“Temenin Lizia dulu,” Lanon mengecup pelipis Gea dan mengusap kepala Lizia setelahnya lalu pergi bersama Heksa.
Mereka akan duluan melihat keadaan di sana. Jika membahayakan lebih baik ditunda lagi saja dan mencari tempat lain demi keselamatan.
“Gue coba bikin pagar, gelap banget energi di sini.” Lanon terpihat fokus memasang energi penangkal, bahkan memanggil mendiang kakek dan lainnya.
Lanon sudah meminta sejak lama, mereka pasti akan senang hati membantunya. Apalagi mereka memang selalu menjaganya dari dunia lain.
Mereka yang menangkal serangan-serangan gaib. Tentu atas izin sang pencipta alam semesta.
Heksa menatap sekitar, padahal masih siang menuju sore tapi aura di sini sungguh gelap bagai malam hari.
Heksa mulai mencari celah, apakah bisa dia menerawang jauh tanpa ketahuan. Di sini dukun dan pemimpin bisnis tidak akan diam.
“Ga ada celah,” gumam Heksa.
Lanon tersenyum samar. “Ada, baru dapet.” balasnya.
“Serius? Banyak pagar gaib, kita ga bisa terawang,” Heksa menatap Lanon yang kalem.
“Kakek kasih jalan,”
Heksa terkejut di duduknya. Di belakang tiba-tiba ada sosok kakek yang dulu memukulinya dan selalu membencinya.
“Kamu suami cucuku!” di pukul lengan Heksa, dia tetap kesal.
Heksa hanya tersenyum menanggapinya.
“Tapi, kek. Mereka juga kerja di sana. Apa kita ga akan ketahuan?”
“Entahlah. Di dunia kita, rumput saja bisa bicara. Angin menyampaikan kabar.” kakek mulai serius membuka energi gelap itu hingga perlahan terang. “Tapi kakek usahakan, tidak akan ada yang menyakiti cucu kakek.” lanjutnya.
“Kita harus musnahkan mereka dulu.” tambah sang kakek.
Heksa dan Lanon sontak melihat hantu bagai zombie itu.
“Buset, banyak banget.” gumam Lanon kaget melihat manusia hitam itu mulai berjalan hendak mengeroyoknya.
***
“Yang, nenen.” bisik Heksa sambil ndusel di bahu wangi Lizia.
“Besok aku shooting, kak Heksa ga lelah abis berantem?” Lizia mengusap kepala Heksa..
“Ga kok, nenen dong.” Heksa menusuk-nusuk sebelah dada Lizia dengan telunjuknya.
Lizia menahannya, menghentikannya. “Sebentar ya? Besok kerja, rekaman masa mukanya layu kelelahan.” lalu melepas satu kancing piyamanya.
“Oke, bentar.” Heksa melanjutkannya, membuka kancing hingga atasan Lizia semuanya terlepas.
“Enaknya jadi manusia, ga bikin kamu demam kalau ketempelan aku,” kekeh Heksa lalu merebahkan Lizia dan segera menghisap sebelahnya.
Lizia menggigit bibir bawahnya. Mulut hangat, lidah nakal dan hisapannya. Hmm.. Lizia menggeliat gelisah dibuatnya.
Setelah menjadi manusia, Heksa sepertinya sangat kecanduan dengan bobanya. Bangun tidur pasti sebelah jemarinya sudah bertengger di bobanya. Di mana pun pasti ingin menyentuh atau meremas.
Bisa-bisa miliknya semakin besar.
“Gemes banget, lembut, nyoy-nyoy.” ceplos Heksa sambil mengecupi keduanya.
“Shh.. Moy-moy?”
“Nyoy-nyoy,” ralatnya lalu tertawa pelan. “Aku panggil kamu moymoy ah..” candanya. “Kalau orang tanya, kenapa moymoy, bobanya nyoy-nyoy.” lanjutnya dengan tertawa geli.
Lizia ikut tertawa.
“Sini, aku kulum lagi ya, Moy-moy.”
Lizia mengangguk dengan mengulum senyum lalu perlahan mendesah merasakan mulut Heksa begitu rakus.
“Basah.” komentar Heksa sambil mengusap puncaknya yang belepotan basah, mengeras dan menonjol karena dihisap, ditarik dan dicubit.
“Ahh.. Geli, kak.”
“Geli tapi enakan,” bisik Heksa.
“Kak,”
“Kita kerja sambil bulan madu, yuk? Main sebentar ya? Kamu lelah ga?”
“Engga.”
“Tadi larang, sekarang kayaknya udah terangsang.” goda Heksa.
Lizia mengulum senyum. Seolah dia memang sudah begitu.
BRAK!
Keduanya tersentak kaget melihat sesuatu menabrak kaca, asap hitam tebal. Belum berwujud.
Heksa segera beranjak dari atas Lizia, dia menyelimutinya. “Tunggu, jangan turun.” biar dia yang maju.
Heksa memicingkan mata, beruntungnya asap hitam itu menghilang. Hingga bisikan menyapa keduanya.
“Bermainlah di bawah selimut anak muda, kalian itu pengantin baru dan wangi. Tapi, tenang. Kakek jaga kalian, teruslah berdoa. Lakukan apapun dengan di awali do’a..”
***
Lanon menatap Gea yang duduk di pangkuannya, dia duduk perlahan menekan miliknya hingga sepenuhnya masuk.
“Ahh..” lenguh Gea.
“Ngapain di masukin?” Lanon bertanya tenang, menatap Gea yang selalu cantik itu dengan lekat.
“Lagi mau kamu,” Gea mengecupi rahang Lanon begitu perlahan nan menggoda.
“Pake pengaman dulu,” bisik Lanon memperingatkannya. “Kamu masih belum mau diajak nikah.” lanjutnya.
“Oh iya..” Gea terkekeh pelan. Segera melepasnya lalu berlari kecil menuju laci.
“Kalau kakek tahu, aku bisa digantung dia,”
“Tapi kata kamu sekarang kakek fokus jaga Lizia, diakan lebih lemah kamu kuat,” bisik Gea menggodanya di akhir.
Lanon menggigit bibirnya sekilas. “Ayo nikah, kita udah 10 kali lakuin ini sejak tahun baru,” bisiknya sambil memasangkan pelindung di miliknya.
“Nanti.”
“Nanti itu kapan?” bisiknya dengan suara serak yang memberat rendah.
“AKH!” kaget Gea antara nikmat dan sakit. Saat tiba-tiba didudukan Lanon hingga tertancap sepenuhnya. “Ihh! Kasar!” kesalnya.
Lanon tidak membahas lagi, dia membuka pakaian Gea hanya bagian depannya saja lalu mulai mengajaknya bergerak.
Lanon tidak mau sebenarnya, tapi malam tahun baru saat itu membuatnya terpaksa hilang kendali.
Gea terhasut oleh pergaulannya di pertemanan antar artis, Di luar Nimas, Sion dan Lizia. Entah bagaimana dia berteman.
Tapi sekarang Lanon sudah melarangnya bergaul dengan mereka lagi. Bisa saja dampak buruk lainnya membuat Gea berubah.
“Pelan,” lirih Gea sambil terdongak menikmati lehernya yang dikecupi, hingga ke bobanya.
Gea selalu merasa melayang saking nikmatnya. Kesalahan yang terus terulang, Gea tidak tahu akan sampai kapan.
Dia tidak ingin— tidak, maksudnya dia belum siap menikah. Entah sampai kapan.
***
Lanon melepaskan pelukan Gea. Dia turun dari kasur, dia mengamati keadaan di luar sana. Asap hitam itu. Lanon bisa melihat, energi kakeknya sedang bertarung.
Lanon terpejam, dia mulai membantu. Untung Gea sudah lelap kelelahan.
Di tempat Heksa Lizia pun sama. Kedua manusia yang baru selesai bercinta beberapa puluh menit lalu, bahkan baru tidur 20 menit sudah harus terbangun. Ngocoks.com
Membantu sang kakek melawan energi kiriman itu. Benar, mereka sangat kuat. Sampai pergerakan selembut apapun ketahuan.
Nimas tersentak kaget melihat petir dan hujan tiba-tiba datang dengan teramat deras. Petirnya begitu kencang.
Nimas mendial nomor Gea namun tidak aktif.
“Ga mungkin minta temenin Lizia, dia bisa aja sibuk ngelonin suaminya. Sion aja? Iya, dia buat gue bukan cowok.”
Bersambung…