Lizia terengah, dia tahan bahu Heksa. Entah bagaimana kini tubuhnya rebahan di atas kasur dengan Heksa menindihnya.
Ciuman Heksa membiusnya. Rasa baru yang menggelitik itu sungguh membiusnya.
“Lagi,” Heksa menekan bibirnya, mulai menghisap, mencecap rasa dari Lizia yang sungguh lebih nikmat dari sekedar mengintip, menyentuh mereka yang tidak sadar dengan sentuhannya.
Lizia hanya bisa menerima. Dia akan membuka mulut jika Heksa menjejalkan lidahnya. Jika sudah begitu, Lizia merasa hilang akal. Geli sekali perutnya.
“Keluarin lidahnya,” bisik Heksa.
Lizia membuka mata agak tidak paham tapi anehnya dia menurutinya, menjulurkan lidah yang langsung Heksa tabrakan dengan lidahnya, dia belaikan lidahnya lalu menghisapnya.
Lizia mulai merangkai kata di otaknya dengan rasa yang dia rasakan. Novelnya yang sempat tidak lanjut sepertinya akan terus lanjut jika mendapat inspirasi bahkan tahu rasanya.
Lizia merasa bibirnya kebas, kesemutan dan entah rasa apa lagi. Yang jelas dia terengah dan merasa kupu-kupu di perutnya masih menggelitik.
“Enak?” tanya Heksa dengan menahan diri untuk tidak lebih jauh lagi.
Lizia memalingkan wajahnya malu.
“Percaya diri, Lizia. Setiap orang punya sisi kotor, punya pikiran m*sum karena mereka memiliki nafsu, gairah.. Penulis novel dewasa juga manusia. Mereka pemberani, ga semua bisa mengeluarkan imajinasi kotor menjadi sebuah karya yang cukup banyak peminatnya..”
Lizia merasa Heksa pandai membacanya tanpa perlu dia jelaskan. Dia menjadi tidak percaya diri bukan karena soal kecantikan saja.
Dia merasa malu dengan dirinya sendiri. Dia yang dicap pemalu, suaranya yang lembut tidak bisa marah, ternyata bisa dan sudah memiliki banyak karya novel dewasa yang banyak penggemarnya.
Dia takut semua orang tahu dengan apa yang dia buat. Dia takut dengan penilaian orang setelah tahu apa yang dia buat.
Heksa mengecup kening Lizia lalu mengunci tubuhnya dengan pelukan erat, tak hanya tangan, kaki Heksa juga membelit Lizia sampai susah bergerak.
“Tidur, besok saatnya lanjut nulis. Aku ga akan ganggu kamu.” janji Heksa yang entah sejak kapan mulai aku-kamu.
Lizia berdebar. Ini pertama kalinya ada yang mendukungnya. Selama ini tidak ada yang tahu soal dia yang menjadi penulis novel dewasa.
“Aku akan bantu kamu.”
Lizia dibuat tidak bisa berkutik. Dia cukup tergiur, terharu. Heksa juga cukup membantunya hidup normal dengan menjaganya dari para hantu itu.
Lizia merasa, dirinya sudah gila karena mulai menerima Heksa di sampingnya.
“Tapi kamu juga bantu aku,” Heksa tersenyum hangat, dia belai wajah cantik Lizia.
***
“Kayaknya sih di sini,” Gea menatap rumah di depannya.
Nimas dan Sion masih asyik membaca GPS. Takutnya salah rumah, kalau sesuai GPS sih rumah bak istana ini memang benar. Mereka tidak salah memasukan alamat.
“Kita tanya dulu,” Lanon yang ikut untuk menemani kembarannya, memimpin mereka. Dia lebih aktif.
Heksa tersenyum samar. Lanon tidak ingkar janji soal akan membantunya mengorek masa lalu asal jangan sentuh adiknya sembarangan.
Lanon ternyata melihat saat Heksa menyentuh bokong adiknya saat pertama mereka bertemu. Pantas saja Lanon sampai astral projection untuk memukulinya membabi buta hingga perjanjian terjalin di antara keduanya.
“Ada apa?” tanya penjaga di sana dengan seramnya.
“A-anu.. Lo yang ngomong!” Nimas mendorong Sion yang seperti pengecut itu. Gayanya saja ingin berburu hantu, tapi aslinya cukup penakut.
“Gue aja.” Lanon maju dengan tidak takut sama sekali. “Saya mau tanya pak, apa ini rumah dia?” tanyanya sambil menunjukan sobekan foto Heksa.
“Kalian siapa tuan muda?” tanyanya penuh selidik lalu meraih ponsel dan mengirimkan sebuah pesan pada seseorang.
Gea, Nimas dan Sion saling melirik. Ternyata orang yang dipanggil tuan muda ada ya. Mereka jadi semakin penasaran.
“Kami temannya,” jawab Lanon.
Lizia menatap Heksa, mencoba berbicara lewat batinnya. “Kamu ga inget soal rumah ini?” tanyanya.
Heksa menoleh, jelas dia tidak membalas dengan batin karena mereka pasti tidak akan mendengarnya.
“Ga, belum inget apapun.” Heksa kembali meliarkan mata di rumah yang cukup aneh itu. Ada energi pelindung yang kuat.
Heksa baru pertama kali melihatnya.
“Dan ternyata aku tuan muda, kalau aja bukan hantu.. Apapun yang kamu mau, aku kabulin.” Heksa mengecup lembut kepala Lizia.
Belum lama bertemu padahal, tapi rasanya takdir mengikat kuat dirinya dan Lizia.
Lizia bersemu dan segera menatap Lanon yang masih menghadap penjaga berbadan besar itu.
Lizia menatap energi kuat yang mengelilingi istana megah itu. Kenapa bisa sekuat itu? Lizia tidak yakin dia kuat jika harus masuk.
“Anehkan, cantik. Energi apa itu, kayaknya aku ga bisa masuk.” celetuk Heksa dengan masih serius melihat sekeliling.
Lanon mendengar ujaran Heksa segera mengamati sekeliling lagi. Energinya semakin kuat.
“Kalian tidak bisa masuk, tuan muda sedang tidak di sini.”
“Kami perlu bicara dengan orang tuanya, pak. Kita butuh cerita kenapa bisa meninggal,”
“Sembarangan! Tuan muda tidak meninggal! Kalian lebih baik pergi!”
Lizia terkejut lalu menatap Heksa yang santai saja lalu melempar cengiran menyebalkan.
“Senengkan?” godanya.
“Kamu serius ga inget apapun?” tanya Lizia lewat batinnya lagi.
“Lebih baik kita pulang.” ajak Heksa seolah tidak penasaran lagi dengan yang terjadi di hidupnya.
Padahal baru menginjakan kaki di tempat ini pertama kali. Semua gambaran begitu datang dengan hebat.
Kehidupannya yang tidak mudah.
Kini Heksa tahu kenapa dia menjadi hantu dan memilih ingin terus menjadi hantu.
“Adik saya bisa—”
“Kak, ayo pulang sekarang.” Lizia melihat sosok yang bagai nenek sihir di lantai dua rumah itu. Entah kenapa firasatnya mereka akan tersakiti jika terus di sini.
Melihat kepanikan Lizia jelas mereka ikut pergi tanpa membantah. Lizia terlihat tidak biasa.
Heksa menoleh, menatap satu energi yang diarahkan perempuan seram itu ke arah mereka yang hendak naik mobil.
“Aku yang urus.” Heksa segera mendorong pelan Lizia agar masuk ke dalam mobil tanpa menunggu lagi.
Heksa menatap bola energi gelap itu, dia memanggil beberapa hantu yang akan membantunya menjadi tameng.
Ternyata energi aneh itu muncul dari hantu perempuan bagai nenek sihir itu. Heksa tiba-tiba merasa aneh.
Apa keluarganya baik-baik saja? Energi kuat di rumah itu begitu gelap pekat, rumahnya panas penuh energi hitam.
“Argh!” Heksa batuk darah saat energi itu bertabrakan. Untungnya ada hantu baik yang mau membantu menjadi tameng.
Mereka sama terluka dan melemah.
“Pergi dari sini.” perintah Heksa yang kemudian segera menghilang.
Yang terpenting energi itu tidak menyentuh mobil yang mereka tumpangi. Jika saja kena, pasti akan ada kecelakaan di jalan.
Heksa yang menghilang kini muncul di jok belakang, tepat di samping Lizia. Dia terkulai dengan mulut berdarah. Tubuhnya yang dingin semakin dingin.
Lizia melotot panik, mencoba menyingkirkan energi gelap yang tertinggal di tubuh Heksa. Melakukan itu sebisanya.
Lanon melirik Heksa sekilas lalu mulai fokus dan membantunya perlahan tanpa Lizia tahu. Ternyata energi yang di hadapi Heksa melukainya cukup parah.
Rumah itu tidak baik dihuni pikir Lanon, sepertinya Heksa juga korban dari penghuni gaib rumah itu?
“Kamu belum nulis, jangan peduliin aku, cantik.” lalu tersenyum lemas. Dia memilih menghilang dulu untuk mengisi energi disuatu tempat.
***
Lizia menatap Heksa yang terlihat menyeramkan, mengintimidasi. Apa dia cemburu karena dirinya dengan dengan pria lain?
Lizia melotot saat dengan secepat kilat Heksa mengunci kedua lengannya, mengikatnya dengan dasi yang dipakainya.
Lizia meronta, dia mulai menangis dan menggigil ketakutan. Dia panik dengan apa yang Heksa lakukan kini.
Pakain tidurnya di robek, tubuhnya berubah polos dan Heksa menghisap kulit lehernya, berpindah mengulum rakus dadanya bergiliran.
Lizia sudah menjerit dan menangis, dia kesakitan saat Heksa menekan masuk miliknya yang tidak normal besarnya itu..
“Sakit.. Ahh..”
Heksa menatap miliknya yang tenggelam dalam ke dalam Lizia. Pasti Lizia merasakan sakit yang nikmat. Pikirnya dengan semakin dalam menenggelamkannya.
“Ah.. Sakit..” lirihnya lalu menggelinjang dan bergetar hebat.
Lizia berhenti mengetik. Dia lepaskan kaca matanya dan menatap keluar. Bulan begitu bulat dan terang.
Heksa tidak ada dan di luar sana hantu mulai berisik mencari perhatiannya.
Di mana Heksa berada sekarang?
Lizia sudah perlahan mengabaikan tentang imajinasinya yang selalu saja Heksa dan dirinya yang memainkan peran di novelnya.
Dan anehnya, semenjak ada Heksa dia menulis dengan lancar seolah berpengalaman. Apa Heksa mengiriminya energi m*sum?
“Lagi apa?” kepala Lanon muncul di ambang pintu. “Mau ngobrol bisa?” tanyanya.
“Bisa.” Lizia menutup laptopnya. “Ada apa, kak?” suara lembutnya mengalun, membuat siapa yang mendengarnya ingin memperlakukan Lizia dengan sayang. Ngocoks.com
“Gea udah punya pacar?”
“Ga tahu.” Lizia memicing sesaat. “Kakak suka nyakitin perempuan, jangan Gea, dia temen yang baik,”
“Engga, kakak ga gitu, kalau sama Gea pasti baik,” lalu cengengesan. Padahal tujuannya bukan itu.
Lanon melirik jendela. Di sana ada sosok hitam yang mencincar Lizia. Namun untungnya di dalam kamar Lizia banyak mantra dan sebagainya yang menyulitkan dia.
Sosok itu kiriman dari nenek sihir yang mereka temui di rumah itu. Benar kata Heksa, Lizia harus dijaga selama Heksa mengumpulkan energi dan menyembuhkan luka dalamnya.
“Kamarnya enak, nginep di sini ah udah lama,”
Lizia terlihat ingin protes tapi jika ada Lanon dia juga senang. Biasanya jika tidak sendiri, hantu tidak akan gencar mengganggunya.
Bersambung…