paham maksudnya. “Tapi kelebihan kamu itu bikin kita sama-sama. Tuhan kasih kamu kelebihan itu pasti ada alasannya..” balasnya.
Lizia mengangguk, setuju dengan ucapan Heksa. Ngocoks.com
“Kita jadi bisa terus kayak gini,” Heksa bergerak menindih Lizia.
“Kak, lagi?” Lizia mengerjap panik. Apa serius seharian mau diisi dengan bercinta?
Hingga sore tiba. Mereka baru tidur satu jam namun harus terpaksa bangun saat Lanon, Gea dan Nimas datang.
“Kalian ganti hobbykan? Tidur mulu! Nguap mulu,” goda Gea dengan bawelnya saking sudah akrab.
Lanon yang jadi lebih kalem sekarang.
“Kita terpaksa harus ganggu, soalnya Lizia masih bagian dari kita.” jelas Nimas membuka topik pembicaraan.
“Ada satu kebetulan di episode selanjutnya,” Lanon yang bersuara.
“Apa?” Heksa memicing, dia tidak ingin Lizia terkena masalah.
“Penjaga bekas pabrik yang waktu itu udah kasih izin, gue terawang di sana pernah jadi markas geng itu. Kita bisa terawang lebih jelas kalau di sana. Bisa aja ada bukti, mereka mungkin ga akan curiga. Karena Gea dan lainnya YouTuber terkenal,”
Heksa menatap Lanon lurus, dia tidak tahu apa yang sedang di rencanakan olehnya. Perasaannya tidak enak, padahal Lanon pun sama.
Nimas dan Gea mengangguk.
“Kita harus sama-sama,” Gea tersenyum.
Mereka semua kini tahu masalahnya. Mereka akan membantu, bukan soal Heksa saja tapi soal kemanusiaan.
Bersambung…