Lanon membiarkan guru spiritualnya yang membersihkan rumah dari kiriman orang-orang di belakang orang tua Heksa.
Heksa saat tahu sungguh emosi. Dia sungguh sudah menyerah, tidak akan ikut campur lagi walau hati tersiksa. Tapi, kenapa mereka mengganggu lagi.
“Udah, cuma peringatan aja kalau kita macem-macem mungkin mereka ngirim yang lebih dari itu.” kata Lanon.
Lizia mengusap Heksa yang merasa bersalah karena membawa mereka benar-benar terseret.
“Rumah udah aman, udah ga segelap tadi.” Lanon menghela nafas. “Gue ga ngeh, mungkin lelah kerja waktu datang ke sini sama Nimas, kru lain..” lanjutnya.
“Kakak ke sini emang di tutup aja, mungkin karena lelah juga.. Nimas juga ketempelan udah diatasi kok.. Yang lainnya juga..” ujar Lizia.
Semua masalah selesai, ternyata hantu jelek penjaga jendelanya cukup membantu walau suara tawanya kadang mengganggu.
Lizia mengusap lengan Heksa. “Ga papa, ga ada yang luka serius.” bisiknya menenangkan dengan lembutnya.
Heksa tersenyum, mengusap pipi Lizia sekilas.
“Ga ada yang ganggu?” tanya Lanon.
“Di apart aman, paling hantu yang lewat dari luar ada.” jawab Heksa.
Lanon pun mangut-mangut.
“Gea gimana? Kali ini kayaknya kalian serius pisah ya kak?” tanya Lizia.
“Itu yang terbaik, buat apa hubungan lama tapi ga nikah.” Lanon terlihat lebih tenang, sepertinya sudah menerima keadaan berpisah dengan Gea. “Kita temenan sekarang,” lanjutnya.
“Yang penting hubungan ga jadi renggang.” tambah Lanon.
“Itu yang penting, Gea juga udah mulai ga terlalu galau..” balas Lizia.
Mereka lanjut ngobrol hingga Celine dan Abidzar datang setelah dari desa, memastikan panen berjalan lancar.
“Baba,” Lizia tersenyum menyambut dan memeluknya.
“Kangennya baba sama kamu, nginep di sini hari ini?” tanyanya begitu lembut.
Heksa tersenyum melihat interaksi keduanya. Kelembutan Lizia sungguh turunan Abidzar.
“Engga kayaknya, baba.”
“Kenapa? Kita baru ketemu setelah seminggu lebih,” Abidzar merangkul sayang Lizia lalu memeluk sekilas Heksa dengan satu tangannya yang bebas.
“Makin kekar aja mantu baba,” pujinya.
“Baba makin seger aja,” balasnya.
“Ini mama ga diizinin peluk Lizia, ba?” sindir Celine yang menatap interaksi itu. Dia kini hanya bisa merangkul Lanon.
“Mama sama aku aja,” Lanon memeluk Celine.
“Ck! Ada maunya ya?” Celine menepuk gemas pipi Lanon.
“Aduh, sakit ma,”
“Bukannya nikah, malah diputusin!” omelnya. “Cuma Gea calon mantu yang mama mau, udah klop sama mama!” omelnya lagi.
“Haa.. Kayaknya aku harus berangkat,” Lanon segera mengalihkan topik.
“Ga sopan dasar!” Celine menampar manja pantat Lanon yang kini berdiri dari duduknya.
“Aduh, serius harus pergi, mau jemput Gea..”
“Loh, bukannya putus?”
“Salah, maksudnya Thea.. Gebetan baru,” goda Lanon, padahal bukan begitu. Thea sudah memiliki tunangan, berurusan dengan Lanon hanya untuk urusan bisnis.
Celine sontak semakin menyerang Lanon, bagaimana bisa dia move on secepat itu. Lanon memilih pamit.
Kini Lizia memeluk Celine, keduanya mulai berbincang tentang apapun. Mulai merencanakan hari untuk pergi belanja setelah sekian lama.
Heksa menatap kehangatan keluarga ini. Sungguh membuatnya iri. Dia pun yakin, tidak ingin membuat keluarga baik ini menerima dampak dari yang dirinya buat.
Setidaknya kelak, anaknya akan mendapatkan nenek dan kakek yang sangat baik. Heksa hanya perlu menjamin anaknya tidak merasakan apa yang dia rasakan.
***
Nimas menatap Sion yang basah kuyup, tiba-tiba muncul di depan pintu apartemennya. “Ngapain? Bukannya lagi sibuk?” tanyanya.
Nimas membiarkannya masuk, dia memilih segera membawa handuk baru.
“Berasa kayak punya 9 nyawa kamu teh ya, jadwal mulai sibuk, malah ujan-ujanan!” omelnya senewen.
Kalau sakit ribet, jadwal diubah lagi kan jadi malas. Rasanya tidak beres-beres pekerjaan.
“Udah lama ga denger logat sunda, denger lagi.” kekeh Sion.
Nimas mendengus, dia segera menyiapkan air hangat. Membiarkan Sion mandi dan berganti pakaian. Untung ada pakaiannya walau hanya 2 setelan santai bekas nginep dulu.
“Kali ini masalah apa lagi, jangan bilang nyokapnya atau bokapnya bikin dia marah,” gumam Nimas sambil menghangatkan makanan.
Rasanya tidak mungkin Sion hujan-hujanan dengan sengaja, dia akan membeli payung di minimarket jika pun ke pepet.
Nimas menyiapkan semuanya di meja ruang tengah, sambil menunggu dia memilih film yang cocok untuk mengisi kegabutan.
Baru jam 7 malam.
Sion pun keluar dengan lebih segar, rambutnya juga sudah di keringkan. Dia berjalan santai, duduk di samping Nimas sambil memepet dan mencium pipinya.
Nimas melotot kaget.
“Makin berani ya lo!” serunya kesal.
Sion hanya cekikikan sambil minum air hangatnya sedikit lalu memulai makan tanpa izin, dia tahu itu untuknya. Nimas mana mau makan berat malam-malam.
Sion memakannya, membiarkan suara televisi yang mengisi kekosongan, dan membiarkan hujan diluar sana menjadi suara tambahan.
Menenangkan, cukup membuatnya rileks. Pertengkarannya dengan sang ayah cukup menguras emosi.
“Aaaaaa! Apaan tuh?!” Nimas loncat sampai ke pangkuan Sion.
Sion merem merek kaget saat tidak sengaja rambutnya mengenai wajahnya. Dia segera menangkap Nimas yang belum seimbang.
“Apa?” Sion menatap yang ditunjuk Nimas.
“Ada yang lewat, item. Apa ya?” ngerinya. Begini nih resiko shooting di tempat-tempat angker, bergelung dengan indigo. Bawaannya parno kalau sampai rumah.
Hari ini saja Nimas belum menelpon teman-temannya untuk menginap, asistennya juga bahkan pulang tidak menginap. Mungkin karena Sion datang, jadi dia tidak terlalu ngeri sendirian.
“Belek kali, di mata.”
Nimas segera memeriksa matanya. “Ga ada juga!” kesalnya lalu bergerak hendak turun dari pangkuan Sion.
Sion menahannya. Nimas melotot.
“Lepas ga?!”
Sion membaliknya hingga rebahan, bahkan menindihnya. Dia menahan Nimas yang meronta.
“Gue Berantem sama bokap,”
Nimas pun berhenti meronta. “Biasanya juga lo abaiin, kenapa malah diladenin, orang tua kayak gitu harusnya biarin aja, mau ke ekspos ke media juga dia tetep bakalan jelek,” balasnya.
“Ga usah cium-cium leher!” Nimas mencubit pinggang Sion.
Sion hanya meringis tetap mengecupinya sampai Nimas kegelian.
“Lo ga pake BH ya?”
***
Lizia menahan Heksa yang hendak menciumnya lagi. Dia tidak bisa menahan, dengan segera ke kamar mandi.
Lizia memeluk pakaian di tubuhnya yang berantakan akibat dikoyak Heksa. Dia memuntahkan semua makan malamnya.
Kenapa mual sekali.
“Yang, muntah? Hamilkah?” Heksa begitu riang gembira.
Heksa mengusap tengkuk Lizia, membantunya yang terus muntah.
“Masa karena ciuman sama aku, masuk angin apa ya? Moga aja hamil,” Heksa memeluk Lizia yang lemas.
“Minum lemon kayaknya,” Ngocoks.com
“Oh iya, asam lambungnya naik ya? Tapi nanti coba cek ya, hamil atau engga.”
Lizia mengangguk. “Kak Heksa semangat banget,” kekehnya lembut agak lemas.
Heksa menyeka air di bibir Lizia. “Jelas, aku mau ada yang panggil aku ayah, terus panggil kamu bunda..” bisiknya.
Mereka kembali berciuman, selalu terlihat mesra sambil berpelukan. Bercanda ria lalu tiduran. Berbincang ringan sebelum mimpi menjemput.
Heksa membuka matanya cepat saat mendengar hantaman di jendela. Seperti benda besar namun tidak ada.
Lizia masih terlelap pulas. Hanya dirinya yang mendengar sepertinya. Tapi, tunggu. Dia sedang mimpi? Dia tengah berdiri melihat tubuhnya sendiri. Tubuhnya masih terlelap pulas di samping Lizia.
Suara tawa melengking nyaring. Itu suara nenek sihir di rumahnya. Tidak! Kenapa dia datang?
Bersambung…