Lizia memakai pakaian serba tertutup, memastikan tidak akan mudah di lepas oleh hantu kriminal itu! Nakal sekali dan lebih nakal dari hantu yang selalu muncul tiba-tiba.
Heksa yang duduk di Sofa Lizia hanya memandangnya datar, dia sudah tidak bisa melihat kaki jenjang mulus Lizia dan perutnya yang selalu terlihat karena kaos yang dipakainya di rumah selalu crop top.
Lizia melirik Heksa yang hanya duduk menatap ke arahnya itu. Entah kapan dia bisa pergi, tapi jika pergi maka semua hantu akan tertarik lagi padanya.
Jujur saja, dengan adanya Heksa, semua hantu menyeramkan tidak berani mengganggunya. Heksa bagai penangkal.
“Gue kayaknya udah lama berkeliaran di dunia hantu, entah gimana kehidupan gue sebelumnya. Gue tiba-tiba aja ada di dunia yang penuh hal aneh, manusia kepala kuda, ular kepala manusia dan masih banyak lagi. Gue merasa paling normal, gue kayak manusia, lo merasa gitukan?”
Lizia duduk di ujung kasur, mencoba berani menatap Heksa yang wujudnya memang terlalu sempurna untuk ukuran hantu.
“Apa lo tahu alasannya? Lo punya hal spesial, apa lo ga bisa korek masa lalu gue?” Heksa terlihat lebih santai, aura playboy dan m*sumnya cukup tidak terlihat.
Usilnya Heksa memang agak lain. Bukan membuat orang jatuh, kaget atau hal lain yang dilakukan para hantu.
Usilnya Heksa memang nakal di jalur lain. Dasar m*sum!
Lizia menatap wajah tampannya lekat, mencoba menyerap energinya dengan harapan tertarik ke masa Heksa masih hidup.
Tidak ada.
Lebih tepatnya tidak bisa. Pandangan Lizia gelap seperti ada yang menghalangi. Energi Lizia bahkan tersedot banyak sampai mimisan.
Heksa segera beranjak, dia meraih tissue dan menyerahkannya. Lizia menerima dan segera menyeka darahnya.
“Gimana? Lo dapet?” Heksa usap kepala Lizia, rambutnya halus sekali. Dia sungguh senang bisa bertemu Lizia, menyentuhnya dan kelak dia akan mengajak Lizia tidur bersama.
Dia sungguh ingin merasakan itu, melakukan yang belum dia lakukan. Sepertinya dia mati muda? Entahlah.
Heksa sungguh tidak akan melepaskan Lizia.
Lizia menggeleng dengan masih sibuk pada darah yang keluar dari hidungnya. Tubuhnya lemas seketika.
“Gelap, ini pertama kalinya aku ga bisa.” ujar Lizia pelan.
Heksa memasukan kedua jemari tangannya ke setiap sisi saku seragamnya. Berdiri santai menunggu Lizia selesai dengan darah di hidungnya.
“A-aku butuh tidur. Aku mohon, jangan lakuin hal kayak waktu itu. Aku mau diajak kerja sama buat cari apa yang terjadi sama kamu, tapi jaga batas. Kita beda alam.” tatapan Lizia tetap menunduk tidak percaya diri.
“Hm.” gumam Heksa malas.
Heksa menatap hantu yang mengintip di jendela, dia segera mengusirnya. “Cewek gue mau tidur, pergi!” usirnya galak.
“Ga bisa masuk, bang. Kok abang bisa masuk?”
“Gue cowoknya, bawa temen lo jauh-jauh, jangan berisik!”
Lizia melirik sekilas dengan agak salah tingkah. Apa katanya? Cewek gue? Lizia melirik semua mantra, jimat dan hal lain yang mengisi kamarnya. Semua hal yang katanya bisa mengusir hantu, sungguh tidak ada efeknya pada Heksa.
Hantu yang lain tetap tidak bisa masuk. Lizia jadi penasaran.
Lizia pun mulai bersiap tidur. Dia akan kembali nyenyak. Akhirnya bisa tidur dengan normal tanpa suara bising dari para hantu.
Semua berkat Heksa?
Lizia mulai terlelap. Sedangkan Heksa menatap sosok yang tidak asing. Dia menembus pintu, dia keluar dari rumah Lizia dan berhenti di taman.
“Lo boleh deket, tapi tahu batas bajingan!”
Bug!
Bug!
Bug!
Heksa mencoba melawan, menepis tanpa mau kalah. Para hantu menonton perkelahian itu. Bahkan Lizia dalam mimpinya pun ikut menonton.
***
“Demam, dasar nakal!” Celine menjitak kening Lanon yang panas.
“Akh! Mama!” pekiknya agak merengek kesal. “Katanya demam, bukannya di sayang!” rajuknya.
“Ga usah sekolah.” Celine memasangkan pereda panas di kening Lanon dengan kesal. “Makanya dengerin kata orang tua! Jangan lewatin makan malam! Tidur terus kerjaannya!” omelnya.
Abidzar yang belum berangkat bekerja hanya berdiri sambil tersenyum melihat Celine yang mengomeli Lanon. Tingkah keduanya, keras kepalanya sungguh mirip.
Lizia yang mendengar keributan di kamar kakaknya jelas menghampiri mereka, menatap Lanon.
“Kakak kenapa memar? Berantem ya?” tanya Lizia lembut penuh perhatian.
“Memar?” Celine menatap anaknya. “Kakak cuma demam, ga ada memar, sayang.” Celine usap lengan Lizia sekilas.
Lizia sontak terdiam.
“Ekhem! Kakak ga sekolah, kamu berangkat sana..”
“Iya, ini mau.” Lizia berpamitan, menerima pelukan dan kecupan di pipi dari kedua orang tua dan kakaknya.
Lizia melirik sekilas Lanon yang memalingkan wajahnya. Lizia yakin, dia melihat memar tapi orang tuanya tidak?
Selain Heksa, Lizia juga penasaran dengan kakaknya itu. Apa dia sama seperti dirinya setelah bertambah umur? Mata batin yang kembali terbuka dengan sendirinya.
“Aw! Sakit, mama!” keluh Lanon saat omelan Celine di sertai pukulan kesal saking cemas.
Celine memang paling tidak bisa melihat anak-anaknya sakit. Dulu Lizia sakit sampai hampir meninggal akibat hal mistis. Sejak saat itu, sakit seringan apapun selalu membuat Celine takut dan cemas berlebihan.
“Baba! Bawa mama, malah bikin makin sakit,” dumelnya.
“Jadi kamu ga butuh mama?” amuk Celine semakin gemas. Dasar tidak pernah akur, sekalinya akur romantis sekali.
Abidzar segera membawa Celine ke kamar. Mendudukannya di ujung kasur.
“Anak kita sakit wajar, kamu terlalu berlebihan, sayang.” suara Abidzar tetap lembut, penuh kasih sayang.
Celine menghela nafas panjang. “Hal spesial yang Lizia dapat waktu kecil, buat aku trauma, Abi. Lizia hampir jadi mayat, aku ga mau kehilangan mereka.” lirihnya.
“Aku juga ga mau, kita berdoa ya, semua baik-baik aja. Lizia sama Lanon di jaga, terkhusus Lizia. Dia udah dibekali ilmu,” Abidzar menarik Celine, memeluk dan mengusapnya sampai tenang.
“Lizia liat Lanon memar, kita ga liat. Apa hal mistis yang buat Lanon demam?”
Abidzar menggeleng. “Aku ga tahu, sekarang fokus sembuhin Lanon dulu. Kalau ga kunjung sembuh, kita bawa ke guru spiritual mereka.” bisiknya.
Celine mengangguk, mendongak dan mencium Abidzar. “Jangan kerja, tiba-tiba kangen dan mau kamu.” bisiknya.
“Mau liburan? Kita rencanain, hm?” Abidzar tahu, betapa mumet Celine yang selalu di rumah.
***
Lizia melirik Heksa yang nemplok di punggungnya dengan dagu di bahu Lizia. Mereka begitu intim.
Lizia menggeliat tidak nyaman. Dia sedang olah raga. Hari ini jadwalnya olah raga. Bersama kelas sebelah yang jadwalnya di tarik ke jam yang sama.
“Lizia ya, salam kenal. Aku Hengky,” senyumnya begitu manis, tatapannya lembut bagai laki-laki baik.
“O-oh.. Iya,” cicitnya sambil menerima sekilas uluran tangan itu. Lizia berdebar, bukan karena dia tampan. Tapi ini pertama kalinya ada laki-laki mengajaknya berkenalan.
Biasanya di sekolah terdahulu, laki-laki usil yang mendekatinya, membuatnya tidak nyaman karena bullyan mereka.
Tapi kali ini terlihat berbeda.
Heksa menatap tajam wajah Hengky dengan penuh permusuhan. Berani sekali dia mendekati Lizia.
“Kamu pindah kenapa? Dari sekolah bagus ke sekolah umum begini,”
“I-itu, aku kurang nyaman aja.” Lizia tertunduk malu.
“Kita sekelas, tapi baru kenalan sekarang. Kamu selalu keliatan sibuk soalnya, jadi ragu buat ajak kenalan.”
“Lebih baik ga usah ajak kenalan,” sewot Heksa.
Entah kenapa, pertemuannya dengan Lizia yang singkat rasanya tidak singkat. Dia bagai sudah kenal Lizia dari lama.
“Anak-anak, setelah pemanasan, kita akan bermain bola volly,”
***
Lizia menatap Heksa yang masuk ke ruang gantinya. Lizia sontak memeluk tubuh atasnyaa yang hanya tertutup bra. Ngocoks.com
“Ka-Kamu!” suaranya begitu pelan dan panik. Di luar banyak temannya.
“Aku lagi jaga, banyak hantu yang mau ke sini.” datar Heksa seolah tidak tertarik berbuat m*sum lagi padahal mati-matian menahan untuk tidak mendaratkan bibir ke dua boba mungil yang menyembul di bra.
Lizia terhenyak saat melihat makhluk besar yang mengintip, Heksa jelas segera mengusir mereka.
Lizia merasa terpojok saat Heksa tidak sadar terus menghimpitnya di dinding toilet. Jika begitu, bagaimana Lizia bisa mengganti pakaian.
Heksa menunduk, mengendus leher Lizia yang begitu menegang kaku.
“Ck! Lucu, semakin takut semakin lucu,” bisiknya.
Dengan usil, Heksa melepaskan ikatan bra Lizia lalu menjauh dan memunggunginya dengan senyum miring terbit begitu tampan.
Lizia yang panik jelas memeluk dirinya sendiri lalu melirik kesal Heksa. Itu pertama kalinya Lizia bisa berekspresi kesal. Biasanya dia hanya akan mengalah dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Lizia jadi terlihat lucu. Abidzar persi perempuan memang menggemaskan.
Bersambung…