Heksa menangis kencang hari ini. Hari di mana kedua orang tuanya di hukum mati. Wasiat yang diberikan membuat Heksa semakin sakit.
Permintaan maaf dan doa tulus terakhir dari mereka membuat Heksa tidak bisa menghentikan air matanya.
Nimas, Gea ikut menangis. Sangat sedih dan campur aduk jika menjadi Heksa. Satu sisi lega, tidak ada korban jiwa lagi, tapi sisi lainnya Heksa harus benar-benar kehilangan orang tuanya. Selamanya.
Sion hanya menatap langit-langit, mencoba menahannya. Lanon hanya menunduk dengan sesekali menyeka sudut matanya.
Mungkin perasaan yang dia rasakan kini sedang Lizia rasakan.
Pelajaran bagi Lanon, bahkan mungkin bagi Gea, Nimas, Sion, Lizia dan Heksa.
Sekuat apapun ilmu hitam melindungi bisnis, awal akhir tetap akan berdampak buruk. Tidak akan bisa menjadi selamanya. Apalagi bisnis mereka bisnis gelap.
Ada karma yang menanti diujung perjalanan. Tidak akan bahagia sampai kapan pun. Yang ada hidup tidak tenang, ada saja masalah yang datang.
Bahkan Heksa baru tahu, ibunya memiliki penyakit parah, uang yang banyak itu tidak bisa semua dinikmati. Habis oleh obat dan perawatan.
Ayahnya juga selingkuh, uang cepat habis oleh perempuan-perempuan itu. Oleh judi, pantas saja selalu merasa kurang.
Mereka tidak pernah puas karena memang uang panas itu cepat habis.
Heksa menatap televisi yang menunjukan wajah dari dalang yang membuat orang tuanya harus berakhir begitu.
Sosok yang sangat dihormati banyak orang ternyata menjalankan bisnis yang sangat mengerikan.
Negara ini sedang tidak baik-baik saja. Tapi untungnya media sangat berkembang sekarang, mereka akhirnya bisa diadili dengan viralnya sebuah kasus.
***
Heksa menatap cerahnya langit. Orang tuanya sedang apa ya? Apakah di sana mereka sedang di hukum sesuai apa yang mereka lakukan? Walau begitu, Heksa tetap berharap, terus berdoa juga, semoga dosa keduanya di ampuni dan diberikan tempat yang baik di sana.
“Papaaaahh!”
Heksa tersentak kaget. “Apa Dirly! Papah kaget loh,” sahutnya sambil mendekati si bogel kesayaangan dia dan Lizia.
Anak pertama mereka yang kini hampir berusia 5 tahun.
Heksa menggendongnya.
“Alya nangis dia cium-cium terus,” kini Lizia yang keluar dari rumah tetangga mereka.
Sudah dari Dirly bayi mereka pindah ke perumahan, katanya agar lebih berbaur saja. Di apartemen anak kecil memang agak susah untuk bermain.
Lihat, Dirly yang bule kini kulitnya mulai gelap karena sering bermain sepeda. Tapi Heksa dan Lizia senang, Dirly banyak temannya.
Dia sungguh mudah bergaul dan ramah seperti Heksa. Bahkan hal lainnya pun menurun pada Dirly.
Dirly suka memeluk gadis kecil yang cantik, suka mencium. Darah keturunan sungguh tidak bisa ditutupi.
“Ga papa, yang.” Heksa membiarkan Dirly turun dan masuk ke rumah duluan karena takut diomeli Lizia.
Lizia memang sangat lembut, tapi jika marah kalian pasti akan terkejut. Heksa juga tidak tahu Lizia memiliki sisi itu.
Semenjak Dirly nakal, sisi galak Lizia mulai muncul. Walau begitu, di mata Heksa Lizia tetap menggemaskan.
“Nakalnya itu cium-cium, siapa yang ajarin coba, kak Heksa juga ga pernah tuh cium aku di depan dia..” sebalnya.
“Asal jangan jadi hantu mesum aja, yang.” kekeh Heksa mencairkan suasana.
“Kalau itu kak Heksa,”
Heksa hanya tertawa. Dia rangkul Lizia untuk kembali ke dalam rumah, cuaca mulai panas.
Heksa jadi ingat saat pertama kali bertemu Lizia. Sosoknya hantu yang nakal karena seenaknya asal sentuh.
Jika tidak bertemu Lizia saat itu, mungkin sampai saat ini tidak akan ada Dirly. Dia akan menjadi hantu yang asyik mengintip para gadis SMA, menyentuh mereka yang tidak sadar dia sentuh hingga demam.
“Mantan, Hantu tampan nakal ini mau anak kedua, bisa acc, yang?” godanya sambil mengecupi puncak kepala Lizia.
“Ga sekarang, kak. Mau shooting dulu,” Lizia mengecup dagu Heksa lalu berlari masuk ke rumah duluan.
Heksa tersenyum tidak memaksa lalu melirik sosok yang tidak asing. Nenek sihir penuh dendam itu.
Heksa mengabaikannya, dia tidak akan bisa menyentuh keluarga kecilnya. Semua orang yang dia sayang sudah di pagari.
Kakek Lizia pun terus menjaga, bahkan keturunannya pun ikut dijaga. Mereka tidak akan bisa menembusnya. Apalagi mereka selalu berdoa setiap harinya.
Hidupnya sudah normal dan damai semenjak kasus selesai.
Saatnya menikmati setiap detiknya tanpa gangguan apapun. Semoga saja selalu begitu.
***
Dirly menatap banyaknya kamera dan sebagainya. Dia hanya mengikuti Heksa yang menuntunnya agar tidak mengacau.
“Mamah kerja, papah?”
“Iya, kerja dulu. Jangan nakal ya,”
Dirly mengangguk. Dia anteng melihat ini itu, ngemil dan minum. Dia memang sangat aktif, tapi patuh. Nakal namun masih bisa ditegur. Siapa pun akan sangat menyukainya. Ngocoks.com
Heksa melihat beberapa hantu yang tengah dijelaskan oleh Lizia dan Lanon. Penelurusan malam ini ke tempat yang tidak terlalu bahaya, makanya Heksa berani membawa Dirly ikut dengannya.
Heksa tersenyum menatap Lizia yang tidak berubah sama sekali walau sudah memiliki satu anak. Dia bahkan semakin bercahaya, aura wanitanya kian keluar.
Lizia tetap ingin bekerja, katanya dia bosan jika terus di rumah. Cukup selama hamil dia cuti dari layar kaca.
Penelusuran GNS yang awalnya hanya tayang di Youtube, kini tayang di TV. Sungguh pencapaian yang hebat.
Bahkan anggotanya mulai kembali lengkap. Gea yang awalnya keluar kembali karena mungkin merindukan nuansa kerjanya.
Lanon dan Gea tetap menjadi teman sedangkan Nimas dan Sion semakin lengket namun entah apa status mereka.
Yang jelas semua berjalan lancar. Tidak ada gangguan dari nenek sihir kiriman orang-orang itu lagi.
“Papah, nenek itu kenapa di sini.”
Heksa menatap Dirly agak kaget, setahu mereka Dirly tidak bisa melihat. “Kamu bisa liat neneknya?” tanyanya.
Dirly bergerak mendekati Heksa agak takut. “Papah, takut.” lalu ndusel dan bersembunyi.
Heksa memeluk Dirly di pangkuannya. Sesekali memang mungkin wajar ya, Dirly masih kecil juga. Masih bersih. Semoga tidak sampai besar bisa melihat.
“Ga papa, dia baik kok.”
***
Mereka semua berkumpul untuk sarapan setelah malamnya penelusuran dan berjalan dengan lancar walau ada kru yang kerasukan.
Itu wajar, tidak semua orang dalam kondisi baik saat itu.
“Makan buburnya ganteng,” Lanon Menggendong Dirly, mengambil alih dari Lizia.
“Ga mau!” Dirly menggeliat ingin kembali pada Lizia.
“Demam dia, semalem ketemu siapa?” tanya Lanon pada Heksa.
“Liat nenek-nenek, udah ga ngikut lagi tenang aja,” jawab Heksa yang tengah menikmati sarapannya.
“Lain kali jangan bawa walau tempatnya ga bahaya, masih kecil dia,”
“Kita mau liburan sekalian, kak. Makanya di bawa,” balas Lizia yang mulai menyuapi Dirly sedikit demi sedikit.
“Kita juga mau kayaknya,” sahut Gea. “Yakan, Nimas?” tanyanya.
Nimas mengangguk. “Pantainya cakep, cuma sejam dari sini. Udah lama juga ga kumpul lengkap gini.” jawabnya.
“Gue masih harus kerja,” Sion menatap tabnya.
“Ck! Sebentar aja,” Nimas menyeka nasi di bibir Sion sekilas.
“Iya, ayolah Yon,” kompor Gea.
Lanon hanya diam menatap Gea. Jujur, dia merindukan saat Gea bermanja padanya. Lanon terlalu gengsi ingin mengajaknya bersama lagi, begitu pun Gea.
Mereka hanya bisa terjebak di status jomblo selama ini walau beberapa kali mendapat kenalan namun selalu gagal.
Pagi pun diisi dengan obrolan ringan. Mereka sungguh sudah lama tidak kumpul selengkap pagi ini.
Lizia menatap Heksa penuh cinta. Suaminya itu tengah berbincang dengan Sion dan Lanon. Mereka sungguh sudah menjadi pria dewasa.
Tidak ada Heksa remaja mesum yang menjadi hantu. Kini hanya ada Heksa dewasa yang sosoknya nyata. Tidak membuatnya sakit.
Bahkan kini ada Dirly di antara mereka.
Lizia menatap ponselnya.
“Mamah, nenek telepon! Mau ketemu nenek, kakek juga.” Dirly begitu senang.
Heksa menoleh mendengarnya lalu berpindah duduk dekat mereka. Dia ingin menyapa Mertuanya juga.
Mertua yang sangat luar biasa. Nenek dan kakek yang sangat Dirly sayang saking baiknya.
“Hallo, cucu nenek!” sapa Celine.
“Nenek!”
“Pagi, mama..” sapa Heksa lalu Lizia juga.
“Pagi, kalian kapan pulang? Mama mau siapin makanan kesukaan Dirly,”
“Kayaknya kita lanjut liburan dua atau tiga hari deh, ma.” jawab Lizia.
“Mama ga telepon aku,” teriak Lanon.
“Ga! Mama masih kesel sama kamu!”
Lanon tertawa pelan sebagai balasan. Yang penting ibunya itu sehat, sudah cukup.
“Nenek, aku liat nenek serem,” adu Dirly.
“Oh ya? Mana? Nenek jewer karena udah ganggu cucu nenek!”
“Udah ga ada,”
“Siapa, ma?”
“Oh, anak-anak, ba.” balas Celine pada Abidzar yang baru gabung.
Abidzar memakai kacamatanya agar jelas melihat orang-orang yang dia cintai di layar tabnya itu.
“Kakek!” Dirly begitu riang.
“Cucu kakek makin semangat, makin ganteng, baik-baik di sana ya,” Abidzar mengulum senyum lembut.
“Dirly baik, baba..” Lizia mengusap rambut anaknya.
“Pasti, cucu baba pasti baik, nanti kakek belikan robot lagi..”
“Asyiik!”
Heksa tersenyum hangat. Semua kian baik-baik saja. Anaknya tidak akan merasakan apa yang dia rasakan. Anaknya harus kenyang kasih sayang. Dan Tuhan mengabulkan inginnya.
Kini dia memang sendirian di dunia ini, tapi memiliki Lizia dia tidak sendirian lagi. Dia bisa merasakan keluarga yang utuh.
Sungguh tidak ada alasan untuk mending jadi hantu lagi. Dia sangat bahagia dengan takdirnya kini.
“Selamat ya, sayang. Atas terbitnya novel Hantu Tampan Nakal, mama tidak tahu kamu memiliki jiwa seni, padahal mama sama baba ga bisa sama sekali..”
Lizia mengulum senyum, dia tidak malu lagi dengan karyanya yang dewasa. Keluarganya tahu, teman-temannya pun tahu. Mau bagaimana pun, tulisannya tetap sebuah karya kan?
“Makasih, mama.”
“Terus berkarya, baba bangga..” Abidzar mengacungi dua jempolnya, dia memang belum sempat membacanya mungkin nanti jika ada waktu luang yang cukup banyak.
“Makasih, baba.”
Memang dukungan yang terbaik itu datang dari keluarga. Saat itu Lizia hampir menyerah dengan karyanya.
Tapi benar kata Heksa. Yang Lizia buat, tetap sebuah karya yang lahir dari imajinasinya. Tidak semua orang bisa.
Lizia memutuskan melanjutkannya dan setelah menjadi buku, dengan dukungan Heksa dia berani memberikan karyanya pada keluarga, teman dan untungnya respon mereka baik.
Panggilan video pun berakhir. Mereka kembali fokus sarapan.
Lizia kini tidak takut lagi melihat semua hal yang bisa dia lihat di dunia ini. Mereka memang ada, hidup berdampingan. Percaya tidak percaya. Balik ke kepercayaan masing-masing. Selagi dia tidak mengganggu, mereka pun tidak akan terganggu. Bagai hubungan dengan antar manusia.
Heksa mengusap kepala Lizia, mengecup puncaknya dua kali lalu berbisik.
“Aku cinta kamu, sayang.”
Lizia mengulum senyum. “Aku juga cinta, kak Heksa.” bisiknya.
Keduanya saling melempar senyum dan lanjut menikmati suasana pagi yang hangat.
TAMAT