“Apa? Gila ya lo!” Sion menjitak kepala Nimas.
“Atuh, yon. Liat keluar, petir sama suasananya serem tahu!” kesalnya sambil masuk ke dalam lagi.
Sion menghela nafas berat. “Gue cowok, udah gede juga. Lo kata gue masih Sion yang dulu!” omelnya.
Nimas mencebik pelan. “Ga ada bedanya juga.” dumelnya.
JEDAAAR!
“Anjing! Eh,” Sion menimpuk mulutnya lalu mengelus dada. “Gede banget,” kagetnya.
Nimas memepet. “Kan, ngeri aja gitu.” lalu membelit lengan Sion.
Keduanya berakhir di sofa. Sesekali tersentak kaget karena petir yang menyambar. Suasana horor kini bertambah agak canggung.
Benar kata Sion, dia bukan Sion yang dulu. Entah sejak kapan dia menjadi lakik begitu. Nimas menelan ludah.
Lengan Sion yang dia belit bahkan berurat. Kekar sekali. Dia sungguh Sionkan.
“Yon, ini teh beneran.” Nimas mengusap lengan Sion.
Sion sontak tersentak, dia merasakan desiran itu lagi. Dasar Nimas! Mengusapnya begitu bagai menggodanya.
“Ck!”
“Lo sejak kapan kayak lakik?”
Bahkan gaya bicara pun lo-gue yang makin gaul karena pergaulan. Mereka sungguh berubah.
Nimas menelan ludah saat bersitatap dengan Sion. Kenapa suasananya jadi aneh. Seolah ada yang menghasut untuk melakukan kesalahan.
Perlahan, begitu pelan. Entah siapa yang mulai. Wajah satu sama lain saling mendekat, nafas terasa satu sama lain hingga bibir menempel.
Jantung keduanya sama berdebar. Tidak ada yang berusaha menarik diri. Malah Sion membelit Nimas, membuat jarak menghilang.
Bibir keduanya bergerak pelan, mulai saling merasakan satu sama lain. Kaku namun dinikmati.
***
Lizia terlihat layu, agak demam. Mungkin semalam bekerja keras, antara ranjang dan ilmu hitam itu.
“Nimas, Gea dan Lizia kompak sakit.” Sion tengah berbicara dengan staff lain. Sepertinya akan ada penundaan jadwal tayang juga. “Mereka demam, cuaca mungkin buruk.” tambah Sion.
Mereka rapat mendadak, kecuali Nimas, Gea. Mereka tetap di kamar, khusus Nimas dia tidak bisa berjalan.
Dan mereka pun memutuskan. Menunda dulu. Entah sampai kapan. Diusahakan hanya 3 hari. Jika lebih, mereka akan membatalkannya.
“Semalam ada energi besar bertabrakan, mungkin mereka terkena energinya, tapi tenang mereka akan baik-baik saja.” ujar guru spiritual yang selalu menemani mereka.
Mereka pun bubar. Guru spiritual itu mendekati Lanon dan Heksa.
“Kalian tidak akan mampu mengalahkannya, mereka tidak akan pernah terbasmi dengan mudah, akarnya sangat dalam susah di jangkau. Biarkan karma alam semesta yang menghukum mereka, kalian hanya akan celaka.”
Lanon dan Heksa diam. Masalahnya semalam kakek juga memperingatkan mereka untuk berhenti. Atau akan berakhir ada yang mati.
“Jika pun di buktikan, mereka tetap bisa lepas dari hukuman jika bukan akarnya yang tertangkap. Bisnis itu sudah lama, akarnya kuat, bahkan orang hebat juga banyak terlibat.”
Lanon melirik Heksa.
“Putuskan hubungan kalian dengan mereka. Sulit memang, kita manusia normal yang tidak tega melihatnya. Tapi di sini hanya kekuatan Tuhan yang bisa menghentikan mereka, mengalahkan mereka.”
Heksa melemas. Dia akan benar-benar menyerah saja.
“Istrimu akan terus melemah, mereka tidak akan mengambilmu,” tunjuknya pada Heksa.
Lanon mengepalkan tangannya. Dia pun merasa begitu, Lizia semalam terlihat lemah tak seperti biasanya.
“Berhenti. Fokus ke masa depan kalian, anak-anak tak berdosa itu akan selamat tapi bukan lewat kalian.. Kalian hanya akan mati sia-sia.. Mereka akan tetap berjaya.. Walau begitu, mereka akan terkalahkan kelak.”
Heksa sungguh memutuskan akan menyerah. Menyerahkan semuanya pada pemilik semesta untuk mengadili mereka.
“Jauhi orang tuamu, walau berat.”
Lanon mengusap lengan Heksa, menguatkannya. Lanon juga sudah bilang soal itu. Dia melihat jahatnya mereka yang kini rela kehilangan Heksa.
Mereka sudah terhasut iblis.
***
Lizia berkaca-kaca sambil mengusap kepala Heksa. Heksa menangis didadanya setelah menceritakan yang mereka obrolkan.
“Ada mama, baba.. Mereka orang tua kamu, ga usah takut sendiri. Sedihnya jangan lama,” bibir Lizia bergetar sedih.
Heksa menangis. Lizia tidak pernah membayangkannya. Membuatnya tertular.
Di tempat lain. Lanon bersama Gea terlihat diam, murung. Dia juga sedih. Tapi memilih untuk berhenti. Rumitnya mereka ternyata tidak seperti bayangannya yang mudah.
Dia tidak ingin adiknya menjadi korban.
“Kenapa?” Gea memeluk Lanon yang duduk bersandar di kepala ranjang.
“Kita nyerah. Bahaya buat Lizia.” singkatnya.
Gea paham, dia tidak banyak bertanya. Hanya memeluk, mengusapnya, menenangkannya.
“Pilihan bagus, serahin semuanya sama Tuhan, jangan bahayain Lizia, nanti kamu makin sedih.” Gea usap wajahnya.
Lanon mengangguk. Dia sandarkan kepala di bahu Gea, memeluknya sambil menikmati wanginya.
“Kamu masih anget, tidur.” Lanon mengurai pelukan.
“Engga, udah turun kok,” Gea kembali memeluk Lanon.
Keduanya terus begitu, sesekali berciuman. Cukup menghibur Lanon.
***
“Gue pikir lo lepas tanggung jawab,” Nimas tengah duduk bersandar di kepala ranjang sambil bermain game di tab.
“Mana bisa.” balas Sion sekenanya, dia fokus ke ponsel. “Jadwal di undur, nunggu kalian sembuh. Sakit barengan, ck.. Ck.. Gue pikir kembar tiga!” dia merampas tab di tangan Nimas.
“Ih! Lagi main game juga!” kesalnya.
“Ga denger? Kita nunggu kalian sembuh, mau uang ga sih? Pengennya banyak, kerja ga mau,”
Nimas menekuk kesal wajahnya. “Gue demam bisa aja semalem—” dia memilih bungkam. Membalasnya membuat suasana jadi aneh.
Sion menatap Nimas yang salah tingkah, dengan jutek memilih rebahan lagi.
“Apa? Gara-gara gue genj*t?” goda Sion lalu terbahak kencang dengan berusaha menangkis pukulan bantal ke arahnya.
“Lo bisa juga ternyata ya,” Nimas mulai berhenti memukul dan serius.
“Ha? Bisa apa?” tanyanya setelah tawa reda.
Nimas merapatkan kedua tangannya. “Begituan,” ujarnya sambil menggerakan telapak tangannya bertabrakan.
“Waa.. Lo ngejek?”
“Bukan-bukan!”
“Guekan udah bilang, gue bukan Sion yang dulu.” kedua kaki Nimas di tarik hingga memekik dan rebahan.
“L-lo mau ngapain? Sakit, masih sakit! Punya lo teh gede tahu!”
“Ah masa,” Sion menindihnya dan
BUGH!
“ARGH!” jeritnya kesakitan saat lutut Nimas menghantam pusatnya.
Nimas pun panik.
***
Lizia ingin di lap karena berkeringat karena demam. Membuat badannya agak lengket. Heksa mengabulkannya, itu hal mudah sambil mengambil kesempatan.
Heksa tetap untung karena bisa melihat setiap jengkal kulit Lizia.
“Emh.” lenguh Lizia saat bibir Heksa kembali mendarat, sungguh mengambil kesempatan dalam kesempitan.
“Bantu bersihin,” kekeh Heksa.
Bantu bersihin katanya. Dadanya dijilat-jilat bukannya bersih malah penuh liur. Heksa sungguh doyan boba.
“Enh, geli.” Lizia menggeliat geli.
Heksa mengenyotnya gemas.
“Ah kak Heksa!” Lizia memukul manja lengan Heksa lalu tertawa pelan kegelian. Ngocoks.com
Heksa pun menyudahinya. Tersenyum sambil mengusap Lizia. Maafkan dia yang egois. Dia tidak ingin kehilangan Lizia lagi.
Dia akan mengakhiri hubungannya dengan kedua orang tua walau berat. Tapi dia sungguh tidak ingin terlibat. Mereka bukan orang tuanya yang dulu.
Heksa terisak lagi.
Lizia segera memeluknya. Heksa memang mengajaknya bercanda, tapi tetap dia sedang tidak baik-baik saja.
Yang di pikir mudah ternyata tidak mudah.
Bersambung…