Heksa berjalan santai menuruni anak tangga. Dia melirik ke arah meja makan. Di sana Lanon tengah mengeringkan rambut adiknya.
“Cih, kakak yang romantis.” Heksa menyentuh bekas lukanya sekilas lalu terus melangkah mendekati Lizia.
Lizia hanya melirik sekilas dan pura-pura acuh lagi. Dia hanya makan sarapannya saat rambutnya di gosok Lanon.
Heksa menatap Lanon yang berdiri tepat di sampingnya, meliriknya tajam lalu menghantamkan sisi tubuhnya pada Heksa sampai Heksa terpental dan duduk di lantai.
Lizia tersentak kaget dan refleks menoleh.
“Ada apa?” tanya Lanon.
“Ha? Engga, kak.” Lizia kembali memakan rotinya walau gugup.
Heksa menghembuskan nafas kesal. Jadi begitu cara main Lanon. Memang hebat dia, bisa mengelabui semua orang seolah dia tidak memiliki kelebihan yang sama seperti Lizia.
Dan setiap pukulan Lanon itu menyakitkan, tenaga dalam yang dia punya sungguh hebat. Heksa mengaku kalah.
Heksa berdiri dengan tertatih, membuat Lizia meliriknya lalu melirik Lanon yang bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.
“Gue jaga adek lo! Lo malah sakitin gue bajingan kecil!” amuk Heksa.
Lizia kembali melirik keduanya dengan mulut penuh. Lanon terlihat masih asyik mengeringkan rambutnya.
Lizia menatap Heksa bingung, dia bicara dengan kakaknya?
Lizia berhenti mengunyah, membiarkan kedua pipinya kembung, dia menahan nafas saat Heksa mendekat lalu menempelkan bibirnya di bibir Lizia, menjilat sekilas sambil melirik Lanon dengan puas.
Heksa pun pergi dengan tertatih menuju kamarnya.
Lanon mengetatkan rahangnya. Dia kembali marah, hantu satu itu sungguh nakal. Lanon akan segera mengantarkannya ke neraka!
Dari awal datang hantu m*sum itu berani menyentuh adiknya. Dan barusan mencium bibir adiknya.
Memang minta di remukan!
“Ada apa?”
Lizia segera menggeleng. “E-engga,” jawabnya pelan nan lembut.
Lanon mengusap kepalanya sayang.
Celine menopang dagu dengan kedua telapak tangannya, tersenyum hangat melihat kasih sayang kakak dan adik di depannya.
Rasanya Celine maupun Abidzar tidak gagal membesarkan keduanya hingga seakur dan saling menyayangi.
Abidzar melirik Celine yang senyum-senyum senang bukannya sarapan itu. Tak hanya anak-anak, istrinya pun kini terlihat lucu. Padahal sudah tidak muda lagi.
Abidzar menghela nafas. Tidak menyangka waktu berlalu begitu cepat. Si kembar sudah besar sekarang.
***
Lizia memutuskan masuk ke kamar. Di luar banyak hantu dari luar rumah mengganggunya, tidak ada Heksa membuat mereka berani mengejutkannya dengan muncul tanpa lengan, kepala atau kedua mata yang menggantung penuh darah.
“Takut, hm?” Heksa tersenyum miring, dia yang menyuruh hantu-hantu itu mengganggu Lizia agar segera naik ke kamar.
Heksa bosan, dia ingin mengajak Lizia nonton film. Atau mengajaknya untuk kembali mengorek masa lalunya.
“Mau nonton?” Heksa tersenyum lembut, dia tidak ingkar dengan janjinya pada Lanon.
Dia akan memperlakukan Lizia dengan baik, tidak membuatnya terintimidasi dan ketakutan sampai cemas lagi.
Lawannya Lanon, dia terlalu hebat. Jika saja dia manusia, mungkin saat itu juga dia akan menjadi hantu.
“No-nonton?”
“Atau mau nulis cer—”
“Engga! Aku libur kalau hari libur!” potongnya cepat sebagai peralihan. Dia kembali merasa malu.
“Yaudah ayo nonton, film horror.” ajak Heksa.
Lizia pun mengalah, dia mulai menyalakan laptop.
“Padahal aku bisa jadi inspirasi, ga mau coba aku? Cari pengalaman nyata gitu, biar makin oke nulisnya..” bujuk rayunya.
Dengan wajah merah Lizia memilih fokus dengan judul-judul film horror.
“Kamu udah nemuin tokoh yang sesuai, punya tongkat bisbol.” Heksa mengusap celananya.
Dia dulu mengeluh karena miliknya besar dan panjang sampai kadang kepala tongkatnya tidak tertutup celana saking panjang. Jika begitu, dia akan melipat miliknya ke bawah dan itu lebih mengganjal.
Kini Heksa merasa senang memilikinya. Siapa tahu itu daya terik untuk Lizia mau bersamanya, menemani hidupnya yang membosankan sebagai hantu.
Lizia terbatuk pelan, salah tingkah dengan paniknya. Lucu. Jemarinya sampai bergetar gugup dan terus mencoba memilih judul.
“Itu, terkunci di dunia lain,” tunjuk Heksa.
Lizia juga agak tertarik. Melihat posternya para remaja SMA. Mungkin saja di dalamnya tidak ada hal begituan.
“I-iya, ini aja.”
Keduanya duduk bersandarkan kepala ranjang dengan laptop di pangkuan Lizia sesuai maunya Heksa.
Heksa sendiri asyik bersandar di bahu Lizia tanpa peduli gugupnya gadis itu yang walau kini mulai rileks karena film mulai seru.
Ada 5 sekawan. Mereka pencinta hantu, mulai berencana untuk mengisi kekosongan selama libur sekolah 2 minggu.
Dari ke gunung, laut dan wisata lainnya sudah mereka kunjungi dengan bahagia, penuh kenangan.
Hingga suatu hari, Rivalda mengusulkan untuk berburu hantu. Dia mengajak teman-temannya untuk ke sebuah sekolah terbengkalai.
“Dia omongannya agak sompral,” tunjuk Heksa pada pemeran Mikael.
“Hm, dia jadi kayak nantangin hantu,” balas Lizia begitu pelan dengan suara lembutnya yang khas.
Heksa sontak meliriknya yang terlihat tidak gugup lagi saking serius pada film mungkin. Cantiknya.
“Dia juga, terlalu sombong.” tunjuk Lizia.
Heksa malah asyik melihat bibir Lizia yang bergerak saat dia bicara.
“Di poster, Mikael sama Amad yang berdarah parahkan, Mikael lengannya kayak putus, terus—”
“Aku cium boleh?” potong Heksa.
Lizia sontak menoleh agak terkejut. Dia mematung saat bibir bawahnya Heksa usap-usap.
Heksa membenarkan duduknya lalu memiringkan wajah dan menempelkan bibirnya walau sekilas karena Lizia segera menjauh panik.
“Kita bikin kesepakatan,” Lizia akan memanfaatkan kesempatan.
“Hm?” Heksa terlihat tertarik.
“Aku kasih kamu cium, tapi tolong jangan ganggu waktu aku nulis, ada pembaca yang nunggu aku, jangan sentuh sembarangan isi laptop aku juga,” jelas Lizia agak sedikit gugup.
Heksa tersenyum. “Ciumnya setiap mau, deal?” tatapannya begitu lekat. Ini langkah yang bagus, penawaran yang sangat menarik.
Lizia panik di duduknya.
“Janji juga jangan sembarangan sentuh—”
“Kesepakatannya banyak dong, aku bisa minta lebih?”
***
Heksa mendongak, melenguh nikmat saat Lizia menghisap tongkatnya walau hanya bisa masuk setengah.
Mulut kecilnya yang hangat, sungguh memanjakannya.
“Kamu terbaik,” puji Heksa sambil menekan miliknya sampai Lizia memerah lalu terbatuk hampir muntah setelahnya.
Lizia terlihat sayu, dia terengah dan lalu membiarkan atasannya di buka, Heksa hisap setiap Kulitnya dan tak lupa dia remas.
Lizia sepertinya mulai menikmati. Apalagi saat mulut Heksa menghisap bagai bayi haus.
“Ah.. Haa..”
Lizia menutup laptopnya cepat dengan wajah semerah kepiting. Nafasnya memberat samar. Kenapa dalam Imajinasinya kini selalu Heksa yang muncul. Ngocoks.com
Sudah 3 hari sejak ciuman saat itu. Lizia selalu merasakan perasaan aneh. Jantungnya berdebar juga.
Heksa mengusap wajah gugup Lizia. Dia sungguh senang bisa melangkah selangkah lebih jauh.
Heksa kembali mendekatkan bibirnya. Mengecupnya ringan dua kali kemudian mulai melumatnya.
Lizia bisa merasakan, dingin dari mulut Heksa yang basah. Sapuannya begitu terasa, nafas dan semuanya. Getaran yang Lizia rasakan kenapa terasa nyata.
Lizia semakin penasaran, kenapa Heksa terjebak di dunia hantu. Kenapa dia terasa begitu nyata bagai manusia.
Ciuman ternyata begini ya rasanya. Batin Lizia.
Keduanya saling berjauhan dan memandang. Heksa tersenyum puas.
“Saatnya kita nonton lagi, cantik.” Heksa menjilat bibirnya sendiri. Terlihat menyukai apa yang dirinya lakukan.
Melihat itu Lizia berdebar. Heksa begitu seksi. Dia cocok menjadi tokoh yang sedang dirinya buat.
Bersambung…