“Kalau Lanon tidur di sofa kamar adiknya itu tanda Lizia mungkin butuh perlindungan, atau ketemu hantu seram..” Celine melipat lengannya di perut.
Abidzar tersenyum melihat Lanon yang begitu baik pada adiknya, begitu sayang dan tidak gengsi mengungkapkan rasa sayangnya.
“Kamar anak gadis kita ga kayak gadis lain, kasihan Lizia.”
Abidzar tersenyum tipis sambil mengusap pinggang Celine. “Tuhan bikin Lizia spesial, pasti ada alasannya.” bisiknya lalu mengecup pelipis Celine.
Keharmonisan Abidzar dan Celine sungguh tidak lekang oleh waktu. Jika kedua pasangan suami istri merasa cukup memiliki satu sama lain ya begitu gambarannya.
Setiap hari mereka selalu tetap bisa merasakan jatuh cinta.
“Apa Lizia baik-baik aja?” Celine selalu saja cemas terhadap anak gadisnya itu. Berbeda dengan Lanon yang nakal namun bisa menjaga dirinya. Masih ada sisi Abidzar di dalam Lanon.
“Lebih baik dari biasanya. Kamu sadar ga, Lizia biasanya selalu nunduk takut, ga percaya diri, tapi beberapa hari ini dia bisa liat kita, liat keadaan sekitarnya, aku ga tahu apa yang bikin dia berubah, tapi aku seneng sebagai babanya,”
Abidzar tidak akan mengeluh soal panggilan papa yang menjadi baba karena kebiasaan itu. Keduanya tetap panggilan sayang yang sopan.
“Iya ya,” seru Celine saat sadar soal itu.
Lanon yang tidur memunggungi keduanya tersenyum samar. Lizia memang jadi lebih bisa melihat dunia yang dia takuti semenjak ada Heksa.
Lanon akan mencari tahu, kenapa Heksa bisa menjadi hantu yang berbeda dengan yang lainnya.
Lanon merasa Heksa malah jadi seperti dirinya yang sering melakukan Astral projection.
“Saatnya kita tidur, sayang.”
Celine mengangguk, perlahan menutup pintu dan berjalan dengan di rangkul mesra oleh Abidzar.
“Mau olah raga malem?” tawar Celine.
“Boleh?”
***
Lizia membuka matanya, kepalanya terasa diusap dan paginya begitu hangat dipeluk selimut yang tebal.
Tidurnya kembali nyenyak semalam. Padahal tidak ada Heksa. Ternyata Lanon juga cukup membantu.
“Ga sekolah?”
Lizia sontak membuka matanya. Membuat bersitatap dengan Heksa.
“Aku udah sembuh,” ujar Heksa yang bisa membaca Lizia. “Udah bisa cium dan jaga kamu.” genitnya.
Dan sialnya tampan sekali. Bagai anggota kerajaan vampire.
Lizia yang aneh karena salah tingkah dan wajahnya panas merona dengan segera menggeliat keluar dari selimut.
“Kakak dari mana?”
“Jadi gadis cantik ini udah mulai kepo?” godanya. Sepertinya Heksa memang sudah sangat pulih sekarang.
Lizia memilih bergerak turun dan segera membawa seragam lalu keperluan lainnya. Dia memilih akan mandi saja.
“Nanti aku ajak ke tempat itu, ajak juga temen-temen kamu yang mau berburu hantu itu,”
***
“Makasih kak Heksa,” Sion berseru riang.
“Bukan di sana, di sini kata Lizia.” kesal Nimas menunjuk posisi Heksa berada.
Heksa menatap ketiganya, mereka baik untuk Lizia makanya dia tidak melarang Lizia untuk tidak bergaul dengan mereka yang hanya manusia penuh penasaran tentang dunia hantu.
Mereka percaya mitos dan petuah nenek moyang.
“Oh iya, makasih kak.” ulang Sion walau tidak bisa melihat sosok Heksa.
“Youtube kita namanya apa ya?” Gea mulai melirik Lizia, berharap Lizia bisa membaca masa depan?
Oh astaga keren!
Tidak tahu saja kesulitannya.
Lizia terdiam, menatap ketiganya dan mulai fokus dengan bayangan yang terlintas, kode alam yang berbisik, dia rangkai dan mulai melihat jelas.
Lizia tersenyum tipis.
“GNS penelusuran.. Nama buat fansnya Genis,”
“Kamu terawang ya?” riang Nimas.
Lizia tersenyum malu dan mengangguk. Dia senang saat mereka peluk kecuali Sion karena Nimas langsung menariknya.
Heksa yang hendak marah pada Sion pun urung lalu tersenyum melihat ketiganya.
“Kamu harusnya jangan terawang jauh, energi kamu terkuras dan—”
“Mimisan!” pekik Sion.
“Yaampun, Lizia.”
“Pakai ini,”
Heksa hanya diam menatap. “Jangan terawang masa depan lagi, kamu yang akan sakit, Lizia.” ujarnya.
Lizia melirik Heksa. Dia hanya ingin menyenangkan teman-temannya. Teman nyaman pertamanya.
***
Lizia menoleh kaget saat Heksa masuk ke dalam kamar mandi. Dengan tongkat di celananya yang mengacung keras.
“Celana aku sobek karena dia keras keluar, ga tahan lagi,” desisnya sambil mengurut miliknya.
“Tapikan—”
Lizia terkesiap saat bahunya di tarik ke bawah hingga berjongkok lalu mulutnya seketika penuh, bahkan itu beru setengahnya.
Lizia terpaksa menghisapnya, memaju mundurkan kepalanya. Keras sekali, bagai kayu.
“Imajinasi kamu yang isinya kita itu lebay, itu pentingnya pengalaman,” celetuk Heksa membuat Lizia berhenti menulis dan terkejut karena Heksa di belakangnya entah sejak kapan.
Lizia merona, wajahnya terasa panas. Apa Heksa tahu dengan isi imajinasinya yang berbeda dengan nama tokoh ditulisannya?
“Mau coba? Buat pengalaman aja,” hasut Heksa dengan penuh harap. Bukankah akan sama-sama untung?
Lizia menelan ludah.
“Dia ga akan sekeras kayu, terlalu lebay.” Heksa mengeluarkan miliknya dengan mudah. “Nih, dia udah keras karena baca tulisan kamu.” lanjutnya.
Lizia melotot dan segera berpaling dengan jantung berdebar. Tongkat itu lagi. Kenapa rasanya terlihat semakin panjang.
“Ka-katanya kita,” Lizia panik, gugup dan campur aduk.
“Ga paksa ko, cuma mau kasih kamu ilmu biar tulisannya makin keren,”
Lizia diam dengan mulai gila karena tertarik, jika menyentuhkan bukan berarti hilang perawan.
Heksa juga memberikan izin dengan suka rela.
Lizia menoleh perlahan lalu bersitatap dengan Heksa yang tersenyum hangat. “Kamu bisa pakai aku, bebas maunya kamu buat tulisan kamu yang keren,” pujinya.
Lizia menghangat, senang mendengarnya sampai rasanya kupu-kupu menggelitik perut.
Heksa yang berdiri mendekati Lizia yang duduk, terlihat menatap miliknya tertarik.
Lizia menyentuhnya ragu dan agak geli ternyata. Dia mengamati bentuknya, kerasnya memang tidak sekeras kayu. Benar kata Heksa, dia berlebihan.
Heksa menahan nafas merasakan genggaman jemari Lizia, dia agak tersiksa dengan tingkah Lizia yang bagai ilmuan itu.
Ujung kepala tongkatnya sudah berair, ini pertama kalinya membuat Heksa akan cepat meledak bahkan mungkin jika hanya sebentar berada di mulut Lizia.
“Ini lubang keluar pipis,” gumamnya dengan serius, di usap pelan sampai Heksa menahan nafas kegelian.
Lizia melirik Heksa yang tersiksa, gelisah dengan tampannya. Jantung Lizia berdebar. Nafasnya jadi memberat melihat reaksi Heksa akibat ulahnya.
Lizia menelan ludah lalu mulai menerapkan apa yang dia baca dan tulis. Dia mulai menggunakan selain kedua jemari tangannya.
Begitu kaku. Ini pengalaman pertama. Yang seharusnya masih tidak boleh. Namun Lizia terlalu ingin tahu rasanya, benar kata Heksa. Dia butuh pengalaman.
“Kalau bener aku masih hidup, aku mau balik ke raga aku, Lizia. Aku nikahin kamu setelah kamu lulus tanpa tunda-tunda lagi.”
***
Lizia memakan sarapannya dengan telinga memerah. Dia ingat saat melihat Heksa mengerang panjang, bahkan cairannya menyemprot deras ke wajah dan lehernya. Ngocoks.com
Lizia terkejut, mengingat Heksa hantu tapi ternyata bisa begitu. Dia merasa aneh, otaknya kenapa sem*sum ini.
“Kamu demam?” Celine menyentuh kening Lizia.
“Ga kok, ma.” Lizia tersenyum.
“Nanti pulang sekolah mau belanja sama mama?” ajaknya.
Lizia mengangguk. “Boleh.” jawabnya.
Celine tersenyum senang.
“Aku ga mau, mau nongkrong.”
“Ga ada yang ajak kamu! Awas ya kalau mama harus di panggil ke sekolah lagi!” kesal Celine.
Lanon tertawa pelan. “Ga janji,” jawabnya yang membuat Celine mendengus namun tetap memberikan satu sosis lagi pada piring Lanon.
Heksa menatap kehangatan pagi itu. Dia iri. Setelah mengingat semuanya dia kini sangat iri.
Bersambung…